Anda di halaman 1dari 28

RINGKASAN MATERI

“TAX PLANNING PPN”

Disusun Untuk Menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Manajemen Perpajakan

Oleh :

Arsyad Ramadhani 1610313210009

Sonia Rita Santoso 1610313320057

Yosua Eko Halim 1610313210062

Dosen Pengampu:

Yohana Yustika Sari, S.E, M.S.A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2019
RINGKASAN MATERI

“TAX PLANNING PPN”

1.1. PENDAHULUAN

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan atas

transaksi jual-beli barang/jasa kena pajak yang dilakukan oleh wajib pajak yang telah menjadi

pengusaha kena pajak (PKP). PPN merupakan pajak yang bersifat tidak langsung dikarenakan

pembebanan pajak dibebankan pada konsumen akhir, sedangkan pengusaha hanya bertindak

sebagai pemungut. Sesuai ketentuan perpajakan, pengusaha kena pajak harus menyetor dan

melaporkan PPN yang telah dipungut dari konsumen (Pohan 2018:182).

PPN merupakan pajak yang objektif yang mengandung pengertian bahwa kewajiban

perpajakan ini timbul saat ada objek pajak tanpa mempertimbangkan subjek pajak. UU PPN No.8

Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU PPN No.42 Tahun 2009

(Pasal 4 ayat 1, Pasal 16C dan Pasal 16D) menyatakan bahwa objek PPN adalah:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean

yang dilakukan oleh pengusaha.

2. Impor Barang Kena Pajak.

3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

Pabean.

4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

5. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh

Pengusaha Kena Pajak (PKP).


6. Kegiatan membangun sendiri diluar kegiatan usaha atau pekerjaannya yang digunakan

untuk tempat tinggal atau tempat usaha.

7. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualnelikan, sepanjang

PPN pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

Dalam PPN terdapat istilah Pajak masukan dan Pajak keluaran. Pajak masukan merupakan

pajak yang harus dibayarkan oleh PKP atas transaksi pembelian BKP/JKP dari pihak lain yang

juga merupakan PKP, sedangkan Pajak keluaran merupakan pajak terutang yang wajib dipungut

oleh PKP saat makukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor

Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud / ekspor Jasa Kena Pajak.

Dalam penerapan pungutan PPN, PKP mengkreditkan Pajak masukan dan Pajak keluaran dalam

suatu masa pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut Pajak keluaran lebih besar dari

Pajak masukan maka status SPT Masa PPN menjadi kurang bayar, sebaliknya jika Pajak keluaran

lebih rendah dari Pajak masukan maka status SPT Masa PPN menjadi lebih bayar.

1.2. PERENCANAAN PPN

Dalam melakukan perencanaan PPN, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, yaitu

sebagai berikut (Pohan 2018:184):

1.2.1. Memaksimalkan Mekanisme Pengkreditan PPN

Dalam UU PPN diatur bahwa pengkreditan Pajak Masukan dapat dilakukan atas

transaksi pembelian barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dilakukan dengan pengusaha

kena pajak (PKP). Perusahaan sebaiknya melakukan pembelian BKP/JKP dengan pengusaha

yang telah menjadi PKP agar pajak masukan dapat dikreditkan dengan pajak keluarannya.
Keberadaan Pajak masukan dan Pajak keluaran merupakan hal yang tidak dapat

dipisahkan dari pelaporan PPN dikarenakan akan menentukan status pembayaran apakah lebih

bayar atau kurang bayar. Apabila Pajak keluaran lebih besar dibanding Pajak masukan maka

status pembayaran menjadi kurang bayar, sebaliknya jika Pajak masukan lebih besar dibanding

Pajak keluaran maka status pembayaran menjadi lebih bayar. Hal yang dapat dilakukan oleh

tax manager adalah memaksimalisasi pengkreditan Pajak masukan.

Untuk memaksimalisasi pengkreditan Pajak masukan, tax manager perlu memahami

ketentuan terkait Pajak masukan yang dapat dikreditkan dan tidak. Pajak masukan yang dapat

dikreditkan adalah pajak masukan yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi,

pemasaran, dan manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya adalah faktur pajak standar

atau dokumen yang disamakan dengan faktur pajak standar. Pajak masukan yang tidak dapat

dikreditkan antara lain (Pohan 2018:185):

1). Sebelum dikukuhkan menjadi PKP.

2). Faktur pajak sederhana.

3). Faktur pajak cacat.

4). Pajak masukan atas transaksi pembelian mobil sedan, jeep, station wagon, van, dan

combi.

5). Pajak masukan berkaitan dengan produksi BKP/JKP.

6). Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan usaha

atas BKP.

7). Pajak masukan yang dilaporkan pada SPT masa PPN, yang ditemukan pada saat

pemeriksaan atau yang ditagih melalui SKP.


Mekanisme Pengkreditan dan Pelaporan PPN

Pengenaan PPN atas suatu barang atau jasa kena pajak saat ini dilakukan dengan

sistem faktur, sehingga setiap transaksi jual-beli BKP/JKP harus dibuatkan faktur pajak

yang akan digunakan sebagai bukti pungutan pajak. PPN sebagai pajak tidak langsung

membebankan kembali Pajak masukan yang telah dibayarkan perusahaan kepada

konsumen akhir menjadi Pajak keluaran. Pemungutan PPN kembali kepada konsumen

dikenal dengan mekanisme Indirect Subtraction Method (PK-PM).

Perusahaan yang memungut PPN berkewajiban melakukan penyetoran dan

pelaporan atas PPN tersebut. Saat melakukan pelaporan, perusahaan diperkenankan

melakukan pengkreditan Pajak masukan berdasarkan ketentuan umum pengkreditan pajak

masukan yang telah diatur dalsm Pasal 9 UU NO.42 Tahun 2009, yakni:

1) Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa pajak yang

sama.

2) Apabila terdapat Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum

dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada masa pajak yang sama maka diberikan

toleransi untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan pada masa pajak

selanjutnya paling lambat 3 bulan setelah masa pajak yang bersangkutan

berakhir, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan

pemeriksanaan.

3) Jika dalam suatu masa pajak belum terdapat Pajak Keluaran, Pajak Masukan

yang ada tetap dapat dikreditkan.


PPN Masukan dapat dikreditkan apabila:

a. Memenuhi ketentuan formal, yaitu:

i. Secara formal harus berbentuk faktur pajak atau dokumen yang

diperlakukan sebagai faktur pajak diisi selengkapnya dan tidak cacat.

ii. Harus memperhatikan ketentuan pasal 9 ayat (8) UU PPN, yang

menentukan bahwa pajak masukan tidak dapat dikreditkan bagi

pengeluaran untuk:

iii. Peroleha BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.

iv. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung

dengan usaha.

v. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor, sedan, jeep, station

wangon, van, dan combi, kecuali merupakan barang dagangan atau

disewakan.

vi. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah

pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.

vii. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya berupa faktur pajak

sederhana.

viii. Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5).

ix. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah

pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 13 ayat (6).


x. Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan

ketetapan pajak.

xi. Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam

surat pemberitahuan masa PPN, yang diketemukan pada waktu pad weaktu

pemeriksaan.

xii. Meskipun PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan

distribusi perusahaan , pada prinsipnya tidak terjadi pemungutan pajak

berganda, karena pengusaha kena pajak (penjual) hanya wajib menyetor

sebesar selisih antara PK dengan PM sebagaimana dijelaskan di atas.

b. Memenuhi ketentuan material, yaitu:

i. Pajak masukan yang dibayarkan atas perolehan BKP/JKP yang

berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yang meliputi kegiatan

produksi, manajemen, distribusi, dan pemasaran.

ii. Selain itu pajak masukan juga mesti didukung bukti pengeluaran

berupa invoice dan kwitansi pembayaran yang menyatakan bahwa transksi

sudah dipungut PPN (bukan transaksi fiktif).

iii. Berkaitan dengan ketentuan perpajakan dibidang PPN tersebut diatas, perlu

diperhatikan hal-hal berikut ini:

iv. Cek secara teliti faktur pajak masukan yang diterima sebelum melakukan

pembayaran. Perlu diperhatikan persyaratan formal faktur pajak yang dapat

dikreditkan agar tidfak menimbulkan kerugian bagi perushaan.


v. Cek secara teliti apakah semua pajak masukan yang ditransaksikan telah

memiliki bukti pendukung yang cukup kuat sebagai pajak masukan yang

dapat dikreditkan sesuai peraturan perpajakan.

vi. Berkaitan batas waktu tiga bulan masa pengkreditan, usahakan faktur pajak

sudah diterima sebelum lawat tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak,

kecuali untuk pemungut PPN.

vii. Makin cepat menerima faktur pajak dari pembelian barang, maka akan lebih

baik bagi perusahaan karena perusahaan sudah dapat mengkreditkannya

walaupun belum melakukan pembayaran.

viii. Cek secara teliti pelaporan ke kantor pajak, terutama untuk pemohonan

restitusi karena lebih bayar pajak masukan .bila ada faktur pajak yang tidak

disetujui , segera lakukan tindakan perbaikan sebelum dilakukannya closing

conference hasil pemeriksaan permohonan restitusi PPN tersebut, misalnya

dengan meminta pengganti faktur pajak yang cacat dari pembeli barang.

Faktur Pajak

Sebagaimana telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, pengenaan PPN saat ini

dilakukan dengan sistem faktur. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak yang

dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP, atau bukti pungutan pajak

karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Secara

umum, terdapat 3 jenis faktur pajak yaitu faktur pajak, faktur pajak gabungan dan

dokumen tertentu yag dipersamakan sebagai faktur pajak.

Perusahaan perlu memberhatikan tata cara pembuatan faktur pajak agar tidak

dikenai sanksi perpajakan. Pasal 14 ayat (4) UU KUP menyatakan keterlambatan atau
kekeliruan dalam pembuatan faktur pajak dapat dikenai sanksi berupa denda sebesar

2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Saat pembuatan faktur pajak

1) Saat terutang pajak, yaitu saat penyerahan barang. Jika pembayaran mendahului

penyerahan barang maka faktur pajak dapat dibuat pada saat pembayaran.

Dengan menerapkan pengaturan seperti ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi

membuat invoice yang berbeda dengan faktur pajak.

2) Satu bulan setelah masa pajak berakhir. Saat penyetoran PPN dan Pelaporan

SPT Masa PPN dapat ditunda menjadi satu bulan setelah masa pajak berakhir

untuk membantu likuiditas Wajib Pajak.

3) Untuk faktur pajak gabungan dapat dibuat paling lambat pada akhir bulan

penyerahan BKP dan/atau JKP. Untuk meringankan beban administrasi,

Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat faktur pajak gabungan paling

lama pada akhir bulan penyerahan BKP/JKP, meskipun dalam bulan

penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.

Contoh Kasus (Untuk poin nomor 3)

-Kasus 1

PKP A melakukan penyerahan BKP kepada PKP B tanggan 01, 05, 10,11

12, 20, 25, 28 dan 31 Juli 2010, belum ada pembayaran sama sekali. Dalam

kasus ini, PKP A diperkenankan melakukan pembuatan 1 faktur pajak

gabungan atas seluruh transaksi bulan Juli 2010, paling lambat 31 Juli 2010.
-Kasus 2

PKP A melakukan penyerahan BKP kepada PKP B tanggan 02, 07, 09, 10,

12, 20, 26 28, 29, dan 30 September 2010. Diketahui bahwa pada tanggan 28

September 2010, PKP B melakukan pembayaran atas penyerahan barang

tanggal 02 September 2010. Jika PKP A menerbitkan faktur pajak gabungan,

maka faktur pajak gabungan sebaiknya dibuat pada tanggal 30 September 2010

yang meliputi pembayaran dan penyerahan pada bulan september.

-Kasus 3

Kasus serupa dengan kasus 2, namun pada tanggal 28 September 2010,

selain melakukan pembayaran atas pernyerahan barang tanggal 02 September

2010, PKP B juga melakukan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang

akan dilakukan pada bulan Oktober 2010. Dalam kasus ini, maka PKP A

sebaiknya membuat faktur pajak gabungan pada 30 September 2010 untuk

penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan september.

Penundaan Pembuatan Faktur Pajak

1) Pembuatan faktur pajak dapat ditunda sampai akhir bulan berikutnya apabila

pembayaran atas penjualan BKP/JKP belum diketahui. Penundaan pembuatan

faktur pajak dapat memberikan keuntungan bagi PKP karena PKP tidak perlu

menalangi pembayaran PPN (Hal ini masih dalam legalitas selama sesuai batas

waktu yang telah ditetapkan UU).

2) Berkaitan dengan kasus pada poin 1, PKP sebaiknya menetapkan syarat

pembayaran yang ideal, yaitu tidak lebih dari 45 hari setelah penyerahan

BPK/JKP. Jika pembayaran baru diterima PKP setelah lewat 45 hari, PKP
penjual harus menalangi pembayaran PPN ke kas Negara. Oleh karena itu,

sebaiknya PKP penjual menetapkan syarat pembayaran ideal yang ideal tidak

lebih dari 45 hari.

Saat Terutangnya PPN

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2009 menyatakan bahwa

utang PPN timbul saat:

1) Telah terjadi penyerahan BKP/JKP dari PKP meskipun pembayaran atas

penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada

saat impor BKP.

2) Dalam hal pembayaran telah diterima sebelum penyerahan BKP/JKP maka saat

terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.

Pemahaman saat terutang PPN penting dalam perencanaan pajak dikarenakan

dapat mempengaruhi cash flow perusahaan. PPN dan PPn BM yang terutang dalam

satu masa pajak, harus disetor paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya

Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan.

Contoh Kasus Perencanaan Pajak dengan Memperhatikan Saat Terutang PPN

PKP A mengikat kontrak dengan PKP B pada tanggal 20 Maret 2012 dengan

detail perjanjian sebagai berikut:

 Nilai Kontrak : Rp 500.000.000,-

 Tanggal Awal Penyerahan Barang : 25 Maret 2012

 Tingkat Bunga : 12% per tahun


Pertanyaannya: Keputusan apa yang bisa dilakukan PKP A?

 Apakah penyerahan barang dilakukan pada 25 maret 2012 dengan

konsekuensi faktur pajak harus diterbitkan tanggan 25 maret 2012 dan

pembayaran PPN harus dilakukan pada tanggal 30 Maret 2012.

 Melakukan negosiasi agar penyerahan barang dapat dilakukan pada awal

bulan april 2012 dengan konsekuensi penerbitan faktur pajak dapat ditunda

ke bulan April dan penyetoran PPN dapat ditunda selama 1 bulan hingga 30

April 2012.

PPN Terutang : Rp500.000.000,-

Nilai sekarang (present value) dari uang sebesar Rp50juta yang harus disetorkan ke Kas Negara atas PPN

Terutang Rp50 juta:(1+0,01) : Rp 49.500.000,-

Total Penghematan Pajak : Rp 500.000,-

Jawabannya: Untuk meningkatkan cash flow perusahaan, maka pilihan

alternatif kedua dapat dipilih karena perusahaan dalam bulan maret 2012 dapat

menghemat kas sebesar Rp500.000,-

Batas Waktu Penyetoran PPN

Mengetahui batas waktu penyetoran PPN sangat penting dalam

perencanaan pajak agar perusahaan terhindar dari sanksi administrasi perpajakan.

Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, keterlambatan penyetoran PPN dikenakan

denda 2% dari PPN terutang dan keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN

dikenakan sanksi denda sebesar Rp500.000,-


Sesuai Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 14/PJ./2010, batas waktu

penyetoran PPN dan pelaporan PPN pada SPT Masa PPN adalah:

 PPN dan PPnBM yang terutang pada satu Masa Pajak, harus disetor paling

lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa pajak dan seebelum

SPT Masa PPN di sampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran

bertepatan dengan hari libur termasuk haari sabtu atau hari libur nasional,

penyetoran dapat di lakukan pada hari kerja berikutnya.

 SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya

setelah berakhirnya Masa pajak. Dalam hal akhir bulan adalah hari libur

termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka SPT Masa PPNdapat di

sampaikan pada hari kerja berikutnya.

1.2.2. Memaksimalkan Fasilitas dibidang PPN

Sejak diberlakukannya UU No.36 tahun 2008, fasilitas di bidang PPN yang

dikenal dalam ketentuan PPN adalah PPN Tidak dipungut, PPN Dibebaskan, dan

PPN ditanggung pemerintah. Perbedaan jenis fasilitas ini menyebabkan perbedaan

ketentuan pengkreditan pajak masukan. Beberapa fasilitas yang disediakan

pemerintah terkait PPN, yakni:

1) Fasilitas PPN tidak dipungut

2) Fasilitas PPN dibebaskan

3) Fasilitas PPN ditanggung pemerintah


Dengan memanfaatkan fasilitas dibidang PPN, perusahaan akan mendapat

manfaat berupa berkurangnya jumlah yang harus dibayar oleh pembeli terhadap

barang yang dibeli dari penjual setidaknya 10% dari harga jual, dan tentunya

dengan penurunan jumlah pembayaran tersebut akan memepengaruhi harga jual

barang perusahaan.

1.2.3. Sentralisasi Pengenaan PPN

Sentralisasi tempat terutangnya PPN pada dasarnya dapat dimanfaatkan

oleh PKP untuk menghemat biaya administrasi dan mengatur cash flow perusahaan

agar menjadi lebih bauk dalam melaksanakan hak dan kewajiban dibidang PPN.

Dalam menetapkan apakah perusahaan akan melakukan pemusatan tempat

terutang, Wajib Pajak perlu memahami keputusan mana yang lebih menguntungkan

bagi Wajib Pajak tersebut. Hal ini disebabkan Pasal 1A ayat f UU PPN yang

menyatakan bahwa penyerahan BKP/JKP dari pusat ke cabang maupun sebaliknya

tetap termasuk dalam definitif penyerahan Barang Kena Pajak. Dalam praktiknya,

memang terdapat pengecualian atas peraturan ini dengan tujuan mempermudah

administrasi perpajakan dengan kriteria tertentu yang memiliki lebih dari satu

tempat untuk melakukan penyerahan BKP/JKP. Untuk wajib pajak dengan kritetia

tersebut maka dapat mengajukan permohonan Sentralisasi Tempat PPN Terutang

kepada Kanwil DJP setempat degan ketentuan:

1) PKP yang terdaftar pada KPP Wajib Pajak besar dapat melakukan

sentralisasi otomatis sesuai KEP-335/PJ.2002. PKP yang memiliki

tempat lebih dari satu tempat kegiatan usaha dapat melakukan


sentralisasi tempat terutang pajak untuk seluruh tempat kegiatan

usahanya.

2) PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang (selain butir a)

dapat memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan

PPN Terutang. Dalam hal PKP memilih 1 (satu) tempat atau lebih

sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang, PKP dimaksud harus

menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor

Wilayah dengan tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya

meliputi tempat-tempat PPN Terutang yang akan dipusatkan (PER-

19/PJ/2010).

1.2.4. Memaksimalkan Restitusi PPN

Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek PPN memiliki hak untuk melakukan

pengkreditan Pajak masukan sesuai ketentuan yang berlaku. Apabila dalam suatu

Masa Pajak status pembayarannya adalah Lebih Bayar, PKP diperkenankan

mengkompensasikan kelebihan pembayaran pajak tersebut ke Masa Pajak

berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak dengan

kriteria tertentu yang kemungkinan Lebih Bayarnya secara mekanisme PPN akan

lebih tinggi diperkenankan untuk restitusi disetiap Masa Pajak.

Keputusan untuk restitusi atau kompensasi merupakan keputusan yang

perlu dipertimbangkan dengan baik berdasarkan kondisi Wajib Pajak itu sendiri.

Pertimbangan ini biasanya terkait dengan biaya pemeriksaan dan opportunity cost

yang timbul dari kelebihan pajak yang ada di negara. Keputusan untuk restitusi

akan dilakukan apabila berdasarkan penilaian, nilai opportunity cost lebih besar
dibanding biaya pemeriksaan. Pertimbangan atas setiap keputusan menjadi sangat

penting mengingat bahwa restitusi pajak dapat meningkatkan likuiditas perusahaan

yang dapat membantu kinerja perusahaan.

Beberapa pertimbangan yang menjadi kriteria umum manajemen dalam

memutuskan perlu tidaknya mengajukan permohonan restitusi:

1) Bila nilai lebih bayar PPN material, maka kebijakan untuk melakukan

restitusi pajak perlu dipertimbangkan. Hal ini dikarenakan semakin

besarnya jumlah lebih bayar yang ada dalam SPT Masa PPN,

opportunity cost yang hilang juga akan semakin besar jika tidak

direstitusi.

2) Apabila perusahaan mengalami masalah pada likuiditas keuangan,

restitusi PPN dapat dijadikan salah satu sarana untuk memperbaiki

likuiditas perusahaan dibanding mengajukan permohonan kredit

perbankan. Likuiditas keuangan merupakan salah satu aspek yang perlu

dipertimbangkan dalam memutuskan perlu tidaknya dilakukan restitusi,

apabila tingkat likuiditas keuangan perusahaan tinggi, maka kebutuhan

untuk restitusi juga akan semakin rendah.

3) Kesiapan perusahaan untuk diperiksa fiskus.

4) Prediksi masa depan PPN menunjukkan lebih bayar PPN

a. Jika diprediksi bahwa lebih bayar PPN tersebut tidak dapat

dikompensasikan dengan Pajak Keluaran yang akan terutang

dimasa mendatang, maka kebijakan restitusi perlu

dipertimbangkan.
b. Sebagai tindakan preventif, perlu dilakukan penataan ulang

kebijakan manajemen mengenai pembelian dan penjualan, dan

juga pembayarannya untuk menentukan titik keseimbangan agar

tidak terjadi lebih bayar/kurang bayar yang signifikan.

1.2.5. Membangun Sendiri dalam Kegiatan Usaha

Peraturan Dirjen Pajak No.27/PJ./2010 Pasal 1 menyatakan bahwa kegiatan

membangun sendiri untuk tempat tinggal atau tempat usaha oleh orang pribadi atau

badan yang digunakan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dengan kondis luas

bangunan 200m2 atau lebih, bangunan Permanen, tarif 10% x 40% x biaya

bangunan (tanpa harga tanah) dan Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan

berikutnya sejak pembangunan dimulai. Dapat disimpulkan bahwa peraturan ini

menyatakan bahwa pembangunan gedung baik untuk tempat tinggal maupun

tempat usaha sama-sama dikenakan PPN.

Dalam kasus ini, tindakan yang dapat dilakukan oleh badan adalah

memanfaatkan tarif efektif 4% (Pohan 2018:403). Dalam pembangunan gedung

biasanya akan terdapat dua alternatif, membangun dengan jasa konstruksi atau

membangun sendiri. Kedua alternatif tersebut tentu masih sama-sama dikenakan

PPN. Apabila pembangunan bangunan dilakukan oleh jasa konstruksi, perusahaan

konstruksi akan memungut PPN sebesar 10% namun dengan melakukan

pembangunan sendiri PPN yang dikenakan dapat ditekan.


Ilustrasi Tax Planning PPN: Manfaatkan Tarif Efektif 4%

Suatu lembaga nirlaba melakukan investasi pembagunan gedung untuk

sarana-prasarana pendidikan dengan harapan mendapat fasiltias PPh Badan 0%.

Sisa lebih dana yang akan diinvestasikan untuk pembangunan gedung adalah

sebesar Rp3 Miliar. Terdapat alternatif terkait siapa yang akan melakukan

pembangunan dan dampaknya terhadap pengenaan PPN

1) Menggunakan Jasa Konstruksi. Apabila yayasan menggunajan jasa

konstruksi yang sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka perusahaan

konstruksi pasti akan memungut PPN 10%. Perlu diketahui bahwa

lembaga pendidikan bukanlah badan yang dikukuhkan menjadi PKP

sehingga pajak masukan tidak dapat dikreditkan. Apabila menggunakan

jasa konstruksi artinya lembaga nirlaba harus siap membayar PPN

sebesar Rp300 Juta.

2) Membangun sendiri. Jika lembaga nirlaba memutuskan membangun

sendiri, pembayaran PPN dapat ditekan. Berdasarkan pasal 3 Peraturan

Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ./2010, PPN atas kegiatan

membangun sendiri dikenakan sebesar 10% x 40% x DPP. Dengan

ilustrasi seperti poin sebelumnya, beban pajak atas PPN pembangunan

bangunan dapat ditekan menjadi Rp120 Juta (10% x 40% x Rp3 Miliar).
1.2.6. PPN atas Barang Gratis Untuk Keperluan Promosi

Kejadian ini sering terjadi dalam praktik marketing strategy perusahaan,

baik perusahaan lama maupun yang baru berdiri. Kebijakan pemberian barang

gratis seperti ini diharapkan dapat membuat calon konsumen tertarik untuk

membeli produk perusahaan tersebut. Akan tetapi, perusahaan harus

memperhatikan dampak dari pemberian barang gratis ini dari sudut pandang

peraturan perpajakan agar implementasi sistem promosi perusahaan tidak

menambah beban perusahaan.

UU Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan menyatakan bahwa

pemberian barang gratis merupakan bagian dari pemberian natura, sehingga

pemberian ini tidak dapat dibiayakan (nondeducitble expenses). Karena sifat

promosi ini tidak dapat dibiayakan, maka perlu dilakukan alternatif lain beban

pajak yang ditanggung perusahaan dapat diturunkan.

Sebagai contoh, perusahaan PT ABC yang bergerak dibidang penerbitan

surat kabar. Dalam rangka penetrasi pasar, karena perusahaan ini masih baru,

manajemennya mengambil kebijakan dalam rangka sales promotion memberikan

surat kabar secara gratis kepada pelanggan dan calon pelanggan, katakanlah

sebulan lamanya. Pertanyaannya : Bagaimana tax planningnya, mana yang lebih

menguntungkan, apakah langsung membayar PPN atas pemberian cuma-cuma

tersebut atau pemberian cuma-cuma tersebut diperlakukan sebagai potongan harga?


Sebagai ilustrasi, PT ABC menjual surat kabar ke pelanggannya dalam

bulan oktober 2008 :

Cara –I:
Penjualan 2.000 Eksemplar @Rp 4.000 : Rp. 8.000.000
PPN 10% : Rp. 800.000
Harga yang di faktur: Harga Jual + PPN : Rp. 8.800.000

 Bila dalam bulan tersebut terdapat pemberian cuma-cuma sebanyak


200 eksemplar, maka akan dikenakan PPN 10% dari harga
pokoknya(misalkan harga pokoknya @Rp. 2.500/eks).
 Tambahan beban PPN atas pemberian cuma-cuma: 10% x 200 eks x
Rp. 2.500 = Rp. 50.000.

Bila cara I ini yang ditempuh, maka dalam bulan Oktober 2008 tersebut PT.

ABC harus menyetorkan pembayaran PPN ke Kas Negara sebesar Rp. 850.000.

Tax Planning-nya :

Bila PT. ABC mau menghemat pajak atas pemberian cuma-cuma tersebut,

maka hal ini dapat dilakukan dengan cara mengubah invoicing atau pemakturan

dalam faktur pajaknya sebagai berikut :

Cara II :
Penjualan 2.200 Ekssemplar @Rp. 4.000 : Rp. 8.800.000
Diskon : Rp. 800.000
Dasar Pengenaan Pajak : Rp. 8.000.000
PPN 10% : Rp. 800.000
Harga yang di faktur : Harga Jual + PPN : Rp. 8.800.000
Keuntungannya (cara II) :

 Bagi PT. ABC atau penjual, tidak perlu harus bayar PPN tambahan sebesar

Rp. 50.000 atas pemberian cuma-cuma itu. Cara ini menghemat cash

flow perusahaan karena mengurangi PPN terutang yang harus dibayar pada

bukan berikutnya.

 Bagi pembeli atau distribustor, tidak ada dampaknya terhadap harga yang

harus dibayar karena dengan pembayaran yang sama (Rp. 8.800.000)

mereka memperoleh jumlah ekspemlar yang sama (2.200 eksemplar).

Namun secara administratif, cara II ini lebih memenuhi aspek system

internal control bagi kedua belah pihak. Khususnya bagi pembeli atau distributor

karena harga pokok pembelian barang cuma-cuma tersebut terdokumentasikan

secara intra-komtabel dalam faktur pembelian barang.

1.2.7. Penjagaan Cash Flow

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk melakukan perencanaan

pajak dalam rangka meningkatkan efisiensi pajak dana keuangan perusahaan:

1) Menyegerakan pengajuan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak(NPPKP) pada

perusahaan yang baru berdiri.

2) Memilih mendirikan perusahaan di lokasi yang mendapat fasilitas perpajakan

PPN. Sebagai contoh, perusahaan berorientasi ekspor sebaiknya mendirikan

perusahaan di Pulau Batam (kawasan berikat), yang memiliki fasilitas


perpajakan dibidang PPN seperti PPN masukan atas bahan baku

impor(ditanggung pemerintah) dan PPN keluaran untuk ekspor sebesar 0%.

3) Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan proses

produksi (just in time).

4) Mengajukan permohonan sentralisasi PPN bagi perusahaan yang mempunyai

kantor cabang..

5) Penanganan Faktur Pajak dengan baik untuk menghindari sanksi perpajakan.

1.2.8. Pengendalian PPN

Pengendalian PPN perlu dilakukan dalam rangka memastikan perencanaan

pajak yang direncanakan telah berjalan sesuai perencanaan namun tetap sesuai

koridor hukum perpajakan. Proses pengendalian ini disebut juga dengan Tax

Review. Beberapa pengendalian yang perlu dilakukan perusahaan, antara lain:

1) Review waktu penerbitan faktur pajak.

2) Periksa apakah PPN masukan atas pembelian berhubungan dengan kegiatan

usaha atau bisnis perusahaan dan telah dikreditkan dengan PPN keluaran.

3) Review penyiapan PST masa PPN.

4) Memastikan memiliki system filing atau penyimpanan dokumen PPN yang

cukup untuk dapat menghadapin pemeriksaan pajak dengan baik.

5) Hasil ekualisasi harus dapat menjelaskan berkaitan dengan perbedaan

antara penjualan yang dilaporkan pada SPT PPh badan dengan penjualan

yang di laporkan pada SPT masa PPN.


Dengan melakukan Tax review, diharapkan dapat mengendalikan beban

pajak perusahaan yang diakibatkan tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan

dengan benar dan tepat

Tujuan Tax Review

1) Untuk Mengetahui sejau mana unit bisnis melakukan pemenuhan

kewajiban perpajakan PPN-nya, sesuai dengan peraturan perpajakan.

2) Meminimalisasi terjadi transaksi berkaitan dengan PPN yang dapat

menimbulkan risiko permasalahan perpajakan.

3) Meminimalisasikan sanksi perpajakan PPN yang diakibatkan kesalahan

pencatatan yang dilakukan oleh unit bisnis dan memperbaikinya

4) Agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu yang

akan datang.

5) Mempersiapakan unit bisnis dalam menghadapi pemeriksaan yang

dilakukan oleh pihak fiskus.

Prosedur Tax Review

1) Melakukan kegiatan monitoring berupa penelitian data yang telah

dikirimkan oleh unit bisnis, yaitu SPT masa PPN dan SPT tahunan

badan, buku besar(ledger), laporan keuangan, meliputi hal teknik

pengisian dan perhitungannya. Dari data ledger, dilakukan ekualisasi

dengan SPT masa PPN.

2) Meminta bukti atau dokumen pendukung untuk di cross cek terhadap

objek PPN, seperti Invoice Penjualan, Faktur Pajak Masukan, Faktur

Pajak Keluarsn, Bukti Kas, dan Debit Nota,Kontrak Jual Beli atau
service,PO,Bukti penyerahan Barang atau Jasa, yang berkenaan dengan

objek PPN.

3) Merekonsiliasikan atau mengekualisasikan data objek-objek pajak

berupa pendapatan atau omzet diledger dengan SPT masa PPN. Bila

ternyata pendapatan ledger lebih besar berarti ada penyerahan jasa yang

tidak dilaporkan di SPT masa PPN, dan sebaliknya apabila pendapatan

diledger lebih kecil ada indikasi pendapatan yang belum dicatat dalam

pembukuan.

4) Dalam melakukan monitoring terhadap pelaporan SPT masa PPN

apakah sudah sesuai dengan data pembukuan baik dari transaksi

penjualan maupun pembelian barang dan jasa, maka contoh di bawah

ini akan memperlihatkan bagaimana teknik ekualisasi dapat

menemukan perbedaan anatara apa yang dilaporkan di SPT masa PPN

dengan data dari pembukuan.

5) Perbedaan tersebut harus segera ditelusuri penyebabnya sebelum

dilakukan tutup buku dan disampaikannya SPT tahunan, Badan

perusahaan tersebut Ke Kantor Pelayanan Pajak

\
1.2.9. Tanggung Jawab Renteng

Ketentuan atas tanggung jawab renteng telah mengalami beberapa kali

perubahan, yang terakhir melalui Pasal 16 F UU PPN No.42 tahun 2009, yakni:

“ Pembelian Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak


bertanggung jawabsecara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak
dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar”.

Contoh

Pada tahun 2006 pemeriksa pajak dari KPP A melakukan pemeriksaan SPT

Masa PPN untuk masa pajak januari sampai desember 2004 dari KPP D, ditemukan

fakta bahwa KPP D dalam suatu masa pajak melakukan penyerahan BKP dengan

harga jual Rp 300 juta, ternyata tidak membuat faktur pajak. Berdasarkan hasil

pemeriksaan ini, KPP A menerbitkan SKPKB terhadap PKP D disertai sanksi

bunga sebesar 2% per bulan, dan denda 2% dari dasar pengenaan pajak karena PKP

D menyerahkan BKP tidak membuat faktur pajak.

Pada tahun 2007, pemeriksa pajak dari KPP B tempat PKP E dikukuhkan

sebagai PKP melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN masa pajak Januari sampai

Desember 2004, ditemukan fakta dari pembukuannya bahwa ketika dalam suatu

masa pajak PKP E membeli BKP dari PKP D tapi tidak membayar PPN. Hal ini

diyakini oleh pemeriksa karena PKP E tidak dapat menunjukkan Faktur Pajak

sebagai bukti bahwa dia telah membayar PPN kepada PKP D. Berdasarkan hasil

pemeriksaan ini, KPP B menerbitkan SKPKB berdasarkan ketentuan tanggung

jawab renteng yang pada waktu itu diatur dalam pasal 33 UU KUP. Dalam SKPKB
ini ditagih pokok pajak sebesar Rp 30 juta (yakni 10% x Rp 300juta), ditambah

sanksi bunga sebesar 2% per bulan. (Untung sukarji, 2010:255-256)

Berdasarkan contoh tersebut, dapat diketahui bahwa ketentuan tanggung

jawab renteng ini berlaku bagi pihak pembeli maupun penjual. Dalam memori

penjelasannya di UU KUP tersebut dijelaskan bahwa “sesuai dengan prinsip beban

pembayaaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak

Penjualan aatas barang mewah ada pada pembeli atau konsumen barang atau

penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen

barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang

terutang aapabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih

kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat

menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau

pemberi jasa .”

Kesannya, ketentuan tanggung jawab renteng tersebut menimbulkan

ketidakadilan pajak, karena :

1) Sanksi perpajakan untuk satu objek pajak PPN dikenakan lebih dari satu

kali, di mana penjual dan pembeli sama-sama dikenakan. Ini tidak

sesuai dengan karakter legal dari PPN yang bersifat non kumulatif, yaitu

tidak menimbulkan pajak berganda.

2) Sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak konsumsi atau pajak tidak

langsung yang senantiasa menjaga sifat netralitasnya, maka tanggung

jawab pemungutan pajak (serta penyetoran dan pelaporannya) dalam hal

ini berada dipundak penjual yang melakukan penyerahan BKP/JKP,


sedangkan beban pajak itu sendiri memang menjadi tanggungan

pembeli BKP/JKP. Tapi apakah adil bila kesalahan dari penjual

dibebankan kepada pembeli (yang mesti ikut menanggung sanksi

perpajakkan dari PPN, yang tidak dipungut dan disetor oleh penjual)

paadahal pembeli sudah melaksanakan kewajiban pelunasan harga

BKP/JKP sesuai kesepakatan yang telah dicapai kedua belah pihak?

Dengan memperhatikan contoh kasus di atas, maka daalam melakukan tax

review, seorang tax manager perusahaan (PKP) harus melakukan pengawasan

secara lebih cermat dengan memastikan.


DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-387/PJ./2002 Tentang Pengenaan Pajak


Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Yang Dilakukan Tidak Dalam
Kegiatan Usaha Atau Pekerjaan Oleh Orang Pribadi Atau Badanyang Hasilnya Digunakan
Sendiri Atau Digunakan Pihak Lain. (2002).

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 27/PJ/2010 tentang Tata Cara Pengisian Surat
Setoran Pajak, Pelaporan, Danpengawasan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilaiatas
Kegiatan Membangun Sendiri. (2010).

Pohan, Chairil Anwar. (2018). Manajemen Perpajakan: Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. (2008).

Refrensi Selain Buku

www.online-pajak.com (diakses pada 06 Oktober 2019)

Anda mungkin juga menyukai