Oleh :
Dosen Pengampu:
BANJARMASIN
2019
RINGKASAN MATERI
1.1. PENDAHULUAN
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan atas
transaksi jual-beli barang/jasa kena pajak yang dilakukan oleh wajib pajak yang telah menjadi
pengusaha kena pajak (PKP). PPN merupakan pajak yang bersifat tidak langsung dikarenakan
pembebanan pajak dibebankan pada konsumen akhir, sedangkan pengusaha hanya bertindak
sebagai pemungut. Sesuai ketentuan perpajakan, pengusaha kena pajak harus menyetor dan
PPN merupakan pajak yang objektif yang mengandung pengertian bahwa kewajiban
perpajakan ini timbul saat ada objek pajak tanpa mempertimbangkan subjek pajak. UU PPN No.8
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU PPN No.42 Tahun 2009
(Pasal 4 ayat 1, Pasal 16C dan Pasal 16D) menyatakan bahwa objek PPN adalah:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
5. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh
7. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualnelikan, sepanjang
Dalam PPN terdapat istilah Pajak masukan dan Pajak keluaran. Pajak masukan merupakan
pajak yang harus dibayarkan oleh PKP atas transaksi pembelian BKP/JKP dari pihak lain yang
juga merupakan PKP, sedangkan Pajak keluaran merupakan pajak terutang yang wajib dipungut
oleh PKP saat makukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud / ekspor Jasa Kena Pajak.
Dalam penerapan pungutan PPN, PKP mengkreditkan Pajak masukan dan Pajak keluaran dalam
suatu masa pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut Pajak keluaran lebih besar dari
Pajak masukan maka status SPT Masa PPN menjadi kurang bayar, sebaliknya jika Pajak keluaran
lebih rendah dari Pajak masukan maka status SPT Masa PPN menjadi lebih bayar.
Dalam melakukan perencanaan PPN, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, yaitu
Dalam UU PPN diatur bahwa pengkreditan Pajak Masukan dapat dilakukan atas
transaksi pembelian barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dilakukan dengan pengusaha
kena pajak (PKP). Perusahaan sebaiknya melakukan pembelian BKP/JKP dengan pengusaha
yang telah menjadi PKP agar pajak masukan dapat dikreditkan dengan pajak keluarannya.
Keberadaan Pajak masukan dan Pajak keluaran merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dari pelaporan PPN dikarenakan akan menentukan status pembayaran apakah lebih
bayar atau kurang bayar. Apabila Pajak keluaran lebih besar dibanding Pajak masukan maka
status pembayaran menjadi kurang bayar, sebaliknya jika Pajak masukan lebih besar dibanding
Pajak keluaran maka status pembayaran menjadi lebih bayar. Hal yang dapat dilakukan oleh
ketentuan terkait Pajak masukan yang dapat dikreditkan dan tidak. Pajak masukan yang dapat
dikreditkan adalah pajak masukan yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi,
pemasaran, dan manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya adalah faktur pajak standar
atau dokumen yang disamakan dengan faktur pajak standar. Pajak masukan yang tidak dapat
4). Pajak masukan atas transaksi pembelian mobil sedan, jeep, station wagon, van, dan
combi.
6). Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan usaha
atas BKP.
7). Pajak masukan yang dilaporkan pada SPT masa PPN, yang ditemukan pada saat
Pengenaan PPN atas suatu barang atau jasa kena pajak saat ini dilakukan dengan
sistem faktur, sehingga setiap transaksi jual-beli BKP/JKP harus dibuatkan faktur pajak
yang akan digunakan sebagai bukti pungutan pajak. PPN sebagai pajak tidak langsung
konsumen akhir menjadi Pajak keluaran. Pemungutan PPN kembali kepada konsumen
masukan yang telah diatur dalsm Pasal 9 UU NO.42 Tahun 2009, yakni:
1) Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa pajak yang
sama.
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada masa pajak yang sama maka diberikan
pemeriksanaan.
3) Jika dalam suatu masa pajak belum terdapat Pajak Keluaran, Pajak Masukan
pengeluaran untuk:
iii. Peroleha BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
iv. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan usaha.
disewakan.
vi. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
vii. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya berupa faktur pajak
sederhana.
viii. Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan
ix. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
ketetapan pajak.
xi. Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam
surat pemberitahuan masa PPN, yang diketemukan pada waktu pad weaktu
pemeriksaan.
xii. Meskipun PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan
ii. Selain itu pajak masukan juga mesti didukung bukti pengeluaran
iii. Berkaitan dengan ketentuan perpajakan dibidang PPN tersebut diatas, perlu
iv. Cek secara teliti faktur pajak masukan yang diterima sebelum melakukan
memiliki bukti pendukung yang cukup kuat sebagai pajak masukan yang
vi. Berkaitan batas waktu tiga bulan masa pengkreditan, usahakan faktur pajak
sudah diterima sebelum lawat tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak,
vii. Makin cepat menerima faktur pajak dari pembelian barang, maka akan lebih
viii. Cek secara teliti pelaporan ke kantor pajak, terutama untuk pemohonan
restitusi karena lebih bayar pajak masukan .bila ada faktur pajak yang tidak
dengan meminta pengganti faktur pajak yang cacat dari pembeli barang.
Faktur Pajak
Sebagaimana telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, pengenaan PPN saat ini
dilakukan dengan sistem faktur. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak yang
dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP, atau bukti pungutan pajak
karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Secara
umum, terdapat 3 jenis faktur pajak yaitu faktur pajak, faktur pajak gabungan dan
Perusahaan perlu memberhatikan tata cara pembuatan faktur pajak agar tidak
dikenai sanksi perpajakan. Pasal 14 ayat (4) UU KUP menyatakan keterlambatan atau
kekeliruan dalam pembuatan faktur pajak dapat dikenai sanksi berupa denda sebesar
1) Saat terutang pajak, yaitu saat penyerahan barang. Jika pembayaran mendahului
penyerahan barang maka faktur pajak dapat dibuat pada saat pembayaran.
Dengan menerapkan pengaturan seperti ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi
2) Satu bulan setelah masa pajak berakhir. Saat penyetoran PPN dan Pelaporan
SPT Masa PPN dapat ditunda menjadi satu bulan setelah masa pajak berakhir
3) Untuk faktur pajak gabungan dapat dibuat paling lambat pada akhir bulan
-Kasus 1
PKP A melakukan penyerahan BKP kepada PKP B tanggan 01, 05, 10,11
12, 20, 25, 28 dan 31 Juli 2010, belum ada pembayaran sama sekali. Dalam
gabungan atas seluruh transaksi bulan Juli 2010, paling lambat 31 Juli 2010.
-Kasus 2
PKP A melakukan penyerahan BKP kepada PKP B tanggan 02, 07, 09, 10,
12, 20, 26 28, 29, dan 30 September 2010. Diketahui bahwa pada tanggan 28
maka faktur pajak gabungan sebaiknya dibuat pada tanggal 30 September 2010
-Kasus 3
2010, PKP B juga melakukan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang
akan dilakukan pada bulan Oktober 2010. Dalam kasus ini, maka PKP A
penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan september.
1) Pembuatan faktur pajak dapat ditunda sampai akhir bulan berikutnya apabila
faktur pajak dapat memberikan keuntungan bagi PKP karena PKP tidak perlu
menalangi pembayaran PPN (Hal ini masih dalam legalitas selama sesuai batas
pembayaran yang ideal, yaitu tidak lebih dari 45 hari setelah penyerahan
BPK/JKP. Jika pembayaran baru diterima PKP setelah lewat 45 hari, PKP
penjual harus menalangi pembayaran PPN ke kas Negara. Oleh karena itu,
sebaiknya PKP penjual menetapkan syarat pembayaran ideal yang ideal tidak
penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada
2) Dalam hal pembayaran telah diterima sebelum penyerahan BKP/JKP maka saat
dapat mempengaruhi cash flow perusahaan. PPN dan PPn BM yang terutang dalam
satu masa pajak, harus disetor paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
PKP A mengikat kontrak dengan PKP B pada tanggal 20 Maret 2012 dengan
bulan april 2012 dengan konsekuensi penerbitan faktur pajak dapat ditunda
ke bulan April dan penyetoran PPN dapat ditunda selama 1 bulan hingga 30
April 2012.
Nilai sekarang (present value) dari uang sebesar Rp50juta yang harus disetorkan ke Kas Negara atas PPN
alternatif kedua dapat dipilih karena perusahaan dalam bulan maret 2012 dapat
Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, keterlambatan penyetoran PPN dikenakan
denda 2% dari PPN terutang dan keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN
penyetoran PPN dan pelaporan PPN pada SPT Masa PPN adalah:
PPN dan PPnBM yang terutang pada satu Masa Pajak, harus disetor paling
lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa pajak dan seebelum
SPT Masa PPN di sampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran
bertepatan dengan hari libur termasuk haari sabtu atau hari libur nasional,
SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa pajak. Dalam hal akhir bulan adalah hari libur
termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka SPT Masa PPNdapat di
dikenal dalam ketentuan PPN adalah PPN Tidak dipungut, PPN Dibebaskan, dan
manfaat berupa berkurangnya jumlah yang harus dibayar oleh pembeli terhadap
barang yang dibeli dari penjual setidaknya 10% dari harga jual, dan tentunya
barang perusahaan.
oleh PKP untuk menghemat biaya administrasi dan mengatur cash flow perusahaan
agar menjadi lebih bauk dalam melaksanakan hak dan kewajiban dibidang PPN.
terutang, Wajib Pajak perlu memahami keputusan mana yang lebih menguntungkan
bagi Wajib Pajak tersebut. Hal ini disebabkan Pasal 1A ayat f UU PPN yang
tetap termasuk dalam definitif penyerahan Barang Kena Pajak. Dalam praktiknya,
administrasi perpajakan dengan kriteria tertentu yang memiliki lebih dari satu
tempat untuk melakukan penyerahan BKP/JKP. Untuk wajib pajak dengan kritetia
1) PKP yang terdaftar pada KPP Wajib Pajak besar dapat melakukan
usahanya.
2) PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang (selain butir a)
PPN Terutang. Dalam hal PKP memilih 1 (satu) tempat atau lebih
19/PJ/2010).
Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek PPN memiliki hak untuk melakukan
pengkreditan Pajak masukan sesuai ketentuan yang berlaku. Apabila dalam suatu
berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu yang kemungkinan Lebih Bayarnya secara mekanisme PPN akan
perlu dipertimbangkan dengan baik berdasarkan kondisi Wajib Pajak itu sendiri.
Pertimbangan ini biasanya terkait dengan biaya pemeriksaan dan opportunity cost
yang timbul dari kelebihan pajak yang ada di negara. Keputusan untuk restitusi
akan dilakukan apabila berdasarkan penilaian, nilai opportunity cost lebih besar
dibanding biaya pemeriksaan. Pertimbangan atas setiap keputusan menjadi sangat
1) Bila nilai lebih bayar PPN material, maka kebijakan untuk melakukan
besarnya jumlah lebih bayar yang ada dalam SPT Masa PPN,
opportunity cost yang hilang juga akan semakin besar jika tidak
direstitusi.
dipertimbangkan.
b. Sebagai tindakan preventif, perlu dilakukan penataan ulang
membangun sendiri untuk tempat tinggal atau tempat usaha oleh orang pribadi atau
badan yang digunakan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dengan kondis luas
bangunan 200m2 atau lebih, bangunan Permanen, tarif 10% x 40% x biaya
bangunan (tanpa harga tanah) dan Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan
Dalam kasus ini, tindakan yang dapat dilakukan oleh badan adalah
biasanya akan terdapat dua alternatif, membangun dengan jasa konstruksi atau
Sisa lebih dana yang akan diinvestasikan untuk pembangunan gedung adalah
sebesar Rp3 Miliar. Terdapat alternatif terkait siapa yang akan melakukan
bangunan dapat ditekan menjadi Rp120 Juta (10% x 40% x Rp3 Miliar).
1.2.6. PPN atas Barang Gratis Untuk Keperluan Promosi
baik perusahaan lama maupun yang baru berdiri. Kebijakan pemberian barang
gratis seperti ini diharapkan dapat membuat calon konsumen tertarik untuk
memperhatikan dampak dari pemberian barang gratis ini dari sudut pandang
promosi ini tidak dapat dibiayakan, maka perlu dilakukan alternatif lain beban
surat kabar. Dalam rangka penetrasi pasar, karena perusahaan ini masih baru,
surat kabar secara gratis kepada pelanggan dan calon pelanggan, katakanlah
Cara –I:
Penjualan 2.000 Eksemplar @Rp 4.000 : Rp. 8.000.000
PPN 10% : Rp. 800.000
Harga yang di faktur: Harga Jual + PPN : Rp. 8.800.000
Bila cara I ini yang ditempuh, maka dalam bulan Oktober 2008 tersebut PT.
ABC harus menyetorkan pembayaran PPN ke Kas Negara sebesar Rp. 850.000.
Tax Planning-nya :
Bila PT. ABC mau menghemat pajak atas pemberian cuma-cuma tersebut,
maka hal ini dapat dilakukan dengan cara mengubah invoicing atau pemakturan
Cara II :
Penjualan 2.200 Ekssemplar @Rp. 4.000 : Rp. 8.800.000
Diskon : Rp. 800.000
Dasar Pengenaan Pajak : Rp. 8.000.000
PPN 10% : Rp. 800.000
Harga yang di faktur : Harga Jual + PPN : Rp. 8.800.000
Keuntungannya (cara II) :
Bagi PT. ABC atau penjual, tidak perlu harus bayar PPN tambahan sebesar
Rp. 50.000 atas pemberian cuma-cuma itu. Cara ini menghemat cash
flow perusahaan karena mengurangi PPN terutang yang harus dibayar pada
bukan berikutnya.
Bagi pembeli atau distribustor, tidak ada dampaknya terhadap harga yang
internal control bagi kedua belah pihak. Khususnya bagi pembeli atau distributor
kantor cabang..
pajak yang direncanakan telah berjalan sesuai perencanaan namun tetap sesuai
koridor hukum perpajakan. Proses pengendalian ini disebut juga dengan Tax
usaha atau bisnis perusahaan dan telah dikreditkan dengan PPN keluaran.
antara penjualan yang dilaporkan pada SPT PPh badan dengan penjualan
4) Agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu yang
akan datang.
dikirimkan oleh unit bisnis, yaitu SPT masa PPN dan SPT tahunan
Pajak Keluarsn, Bukti Kas, dan Debit Nota,Kontrak Jual Beli atau
service,PO,Bukti penyerahan Barang atau Jasa, yang berkenaan dengan
objek PPN.
berupa pendapatan atau omzet diledger dengan SPT masa PPN. Bila
ternyata pendapatan ledger lebih besar berarti ada penyerahan jasa yang
diledger lebih kecil ada indikasi pendapatan yang belum dicatat dalam
pembukuan.
\
1.2.9. Tanggung Jawab Renteng
perubahan, yang terakhir melalui Pasal 16 F UU PPN No.42 tahun 2009, yakni:
Contoh
Pada tahun 2006 pemeriksa pajak dari KPP A melakukan pemeriksaan SPT
Masa PPN untuk masa pajak januari sampai desember 2004 dari KPP D, ditemukan
fakta bahwa KPP D dalam suatu masa pajak melakukan penyerahan BKP dengan
harga jual Rp 300 juta, ternyata tidak membuat faktur pajak. Berdasarkan hasil
bunga sebesar 2% per bulan, dan denda 2% dari dasar pengenaan pajak karena PKP
Pada tahun 2007, pemeriksa pajak dari KPP B tempat PKP E dikukuhkan
sebagai PKP melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN masa pajak Januari sampai
Desember 2004, ditemukan fakta dari pembukuannya bahwa ketika dalam suatu
masa pajak PKP E membeli BKP dari PKP D tapi tidak membayar PPN. Hal ini
diyakini oleh pemeriksa karena PKP E tidak dapat menunjukkan Faktur Pajak
sebagai bukti bahwa dia telah membayar PPN kepada PKP D. Berdasarkan hasil
jawab renteng yang pada waktu itu diatur dalam pasal 33 UU KUP. Dalam SKPKB
ini ditagih pokok pajak sebesar Rp 30 juta (yakni 10% x Rp 300juta), ditambah
jawab renteng ini berlaku bagi pihak pembeli maupun penjual. Dalam memori
pembayaaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan aatas barang mewah ada pada pembeli atau konsumen barang atau
penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen
barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang
terutang aapabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih
kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat
pemberi jasa .”
1) Sanksi perpajakan untuk satu objek pajak PPN dikenakan lebih dari satu
sesuai dengan karakter legal dari PPN yang bersifat non kumulatif, yaitu
2) Sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak konsumsi atau pajak tidak
perpajakkan dari PPN, yang tidak dipungut dan disetor oleh penjual)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 27/PJ/2010 tentang Tata Cara Pengisian Surat
Setoran Pajak, Pelaporan, Danpengawasan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilaiatas
Kegiatan Membangun Sendiri. (2010).
Pohan, Chairil Anwar. (2018). Manajemen Perpajakan: Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. (2008).