OLEH:
UNIVERSITAS WARMADEWA
JURUSAN AKUNTANSI
TAHUN 2019/2020
Tax Planning PPN
1. Pendahuluan
Langkah pembaruan dan penyempurnaan UU PPN No. 8 Tahun 1983 terus dilakukan
pemerintah semenjak tahun 1994, terakhir dengan diterbitkannya Undang – Undang PPN NO. 42
Tahun 2009, yang meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan PPN.
Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru
dalam UU PPN, namun sampai saat ini wajib pajak masih saja menemukan berbagai kendala
dalam melaksanakan UU PPN secara benar.
Sejak diterbitkannya UU PPN yang baru, ada beberapa peraturan dari Dirjen Pajak yang
dikeluarkan dan telah mengalami revisi –seperti terlihata di bawah ini- yang mengubah ketentuan
mengenai pembuatan kode Faktur Pajak Keluaran, saat terutang pajak, dan saat pembuatan Faktur
Pajak, pelaporan PPN secara manual atau melalui data elektronik (e-SPT), dan yang disampaikan
lewat e-filing, adanya kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan kode cabang atau
penandatangan Faktur Pajak.
PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang/jasa kena pajak d
dalam daerah pabean. Sesuai legal karakter dari PPN ini yang bersifat non kumulatif, maka dalam
perlakuan pajak-PPN tidak membolehkan terjadinya pajak berganda karena konsumen terakhirlah
yang harus menangung PPN ini. PPN juga memiliki karakteristik sebagai pajak objektif yang
mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak dibidang PPN sangat ditentukan oleh
adanya objek pajak.
Secara umum, mekanisme pemungutan PPN menggunakan mekanisme Indirect Subtraction
Method/Invoice Method (PM-PK), dan metode inilah yang terbaik dari metode lainnya dengan
alasan :
1. Adanya kewajiban membuat faktur pajak setiap transaksi, mengingat faktur pajak
merupakan bukti terpenting.
2. Memudahkan melakukan pemeriksaan, baik oleh pemeriksaan internal maupun fiskus.
3. Tidak perlu menentukan besarnya keuntungan untuk setiap barang yang dijual.
4. Kewajiban perpajakannya dapat dihitung setiap saat.
Perencanaan PPN
Pembahasan tentang perencanaan PPN ini difokuskan pada beberapa upaya berikut ini :
Perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari Pengusaha
Kena Pajak, supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan perlu mengamati dengan
cermat jangan sampai terdapat pajak masukan yang belum dikreditkan.
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Impor BKP.
3. Pemanfaatan BKP tidak terwujud atau JKP luar daerah di dalam daerah pabean.
4. Ekspor BKP oleh PKP.
Pengenaan PPN berdasar Sistem Fakturs ehingga setiap penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh
PKP harus dibuatkan faktur pajak.
Pajak keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungutoleh PKP yang melakukan
penyerahan BKP, penyerahan JKP , ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidakberwujud, dan atau
ekspor JKP.
Pajak masukan adalahPajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP
Karena perolehan BKP dan atau perolehan JKP dan atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar
daerah pabean dan atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan atau impor BKP.
Jika PK > PM, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar
Jika PK < PM, maka selisihnya merupakan kelebihanbayar PPN yang bisa dikompensasi
dengan Masa Pajak berikutnya atau dimintakan kembali (restitusi)
a. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk MasaPajak yang sama
b. Apabila terdapat PajakMasukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dijkreditkan dengan
Pajak Keluaran padaMasaPajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan , sepanajang belum
dibebankan sebagai beban dan belum dilakukan pemeriksaan.
c. Jika dalam suatu Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran ,maka Pajak Masukan dapat
dikreditkan.
1. Secara formal harus berbentuk Faktur Pajak atau dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur
Pajak, diisi selengkapnya dan tidak cacat
2. Harus memperhatiakan ketentuan pasal 9 ayat (8) UU PPN , yang menentukan bahwa Pajak
Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk :
a) Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
b) Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha
c) Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon , van , dan
kombi, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
d) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
e) Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak sederhana.
f) Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 ayat (5)
g) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dariluar Daerah Pabean yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat
(6)
h) Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan
pajak
i) Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa PPN, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan
Pajak Masukan yang dibayarkan atas perolehan BKP/JKP yang berhungan langusng dengan
kegiatan usaha , yang meliputi kegiatan produksi, manajemen, distribusi, dan pemasaran.
Selainitu, Pajak Masukan juga mesti didukung bukt ipengeluaran berupa invoice dan kuitansi
pembayaran yang menyatakan bahwa transaksi sudah dipungut PPN.
Berkaitan dengan ketentuan perpajakan dibidang PPN tersebut diatas, maka perlu
diperhatikan hal-halberikut ini:
Cek secara teliti Faktur Pajak Masukan yang diterima sebelum melakukan pembayaran. Perlu
diperhatikan persyaratan formal Faktur Pajak yang dapat dikreditkan agar tidak menimbulkan
kerugian bagi perusahaan.
Cek secara teliti apakah semua Pajak Masukan yang disaksikan telah memilki bukti
pendukung yang cukup kuat sebagai pajak masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan
peraturan perpajakan.
Berkaitan dengan batas waktu 3 bulan asa pengkreditan, usaha-usaha Faktur Pajak sudah
diterima seblum lewat 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak, kecuali untuk pemungutan
PPN
Makin cepat menrima Faktur Pajak dari pembelian barang. Maka akan lebih baik lagi bagi
perusahaan karena perusahaan sudah dapat mengkreditkannya walaupun belum melakukan
pembayaran.
Cek secata teliti semua pelaporan kekantor pajak, terutama untuk permohonan restitusi
Karena lebih bayar pajak masukan. Bila ada faktur pajak yang tidak disetujui, segera lakukan
tindakan perbaikan sebelum dilakukannya closing conference hasil pemeriksaan permohonan
restitusi PPN tesebut, misalnya dengan meminta pengganti faktur pajak yang cacat dari
pembeli barang.
3. Faktur Pajak
1. Faktur Pajak
2. Faktur Pajak gabungan
3. Dokumen tertentu yang di persamakan dengan Faktur Pajak
a. Untuk meringankan beban administrasi wajib pajak, saat yang tepat untuk membuatan Faktur
Pajak adalah saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan atau dalam hal pembayaran
mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
b. Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat peyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN
diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Faktur Pajak gabungan merupakan Faktur Pajak yang harus dibuat paling lambat pada akhir
bulan penyerahan BKP dan atau JKP.
Penundaan pembuatan Faktur Pajak
a. Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diketahui, pembuatan faktur
pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah penyerahan barang kena pajak atau
jasa kena pajak.
b. Berkaitan dengan hal ini, sebaiknya PKP penjual dalam menentukan syarat pembayaran yang
ideal, yaitu tidak lebih 45 hari setelah penyerahan BKPatau JKP .
Sesuai Peraturan Menkue No. 240/PMK.30/2009, saat terutangnya PPN ditetapkan sebagai berikut :
• Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang Mewah menganut
prinsip akrual
• Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP , atau dalam hal
pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tak Berwujud atau JKP dari
luar daerah Pabean.
Sesuai PER Dirjen Pajak No. 14/PJ./2010, batas waktu penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa
PPN ditetapkan sebagai berikut:
PPN dan PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Dalam
hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari
libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak. Dalam hal akhir bulan adalahhari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional, maka SPT Masa PPN dapat disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Sejak diberlakukannya UU Nomor 36 Tahun 2008, fasilitas dibidang PPN yang dikenal dalam
ketentuan PPN adalah PPN yang Tidak Dipungut, PPN Dibebaskan, dan PPN ditanggung pemerintah.
Bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN Tidak Dipungut, PPN masukan yang berhubungan dengan
perolehan BKP/JKP tidak dapat dikreditkan.
Fasilitas yang berkaitan dengan PPN adalah:
a. Atas impor barang, pemasukan BKP, pemgiriman hasil produksi, pengeluaran barang, penyerahan
kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) ke dan atau dari
kawasan berikat atau EPTE (PP 33 Tahun 1996 jo. PP 43 Tahun 1997 jo. PP 32 Tahun 2009
KMK 291/KMK.01/1997 jo. KMK 101/KMK.04/2005
b. Peraturan Menkeu No. 121/PMK.03/2009 tentang Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP oleh kontraktor utama dan
subkontraktor sehubungan dengan pelaksanaan proyek pemerintah untuk rehabilitasi dan
rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami yang
dibiayai dengan hibah luar negeri yang pelaksanaannya belum selesai sampai dengan tanggal 31
Maret 2009.
2. Fasilitas PPn Dibebaskan (PP 146 Thn 2000 jo. PP 38 Thn 2003)
a. Barang Kena Pajak Tertentu yang atas Penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai
b. Barang Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai adalah :
a. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama
mahasiswa dan pelajar, serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan setelah mempertimbangkan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
b. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat
angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan khusus
lainnya, serta suku cadangnya diserahkan kepada Departemen Pertahanan, TNI atau Polri, dan
komponen atau bahan yang diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi oleh PT
(Persero) Pindad untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI, atau Polri.
c. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
d. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
e. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penye
f. brangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkan ikan, kapal tongkang, dan kapal suku
cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia diserahkan kepada dan
digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan
Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan
Penyelenggra Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyebrangan Nasional, sesuai dengan
kegiatan usahanya.
g. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diserahkan kepada dan digunakan
oleh Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh
Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa
perawatan atau reparasi Pesawat Udara Kepada Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional.
h. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikian atau pemeliharaan serta
prasarana yang diserhakankepada dan digunakan oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia dan
komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh PT (Persero) Kereta
Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (Persero) Kereta
Api Indonesia.
i. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara
wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan Nasional yang diserahkan
kepada Departemen Pertahanan atau TNI.
c. Jasa Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai adalah :
1. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkatan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan
Naional, Perusahaan Penyelenggra Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyebrangan Nasional, yang meliputi:
a. Jasa Persewaan Kapal
b. Jasa Kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh.
c. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.
2. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi :
a. Jasa persewaan pesawat udara
b. Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.
3. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia.
4. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 angka 1 dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah.
5. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana.
6. Jasa yang diterima oleh Departmen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka
penyediaan data batas dan photo wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung
pertahanan nasional.
Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN digunakan tidak
sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain, baik sebagian atau
seluruhnya, dalam jangka 5 (lima) tahun sejak saat impor dan atau perolehan, maka PPN yang
dibebaskan wajib dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak Barang Kena Pajak tersebut
dialihkan penggunaannya atau dipindahkatangankan.
d. Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu Yang Bersifat Strategis (PP.12 Tahun 2001 jo.
PP 43 Tahun 2002 jo. PP 46 Tahun 2003)
1. Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa :
a) Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang
Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak
tersebut; barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang.
b) Makanan ternak unggas dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan
ternak, unggas, dan ikan.
c) Hasil pertanian
d) Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
penangkapan, atau perikanan.
e) Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air minum.
f) Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt.
g) Ternak, unggas, dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak,
unggas, dan ikan
h) Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
penangkaran, atau perikanan.
e. Fasilitas pemberian restitusi atau pembebasan PPN dan PPnBM bagi Perwakilan
Diplomatik Negara asing atau Badan Internasioanal serta Pejabat atau Tenaga Ahlinya
(KMK 25/KMK.01/1998).
f. Penyerahan Barang di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN. Pengusaha
di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PP No. 2 Tahun
2009)
1. Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.
2. Pemasukan Barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui
pelabuhan melalui Bandar udara yang ditunjuk.
3. Barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas Pemasukan barang dari Kawasan
Bebas lainnya ke Kawasan Bebas.
4. Pemasukan Barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas dan pengeluaran
Barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat.
a. Pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai oleh hibah atau dana pinajaman dari luar negeri
( PP 42 Tahun 1995 jo. PP 63 Tahun 1998 jo. PP 43 Tahun 2000 jo. PP 25 Tahun 2001).
b. Perfaturan Menkeu No. 22/PMK.011/2011 tentang pemberian PPN Ditanggung Pemerintah atas
impor barang untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi serta kegiatan usaha
eksplorasi panas bumi untuk tahun anggaran 2011.
Perlakuan PPN Atas Penyerahan Atau Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak (PP No. 2 Tahun 2009)
1. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah
Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN.
2. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak di dalam
3. Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari kawasan Bebas
ke Kawasan Bebas lainnya dibebaskan dari pengenaan PPN.
5. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari tempat lain
dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN.
6. Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak berwujud dari tempat
Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, tidak di pungut PPN.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak berwujud dari Kawasan Bebas
ke Tempat Penimbunan Berikat, dipungut PPN.
Untuk mendapatkan fasilitas di bidang PPN, pihak-pihak yang terkait perlu memperhatikan
beberapa hal berikut ini:
1. Perlakuan perpajakan yang terkait dengan fasilitas tersebut, mengenai interpretasi atas
ketentuan perpajakan yang berkaitan denga fasilitas di bidang PPN.
2. Persyaratan substantif dan administratif dari instansi pemerintahan terkait (Bea Cukai, KPP,
dan lain-lain) yang harus dipenuhi agar bisa mendapatkan fasilitas di bidang PPN.
3. Pemenuhan persyaratan administratif yang harus dilakukan berkaitan dengan permohonan
SKB, pembuatan Faktur Pajak dan sebagainya.
7. Sentralisasi Tempat PPN Terutang
Dalam Pasal 1A ayat f UU PPN disebutkan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat
cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang, termasuk dalam
pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Pengecualian dari ketentuan tersebut dengan tujuan untuk mempermudah administrasi
perpajakan , wajib pajak dengan kriteria tertentu yang memiliki lebih dari satu tempat untuk
melakukan penyerahan BKP/JKP dapat mengajukan permohonan Pemusatan/Sentralisasi Tempat
PPN Terutang kepada Kanwil DJP setempat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di KPP Wajib Pajak besar dapat melakukan
sentralisasi otomatis sesuai dengan KEP- 335/ PJ./2002. Dalam hal PKP tersebut mempunyai
satu atau lebih tempat kegiatan usaha, tempat terutang pajak untuk seluruh tempat kegiatan
usaha tersebut ditetapkan hanya di tempat PKP dikukuhkan oleh KPP Wajib Pajak Besar.
b. PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang (selain butir a) dapat memilih 1
(satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang, Dalam hal PKP memilih 1
(satu) tempat atau lehih sebagai Tempat Pemusatan PPN Turatang, PKP dimaksud harus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan
tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang
yang akan dipusatkan (PER-19/PJ/2010.
Syarat-syarat pengajuan sentralisasi bagi Pengusaha Kena Pajak yang memiliki lebih
dari satu tempat Pajak Pertambahan Nilai (PER-19/PJ./2010:
1. Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah
2. Tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak yang
berada di Kawasan berikut; Berada di Kawasan Ekonomi Khusus; mendapatkan fasilitas
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, tidak dapat di pilih sebagai Tempat Pemusatan PPN
Terutang atau Tempat PPN Terutang yg akan di pusatkan.
3. Pembeitahuann secara tertuis harus memenuhi persyaratan:
a. Memuat nama, alamat,dan NPWP tempat PPN Terutang yg dipilih ebagai tempat
pemusatan PPN terutang.
b. Memuat nama,alamat, dan NPWP tempat PPN Terutang yg di pusatkan.
c. Surat pernyataan bahwa administrasi penjualan di selenggarakan secara terpusat pada
tempat PPN terutang yg di pilih sebagai tempat pemusatan PPN terutang.
Sentralisasi Tempat terutangnya PPN tersebut pada dasar nya merupakan fasilitas yg bisa di
manfaatkan oleh PKP. Dengan izin sentralisasi, maka akan terdapat penghematan biaya administrasi
dan pengaturan cash flow perusahaan yg lebih baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang
PPN.
1. Bila besarnya PPN yang lebih bayar tersebut cukup signifikan/material Jumlahnya.
2. Bila kondisi keuangan perusahaan mengalami gangguan cash flow.
3. Bila sudah diyakini kesiapan perusahaan untuk diperiksa oleh fiskus.
4. Bila prediksi masa depan pembayaran PPN menunjukan lebih bayar PPN.
Membangun sendiri untuk tempat tggal atau tempat usaha oleh rang pribadi atau badan dikena PPN,
dengan kodisi:
Kejadian ini sering terjadi dalam praktik, baik pada saat perusahaan baru memulai kegiatan bisnisnya
maupun pada saat perusahaansudah berjala dan sebagai bagian dari implementasi marketing strategy
perusahaan mereka melakukan kegiatan promosinya untuk meningkatkan omset penjualan.
11. Penjagaan Terhadap Cash Flow Peruahaan
Saah satu tujan diaukannya perencanaan ajak oleh manajemen perusahaan adalah untuk menjaga
kesehatan cash flow. Berikut cara-cara yang aman dalam perencanaan pajak yang perlu diagendakan
oleh manajemen perusahaan untuk diaplikasikan dalam kerangka peningkatan efisiensi pajak dan
keuangan perusahaan:
a. Menyegerakan Pengajuan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak pada perusahaan yang baru
berdiri
c. Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan proses produksi
d. Mengajukan permohonan sentralisasi PPN bagi perusahaan yang mempunyai kantor cabang
Untuk menjaga agar tetap menjadi wajib pajak patuh maka perusahaan seharusnya mempunyai
program yang disebut Tax Review.
1. Review waktu penerbitan faktur pajak
Penerbitan faktur pajak berdasarkan ketentua perpajakan yang berlaku
Pembayaran tidak lebih dari tanggal terakhir bulan berikutnya
SPT masa PPN harus dimasukan pada tanggal terakhir bulan berikutnya.
2. Periksa apakah PPN Masukan atas pembelian berhubungan dengan kegiatan usaha atau bisnis
perusahaan dan telah dikreditkan dengan PPN keluaran.
3. Review penyiapan SPT masa PPN
4. Memastikan memiliki system filing atau penyimpanan dokumen PPN yang cuku untuk dapat
menghadapi pemerikasaan pajak menjelaskan dengan baik.
5. Hasil ekualisasi harus dapat berkaitan dengan perbedaan antara penjualan yang dilaporkan
pada SPT PPh badan dengan penjualan yang dilaporkan pada SPT masa PPN.
Tax review diharapkan dapat mengendalikan beban pajak perusahaan yang diakibtkan tidak
dipenuhinya kewajiban perpajakan dengan benar dan tepat.
Dalam melakukan monitoring terhadap pelaporan SPT masa PPN apakah sudah sesuai
dengan data pembukuan baik dari transaksi penjualan maupun pembelian barang dan jasa ,
maka contoh di bawah ini akan memperlihatkan bagaimana teknik ekualisasi dapat
menemukan perbeedaan antara apa yang dilaporkan di SPT masa dan PPN dengan data dari
pembukuan.
Perbedaan tersebut harus segera ditelusuri penyebabnya sebelum dilakukan tutup buku
dan dismpaikan SPT tahunan Badan perusahaan tersebut ke Kantr Pelayanan Pajak.
Penyerahanterutang PPN:
Jumlahseluruhpenyerahan 15.500.000.000
Penjualanbruto 14.000.000.000
Dikurangi:
Potonganpenjualan (600.000.000)
Returpenjualan (400.000.000)
Penjualanneto 13.000.000.000
Ekspor 3.000.000.000
Selisih 500.000.000
Di dalam pemeriksaan, apabila terdapat selisih jumlah peredaran (omzet) antara SPT PPh dan SPT
PPN, harus dibuat rincian perbedaan tersebut, apabila tidak dibuat rincian akan dilakukan ekualisasi,
jumlah yang besar yang benar.
Menurut analisis penulis, ada beberapa penyebab terjadinya perbedaan antara kedua dokumen tersebut
(ledger atau SPT Tahunan PPh badan vs SPT Masa PPN), antara lain:
1. Dalam praktik sering terjadi, bahwa dalam penyusunan SPT Masa PPN selalu didasarkan pada
dokumen (faktur atau invoice) yang diterima oleh bagian pajak, baik invoice pembelian dan
penjualan, sedangkan bagian accounting atau pembukuan dalam mencatat pembelian dan
penjualan tidak semata-mata berdasarkan invoice pembelian dan penjualan, tetapi selalu
didasarkan pada prinsip akuntansi sesuai PSAK yakni akrual basis (stelselakrual). Bila memang
sudah timbul hak dan kewajiban secara hukum atas penyerahan barang dan jasa kepada debitur,
maka meski pun faktur atau invoice penjualan belum terbit, namun dari sisi PSAK dan UU Pajak,
atas transaksi tersebut sudah harus dibukukan sebagai penghasilan dalam masa yang
bersangkutan.
Atas penyerahan barang dan jasa oleh PT ABx (penjual) kepada PT DEx (pembeli) untuk transaksi
penjualan barang senilaiRp 50 juta pada 20 Maret 2011:
a. Adanya Kontrak Jual Beli dan atau Purchase Order/SPK tertgl. 20 Maret 2011
b. Adanya tanda bukti barang/jasa sudah diserahkan dengan adanya Bukti Penerimaan/Penyerhan
Barang/Jasa (delivery order) tertanggal 27 Maret 2011, sesuai pesanan barang/jasa.
c. Barang/Jasa yang ditransaksikan bukan barang/jasa illegal.
Sehingga meskipun Invoice atau Faktur Penjualan barudibuat oleh PT Abx tanggal 1 April 2011,
bagian accounting atau pembukuan sudah diperbolehkan untukmembukukan pengakuan penghasilan
dalambulan Maret 2011, sebesar Rp 50 juta.Faktur Pajak seyogyanya sudah harus diterbitkan
selambat-lambatnya akhir bulan Maret 2011.
2. Uangmuka. Dalam penyusunan SPT Masa PPN, bagian pajak akan selalu memperhitungkan PPN
atas pembayaran yang diterima di muka dalam tahun yang berjalan sebagai pajak keluaran,
sedangkan bagian accounting mungkin baru melakukannya pada saat pembukuan adjustment di
akhir bulan/tahun buku.
Contoh:
Atas penyerahan barang dan jasaoleh PT ABx (penjual) kepada PT DEx (pembeli) untuk transaksi
penjualan barang senilaiRp 50 juta pada 22 Maret 2011:
a. Adanya kontrak jual beli dan atau purchase order/SPK tertanggal 22 Maret 2011.
b. Adanya tanda bukti barang/jasa sudah diserahkan dengan adanya bukti penerimaan/penyerahan
barang/jasa (delivery order) tertanggal 3 April 2011, sesuai pesanan barang/jasa.
c. Pembayaran DP diterima dimuka tgl. 25 Maret 2011 sebesarRp 10 juta.
d. Barang/jasa yang ditransaksikan bukan barang atau jasa illegal.
Sehingga meskipun Invoice/Faktur Penjualan baru dibuat oleh PT Abx tanggal 3 April 2011, namun
bagian pajak harus menerbitkan Faktur Pajak (keluaran) tertanggal 25 Maret 2011 sebesarRp 5 juta
berdasarkan kwitansi DP yang diterima sebesar Rp 50 juta, dan selanjutnya memasukkan Faktur Pajak
keluaran tersebut dalam SPT Masa Maret 2011.
3. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya kesalahan dalam pembukuan yang menyebabkan
terjadinya kekurangan atau kelebihan dalam perhitungan pembelian atau penjualan.
4. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya retur penjualan atau retur pembelian yang belum
dicatat, baik di SPT masa PPN atau dalam ledger perusahaan.
5. Potongan penjualan. Potongan penjualan yang diberikan setelah faktur pajak diterbitkan, dalam
pembukuan dicata tmengurangi jumlah penjualan dan peredaran usaha di buku besar penjualan
atau SPT Tahunan PPh Badan, tetapi tidak dapa tmengurangi DPP PPN.
6. Perbedaan tersebutbisa terjadi karena adanya faktur pajak (masukan) yang cacat, tidak benar atau
tidak lengkap pengisiannya, sehingg atidak dapat dikreditkan.
7. Penjualan dalam valuta asing. Pebedaan tersebut bisa terjadi karena adanya faktur penjualan
(invoice) yang dalam mata uang asing selalu menggunakan kurs konversi berdasarkan nilai tukar
(kurs) realisasi, sedangkan faktur pajakselalu dibuat berdasarkan kurs menteri keuangan.
8. Perbedaan tersebut bisa terja dikarena adanya barang konsinyasi yang belum dibuatkan faktur
pajak. Pengiriman barang konsinyasi untuk dijual belum dapat dibukukan sebagai penghasilan,
tetapi sudah terutang PPN dan karena itu harus diterbitkan faktur pajak.
9. Pemakaian sendiri BKP/JKP. Pemberian secara cuma-Cuma atau disumbangkan bukan untuk
tujuan produktif terutang PPN dihitung berdasarkan harga pokok, dan harus diterbitkan faktur
pajak. Sedangkan dari sisi fiskal, pengeluaran tersebut tidak bisa dibiayakan dalam SPT Tahunan
PPh Badan.
10. Cabang yang belum masuk sentralisasi PPN. Perbedaan tersebut bisaterjadi karena adanya kantor
cabang yang belum terdaftar dalam sentralisasi PPN yang telah mendapat persetujuan dari Dirjen
Pajak, sehingga terjadi perbedaan jumlah penyerahan atau peredaran usaha antara SPT Tahunan
PPh Badan dengan SPT Masa PPN.
11. Tidak menutupi kemungkinan ada potensi penyelewengan (fraud) dalam tubuh internal
perusahaan yang dilakukan oleh oknum tertentu sehingga sejumlah transaksi penjualan tidak
dilaporkan secara seutuhnya dalam SPT Masa PPN yang berdampak pada kurang bayar PPn
keKas Negara.
12. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya rekayasa yang dilakukan oleh pihak perusahaan
untuk mengecilkan setoran PPN yang harus dibayar kekas Negara dengan cara memperkecil
omzet penjualan yang dilaporkan di SPT masa PPN.
13. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena ada rekayasa yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan
untuk mendapatkan Restitusi PPN dengan cara melakukan penggelembungan terhadap PPN
masukan dari pembelian fiktif yang dilaporkan SPT masa PPN.
Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur dalam Pasal 33 UU KUP No. 16 tahun
2000, kemudian ketentuan ini dihapus dalam UU KUP No. 28 tahun 2007, kemudian dihidupkan lagi
melalui penambahan Pasal 16F kedalam UU PPN No. 42 tahun 2009, yakni:
“Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab
secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti
bahwa pajak telah dibayarkan”.
Contoh:
Pada tahun 2006 pemeriksa pajak dari KPP A melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN untuk
masa pajak Januari sampai Desember 2004 dari KPP D, ditemukan fakta bahwa KPP D dalam suatu
masa pajak melakukan penyerahan BKP dengan harga jual Rp300juta, ternyata tidak membuat faktur
pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, KPP A menerbitkan SKPKB terhadap PKP D disertai
sanksi bunga sebesar 2% per bulan , dan denda 2% dari dasar pengenaan Pajak karena PKP D
menyerahkan BPK tidak membuat faktur pajak.
Pada tahun 2007, pemeriksa pajak dari KPP B tempat PKP E dikukuhkan sebagai PKP
melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN masa pajak Januari sampai Desember 2004, ditemukan
fakta dari pembukuannya bahwa ketika dalam suatu masa pajak PKP E membeli BKP dari PKP D
tapi tidak membayar PPN. Hal ini diyakini oleh pemeriksa karena PKP E tidak dapat menunjukkan
Faktur Pajak sebagai bukti bahwa ia telah membayar PPN kepada PKP D. Berdasarkan hasil
pemeriksaan ini, KPP B menerbitkan SKPKB berdasarkan ketentuan tanggung jawab renteng yang
pada waktu itu diatur dalam Pasal 33 UU KUP. Dalam SKPKB ini ditagih pokok pajak sebesar Rp30
juta (yakni 10% x Rp300juta), ditambah sanksi bunga sebesar 2% perbulan.
Dari contoh di atas dapat kita pahami bahwa ketentuan tanggung jawab renteng ini berlaku
bagi pihak pembeli maupun penjual. Dalam memori penjelasannya di UU KUP tersebut dijelaskan
bahwa “sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ada pada pembeli atau konsumen barang atau penerima
jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa
bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang
terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima
jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi
jasa.”
Jangan pernah ada satu pun faktur penjualan (commercial invoice) yang diterbitkan
perusahaan tanpa dsertai faktur pajak.
Setiap transaksi penjualan harus ada kontrak atau sales agreement-nya dan atau purchase
order (PO), sehingga dispute tentang syarat penjualan (harga, Pajak, termin pembayaran, dan
lain-lain) disa dihindari dikemudian hari.