Anda di halaman 1dari 34

BAB 3

AKUNTANSI PPN DAN PPnBM

Capaian Pembelajaran
Setelah membaca dan mengkaji bab ini, mahasiswa mampu:
1. Mengetahui konsep pembukuan dan pencatatan Dasar hukum dan
definisi PPN dan PPnBM
2. Mengidentifikasi subyek dan obyek PPN dan PPnBM
3. Menghitung PPN dan PPnBM
4. Melakukan pencatatan akuntansi PPN dan PPnBM

3.1. DASAR HUKUM DAN DEFINISI PPN DAN PPnBM


Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN ) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) adalah Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009. Dasar hukum
PPN dan PPnBM selalu berjalan beriringan sebab PPnBM tidak mungkin
dikenakan tanpa adanya pengenaan PPN. Artinya, ketika konsumen membeli
suatu Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah, konsumen pasti juga
dikenakan PPN dan PPnBM.
PPN adalah Pajak atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa
Kena Pajak (JKP) yang dilakukan di dalam Daerah Pabean. PPN merupakan pajak
yang dikenakan terhadap pertambahan nilai yang muncul karena pemakaian
faktor-faktor produksi oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyiapkan,
menghasilkan dan memperdagangkan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena
Pajak (JKP). Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa PPN dikenakan
sejak sebuah barang diproduksi hingga ke proses distribusinya. Secara
karakteristik, PPN merupakan jenis pajak tidak langsung yang pemungutannya
tidak dikenakan kepada penjual tetapi kepada pihak pembeli/konsumen akhir,
namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan
kepada penjual. PPN memiliki karakteristik yaitu :
1. Pajak tidak langsung. Artinya, beban pajak dialihkan kepada pihak lain,
yakni pihak yang mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek
pajak. Selain itu, tanggung jawab penyetoran pajaknya tidak berada di

18
pihak yang memikul beban pajak.
2. Pemungutannya bersifat objektif. Kewajiban untuk membayar PPN
ditentukan oleh objek pajak, bukan ditentukan oleh keadaan subjek
pajak (Kawin/tidak kawin, punya tanggunga/tidak punya tanggungan)
3. Multi stage tax. Artinya, PPN dikenakan pada seluruh rantai produksi dan
distribusi, mulai dari pabrikan ke pedagang besar hingga ke pengecer
atau ritel, semuanya dikenakan PPN.
4. PPN dihitung dengan metode indirect substraction yaitu PPN yang
dipungut Pengusaha Kena pajak (PKP) penjual tidak langsung disetorkan
ke kas negara. PPN terutang yang harus dibayarkan ke kas negara
merupakan hasil perhitungan pengurangan PPN yang dibayar kepada PKP
lain yang (pajak masukan ) dengan PPN yang dipungut dari pembeli (pajak
keluaran).
5. Merupakan pajak atas konsumsi umum dalam negeri. PPN hanya
dikenakan pada konsumsi BKP dan/atau JKP yang dilakukan di dalam
negeri. Oleh karena itu, komoditas impor juga dikenai PPN dengan
besaran sama dengan komoditas lokal.
6. Bersifat netral. Netralitas PPN dibentuk oleh dua faktor, yakni dikenakan
atas konsumsi barang maupun jasa dan menganut prinsip tempat tujuan
(destination principle) dalam pemungutannya.
7. Tidak menimbulkan pajak berganda. Kemungkinan adanya pajak
berganda dapat dihindari karena PPN hanya dipungut atas nilai tambah
saja.
PPnBM merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi suatu barang yang
tergolong mewah. Pengenaan PPnBM dibebankan pada produsen atau PKP yang
menghasilkan atau mengimpor barang mewah. PPN dan PPnBM merupakan dua jenis
pajak yang berbeda meski memiliki sejumlah unsur yang sama. Pengenaan PPnBM ini
memiliki karakteristik yang sama dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
yaitu pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa di dalam daerah pabean.
PPN dan PPnBM merupakan suatu kesatuan, artinya pengenaanya PPnBM
selalu bersamaan dengan PPN. Adapun karakteristik PPnBM adalah sebagai berikut:

19
1. Dikenakan kali hanya satu yaitu pada saat penyerahan Barang Kena Pajak
(BKP) yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau
pada saat impor barang mewah..
2. PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN. PPnBM akan dibebankan
sebagai biaya oleh PKP yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau
Jasa Kena Pajak (JKP) pada mata rantai distribusi yang kedua, sehingga
akan menjadi unsur harga jual yang diminta dari pembeli, yaitu PKP pada
jalur berikutnya atau konsumen yang secara langsung membeli dari
pedagang besar.
3. PPnBM merupakan pungutan tambahan setelah atau di samping PPN. Hal
ini dimaksudkan agar konsumen yang membeli barang mewah, yang pada
umumnya merupakan konsumen dengan daya beli tinggi, memikul beban
tambahan lebih tinggi dibanding konsumen berdaya beli rendah.
4. Jika eksportir melakukan ekspor BKP yang tergolong mewah, PPnBM yang
sudah dibayar saat perolehannya dapat diminta Kembali/restitusi.
Meskipun PPnBM tidak dapat dikreditkan, tetapi apabila BKP yang
tergolong mewah diekspor, maka PPnBM yang dibayar berkaitan dengan
perolehan BKP yang tergolong mewah yang berhubungan langsung
dengan BKP, dapat diajukan permintaan restitusi.

3.2. SUBYEK PPN DAN PPnBM


Subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Definisi PKP sesuai pasal
1 angka 15 UU PPN adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-undang PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk
dikukuhkan menjadi PKP (Pasal 3, PMK 68/PMK.03/2010). Pengertian Pengusaha
sesuai pasal 1 angka 14 adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya :
a. menghasilkan barang,

20
b. mengimpor barang,
c. mengekspor barang
d. melakukan usaha perdagangan,
e. memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
f. melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan
jasa dari luar Daerah Pabean.
Beberapa contoh yang termasuk pengusaha kena pajak sebagai subjek PPN,
yaitu:
1. Pabrikan.
2. Importir.
3. Agen utama atau penyalur utama.
4. Pengusaha pemegang hak atau menggunakan paten atau merek dagang
Barang Kena pajak.
5. Pedagang besar.
6. Eksportir.
7. Pedagang eceran besar.
8. Pemborong atau kontraktor.
9. Pengusaha bidang telekomunikasi.
10. Pengusaha jasa angkatan udara dalam negeri.
11. Pengusaha lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban Subjek Pajak
Kecuali Pengusaha Kecil, Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau
melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak,
dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan :
1. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. memungut pajak yang terutang;
3. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam
hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang

21
terutang; dan
4. melaporkan penghitungan pajak.
Pengusaha Kecil adalah adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan
jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp
4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus ribu rupiah) dan tidak wajib
melakukan hal tersebut di atas kecuali memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Namun Pengusaha Kecil wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu
bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya
melebihi batas tersebut.
Subjek PPnBM dibagi 2 kategori yaitu :
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
PKP adalah orang pribadi/badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan
usaha/pekerjaannya menghasilkan BKP, mengimpor BKP, mengekspor BKP
serta melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan BKP tidak berwujud dari
luar daerah pabean, melakukan usaha JKP/ memanfaatkan JKP dari luar
daerah pabean. Contoh subjek PPnBM:
2. pabrikan/ produsen.
3. Pengusaha real estate,importir, indentor.
4. Pengusaha bidang pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan
perkebunan.
5. Pemegang hak paten dan merk dagang.
6. Kontraktor/ sub kontraktor bangunan.

b. Pengusaha yang memilih menjadi PKP


Meliputi eksportir dan pedagang yang menyerahkan BKP kepada PKP.

3.4. OBYEK PPN DAN PPnBM


Objek Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Undang-undang Nomor 42 tahun 2009 tentang perubahan ketiga

22
atas undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 mengenai Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan pajak penjualan atas Barang Mewah, maka rumusan objek
PPN secara umum terdapat dalam pasal 4 UU Nomor 42 Tahun 2009 sebagai
berikut:
1. Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan
oleh pengusaha.
2. Impor barang kena pajak.
3. Penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha.
4. Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean.
5. Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
6. Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak
7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
dan
8. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Secara khusus Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) timbul sejak UU Nomor 11
Tahun 1994 yaitu dalam Pasal 16C dan Pasal 16D dengan bunyi pasal tersebut
sebagai berikut :
1. Pasal 16C : “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri
atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan“. (PMK-163/PMK.03/2012 Tentang Batasan
Dan Tata Cara Pengenaan PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri).
2. Pasal 16D :”Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva
oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut
tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai
yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan“.

23
Pengertian Barang Kena Pajak
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang PPN, sementara pengertian barang adalah adalah barang berwujud,
yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang
tidak bergerak, dan barang tidak berwujud (Pasal 1 angka 2 dan 3 UU PPN).
Pada prinsipnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN)
kecuali yang ditentukan lain oleh UU PPN itu sendiri. Kita ketahui bahwa UU
PPN menganut azas negatif list dimana diatur secara rinci oleh Undang Undang
PPN tentang barang-barang yang tidak dikenakan PPN, yaitu di Pasal 4A ayat (2)
Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 artinya secara otomatis barang-barang
lainnya merupakan Barang Kena Pajak.
Perlu kita pahami bahwa terdapat beberapa pengertian yang masuk dalam
wilayah atau kondisi-kondisi tertentu yang termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak dan bukan penyerahan Barang Kena Pajak. Yang
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah kondisi-
kondisi sebagai berikut :
1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
2. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing).
3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang
4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena
Pajak
5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan.
6. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
7. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
8. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka

24
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada
pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak;
Sedangkan yang bukan termasuk pengertian Penyerahan Barang kena Pajak
adalah kondisi-kondisi sebagai berikut :
1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
3. penyerahan Barang Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak
melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
4. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah
Pengusaha Kena Pajak; dan
5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU
PPN.
Penyerahan barang yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
2. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud;
3. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
4. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
Pengertian Jasa Kena Pajak
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang PPN,
sementara pengertian Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan
suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang,

25
fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan (Pasal 1 angka 5 dan 6 UU PPN). Kita
ketahui juga bahwa UU PPN menganut
Pada prinsipnya semua jasa merupakan Jasa Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali
yang ditentukan lain oleh UU PPN itu sendiri. Kita ketahui bahwa UU PPN
menganut azas negatif list dimana diatur secara rinci oleh Undang Undang PPN
tentang jasa-jasa yg tidak dikenakan PPN, yaitu di Pasal 4A ayat (3) Undang
Undang Nomor 42 Tahun 2009, artinya secara otomatis juga bahwa jasa-jasa
lainnya merupakan Jasa Kena Pajak.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak
yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara
cuma-cuma.
Penyerahan jasa yang terutang Pajak Pertambahan Nilai harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
1. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
2. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
3. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di
dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai; misalnya : Pengusaha
Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang
berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang
Pajak Pertambahan Nilai.
Ekspor Jasa Kena Pajak
Pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam
Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar
Daerah Pabean. (Pasal 4 ayat 1 huruf h).
Jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai PPN Tarif 0% sesuai dengan

26
Pasal 2 ayat (3)PMK-70/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan PMK-
30/PMK.03/2011 tentang Batasan Kegiatan Dan Jenis Kena Pajak Yang Atas
Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, adapun jenis jasa tersebut adalah :
1. Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan
2. jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi
ketentuan
3. jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan
jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi, yang batasan
kegiatannya memenuhi ketentuan.
4. untuk selain Jasa Maklon; a). jasa yang melekat pada atau jasa untuk
barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau b). jasa
yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di
luar Daerah Pabean.
Atas Ekspor tersebut diwajibkan untuk membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa
Kena Pajak dengan mekanisme, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Ekspor
Jasa Kena Pajak harus membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak pada
saat Ekspor Jasa Kena Pajak, dan Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak tersebut
dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan adalah
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Objek PPnBM

Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No.42 tahun 2009, PPnBM


dikenakan atas Penyerahan BKP tergolong mewah yang diserahkan oleh
pengusaha yang menghasilkan BKP barang mewah. Dilakukan di dalam daerah
pabean dan dilakukan dalam kegiatan usaha/pekerjaan pengusaha PPnBM
dikenakan atas:
- Barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
- Barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.

27
- Barang yang dikonsumsi untuk menunjukan status atau barang umumnya
digunakan oleh masyarakat berpenghasilkan tinggi.

Pengecualian Objek PPnBM


- Barang hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil kehutanan yang
dipetik langsung/ disadap langsung dari sumbernya.
- Barang hasil perburuan.
- Barang hasil pertambangan.
- Saham obligasi dan surat berharga.

3.5. TARIF PPN DAN PPnBM


Tarif PPN adalah : 10% (sepuluh persen). Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen)
diterapkan atas:
- ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
- ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
- ekspor Jasa Kena Pajak.

PPnBM dibagi menjadi beberapa lapisan, yakni:


a. Paling rendah 10%.
b. Paling tinggi 200%.
c. Pengusaha yang melakukan ekspor BKP mewah 0%.

3.6. CARA MENGHITUNG PPN DAN PPnBM


PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif
Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP adalah dasar yang dipakai untuk
menghitung pajak yang terutang, berupa:
a. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang
PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

28
b. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena
Pajak (JKP),ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-
Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak
atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh
penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh
penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
c. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor
BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
d. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh eksportir.
e. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai
berikut :
a. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
b. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
c. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan
harga jual rata-rata;
d. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
e. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual
eceran;
f. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;

29
g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga
lelang;
i. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
j. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah
10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya
ditagih.

Untuk mempermudah pemahaman, berikut ini adalah contoh perhitungan PPN


dan PPnBM.

TABEL 3.1
Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM

NO TRANSAKSI PPN
1. PKP “A” menjual tunai BKP PPN yang terutang yang dipungut PKP
dengan Harga Jual Rp A
25.000.000,00 = 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut
merupakan Pajak Keluaran (PK) yang
dipungut oleh PKP “A”.
2. PKP “B” melakukan PPN yang terutang yang dipungut oleh
penyerahan JKP dengan PKP “B”
memperoleh Penggantian = 10% x Rp20.000.000,00
sebesar Rp20.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut
merupakan Pajak Keluaran yang
dipungut oleh PKP “B”.
3. Seseorang mengimpor BKP PPN yang dipungut melalui Direktorat
dari luar Daerah Pabean Jenderal Bea dan Cukai
dengan Nilai Impor(NI) sebesar = 10% x Rp15.000.000,00
Rp15.000.000,00. = Rp 1.500.000,00
4. PKP “D” mengimpor BKP yang Penghitungan PPN dan PPnBM yang
tergolong Mewah dengan Nilai terutang atas impor BKP yang tergolong
Impor sebesar Rp5.000.000,00 mewah tersebut adalah:

30
BKP yang tergolong mewah DPP = Rp 5.000.000,00
tersebut selain dikenai PPN PPN = 10% x Rp5.000.000,00
juga dikenai PPnBM misalnya = Rp500.000,00
dengan tarif 20%. PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00
= Rp1.000.000,00
5. Kemudian PKP “D” Oleh karena PPnBM yang telah dibayar
menggunakan BKP yang atas BKP yang diimpor tersebut tidak
diimpor tersebut sebagai dapat dikreditkan, maka PPnBM
bagian dari suatu BKP yang sebesar Rp1.000.000,00 dapat
atas penyerahannya dikenakan ditambahkan ke dalam harga BKP yang
PPN 10% dan PPnBM dengan dihasilkan oleh PKP “D” atau
tarif misalnya 35%. dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang
dihasilkannya, maka penghitungan PPN
dan PPn BM yang terutang adalah :
DPP = Rp50.000.000,00
PPN = 10% x Rp50.000.000,00
= Rp5.000.000,00
PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00
= Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang
dibayar pada saat impor merupakan
pajak masukan bagi PKP “D” dan PPN
sebesar Rp5.000.000,00 merupakan
pajak keluaran bagi PKP “D”.
Sedangkan PPnBM sebesar
Rp1.000.000,00 tidak dapat
dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM
sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat
dikreditkan oleh PKP “X”.
Sumber: Pajak.go.id

3.7. AKUNTANSI PPN


Waluyo (2012) menyatakan bahwa akuntansi komersial tidak mengatur
tersendiri perilaku akuntansi khusus untuk PPN maupun PPnBM. PSAK hanya
mengatur Akuntansi Pajak Penghasilan. Namun demikian baik dalam akuntansi
komersial maupun dalam akuntansi pajak terdapat persaman dalam melakukan
pencatatan yang harus dipersiapkan antara lain sebagai berikut.

a. Akun Pajak Masukan

31
Untuk mencatat besarnya Pajak masukan yang dibayar atau dipungut atas
terjadinya transaksi pembelian.
b. Akun Pajak Pengeluaran
Untuk mencatat Pajak Keluaran yang dipungut atau disetorkan ke kas
negara atas transaksi.

Menurut Purwono (2010), satu hal yang harus diperhatikan ketika


melakukan pencatatan akun PPN adalah sifat PPN Masukan (PM). Jika PM dapat
dikreditkan, maka pecatatannya dilakukan sebagai uang muka pajak. Sebaliknya,
jika PM tidak dapat dikreditkan, maka pencatannya langsung dibebankan sebagai
biaya. Kemudian untuk PPnBM, karena PPnBM mempunyai karakteristik sebagai
pajak yang tidak dapat dikreditkan, maka pencatatannya lansung dibebankan
sebagsai biaya. Dokumen sumber yang digunakan sebagai dasar pencatatan
adalah faktur, faktur pajak dan SSP.

Warsidi (2019) menyatakan bahwa akuntansi akuntansi PPN) tergantung


pada status entitas, apakah sebagai pengusaha kena pajak (PKP) atau bukan
pengusaha kena pajak (non-PKP). Bagi non-PKP, PPN yang dibayar pada saat
membeli barang/jasa menjadi bagian biaya perolehan barang/jasa yang dibeli
(menambah biaya perolehan). Ketika menjual barang/jasa, non-PKP tidak
berkewajiban memungut PPN. Secara praktis, tidak ada kewajiban administrasi
PPN bagi non-PKP.

Bagi PKP, beberapa ketentuan yang harus diperhatikan ketika melakukan


pencatatan atas transaksi adalah:

a. Akuntansi PPN secara umum terkait dengan dua jenis transaksi, yaitu :
- pembelian barang/jasa kena pajak;
- penjualan barang/jasa kena pajak.
b. Ketika PKP tersebut membeli barang/jasa, PKP harus membedakan apakah
PPN yang dibayar dalam harga beli barang/jasa itu bisa dikreditkan atau tidak.
c. PPN yang dibayar PKP saat membeli barang/jasa dikenal dengan istilah pajak
masukan. Jika pajak masukan boleh dikreditkan menurut ketentuan PPN,

32
pajak masukan sementara diakui sebagai aset lancar. Nama akun yang bisa
digunakan misalnya adalah Pajak Masukan atau PPN Masukan.
d. Jika pajak masukan tidak boleh dikreditkan, pajak masukan menjadi bagian
biaya perolehan barang/jasa yang dibeli (menambah biaya perolehan).
e. Ketika menjual barang/jasa kena pajak, PKP berkewajiban memungut PPN dari
pihak pembeli. Dengan pemungutan PPN itu berarti harga yang dibebankan
kepada pembeli termasuk PPN 10%. Pajak yang dipungut oleh PKP dikenal
dengan istilah pajak keluaran.Pajak keluaran diakui sebagai liabilitas
(kewajiban) dalam laporan posisi keuangan.
f. Pada akhir masa pajak (akhir bulan), akun pajak masukan dikreditkan (ditutup)
ke akun pajak keluaran.
g. Jika setelah pengkreditan itu pajak keluaran bersaldo kredit, saldo kredit itu
menjadi jumlah PPN terutang yang harus disetorkan oleh PKP ke kas negara.
h. PPN terutang pada saat transaksi serah-terima barang atau jasa kena pajak,
atau pada saat pembayaran terkait transaksi serah-terima barang atau jasa
kena pajak, mana yang lebih dulu.

Contoh berikut dimaksudkan untuk memperjelas prosedur umum akuntansi PPN


(Warsini, 2019).

PT Rembulan adalah perusahaan dagang yang berstatus sebagai pengusaha kena


pajak (PKP).
TRANSAKSI JURNAL YG DIBUAT PT REMBULAN
Penjualan BKP 3 Juli 2019
Piutang Usaha Rp165.000.000
Pada tanggal 3 Juli 2019,
Penjualan Rp150.000.000
PT Rembulan menjual
PPN Keluaran Rp15.000.000
persediaan barang
dagangan (BKP) secara HPP Rp120.000.000
kredit kepada CV Persediaan Barang Dagangan120.000.000
Gemintang dengan harga
Dengan jurnal di atas, PT Rembulan sudah
jual Rp150.000.000. Harga
mengakui terutangnya PPN Rp15.000.000 (= 10%
pokok persediaan yang
× Rp150.000.000) pada saat barang dagangan
dijual itu adalah
diserahkan. Dengan dicatatnya harga pokok
Rp120.000.000.
(Rp120.000.000), debit dan kredit di atas juga
mengasumsikan PT Rembulan menggunakan

33
metode pencatatan persediaan perpetual.
Pembelian barang kena 5 Juli 2019
pajak Persediaan Barang Dagangan Rp60.000.000
PPN Masukan Rp6.000.000
Pada tanggal 5 Juli 2019,
Utang Usaha Rp 66.000.000
PT Rembulan membeli
persediaan barang Pemungutan PPN oleh PT Mentari sejumlah
dagangan (BKP) secara Rp6.000.000 (= 10% × Rp60.000.000) dicatat
kredit dari PT Mentari sebagai PPN Masukan oleh PT Rembulan. Jumlah
(PKP) dengan harga beli tersebut tertera dalam faktur pajak yang
Rp60.000.000. diterbitkan oleh PT Mentari.
Retur penjualan barang 7 Juli 2019
kena pajak Retur Penjualan Rp50.000.000
PPN Keluaran Rp5.000.000
Pada tanggal 7 Juli 2019,
Piutang Usaha Rp55.000.000
PT Rembulan menerima
retur penjualan barang Persediaan Barang Dagangan Rp40.000.000
dagangan dari CV
Beban Pokok Penjualan Rp40.000.000
Gemintang. Jumlah harga
jual barang yang diretur Transaksi ini terkait dengan penjualan tanggal 3
adalah Rp50.000.000. Juli 2019. Akun Retur Penjualan didebit sejumlah
harga jual barang dagangan yang dikembalikan
(Rp50.000.000). Dengan asumsi PT Rembulan
menerbitkan faktur pajak pengganti, PT
Rembulan juga mendebit (mengurangi) PPN
Keluaran sejumlah Rp5.000.000 (= 10% ×
Rp50.000.000).
Sistem persediaan perpetual mengharuskan PT
Rembulan mendebit persediaan yang diretur
dengan harga pokok sejumlah Rp40.000.000 (=
Rp50.000.000÷Rp150.000.000 × Rp120.000.000).
PT Rembulan juga membatalkan pengakuan
beban pokok penjualan dengan jumlah yang
sama.
Pembayaran utang dagang 8 Juli 2019
Utang Usaha Rp66.000.000
Pada tanggal 8 Juli 2019,
Persediaan Barang Dagangan Rp1.200.000
PT Rembulan membayar
PPN Masukan Rp120.000
utang dagang kepada PT
Kas Rp64.680.000
Mentari atas pembelian
barang kena pajak pada Akun Utang Usaha Rp66.000.000. Diskon tunai
tanggal 5 Juli dan 2% (Rp1.320.000) berarti kas yang dibayarkan
memperoleh potongan hanya Rp64.680.000 (= Rp66.000.000 –
tunai 2%. Rp1.320.000).

34
Jumlah utang dagang Rp66.000.000 sebenarnya
mencakup pungutan PPN Rp6.000.000. Dengan
demikian, biaya perolehan barang dagangannya
adalah Rp60.000.000. Dengan diperolehnya
potongan tunai 2%, biaya perolehan persediaan
turun Rp1.200.000.
Jika PT Mentari menerbitkan faktur pajak
pengganti, besarnya pajak masukan atas
pembelian tanggal 5 Juli menjadi Rp5.880.000 (=
[Rp60.000.000 – Rp1.200.000] × 10%), atau turun
Rp120.000 (= Rp1.200.000 × 10%).
Jika PT Mentari tidak menerbitkan faktur pajak
pengganti, pajak masukan tetap Rp6.000.000.
Jurnal yang dibuat oleh PT Rembulan pada
tanggal 8 Juli 2019 adalah:
8 Juli 2019
Utang Usaha Rp66.000.000
Persediaan Barang Dagangan Rp1.200.000
Kas 64.800.000
Pembayaran jasa kena 9 Juli 2019
pajak Beban Jasa Konsultansi Rp50.000.000
PPN Masukan Rp5.000.000
Pada tanggal 9 Juli 2019,
Utang PPh Pasal 23 Rp1.000.000
PT Rembulan membayar
Kas Rp54.000.000
honorarium terkait jasa
konsultansi pajak Dalam transaksi ini, Firma Warisman Taxindo
sejumlah Rp50.000.000 (PKP) menerbitkan faktur pajak senilai
kepada Firma Warisman Rp55.000.000, terdiri dari penggantian jasa
Taxindo (PKP). konsultansi Rp50.000.000 dan PPN 10%
Rp5.000.000. Di pihak lain, PT Rembulan
memotong PPh pasal 23 sejumlah Rp1.000.000 (=
2% × Rp50.000.000).
PT Rembulan mendebit akun Beban Jasa
Konsultansi sejumlah nilai penggantian jasa
konsultansi Rp50.000.000, mendebit akun PPN
Masukan Rp5.000.000 yang dipungut oleh Firma
Warisman Taxindo. Jumlah tagihan dalam faktur
pajak dikurangi potongan PPh pasal 23, sehingga
kas yang dibayarkan berjumlah Rp54.000.000 (=
Rp55.000.000 – Rp1.000.000).
Penerimaan kas dari 10 Juli 2019
piutang Kas Rp110.000.000

35
Pada tanggal 10 Juli 2019, Piutang Usaha Rp110.000.000
PT Rembulan menerima
Dengan adanya retur penjualan tanggal 7 Juli
pembayaran dari CV
2019, saldo CV Gemintang berjumlah
Gemintang atas penjualan
Rp110.000.000 (= Rp165.000.000 –
persediaan tanggal 3 Juli
Rp55.000.000). Jurnal di atas mengasumsikan CV
2019.
Gemintang membayar penuh tanpa diskon.

11 Juli 2019
Pemanfaatan jasa kena Beban Sewa Rp7.500.000
pajak PPN Masukan Rp750.000
Utang PPh Pasal 23 Rp150.000
Pada tanggal 11 Juli 2019,
Kas Rp8.100.000
PT Rembulan menyewa
tiga unit mobil dari PT Transaksi ini serupa dengan transaksi tanggal 9
GrabMe (PKP) untuk lima Juli 2019. PT GrabMe menerbitkan faktur pajak
hari senilai Rp7.500.000 senilai Rp8.250.000, terdiri dari nilai sewa
tunai. Rp7.500.000 dan pungutan PPN 10% Rp750.000.
Sebagai pemotong PPh pasal 23, PT Rembulan
hanya membayar Rp8.100.000. PPh pasal 23 yang
dipotong berjumlah Rp150.000 (= 2% ×
Rp7.500.000).
17 Juli 2019
Penyerahan BKP kepada Piutang Usaha Rp83.600.000
wajib pungut PPN Penjualan Rp76.000.000
PPN Keluaran – Pemungut Rp7.600.000
Pada tanggal 17 Juli 2019,
PT Rembulan menjual Harga Pokok Penjualan Rp50.000.000
barang dagangan (BKP) Pers Barang Dagangan Rp50.000.000
secara kredit kepada
Jurnal di atas pada dasarnya sama dengan jurnal
Pemerintah Kabupaten
transaksi tanggal 3 Juli 2019. Pemberian rabat
Banyumas. Harga jual
(diskon terkait pembelian dalam jumlah besar)
barang dagangan
berarti harga jual yang benar-benar dibebankan
Rp80.000.000 dan rabat
kepada pembeli diturunkan, dalam contoh di atas
(diskon kuantitas)
menjadi Rp76.000.000 (= 95% × Rp80.000.000).
diberikan 5%. Harga
pokoknya adalah Pihak yang memungut PPN adalah Pemerintah
Rp50.000.000. Kota Banyumas yang dalam ketentuan PPN
termasuk wajib pungut PPN.

20 Juli 2019
Penerimaan pembayaran Kas Rp74.860.000
atas penyerahan BKP PPN Keluaran – Pemungut Rp7.600.000
kepada WAPU PPN PPh Pasal 22 Dibayar di Muka Rp1.140.000
Piutang Usaha Rp83.600.000
Pada tanggal 20 Juli 2019,

36
PT Rembulan menerima Selain sebagai pemungut PPN, Pemerintah
pembayaran dari Kabupaten Banyumas juga pemotong PPh pasal
bendahara Pemerintah 22. PPh pasal 22 dipotong dari jumlah yang
Kabupaten Banyumas. diterima PT Rembulan selaku rekanan sejumlah
Rp1.140.000 (= 1,5% × Rp76.000.000).
Debit ke akun PPN Keluaran – Pemungut
sejumlah Rp7.600.000 (= 10% × Rp76.000.000)
dilakukan karena pihak yang memungut dan
menyetorkan PPN adalah Pemerintah Kabupaten
Banyumas.
Kas yang diterima oleh PT Rembulan adalah nilai
faktur setelah dikurangi pungutan PPN dan
potongan PPh pasal 22, yaitu Rp74.860.000 (=
Rp83.600.000 – Rp7.600.000 – Rp1.140.000).

22 Juli 2019
Penyerahan BKP secara Beban Sumbangan Rp16.500.000
cuma-cuma Persediaan Barang Dagangan Rp15.000.000
PPN Keluaran Rp1.500.000
Pada tanggal 22 Juli 2019,
PT Rembulan memberikan Penyerahan barang kena pajak secara cuma-cuma
sumbangan berupa dikenai PPN 10% dari harga pokok. Dalam
persediaan barang transaksi di atas PPN yang terutang terkait
dagangan (BKP) kepada pemberian sumbangan adalah Rp1.500.000
Yayasan AMANAH.. Harga (=10% × Rp15.000.000). Beban sumbangan diakui
pokok persediaan yang sejumlah harga pokok persediaan yang
disumbangkan itu adalah diserahkan ditambah PPN.
Rp15.000.000.

25 Juli 2019
Pemanfaatan barang Beban Royalti Rp56.000.000
tidak berwujud dari luar PPN Masukan Rp5.500.000
daerah pabean Utang PPN Rp5.500.000
Utang PPh Pasal 26 Rp11.000.000
Pada tanggal 25 Juli 2019,
Kas Rp45.000.000
PT Rembulan membayar
royalti sejumlah $5,000 Dengan adanya penjabaran dan pembayaran
kepada Seven Star, Inc., mata uang asing, jurnal di atas cukup kompleks.
sebuah perusahaan yang
Beban royalti ($5,000) diukur kembali dalam
bertempat kedudukan di
rupiah menggunakan kurs tengah BI menjadi
Amerika Serikat. Royalti
Rp56.000.000 (= $5,000 × Rp11.200).
dibayarkan atas
penggunaan merk dagang. Perhitungan dan pemotongan PPh pasal 26 oleh

37
Kurs tengah Bank PT Rembulan atas penghasilan royalti yang
Indonesia $1 = Rp11.200, diterima oleh Seven Star, Inc. didasarkan pada
dan kurs pajak Menteri kurs pajak, yaitu sejumlah Rp11.000.000 (=
Keuangan $1 = Rp11.000. Rp11.000 × $5.000 × 20%).
Jurnal untuk mencatat Kas yang dibayarkan kepada Seven Star, Inc.
transaksi pembayaran setara Rp45.000.000 (= Rp56.000.000 –
royalti beserta dampak Rp11.000.000).
pajak pembayaran royalti
PPN atas pemanfaatan barang tidak berwujud
itu adalah sebagai berikut:
dari luar daerah pabean dihitung dengan
menggunakan kurs pajak, yaitu sejumlah
Rp5.500.000 (= Rp11.000× $5.000 × 10%). Jumlah
Rp5.500.000 disetor sendiri oleh PT Rembulan,
tidak dikurangkan atas penghasilan royalti Seven
Star, Inc.
28 Juli 2019
Penjualan aktiva tetap Kas Rp88.000.000
Akumulasi Penyusutan Rp155.000.000
Pada tanggal 28 Juli 2019,
Peralatan Rp180.000.000
PT Rembulan menjual
PPN Keluaran Rp8.000.000
secara tunai truk bekas
Keuntungan Pengalihan AT Rp55.000.000
seharga Rp80.000.000.
Truk itu diperoleh pada Akun Kas didebit Rp88.000.000 (=110% ×
tanggal 5 Juni 2012 Rp80.000.000).
dengan harga perolehan
Saldo akun Akumulasi Penyusutan sebelum
Rp180.000.000. Nilai buku
terjadinya penjualan sejumlah Rp155.000.000
pada saat truk dijual
diketahui berdasarkan informasi harga perolehan
adalah Rp25.000.000.
(Rp180.000.000) dikurangi nilai buku pada saat
Pajak masukan atas
penjualan (Rp25.000.000). Saldo Rp155.000.000
pembelian truk tersebut
itu didebit seluruhnya (dihapus dari pembukuan).
sudah dikreditkan pada
bulan Juni 2012. Akun Peralatan dikredit Rp180.000.000 (dihapus
dari pembukuan).
PPN Keluaran dikredit sejumlah Rp8.000.000 (=
10% × Rp80.000.000). Jumlah Rp8.000.000 itu
dipungut dari pembeli truk.
Keuntungan Pengalihan Aset Tetap sejumlah
Rp55.000.000 adalah selisih lebih besar dari harga
jual (Rp80.000.000) dengan nilai buku
(Rp25.000.000).
10 Agustus 2019
Penyetoran hasil Utang PPN Rp5.500.000
pemotongan pajak Utang PPh Pasal 23 Rp1.150.000
Utang PPh Pasal 26 Rp11.000.000

38
Pada tanggal 10 Agustus Kas Rp17.650.000
2019, PT Rembulan
Jurnal di atas mencatat pelunasan PPN, PPh pasal
menyetor utang PPN atas
23, dan PPh pasal 26 yang terutang dari masa
pemanfaatan barang tidak
pajak Juli 2019. Utang PPN sejumlah Rp5.500.000
berwujud dari luar daerah
terkait dengan pemanfaatan barang tidak
pabean, utang PPh pasal
berwujud (merk dagang) dari luar daerah pabean.
23, dan utang PPh pasal
26 ke kas negara.

25 Agustus 2019
Kredit pajak masukan PPN Keluaran Rp19.500.000
PPN Masukan Rp17.130.000
Pada tanggal 25 Agustus
Kas Rp2.370.000
2019, PT Rembulan
menyetor PPN kurang Akun PPN Masukan (Pajak Masukan) adalah akun
bayar berdasarkan kredit sementara yang bersaldo normal debit. Kredit
pajak masukan dan pajak masukan berarti menyalinghapuskan akun
perhitungan SPT Masa PPN Masukan dengan PPN Keluaran (Pajak
PPN bulan Juli ke kas Keluaran) yang bersaldo normal kredit. Dengan
negara. kata lain, PPN Masukan dikredit dan PPN
Keluaran didebit secara bersamaan.
Saldo PPN Masukan yang lebih kecil daripada PPN
Keluaran menimbulkan PPN kurang bayar.
Sebaliknya, saldo PPN Masukan yang lebih besar
daripada PPN Keluaran menimbulkan PPN lebih
bayar.
Jurnal di atas menunjukkan timbulnya PPN
kurang bayar yang harus disetorkan ke kas negara
sejumlah Rp2.370.000 (= Rp19.500.000 –
Rp17.130.000) untuk masa pajak Juli 2019.
Jika pada masa pajak Agustus pajak keluaran PT
Rembulan berjumlah Rp25.000.000, pajak
masukan yang dapat dikreditkan berjumlah
Rp28.000.000, dan PT Rembulan meminta
restitusi, jurnal kredit pajak masukan adalah
sebagai berikut:
10 Septermber 2019
Debit: PPN Keluaran Rp25.000.000
Piutang PPN Lebih Bayar Rp3.000.000
Kredit: PPN Masukan Rp28.000.000
Jika PT Rembulan memilih untuk
mengkompensasikan PPN lebih bayar tersebut ke

39
masa pajak berikutnya, jurnal kredit pajak
masukan menjadi sebagai berikut:
10 Septermber 2019
Debit: PPN Keluaran Rp25.000.000
Kredit: PPN Masukan Rp25.000.000
Dengan jurnal di atas, PPN Masukan masih
bersaldo debit Rp3.000.000 (= Rp28.000.000 –
Rp25.000.000) yang dapat dikompensasikan
dengan PPN Keluaran masa pajak berikutnya.

Sumber: Warsini (2019)

LATIHAN SOAL
SOAL 1
Berikut ini data PPN Keluaran dan PPN Masukan PT. Adil dan Sejahtera (PT AS) untuk masa
Janurai s/d Mei 2020, buatlah jurnal transksi untuk mengakui kurang (lebih) bayar setiap
masa.

MASA PPN KELUARAN PPN MASUKAN PPN KURANG


(LEBIH)
JANUARI
75.000.000 35.000.000 40.000.000
FEBRUARI -
45.000.000 60.000.000 15.000.000
MARET
85.000.000 40.000.000 45.000.000
APRIL -
50.000.000 60.000.000 10.000.000
MEI
55.000.000 50.000.000 5.000.000

40
BAB 4
AKUNTANSI PPH PASAL 21

Capaian Pembelajaran
Setelah membaca dan mengkaji bab ini, mahasiswa mampu:
1. Mengetahui dasar hukum dan definisi PPh pasal 21
2. Menghitung PPh 21
3. Melakukan pencatatan Akuntansi PPh pasal 21

4.1. DASAR HUKUM PPh PASAL 21


Dasar hukum perhitungan dan pemotongan pajak penghasilan ini
terdapat pada UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 21 dan Pasal 26. Selain itu, terdapat
paraturan di bawah UU sebagai sarana untuk mempermudah Wajib Pajak dalam
menghitung, memotong, menyetor dan melaporkan PPh pasal 21 dan/atau PPh
pasal 26 berupa Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelapoean Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan
Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.

4.2. DEFINISI PPh PASAL 21


PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. PPh Pasal 21 merupakan cara
pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri.Pembayaran PPh pasal 21 ini dilakukan dalam tahun berjalan melalui
pemotongan oleh pihak-pihak tertentu.

Sedangkan PPh pasal 26 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan


sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal

41
26. Jenis penghasilan tersebut bias berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

4.3. CARA MENGHITUNG PPh PASAL 21


PPh pasal 21 dihitung dengan cara :
Tarif x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Tarif yang dipakai adalah tarif Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan, yaitu:
TABEL 4.1
Tarif untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


sampai dengan Rp. 50.000.000 5%
di atas Rp. 50.000.000-Rp. 250.000.000 15 %
di atas Rp. 250.000.000-Rp. 500.000.000 25 %
di atas Rp. 500.000.000 30 %
Sumber : UU No. 36 Tahun 2008
DPP untuk penghitungan PPh pasal 21 ditentukan oleh kategori pegawai yang
akan dihitung pajaknya baik itu pegawai tetap, pegawai tidak tetap dan bukan
pegawai. Tabel berikut menjelaskan DPP untuk masing-masing kategori tersebut:
TABEL 4.2
DPP UNTUK PENGHITUNGAN PPh ASAL 21
NO KATEGORI DPP
1. Pegawai Tetap Penghasilan Kena Pajak =
jumlah seluruh penghasilan bruto setelah
dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebesar 5%
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar
oleh pegawai kepada dana pensiun yang

42
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan atau badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang
dipersamakan dengan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan
c. PTKP
2. Penerima Pensiun Penghasilan Kena Pajak =
Berkala seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi
dengan:
a. biaya pensiun, sebesar 5% dari penghasilan
bruto, setinggi-tingginya Rp 200.000,00
sebulan atau Rp 2.400.000,00 setahun.
b. PTKP
3. Pegawai tidak tetap Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto -
yang penghasilannya
PTKP
dibayar secara
bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan
yang diterima dalam 1
bulan kalender telah
melebihi Rp.
4.500.000
4. Pegawai tidak tetap Penghasilan Kena Pajak =
yang menerima upah
Penghasilan bruto - Rp 450.000
harian, upah
mingguan, upah
satuan atau upah
borongan, sepanjang
penghasilan kumulatif
yang diterima dalam 1
bulan kalender belum
melebihi Rp 4.500.000
5. Bukan pegawai yang Penghasilan Kena Pajak =
menerima imbalan
50% dari jumlah penghasilan bruto – PTKP
yang bersifat
berkesinambungan perbulan
6. Bukan pegawai yang 50% dari jumlah penghasilan bruto
menerima imbalan
yang tidak bersifat
berkesinambungan
7. Selain di atas Jumlah penghasilan bruto
Sumber : PER 16/PJ/2016

43
4.4. AKUNTANSI PPH PASAL 21
Akuntansi PPh pasal 21 dilakukan dalam rangka menyesuaiakn kondisi
umum akuntansi bisnis dengan kepatuhan terhadap peraturan pemerintah,
khususnya tentang peraturan perpajakan. Dalam membuat jurnal, bagian
akuntansi harus memahami konsep bahwa semua transaksi yang dicatat harus
valid, terotorisasi dan akurat. Valid maksudnya bahwa setiap transaksi yang
dicatat harus didasarkan pada dokumen sumber yang memadai. Terotorisasi
maksudnya bahwa semua dokumen transaksi harus diotorisasi oleh pejabat yang
berwenang. Akurat maksudnya pencatatan dilakukan dengan teliti dan benar.
Tabel berikut ini adalah contoh penerapan dari konsep tersebut (Purwono,
2010).

TABEL 4.3
DOKUMEN SUMBER UNTUK PENCATATAN TRANSAKSI PERPAJAKAN

TRANSAKSI DOKUMEN SUMBER SAAT TERUTANG PPh 21


Pada saat pembayaran Slip gaji, bukti kas Saat pembayaran gaji
gaji keluar, cek
Pada saat menerima Faktur Akhir bulan terutangnya
tagihan pembelian/tagihan penghasilan
Saat membayar tagihan Cek, bukti kas keluar -
Saat menyetor pajak ke Surat Setoran Pajak -
kas negara (SSP)
Sumber : Purwono (2010)

Berikut ini adalah contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai tetap yang
menerima penghasilan teratur setiap bulan (diambil dari Lampiran PER
16/PJ/2016 dengan beberapa penyesuaian).

Contoh 1:

Retto sejak tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi dengan
memperoleh gaji sebulan Rp5.750.000,00. Retto setiap bulan membayar iuran
pensiun sebesar Rp200.000,00. Retto menikah tetapi belum mempunyai anak.

44
PPh Pasal 21 bulan Januari yang dipotong PT Jaya Abadi adalah :

Penghasilan bruto:
Gaji 5.750.000,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan 5% X Rp 5.750.000,00 287.500,00
Iuran Pensiun 200.000,00 487.500,00
Penghasilan neto sebulan 5.262.500,00

Penghasilan neto setahun


12 X Rp 5.262.500,00 63.150.000,00
PTKP setahun
- untuk Wajib Pajak sendiri 54.000.000,00
- tambahan karena menikah 4.500.000,00 58.500.000,00
Penghasilan Kena Pajak Setahun 4.650.000,00
PPh Pasal 21 Terutang Rp 232.500,00
5% X Rp 4.650.000,00
PPh Pasal 21 bulan Januari Rp Rp 19.375,00
232.500,00 : 12

PT Jaya Abadi akan melakukan pencatatan sebagai berikut:


Diasumsikan gaji Retto dibayarkan pada tanggal 31 Januari, penyetoran PPh Ps
21 dilakukan tanggal 10 bulan berikutnya, dan iuran pensiun juga dibayarkan
tanggal 10 bulan berikutnya. Maka jurnal pembayaran gaji yang dibuat oleh PT
Jaya Abadi adalah:

Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

31 Jan Beban Gaji 5.750.000


Utang PPh 21 19.375
Utang iuran pensiun 200.000
Kas 5.530.625

Transaksi berikutnya adalah penyetoran PPh 21 ke bank kas negara melalui bank
atau kantor pos dan menyetor uran pensiun ke lembaga dana pensiun

Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

10 Feb Utang PPh 21 19.375


Utang iuran pensiun 200.000
Kas 219.375

45
Apabila Retto ingin mencatat pendapatan gaji tersebut dalam pembukuannya,
maka retto akan mencatat jurnal sebagai berikut:

Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

31 Jan Kas 5.530.625


Uang Muka PPh 21 19.375
Beban iuran pensiun 200.000
Pendapatan gaji 5.750.000

Dari jurnal di atas dapat dilihat bahwa uang riil (Take H ome Pay/ THP) yang
dibawa pulang Retto adalah Rp 5.530.625,00. Bagi Retto, PPh 21 yang bukan PPh
final yang dipotong oleh PT Jaya Abadi merupakan uang muka PPh yang bisa
dikreditkan di akhir tahun ketika akan melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi
Retto sendiri dan penghasilan ini dapat digabung dengan penghasilan lain yang
diterima Retto pada tahun pajak yang sama.
Apabila pembayaran gaji dilakukan pada setiap tanggal 1 bulan berikutnya,
maka jurnalnya adalah :
Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

31 Jan Beban Gaji 5.750.000


Utang PPh 21 19.375
Utang iuran pensiun 200.000
Utang gaji 5.530.625
(mencatat pebebanan gaji
dan pemotongan PPh 21
bulan Januari)

Jurnal yang dibuat pada tanggal 1 Februari ketikan dilakukan pembayarn gaji:

Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

1 Feb Utang Gaji 5.530.625


Kas 5.530.625
(mencatat pembayaran gaji
bulan Januari)

Contoh 2:

46
Bambang Eko pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak,
memperoleh gaji sebulan Rp8.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program
BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan
Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan
0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap
bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Bambang Eko membayar iuran Jaminan
Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana
juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar
iuran pensiun untuk Bambang Eko ke dana pensiun, yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp200.000,00, sedangkan
Bambang Eko membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Pada bulan
Januari 2020 Bambang Eko hanya menerima pembayaran berupa gaji.
Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari 2020 adalah sebagai berikut:

Gaji 8.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 40.000,00
Premi Jaminan Kematian 24.000,00
Penghasilan bruto 8.064.000,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan 5% X Rp 8.064.000,00 403.200,00
Iuran Pensiun 200.000,00
Iuran Jaminan Hari Tua 160.000,00
663.200,00
Penghasilan neto sebulan 7.400.800,00
Penghasilan neto setahun adalah 12 X Rp 7.400.800,00 88.809.600,00
PTKP setahun
- untuk Wajib Pajak sendiri 54.000.000,00
- tambahan karena menikah 4.500.000,00
58.500.000,00
Penghasilan Kena Pajak Setahun 30.309.600,00
PPh Pasal 21 Terutang
5% X Rp 30.309.000,00 1.515.450,00
PPh Pasal 21 bulan Januari Rp 1.515.450,00 : 12 126.288,00

PT Chandra Kirana akan melakukan pencatatan sebagai berikut:


Diasumsikan gaji Bambang Eko dibayarkan pada tanggal 31 Januari, penyetoran
PPh 21 dilakukan tanggai 10 bulan berikutnya, dan iuran BPJS juga dibayarkan

47
tanggal 10 bulan berikutnya. Maka jurnal pembayaran gaji yang dibuat oleh PT
Chandra Kirana adalah:
Sebelum pencatatan dimulai, sebaiknya dilakukan perincian pembayaran untuk
mempermudah pencatatan sebagai berikut:
GAJI 8.000.000
PREMI JKK 0,50% 40.000,00
PREMI JKM 0,30% 24.000,00

IURAN PENSIUN DIBAYAR PERUSAHAAN 200.000


IURAN PENSIUN DIBAYAR KARYAWAN 100.000
IURAN PENSIUN YANG HARUS DISETOR 300.000

PREMI JHT DIBAYAR PERUSAHAAN 3,70% 296.000


PREMI JHT DIBAYAR KARYAWAN 2% 160.000
PREMI JHT YG HARUS DISETOR 456.000

Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

31 Jan Beban Gaji 8.000.000


Beban Premi JHT 296.000
Beban iuran pensiun 200.000
Beban Premi JKK 40.000
Beban Premi JKM 24.000
Utang PPh 21 126.288
UtangPremi JHT 456.000
Utang Iuran pensiun 300.000
Utang Premi JKK 40.000
Utang Premi JKM 24.000
Kas 7.180.000

Transaksi berikutnya adalah penyetoran PPh 21 ke bank kas negara melalui bank
atau kantor pos dan menyetor uran pensiun ke lembaga dana pensiun

Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

10 Feb Utang PPh 21 126.288


UtangPremi JHT 456.000
Utang Iuran pensiun 300.000
Utang Premi JKK 40.000
Utang Premi JKM 24.000
Kas 946.288

Apabila Bambang Eko ingin mencatat pendapatan gaji tersebut dalam

48
pembukuannya, maka Bambang Eko akan mencatat jurnal sebagai berikut:

Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

31 Jan Kas 7.613.712


Uang Muka PPh 21 126.288
Beban iuran pensiun 100.000
Beban iuran JHT 160.000
Pendapatan gaji 8.000.000

Dari jurnal di atas dapat dilihat bahwa uang riil (Take H ome Pay/ THP) yang
dibawa pulang Bambang Eko adalah Rp 7.613.712,00. Bagi Bambang Eko, PPh 21
yang bukan PPh final yang dipotong oleh PT Chandra Kirana merupakan uang
muka PPh yang bisa dikreditkan di akhir tahun ketika akan melaporkan SPT
Tahunan Orang Pribadi Bambang Eko sendiri dan penghasilan ini dapat digabung
dengan penghasilan lain yang diterima Bambang Eko pada tahun pajak yang
sama.
Apabila pembayaran gaji dilakukan pada setiap tanggal 1 bulan berikutnya,
maka jurnalnya adalah :
Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

31 Jan Beban Gaji 8.000.000


Beban Premi JHT 296.000
Beban iuran pensiun 200.000
Beban Premi JKK 40.000
Beban Premi JKM 24.000
Utang PPh 21 126.288
UtangPremi JHT 456.000
Utang Iuran pensiun 300.000
Utang Premi JKK 40.000
Utang Premi JKM 24.000
Utang Gaji 7.613.712

Jurnal yang dibuat pada tanggal 1 Februari ketikan dilakukan pembayarn gaji:

Tanggal Ayat Jurnal DEBET KREDIT

1 Feb Utang Gaji 7.613.712


Kas 7.613.712
(mencatat pembayaran gaji

49
bulan Januari)

LATIHAN SOAL:
PT Almas Bersaudara Smart (ABS) yang bergerak di bidang industry elektronik,
selama bulan April 2020 memiliki beberapa transaksi pembayaran gaji dan
imbalan lain baik yang diberikan kepada pegawai tetap maupun pegawai tidak
tetap, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tuan Rayhan, berusia 40 tahun berstatus menikah dan memiliki 2 anak,
adalah direktur Utama PT ABS memperoleh gaji sebesar Rp 30.000.000,00/
bulan serta menerima tunjangan jabatan, transport dan makan dengan total
keseluruhan Rp 20.000.000,00. Untuk pegawai tetapnya PT ABS mengikutkan
program JAMSOSTEK yaitu premi jaminan kecelakaan kerja dan jaminan
kematian yang dibayar oleh perusahaan dengan jumlah masing-masing 0,40%,
dan 0,20% dari gaji pokok. Di samping itu PT ABS menanggung iuran jaminan
hari tua setiap bulan sebesar 2,5% dari gaji pokok. PT ABS juga mengikuti
program pensiun untuk pegawainya ke dana pensiun setiap bulan, untuk Tuan
Rayhan sebesar Rp 200.000,00/ bulan. Setiap bulan Tuan Rayhan membayar
iuran JHT sebesar 2% dari gaji pokok dan iuran pensiun sebesar Rp
100.000,00.
2. Dibayarkan fee sebesar US$3,000.00 kepada Mr. Ronald Duck dari Inggris yang
memberikan jasa konsultasi pemasaran produk selama 5 hari (Kurs Menkeu
1US$=Rp 14.500,00)
3. Diserahkan kepada Saudara Syafik Abdullah, pemenang utama atas hadiah
undian berupa uang tunai Rp 10.000.000,00
4. Dr. Rashif, yang beralamat di Jl Sawit Jingga adalah seorang dokter yang
bekerja paruh waktu di klinik kesehatan milik PT ABS, pada bulan April
menerima pembayaran uang konsultasi Rp 15.000.000,00.
5. Gunaris, pada bulan April mengundurkan diri karena sakit parah dan diberi
pesangon Rp 50.000.000,00.

50
6. Bandi, berstatus belum menikah adalah karyawan kontrak PT ABS dengan
dasar upah harian yang akan dibayarkan setiap tanggal 30 tiap bulannya,
dalam bulan April bekerja selama 17 hari kerja dengan upah harian Rp
550.000,00/hari.
7. Pembayaran jasa notaries kepada Bapak Afghan, SH sebesar Rp 30.000.000,00

PERTANYAAN:
1. Hitunglah PPh ps 21 yang dipotong PT ABS bulan April atas transaksi di
atas, kapan disetor dan kapan dilaporkan, dan kepada siapa PT ABS
memberikan bukti potong PPh Ps 21 bulan April 2011!
2. Buatkan jurnal atas transaksi tersebut!

51

Anda mungkin juga menyukai