Anda di halaman 1dari 3

Nama : Izzahra Srijaya

Nim : B1C120261

A. PENDAHULUAN
PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang/jasa kena pajak di
dalam daerah pabean.
Secara umum, mekanisme pemungutan PPN menggunkan mekanisme Indirect
Subtraction Mwthod/Invoice Method (PK-PM), dan metode inilah yang terbaik dari metode
lainnya dengan alasan :
1. Adanya kewajiban membuat faktur pajak setiap transaksi, mengingat faktur pajak
merupakan bukti terpenting
2. Memudahkan melakukan pemeriksaan, baik oleh pemeriksaaan internal maupun
fiskus
3. Kewajiban perpajakannya dapat dihitung setiap saat.

B. MEMAKSIMALKAN MEKANISME PENGKREDITAN PPN


Pada dasarnya mekanisme pengkreditan PPN memiliki konsep yang sederhana.“Jika pajak
keluaran lebih besar dari pajak masukan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus
dibayar.”
“Jika pajak keluaran lebih kecil dari pajak masukan, maka selisihnya merupakan
kelebihan bayar PPN yang bisa dikompensasi dengan masa pajak berikutnya atau dikenakan
restitusi.” Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2009 mengatur lebih jauh mengenai mekanisme
pengkreditan pajak masukan. Pasal ini mengatur dimana pajak masukan dikreditkan dengan
pajak keluaran untuk masa pajak yang sama.

C. FAKTUR PAJAK
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

D. SAAT TERUTANG PPN


Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 11 disebutkan bahwa terutangnya
PPN terjadi pada saat: Penyerahan Barang Kena Pajak. Impor Barang Kena Pajak.
Penyerahan Jasa Kena Pajak.

E. BATAS WAKTU PENYETORAN PPN DAN PELAPORAN SEPERTI MASA PPN


Batas Akhir Penyetoran dan Pelaporan PPN. Setiap Wajib Pajak yang sudah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus menyetorkan PPN dan melaporkan SPT Masa
PPN paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. Tepatnya, pada
tanggal 30 atau 31 bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

F. MEMAKSIMALKAN FASILITAS DI BIDANG PPN


Sejak diberlakukannya UU Nomor 36 Tahun 2008, fasilitas di bidang PPN yang dikenal
dalam ketentuan PPN adalah PPN Tidak Dipungut, PPN Dibebaskan, dan PPN ditanggung
pemerintah. Bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN Tidak Dipungut, PPN Masukan yang
berhu-bungan dengan perolehan BKP/JKP tetap dapat dikreditkan, sedangkan bagi PKP yang
mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan, PPN Masukan yang berhubungan dengan perolehan
BKP/JKP tidak dapat dikreditkan.
Fasilitas yang berkaitan dengan PPN adalah:
1. Fasilitas PPN tidak dipungut;
2. Fasilitas PPN dibebaskan;
3. Fasilitas PPN ditanggung pemerintah.

G. SENTRALISASI PENGENAAN PPN


Sentralisasi tempat terutangnya PPN tersebut pada dasarnya merupa-kan fasilitas yang bisa
dimanfaatkan oleh PKP. Dengan izin sentralisasi, maka akan terdapat penghematan biaya
administrasi dan pengaturan cash flow perusahaan yang lebih baik dalam melaksanakan hak
dan kewajiban di bidang PPN. Memaksimalkan Restitusi PPN Sebagai subjek PPN, salah satu
hak bagi PKP adalah mengkreditkan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan. Dalam
mekanisme/indirect substraction method, PKP hanya membayarkan PPN ke Kas Negara
sebesar selisih antara Pajak Keluaran (PK) dikurangi dengan Pajak Masukan (PM).
Penghitungan tersebut dilakukan setiap bulan.

H. MEMAKSIMALKAN RESTITUSI PPN


Restitusi PPN merupakan pengembalian kelebihan pembayaran PPN oleh negara kepada
PKP. Sejak April 2018, Pemerintah melalui DJP melakukan percepatan restitusi PPN dalam
upaya memaksimalkan tugas pemeriksa pajak. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi PKP
untuk mendapatkan percepatan pengembalian pajak ini, salah satunya tepat waktu melaporkan
SPT Masa PPN.

I. MEMBANGUN SENDIRI TIDAK DALAM KEGIATAN USAHA


Membangun sendiri untuk tempat tinggl atau tempat usaha oleh orang pribadi atau badan
dikenai PPN, dengan kondisi :
- Luas bangunan 200 m persegi atau lebih.
- Bangnan Permanen.
- Tarif 10% x 40% x biaya bangunan (tanpa harga tanah)
- Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan berikutnya sejak pembangunan dimulai.

J. PPN ATAS BARANG GRATIS UNTUK KEPENTINGAN PROMOSI


Kejadian ini sering terjadi dalam praktik, baik pada saat perusahaan baru memulai
kegiatan bisnisnya maupun pada saat perusahaan sudah berjalan dan sebagai bagian dari
implementasi marketing strategy perusahaan mereka melakukan kegiatan promosinya untuk
meningkatkan omzet penjualan.

K. PENJAGAAN TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN


Berikut ini cara- cara yang aman dalam perencanaan pajak yang perlu diagendakan oleh
manajemen perusahaan untuk diaplikasikan dalam kerangka peningkatan efisiensi pajak dan
keuangan perusahaan:
1. Menyegerakan pengajuan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) pada perusahaan
yang baru berdiri
2. Memilih mendirikan perusahaan di lokasi yang mendapat fasilitas perpajakan PPN
3. Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan proses produksi (just in
time)
4. Mengajukan permohonan sentralisasi PPN bagi perusahaan yang mempunyai kantor
cabang.
5. Penanganan Faktur Pajak dengan baik.

L. PENGENDALIAN PAJAK MELALUI TAX REVIEW


Tax Review merupakan pelayanan yang bertujuan untuk menelaah dan meneliti tingkat
kepatuhan wajib pajak secara umum dan memberikan rekomendasi untuk meminimalkan
pajak yang belum diketahui perusahaan.

M. TANGGUNG JAWAB RENTENG


Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur dalam pasal 33 UU KUP
No.16 Tahun 2000, kemudian ketentuan ini dihapus dalam UU KUP No.28 Tahun 20007,
kemudian dihidupkan lagi melalui penambahan pasal 16F kedalam UU PPN No.42 Tahun
2009, yakni:
“Pembelian Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pakak bertanggung secara
renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah
dibayar”
Kesannya, ketentuan tanggung jawab renteng tersebut menimbulkan ketidakadilan
pajak, karena:
Sanksi perpajakan untuk satu objek pajak PPN dikenakan lebih dari Satu kali, di mana penjual
dan pembeli sama-sama dikenakan. Ini tidak sesuai dengan karakter legal dari PPN yang
bersifat non kumulatif, yaitu tidak menimbulkan pajak berganda.
Sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak konsumsi atau pajak tidak langsung yang senantiasa
menjaga sifat sentralisasinya, maka tanggung jawab pemungutan pajak (serta penyetoran dan
pelaporannya) dalam hal ini berada di pundak penjual yang melakukan penyerahan BKP/JKP,
sedangkan beban pajak itu sendiri memang menjadi tanggungan pembeli BKP/JKP. Tapi
apakah adil bila kesalahan dari penjual dibebankan kepada pembeli (yang mesti ikut
menanggung sanksi perpajakan dari PPN, yang tidak dapat dipungut dan disetor oleh penjual)
padahal pembeli sudah melaukan kewajiban pelunasan harga BKP/JKP sesuai kesepakatan
yang telah dicapai kedua bela pihak?

Anda mungkin juga menyukai