B. Dasar Hukum dan Variabel-Variabel dalam Mekanisme Perhitungan PPN dan PPn BM
Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
Bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan
barang kena pajak (BKP) atau penyerahan jasa kena pajak (JKP).
Faktur pajak dibuat pada:
1. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
4. Saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
5. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
6. Untuk Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana, dalam hal PKP
melakukan:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan langsung
kepada konsumen akhir
b. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dan atau
penerima Jasa Kena Pajak yang diketahui identitasnya secara lengkap
2. Penggantian merupakan nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP tidak termasuk pajak yang
dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak X melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh
Penggantian Rp 30.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x
Rp30.000.000,00 = Rp 3.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 3.000.000,00
tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak X.
3. Nilai Ekspor merupakan nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir. Misalnya Harga yang tercantum dalam Pemberitahuan
Ekspor Barang (PEB).
4. Nilai Impor merupakan nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdaasrkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-undang PPN dan PPnBM.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak X mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan
Nilai Impor Rp 25.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak X melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp
20.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp 20.000.000,00 = Rp
0,00.
5. Nilai Lain adalah jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan
Keputusan Menteri Keuangan. Nilai Lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak adalah sebagai berikut:
a. Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga
jual
b. Untuk penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah penggantian.
c. Untuk impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor.
d. Untuk ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor.
e. Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 300m2 atau
lebih, yang dilakukan orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya, DPP-nya adalah 40% (empat puluh persen) dari
jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga
perolehan tanah).
f. Untuk pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor.
g. Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
h. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual
rata-rata.
i. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film.
j. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.
k. Untuk BKP berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan adalah harga pasar wajar.
l. Untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan
BKP antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan.
m. Untuk penyerahan BKP melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati
antara pedagang perantara dengan pembeli.
n. Untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang.
o. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih.
p. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Tarif Pajak
1. Pajak Pertambahan Nilai
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol
persen), yang meliputi Ekspor BKP Berwujud, Ekspor BKP Tidak Berwujud, dan
Ekspor JKP. Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN.
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-
tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.
2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ketentuan mengenai tarif
kelompok BKP yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis
Barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Atas ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak dengan
tarif 0% (nol persen). PPn BM yang telah dibayar atas perolehan BKP yang
tergolong mewah yang diekspor dapat diminta kembali (restitusi).
Dasar hukum PPN dan PPn BM
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak
Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2006.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang
Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.
Mekanisme Perhitungan
Cara menghitung PPN yang terutang adalah dengan mengalikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (10%
atau 0% untuk ekspor Barang Kena Pajak) dengan Dasar Pengenaan Pajak.
PPN Terutang = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak
Pajak Pertambahan Nilai juga menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap
Pajak Keluaran, di mana menurut Pasal 1 angka 24 UU PPN:
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Menurut Pasal 25 UU PPN
“Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau
ekspor Barang Kena Pajak”.
b. PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
c. PPN/PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat
Tagihan Pajak (STP).
2. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas PKP
Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh
Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan Pemerintah.
3. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP rekanan Pemerintah
mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak.
5. Dalam hal Pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagaimana dimaksud pada
huruf a dibuat rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPnBM disetor Bank Persepsi atau
Kantor Pos, lembar – lembar SSP tersebut diperuntukan sebagai berikut:
· Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
· Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN
· Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah di lampirkan pada saat SPT Masa PPN.
· Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
· Lembar ke-5 untuk pertinggala Bendaharawan Pemerintah.
6. Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a di buat dalam
rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukan sebagai berikut:
· Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah
· Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak KPPN.
· Lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirkan pad SPT Masa PPN.
· Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.
7. Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan Pemerintah
yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap “Disetor tanggal ………” dan ditandatangani
oleh Bendaharawan Pemerintah.
8. Pada setiap lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP sebagaimana
dimaksud pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan tanggal
advis SPM.
9. SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap “TELAH
DIBUKUKAN” oleh KPPN.
10. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau PPnBM.
1. PPn dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat 15 (lima
belas) bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
Contoh : Masa Pajak Januari 2002, penyetoran paling lambat tanggal 15 pebruari 2002.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor
sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN / PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan
apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 (tujuh) bulan
takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat 15
(lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas impor,
harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi
sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.
Tata Cara Pelaporan
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera
dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutnya dilakukan oleh:
a. Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa
Pajak berakhir.
b. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri
oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Sarana Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP)
yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan dan Pengamatan
Potensi Perpajakan (KP4) di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan
telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang
dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai penerima setoran.