PENDAHULUAN
Pengadaan dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan
nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar negeri.
Namun demikian sumber dari dalam negeri lebih diutamakan dari pada luar negeri.
Dalam peningkatan dana dalam negeri, Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial.
Masalah Perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait
didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk
mengetahui masalah Perpajakan di Indonesia.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi pada
setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang
atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak
maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada
penggolongan dengan tarif yang berbeda.
Pembukuan yang benar dan lengkap merupakan syarat mutlak pelaksanaan sistem
perpajakan di Indonesia yang berdasarkan “Self assessment” yakni pemerintah memberikan
kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri besarnya Pajak Pertambahan Nilai
terhutangnya, menyetorkannya ke Bank persepsi dan kemudian melaporkan secara teratur ke
Kantor Pelayanan Pajak dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).
BAB II. PEMBAHASAN
- Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan
barang tidak berwujud (merek dagang, paten, hak cipta, dll).
- Yang diatur secara rinci oleh Undang-Undang PPN adalah barang-barang yang tidak
dikenakan PPN (negatif list), yaitu di Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
- Dengan demikian, secara otomatis barang-barang lainnya merupakan Barang Kena Pajak
(BKP).
1. Jenis-Jenis Barang Tidak Kena Pajak (Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000 Pasal 1 s.d. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 ) :
a. Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya ( minyak mentah, gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih
timah, bijih emas, dsb).
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras dan
gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik beriodium maupun tidak beriodium).
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,
dan sejenisnya (baik dikonsumsi di tempat maupun dibawa pulang, tidak termasuk
katering).
b. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu Perjanjian Sewa Beli dan Perjanjian
Leasing (Capital Lease atau Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi).Yang terutang
PPN adalah penyerahan barangnya, sedangkan penyerahan jasanya (jasa
pembiayaan) tidak terutang PPN.
e. Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan. (Khusus atas
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN
Masukan yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan).
c. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke Kantor Cabang atau
sebaliknya dan antar Kantor Cabang, dalam hal berada dalam wilayah Kantor
Pelayanan Pajak yang sama atau berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak
yang berbeda tetapi telah memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari
Direktur Jenderal Pajak. (lihat Sentralisasi Tempat Pajak Terutang)
C. Tatacara Penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke
Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKPTW/JKP dari luar Daerah
Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
D. Tatacara Pelaporan
Bagi Pengusaha Kena Pajak, PPN atas pemanfaatan BKPTW atau JKP yang telah
disetor dilaporkan dalam SPT Masa PPN bulan terutangnya pajak. SPT Masa PPN tersebut
diperlakukan sebagai laporan pemungutan PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar
Daerah Pabean.
Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN
atas pemanfaatan BKPTW/JKP yang telah disetor dengan mempergunakan lembar ketiga
SSP ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya
pajak.
E. Sanksi
Orang pribadi atau badan yang melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai
setelah melewati batas waktu di atas dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
F. Karakteristik
Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas
pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
Menghindari pengenaan pajak berganda.
Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan
memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
meliputi:
1. Minyak mentah.
2. Gas bumi.
3. Panas bumi.
4. Pasir dan kerikil.
5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras
ketan putih dalam bentuk:
1. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
2. Gilingan.
3. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
4. Beras pecah.
5. Menir (groats) beras.
Segala jenis jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung,
dalam bentuk:
1. Jagung yang telah dikupas maupun belum.
2. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
3. Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
Sagu, dalam bentuk:
1. Empulur sagu.
2. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.
Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam,
pecah maupun utuh.
Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
1. Garam meja.
2. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak;
tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa
boga.
Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga
H. Jasa tidak kena PPN
I. UU PPN 1984 tidak pernah menentukan bahwa eksportir BKP adalah PKP
Apabila dicermati ternyata sejak mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985, UU PPN
1984 tidak pernah memberi status PKP kepada eksportir BKP. Tentang hal ini tersurat dan
tersirat dalam:
a. Pasal 1 angka 15 (sebelumnya adalah Pasal 1 huruf l), yang merumuskan status PKP itu
hanya dimiliki oleh pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, maka
pengusaha yang tidak menyerahkan BKP atau JKP tetapi melakukan ekspor BKP atau ekspor
JKP tidak memiliki status sebagai PKP.
Apabila ada eksportir yang dikukuhkan sebagai PKP, kriteria yang menjadi tolok ukur bukan
kegiatan ekspor tersebut melainkan kegiatan lain yang dilakukan oleh eksportir ini misalnya
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Contoh: PT Arta Belanga mengelola sebuah pabrik biskuit. Produk perusahaan ini
sebagian besar untuk dipasarkan di dalam negeri, dan sisanya diekspor. PT Arta Belanga
diwajibkan untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP, karena kegiatan
usaha atau pekerjaannya adalah menyerahkan produk berupa biskuit yang merupakan BKP,
bukan karena mengekspor BKP. Ketika mengekspor BKP, PT Arta Belanga sudah
dikukuhkan sebagai PKP, maka atas ekspor ini dikenai PPN.
b. Dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1983 yang menentukan bahwa bagi pengusaha
yang melakukan ekspor BKP juga melakukan penyerahan BKP kepada PKP dapat memilih
untuk dikukuhkan menjadi PKP. Secara a contrario, apabila ada pengusaha mengekspor BKP
tetapi tidak pernah melakukan penyerahan BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean, maka
pengusaha ini bukan PKP meskipun boleh memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Mengapa begitu ?
Sebelum 1 Januari 1995, pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP
dikenal dengan sebutan PMPKP. PMPKP ini bukan PKP dalam arti yang sebenarnya, karena
tidak memiliki karakteristik PPN yang mewajibkan PKP memungut PPN atas penyerahan
BKP atau JKP kepada siapapun. Sedangkan PMPKP hanya mengenakan PPN apabila
menyerahkan BKP kepada PKP lain. Dalam hal pengusaha yang ter-golong PMPKP
menyerahkan BKP kepada non PKP, tidak boleh memungut PPN.
Contoh: PT Eksporta melakukan ekspor BKP yang diperoleh dari para pemasok
(supplier). Perusahaan ini tidak pernah menjual BKP tersebut kepada pembeli di dalam
negeri. PT Eksporta bukan PKP. Beberapa bulan berikutnya, disebabkan BKP yang diterima
dari para pemasok melebihi kuantum BKP untuk diekspor, maka sebagian dijual di dalam
Daerah Pabean. Dalam kondisi yang seperti ini PT Eksporta diperbolehkan memilih untuk
dikukuhkan menjadi PKP supaya dapat memungut PPN ketika menyerahkan BKP kepada
PKP.
c. Memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f berbunyi sebagai berikut: “Berbeda dengan
Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c,
maka Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak hanya Pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat
(1).”
Formula memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f ini tidak mencapai sasaran. (Lagi-
lagi penulis menimbang-nimbang unsur etika. Sungguh tidak etis apabila penulis
menyebutkan “menyesatkan”, lebih etis kiranya menggunakan kalimat “tidak mencapai
sasaran”). Dari formula memori penjelasan tersebut menimbulkan kesan bahwa yang boleh
melakukan ekspor BKP hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP. Sebaliknya
apabila suatu pengusaha belum dikukuhkan sebagai PKP, maka pengusaha ini dilarang
mengekspor BKP. Padahal, UU PPN tidak memiliki kompetensi melarang Pengusaha yang
belum dikukuhkan menjadi PKP melakukan ekspor BKP.
Menurut hemat penulis, formula Pasal 4 ayat (1) huruf f yang menentukan bahwa
PPN dikenakan atas ekspor BKP yang dilakukan oleh PKP, mengandung makna bah-wa
dalam hal kegiatan ekspor BKP dilakukan oleh eksportir yang belum dikukuhkan menjadi
PKP, maka tidak dikenai PPN.
Makna ini tersirat dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f diawali dengan kalimat:
“Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan atau huruf c …..”. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 4 ayat (1) huruf c
mengisyaratkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau penyerahan JKP baik oleh
Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP maupun yang seharusnya sudah dikukuhkan
namun ternyata belum dikukuhkan sebagai PKP. Karena ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf f dirumuskan secara berbeda dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf c, maka
ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf f membawa konsekuensi, apabila eksportir yang belum
dikukuhkan menjadi PKP melakukan ekspor BKP, maka atas ekspor ini tidak dikenai PPN.
Sebagai konsekuensinya, pengusaha ini tidak dapat mengkreditkan seluruh Pajak
Masukannya sehingga tidak memperoleh kenikmatan berupa hak untuk mengajukan
permintaan pengembalian kelebihan Pajak Masukannya. Analisis ini berlaku juga bagi
pengusaha yang melakukan ekspor sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) huruf g, dan
huruf h.
J. Kewajiban di bidang PPN bagi pengusaha yang semata-mata melakukan ekspor BKP
atau ekspor JKP.
Apabila disimak lebih cermat ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PPN 1984
sebelum 1 Januari 1995 dengan perumusan yang lebih akurat dalam Pasal 1 angka 14 dan
Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 sejak 1 Januari 1995 dapat dipahami bahwa Pengusaha yang
melakukan kegiatan ekspor BKP dapat dipilah menjadi 3 macam variasi kegiatan usaha,
yaitu:
1) Pabrikan selaku eksportir, yaitu pabrikan yang selain menyerahkan BKP di dalam Daerah
Pabean, juga melakukan ekspor BKP yang merupakan hasil produksinya.
2) Pedagang Besar selaku eksportir, yaitu pedagang besar yang selain menyerahkan BKP di
dalam Daerah Pabean, juga melakukan ekspor barang dagangannya yang merupakan BKP.
3) Pengusaha yang kegiatannya semata-mata melakukan ekspor BKP.
Bagi pabrikan yang memproduksi BKP, produk ini selain diekspor juga diserahkan di
dalam Daerah Pabean, dan Pedagang Besar yang selain mengekspor barang dagangannya
yang merupakan BKP juga menyerahkannya di dalam Daerah Pabean, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU
PPN 1984, kewajiban ini timbul bukan karena melakukan ekspor BKP, melainkan lebih
disebabkan dari kegiatannya menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean. Karena sudah
dikukuhkan sebagai PKP maka berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPN 1984 atas
kegiatan ekspor BKP-nya dikenai PPN, sehingga dalam surat pengukuhan PKP-nya, jenis
usahanya meliputi “eksportir dan industri BKP”, atau “eksportir dan Pedagang Besar BKP”.
Sedangkan bagi Pengusaha yang kegiatan usahanya semata-mata mengekspor BKP,
sehingga sama sekali tidak melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP di dalam
Daerah Pabean, berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, tidak berstatus sebagai PKP
maka seharusnya tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP. Meskipun demikian, bagi pengusaha ini diberi hak untuk memilih dikukuhkan
menjadi PKP sebagaimana sudah pernah diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun
1983.
Karena Pasal 1 angka 15 tidak menentukan bahwa pengusaha yang melakukan ekspor
BKP Berwujud atau Tidak Berwujud atau JKP adalah PKP, sehingga secara logika yuridis
Pengusaha ini tidak dapat dibebani kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP, maka pencantuman “Pasal 4 ayat (1) huruf f, huruf g, dan huruf h” dalam Pasal
3A ayat (1) UU PPN 1984 seharusnya gugur demi hukum.
K. MEKANISME PEMUNGUTAN PPN
Pada setiap lembar Faktur Pajak wajib dibubuhi cap "DISETOR TANGGAL :..........."
dan ditandatangani oleh Pemungut PPN yang bersangkutan.
Khusus untuk KPKN, setiap lembar Faktur Pajak Standar wajib dicantumkan nomor
dan tanggal advis SPM
Pada setiap lembar SSP, wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM
SSP lembar ke-1 dan ke-2 dibubuhkan cap "TELAH DIBUKUKAN"
L. OBJEK TARIF dan PERHITUNGAN PPN
a. Objek PPN
1. Penyerahan BKP/JKP didalam daerah pabeaan yang dilakukan oleh pengusaha
2. Import BKP
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
4. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean didalam daerah pabean
5. Eksport BKP oleh PKP
N. Cara Penghitungan
PPN yang terutang atas pemanfaatan BKPTW dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean
dihitung dengan cara sebagai berikut:
1. 10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak
yang menyerahkan BKPTW/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya
dibayarkan tidak termasuk PPN; atau
2. 10/110 dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak
yang menyerahkan BKPTW/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya
dibayarkan sudah termasuk PPN.
Dalam hal tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk jumlah yang
dibayarkan atau seharusnya dibayarkan atau ditemukan adanya kontrak atau perjanjian
tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau
perjanjian sudah termasuk PPN, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung sebesar 10%
dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang
menyerahkan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean.
b. Saat Terutang
Saat terutangnya PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar daerah pabean terjadi
pada saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tersebut.
Saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah saat yang
diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
1. saat BKPTW/JKP tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
2. saat harga perolehan BKPTW/JKP tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang
memanfaatkannya;
3. saat harga jual BKPTW dan/atau penggantian JKP tersebut ditagih oleh pihak yang
menyerahkannya; atau
4. saat harga perolehan BKPTW/JKP tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh
pihak yang memanfaatkannya.
Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tidak
diketahui, saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah tanggal
ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
DisusunolehKelompok IVKelasAk4-B3:
1. Rita Irma Suryani Nasution (142010300146)
2. NurSakdiyah (142010300148)
3. ChoirunNisak (142010300149)
4. IkaMailinaFirdinah (142010300150)
5. Yunda Roro Anggraini (142010300158)
6. FarikhatulIlmiyah (142010300163)