Anda di halaman 1dari 28

Apa itu PPN?

PPN adalah singkatan dari Pajak Pertambahan Nilai, yang artinya Pajak yang dikenakan atas setiap
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam proses peredaran dari produsen ke
konsumen. Dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah Value Added Tax (VAT). PPN merupakan pajak
tidak langsung, yang berarti pajak dibebankan kepada pihak lain dan penanggung pajak (konsumen
akhir) tidak menyetorkan langsung pajaknya kepada kas negara. Contohnya adalah ketika anda membeli
baju, harga baju tersebut adalah Rp. 100.000 dan PPN sebesar 10% yaitu Rp.10.000, sehingga uang yang
harus anda bayarkan adalah Rp. 110.000. Anda tidak menyetorkan langsung nilai PPN sebesar 10% ke
kas negara, tetapi anda sebagai konsumen membayarkan PPN anda kepada penjual dan penjual
bertanggung jawab untuk menyetorkannya ke kas negara. Hal inilah yang disebut pajak tidak langsung.

Peraturan mengenai PPN sendiri diatur dalam Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Undang-Undang ini sudah mengalami tiga
kali perubahan sejak tahun 1983, dengan urutan sebagai berikut:

Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983

Undang-Undang PPN Nomor 11 Tahun 1994

Undang-Undang PPN Nomor 18 Tahun 2000

Subjek Pajak PPN

Definisi subjek Pajak PPN adalah orang pribadi dan/atau badan yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan melakukan kegiatan penyerahan dan menerima Barang/Jasa Kena Pajak. Hal ini dapat
diartikan bahwa seluruh orang atau badan yang berada di wilayah Indonesia dan/atau dalam daerah
pabean merupakan subjek Pajak PPN.

Objek PPN

Untuk mengetahui apa saja yang dikenakan PPN, maka anda harus mengetahui apa saja objek yang
dikenakan PPN:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha

2. Impor Barang Kena Pajak

3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha

4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

6. Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak

7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak


8. Ekspor JKP oleh Pengusaha Kena Pajak

Selain hal-hal yang diatur di atas, penyerahan yang menjadi objek Pajak PPN memiliki syarat sebagai
berikut:

1. Penyerahan merupakan Barang Kena Pajak Berwujud, Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa
Kena Pajak.

2. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.

3. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Ada beberapa Objek PPN yang diatur khusus dalam UU PPN:

Pasal 16C

Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegitan usaha atau pekerjaan oleh orang
pribadi atau badan yang hasilnya digunakan oleh pribadi atau pihak lain yang Batasan dan tata caranya
diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan

Pasal 16D

Penyerahan BKP berupa aktiva yang tujuan awalnya tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena
Pajak, Kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan

Bukan Objek PPN

Dalam Undang-Undang PPN juga diatur Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan
Nilai. Berikut adalah kelompok Barang dan Jasa yang tidak dikenakan PPN

1. Barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. (Contoh:
Minyak mentah, gas bumi, panas bumi, pasir)

b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat (Contoh: Beras putih, jagung, sagu)

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan
minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering

d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

2. Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan NIlai (PPN)

- Jasa pelayanan kesehatan medis

- Jasa pelayanan sosial


- jasa pengiriman surat dengan perangko

- Jasa Keuangan

j. Jasa asuransi

k. Jasa keagamaan

l. Jasa pendidikan

m. Jasa kesenian dan hiburan

n. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan

o. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri

p. Jasa tenaga kerja

q. Jasa perhotelan

R. Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum

S. Jasa penyedia tempat parkir

T. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam

U. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos

V. Jasa boga atau katering

Tarif PPN

Orang awam biasanya hanya mengenal 1 tarif pajak dalam sistem PPN di Indonesia, padahal ada 3 jenis
tarif dalam sistem perpajakan Indonesia. Berikut adalah 3 jenis tarif PPN:

1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% untuk BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan JKP.

2. Tarif PPN sebesar 0%, ditetapakan atas:

- Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud

- Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

- Ekspor Jasa Kena Pajak

3. Tarif pajak 10% dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan
tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah

Dasar Pengenaan Pajak PPN


Dalam penghitungan PPN terutang rumus yang digunakan adalah Tarif PPN dikalikan dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP). PPN mengenal 5 jenis DPP, yaitu sebagai berikut:

Harga Jual

Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh
penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak.

Penggantian

Pengggantian adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh
pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Tidak
Berwujud

Nilai Impor

Nilai Impor adalah Nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan
dan cukai.

Nilai Ekspor

Nilai Ekspor adalah Nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir

DPP Nilai Lain

DPP Nilai Lain adalah Nilai lain dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak yang diatur dalam peraturan
turunan dari Undang-Undang PPN.

DPP Nilai Lain

Tarif PPN dalam penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) pada dasarnya adalah
10% untuk BKP Berwujud dan tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak dan 0% untuk tarif ekspornya. Tetapi
dalam prakteknya, di lapangan masih ada beberapa orang yang mengartikan bahwa ada tarif PPN
sebesar 1% seperti Jasa Pengiriman Paket dan Jasa lainnya yang salah di asumsikan. Sebenarnya yang
dimaksud 1% ini adalah tarif 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaaan Pajak (DPP) yang mempunyai nilai
tertentu (DPP Nilai Lain). Contohnya adalah jasa pengiriman paket yang Dasar Pengenaan Pajaknya
hanya 10% dari nilai jasa pengiriman.

Analogi rumusnya adalah sebagai berikut:

PPN atas Jasa Pengiriman Paket

= Tarif PPN x DPP


= 10% x (DPP)

= 10% x (10% x Nilai Jasa)

Orang sering mengartikan bahwa tarif dari PPN tersebut adalah 10% x 10% = 1%. Padahal sebenarnya
adalah tarif PPN tetap 10% tetapi nilai DPP-nya yang mempunyai nilai tertentu.

Pengusaha Kena Pajak

Setelah mengetahui objek, Tarif dan jenis Dasar Pengenaan Pajak dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
anda harus mengetahui tentang Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan Penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang mempunyai kewajiban untuk memungut, menyetor
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Syarat untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak adalah
Wajib Pajak Badan dan/atau orang pribadi yang memiliki peredaran bruto 4,8 Miliar selama 1 tahun.
Akan tetapi, jika peredaran bruto selama 1 tahun belum mencapai 4,8 Miliar pengusahan dapat
mengajukan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan mengajukan surat permohonan kepada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar.

Mekanisme PPN

Dalam membahas PPN tidak lengkap jika tidak membahas mekanisme penghitungan PPN. Mekanisme
penghitungan PPN terutang adalah

PPN terutang = Pajak Keluaran – Pajak Masukan

Salah satu kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah menerbitkan Faktur Pajak Keluaran setiap kali
ada penyerahan Barang atau Jasa Kena Pajak. Disamping kewajiban itu, PKP mempunyai hak untuk
melakukan pengkreditan Pajak Masukan yang berhubungan dengan kegiatan usaha. Sebelum lebih jauh
mengenal mekanisme Perhitungan PPN ada baiknya anda mengetahui Pengertian Pajak Keluaran dan
Pajak Masukan, sebagai berikut

Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayarkan oleh Pengusaha Kena Pajak
kepada Otoritas Pajak atas pemungutan pajak atas barang dan/ jasa dari pihak ketiga / konsumennya.

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayarkan oleh pengusaha atau konsumen
terkait pembelian barang atau jasa.

Pada dasarnya sifat PPN adalah Pajak Tidak Langsung, yang maksudnya adalah Pajaknya dibebankan
kepada pihak lain dan penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajaknya
kepada kas negara. Dan disinilah tugas dari PKP untuk membantu otoritas pajak Indonesia untuk
memungut jenis pajak ini. PKP adalah pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan penyetoran PPN,
jika PPN tidak disetorkan dengan jumlah yang benar maka akan sangat mudah Kantor Pajak mendeteksi
transaksi atas PPN karena sudah adanya sistem e-faktur untuk melihat integrasi data PKP seluruh
Indonesia.

Kembali kepada mekanisme Perhitungan PPN, setelah memiliki kewajiban untuk mnerbitkan Faktur
Keluaran, PKP juga memiliki hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan mereka yang telah dibayarkan
kepada supplier atau penyedia jasa yang berhubungan dengan kegiatan usaha PKP. Tetapi tidak semua
Pajak Masukan dapa dikreditkan, sehingga PKP harus cermat dalam mengkreditkan mana saja yang
Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Berikut adalah syarat dasar untuk dapat pengkreditkan Faktur
Pajak Masukan:

Adanya dokumen lengkap yang berhubungan dengan transaksi tersebut seperti Puchase Order, Invoice,
dan/ dokumen pendukung lainnya.

Transaksi yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.

Pengkreditan Pajak Masukan di SPT Masa PPN paling lambat dilakukan 3 bulan setelah masa pajak
transaksi.

Adapun Faktur Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, jika:

Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Pemanfaaatan BKP Tidak Berwujud dan Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai PKP

Perolehan JKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.

Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan
barang dagangan atau yang disewakan.

Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) atau (9) UU
PPN atau tidak mencantumkan nama, alamat, NPWP pembeli BKP dan/ JKP.

Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.

Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN, yang ditemukan
pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi.

Inti dalam mekanisme perhitungan PPN adalah PKP harus menghitung semua Faktur Pajak Keluaran
yang telah diterbitkan dan mempunyai kewajiban untuk memngut pajaknya, kemudian juga PKP harus
cermat menentukan Faktur Pajak Masukan mana saja yang dapat dikreditkan. Selain hal-hal diatas, PKP
juga harus mengetahui hal-hal lain jika melakukan transaksi dengan pihak bendaharawan atau BUMN
yang memiliki sifat wajib pungut.

Contoh Soal PPN

Dalam menghitung PPN yang terutang, anda harus memperhatikan rumus perhitungan dalam PPN yaitu:

PPN= Tarif PPN x DPP

Contoh 1:

PT. Maju Bersama menjual laptop kepada PT. Sejahtera Selalu seharga Rp. 10.000.000. PT. Maju
Bersama telah dikukuhkan sebagai PKP. Berapa PPN terutang atas laptop tersebut?

PPN terutang = 10% x Rp 10.000.000 = Rp. 1.000.000

Contoh 2:

PT. Impian Semesta merupakan distributor penjualan komputer. Selama bulan November 2020 PT.
Impian Semesta melakukan transaksi sebagai berikut:

3 November Perusahaan membeli 3-unit komputer masing-masing seharga Rp.7.000.000, belum


termasuk PPN

10 November PT. Impian Semesta menjual 2-unit komputer kepada PT. Sumber Abadi masing-masing
Rp.15.000.000, belum termasuk PPN

20 November Pemilik PT. Impian Semesta membeli karangan bunga dari CV. Cahaya Cemerlang untuk
ucapan selamat pernikahan kepada kerabat sebesar Rp.1.000.000, belum termasuk PPN.
PT. Impian Semesta dan lawan transaksi lainnya merupakan PKP. Berapa PPN yang harus disetorkan PT.
Impian Semesta pada bulan November?

Pajak Keluaran:

Penjualan komputer

= 10% x (2-unit x Rp. 15.000.000)

= 10% x Rp. 30.000.000

= Rp. 3.000.000

Pajak Masukan:

Pembelian komputer

= 10% x (3-unit x Rp. 7.000.000)

= 10% x Rp. 21.000.000 = Rp. 2.100.000 (bisa dikredreditkan)

Pembelian Karangan bunga

= 10% x Rp. 1.000.000 = Rp. 100.000 (tidak dapat dikreditkan)

PPN Masa November = Pajak Keluaran – Pajak Masukan


= Rp. 3.000.000 - Rp. 2.100.000

= Rp. 900.000

PPN yang harus disetorkan oleh PT. Impian Semesta masa November 2020 adalah Rp. 900.000 (Kurang
Bayar). PT. Impian semesta harus melakukan penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN paling lambat
tanggal 31 Desember 2020.

Note: PT. Impian tidak bisa mengkreditkan Pajak Masukan atas karangan bunga karena karangan bunga
tidak ada hubungan langsung dengan proses kegiatan usaha.

Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPN

Berikut waktu penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN adalah

Penyetoran

Penyetoran dilakukan paling lambat akhir bulan (tanggal 30 / 31) setelah masa pajak berakhir dan
sebelum SPT Masa PPN disampaikan.

Pelaporan

Pelaporan dilakukan paling lambat akhir bulan (tanggal 30/31) setelah masa pajak berakhir.

Jika Pengusaha Kena Pajak tidak memiliki transaksi selama 1 bulan (pajaknya nihil), PKP tetap harus
melakukan kewajiban pelaporan SPT Masa PPN.

Sanksi dan Bunga

Sebagai Wajib Pajak yang sudah dikukuhkan menjadi PKP, Wajib Pajak harus memperhatikan beberapa
hal tentang sanksi dan denda dalam PPN, sebagai berikut:
Sanksi

Keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN akan diberikan sanksi adiministrasi sebesar Rp. 500.000.

Bunga

Keterlambatan dalam pembayaran PPN terutang akan dikenakan denda bunga 2% per bulan.
Pembetulan SPT yang menyebabkan Kurang Bayar pada SPT Masa PPN, maka atas Kurang Bayar tersebut
akan dikenakan bunga sebesar 2% per bulan.

Demikian penjelasan mengenai berbagai hal tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Semoga artikel ini
menambah informasi dan pengetahuan anda, jangan lupa untuk terus belajar karena peraturan
perpajakan akan selalu bisa berubah dan berkembang tergantung kebijakan pemerintah serta kondisi
dan situasi negara Indonesia dan dunia.

Apa itu Pajak PPnBM?

PPnBM adalah singkatan dari pajak penjualan atas barang mewah. Pajak ini biasanya dikenakan pada
barang-barang yang tergolong mewah dan dilaporkan dengan menggunakan SPT Masa PPN 1111.

Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen
(pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya.

Prinsip dan Pertimbangan Pemungutan PPnBM

Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN No. 42 TAHUN 2009, berikut adalah beberapa
pertimbangan mengapa pemerintah Indonesia menganggap bahwa PPnBM sangatlah penting untuk
diterapkan:

Agar tercipta keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan
konsumen yang berpenghasilan tinggi

Untuk mengendalikan pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
Perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional

Mengamankan penerimanaan negara

Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ialah hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada saat:

Penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah

Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah

Pemungutan pajak barang mewah ini sama sekali tidak memperhatikan siapa yang mengimpor maupun
seberapa sering produsen atau pengusaha melakukan impor tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali
saja).

Jenis Barang yang Terkena PPnBm

Berdasarikan peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena
Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah.

Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan
terhadap beberapa barang berikut:

Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tergolong mewah dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan
BKP tergolong mewah di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Impor barang kena pajak yang tergolong mewah.

Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan
(pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP mewah.

PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang memungut PPnBM
tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu,
PPnBM atas impor BKP Mewah dilunasi oleh importir bersamaan dengan pembayaran PPN impor dan
PPh Pasal 22 impor.

Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya adalah:
Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau

Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau

Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau

Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau

Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban
masyarakat.

Pengelompokan Tarif PPnBM

Seperti yang telah disebutkan, tarif PPnBM sepenuhnya diatur dalam PMK dan ditentukan berdasarkan
klasifikasi BKP mewah. Secara umum, tarif PPnBM dibagi menjadi dua, yakni:

Tarif PPnBM kendaraan bermotor

Tarif PPnBM non kendaraan bermotor

Penentuan tarif PPnBM kendaraan bermotor diatur dalam PMK Nomor 33/PMK.010/2017, sementara
tarif PPnBM untuk kelompok non kendaraan bermotor diatur dalam PMK Nomor 35/PMK.010/2017.

Khusus untuk tarif PPnBM kendaraan bermotor, PMK Nomor 33/PMK.010/2017 utamanya mengatur
mengenai jenis-jenis kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM.

Namun, terkait dengan penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk tarif PPnBM kendaraan
bermotor serta jenis-jenis BKP yang tidak dikenakan tarif PPnBM serta barang yang diberi fasilitas
pembebasan tarif PPnBM diatur dalam PMK Nomor 64/PMK.011/2014

Besaran Pajak PPnBM Berdasarkan Jenisnya

Tarif PPnBM Kendaraan Bermotor

Berdasarkan PMK Nomor 33/PMK.010/2017 tarif PPnBm untuk kendaraan bermotor ditetapkan sebagai
berikut:

1. Tarif PPnBM sebesar 10% diberlakukan untuk kelompok sebagai berikut:


Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 orang sampai dengan 15 orang termasuk pengemudi,
dengan motor bakar cetus api (diesel/semi diesel), baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun
tidak, dengan semua kapasitas isi silinder.

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi selain sedan
atau station wagon, dengan motor bakar cetus api, baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun
tidak, dengan sistem 1 gardan penggerak, dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc.

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi selain sedan
atau station wagon, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel). baik dilengkapi dengan
motor listrik maupun tidak, dengan sistem 1 gardan penggerak, dengan kapasitas isi silinder sampai
dengan 1.500 cc.

2. Tarif PPnBM sebesar 20% diberlakukan untuk kelompok sebagai berikut:

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi selain sedan atau
station wagon, dengan sistem 1 gardan penggerak, dengan motor bakar cetus api, baik dilengkapi
dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500
cc.

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi selain sedan
atau station wagon, dengan sistem 1 gardan penggerak, dengan motor bakar nyala kompresi
(diesel/semi diesel), baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi
silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.

Kendaraan bermotor dengan kabin yang dirancang untuk 2 baris tempat duduk (double cabin) untuk
penumpang melebihi 3 orang tetapi tidak melebihi 6 orang termasuk pengemudi dan memiliki bak
(terbuka atau tertutup) untuk pengangkutan barang, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel), dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan sistem 1 gardan penggerak
atau dengan sistem 2 gardan penggerak, untuk semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak
lebih dari 5 ton.

3. Tarif PPnBM sebesar 30% diberlakukan untuk kelompok sebagai berikut:

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi, dengan
motor bakar cetus api, baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi
silinder sampai dengan 1.500 cc untuk sedan atau station wagon dan kendaraan selain sedan atau
station wagon dengan sistem 2 gardan penggerak.

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi, dengan
motor bakar nyala kompresi, baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas
isi silinder sampai dengan 1.500 cc untuk sedan atau station wagon dan kendaraan selain sedan atau
station wagon dengan sistem 2 gardan penggerak.

4. Tarif PPnBM sebesar 40% diberlakukan untuk kelompok sebagai berikut:


Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi selain sedan
ataustation wagon, dengan motor bakar cetus api, baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun
tidak, dengan sistem 1 gardan penggerak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2.500 cc sampai dengan
3.000 cc.

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi dengan
motor bakar cetus api, baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi
silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan kapasitas 3.000 cc, untuk sedan atau station wagon dan
kendaraan selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 gardan penggerak.

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi dengan
motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun
tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc, untuk sedan atau station
wagon dan kendaraan selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 gardan penggerak.

5. Tarif PPnBM sebesar 50% diberlakukan bagi seluruh kendaraan yang penggunaannya dikhususkan
untuk golf.

6. Tarif PPnBM 60% diberlakukan untuk kelompok sebagai berikut:

Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc,
yakni sepeda motor (termasuk moped) dan sepeda yang dilengkapi dengan motor tambahan, dengan
atau tanpa kereta pasangan sisi, termasuk kereta pasangan sisi.

Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, digunung, dan kendaraan
semacam itu.

7. Tarif PPnBM 125% diberlakukan untuk kelompok sebagai berikut:

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi, dengan motor
bakar cetus api, dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari
3.000 cc yang terdiri dari sedan atau station wagon, selain sedan atau station wagon dengan sistem 1
gardan penggerak dan dengan sistem 2 gardan penggerak.

Kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor
bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc yang terdiri dari, sedan atau station wagon, selain sedan atau
station wagon dengan sistem 1 gardan penggerak dan dengan sistem 2 gardan penggerak.

Kendaraan bermotor roda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc yang terdiri dari, sepeda
motor (termasuk moped) dan sepeda yang dilengkapi dengan motor tambahan, dengan atau tanpa
kereta pasangan sisi, termasuk kereta pasangan sisi.

Trailer atau semi trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.

Tarif PPnBM Non Kendaraan Bermotor


1. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 20% diberlakukan pada:

Rumah dan town house dari jenis nonstrata title dengan harga jual sebesar Rp 20 miliar atau lebih.

Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dan sejenisnya dengan harga jual sebesar
Rp 10 miliar atau lebih.

2. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 40% diberlakukan pada:

Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga
penggerak.

Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara, yang terdiri dari
peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.

3. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 50% diberlakukan pada:

Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga yang terdiri dari
helokopter, pesawat udara dan kendaraan udara lainnya, selain helikopter.

Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara yang terdiri dari senjata
artileri, revolver dan pistol, senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol) dan peralatan
semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak.

4. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 75% diberlakukan pada:

Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam yang dirancang untuk pengangkutan orang,
kapal feri dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.

Yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.

Pengertian Faktur Pajak

Faktur pajak adalah bentuk atau bukti pungutan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau
Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Agar lebih mudah dipahami,
singkatnya faktur pajak digunakan oleh PKP ketika akan menjual barang atau jasa kena pajak yang
dimiliki.

Setiap barang atau jasa kena pajak yang dijual, PKP wajib menerbitkan faktur pajak sebagai bukti bahwa
perusahaan tersebut telah memungut pajak dari setiap orang yang membeli barang atau jasa mereka.
Setelahnya, seluruh faktur pajak yang telah diterbitkan harus dilaporkan kepada kantor pajak sebagai
bentuk transparansi antara PKP dan Direktorat Jenderal Pajak sehingga tidak dianggap bahwa
perusahaan tersebut melakukan penggelapan pajak.

Jenis-jenis Faktur Pajak


Sesuai peraturan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2007, setidaknya ada 3
jenis faktur pajak yang paling sering digunakan, yaitu:

1. Faktur Pajak Standar

Faktur pajak ini merupakan jenis yang paling umum digunakan oleh PKP yang mengacu pada ketentuan
Dirjen Pajak No Kep-53/PJ/1994 yang berlaku sejak tanggal 29 Desember 1994 dan masih digunakan
hingga saat ini. Faktur pajak standar setidak-tidaknya harus memuat keterangan sebagai berikut:

Terdapat NPWP, Nama PKP, dan alamat dari perusahaan yang menjual barang atau jasa kena pajak

Terdapat informasi mengenai barang atau jasa kena pajak yang dijual, lengkap dengan seluruh rincian
mulai dari harga jual, potongan, dan jumlah pembelian

Terdapat jumlah PPN (serta PPnBM jika ada) yang dipungut

Terdapat kode faktur pajak beserta tanggal pembuatannya

Terdapat nama terang, jabatan, dan tanda tangan dari pihak terkait PKP

2. Faktur Pajak Gabungan

Faktur pajak gabungan merupakan jenis faktur pajak yang sama dengan faktur pajak standar, namun
jenis ini digunakan oleh PKP yang melakukan penjualan barang atau jasa kena pajak secara berulang kali.
Dengan demikian, untuk memudahkan dan mengefisienkan penggunaan nomor faktur pajak yang telah
diterbitkan oleh Dirjen Pajak, maka PKP dapat menggunakan faktur pajak gabungan tersebut untuk
memungut pajak dari pembeli.

3. Faktur Pajak Sederhana

Anda dapat menemukan faktur pajak sederhana dalam kegiatan sehari-hari seperti mendapatkan bon
atau bill setelah makan di sebuah restoran. Faktur pajak sederhana merupakan jenis faktur yang
dikeluarkan oleh PKP dalam bentuk bon kontan atau potongan kecil dan tetap terhitung sebagai faktur
pajak yang harus dilaporkan sebagai bukti adanya transaksi penjualan barang atau jasa kena pajak.

Fungsi Faktur Pajak

Bagi Anda yang merupakan PKP yang menjual barang atau jasa kena pajak, faktur pajak merupakan hal
yang penting dan tentunya berguna untuk perusahaan Anda. Hal ini dikarenakan dengan adanya faktur
pajak, Anda memiliki bukti bahwa sebagai PKP telah melakukan pemungutan pajak kepada pembeli dan
melaporkannya kepada Dirjen Pajak. Dengan demikian, sebagai PKP Anda telah menjadi wajib badan
yang taat dan patuh kepada Dirjen Pajak dan juga membantu perekonomian negara.

Jika Anda memiliki masalah dengan pembuatan faktur pajak ataupun pelaporan PPN, AyoPajak yang
merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP siap untuk membantu kapanpun agar seluruh
Wajib Pajak di Indonesia dapat menjadi Wajib Pajak yang taat dan patuh dalam membayar pajak demi
keberlangsungan ekonomi masyarakat luas di negara kita.
Harmonisasi pajak

Pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Kamis, 7 Oktober 2021
menjadi topik hangat yang menduduki berbagai headline utama warta ekonomi di Indonesia. Hal ini
serupa dengan atensi yang diberikan pada saat RUU KUP tersebar di masyarakat pada beberapa waktu
lalu. Penggantian nama dari RUU KUP menjadi RUU HPP ditetapkan setelah adanya kajian atas
kesesuaian penamaan dengan substansi aturan.

Banyaknya sorotan yang diberikan dari berbagai pihak disebabkan karena UU HPP menjadi sebuah
reformasi dalam bidang perpajakan di Indonesia dengan muatan isi dan pemberlakuan sebagai berikut:

Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang berlaku untuk Tahun Pajak 2022

Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) yang berlaku pada 1 April 2022

Perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang berlaku sejak
tanggal diundangkan

Program Pengungkapan Sukarela yang berlaku pada 1 Januari s.d. 30 Juni 2022

Pajak Karbon yang mulai berlaku pada 1 April 2022

Perubahan Undang-Undang Cukai yang berlaku sejak tanggal diundangkan

Lalu, mengapa reformasi perpajakan dilakukan saat ini?

Berdasarkan pemaparan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Ibu Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers
RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disiarkan secara langsung melalui kanal youtube
Kemenkeu RI pada 7 Oktober 2021, reformasi perpajakan dilakukan sebagai salah satu langkah untuk
memenuhi kebutuhan prasyarat pencapaian tujuan bernegara Indonesia pada tahun 2045, yaitu
menjadi negara yang semakin maju. Selain itu, reformasi perpajakan dilakukan untuk memperkuat
fungsi APBN untuk mewujudkan kesejahteraan melalui fungsi alokasi (membiayai pembangunan dan
menyediakan layanan publik), fungsi distribusi (redistribusi sumber daya yang lebih merata di
masyarakat), dan fungsi stabilisasi (mendukung dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkualitas).
Asas yang ingin dibangun dalam UU HPP adalah untuk mewujudkan perpajakan yang menimbulkan
keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Selain itu,
tujuan dari disahkannya UU HPP diantaranya:

Meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian

Mengoptimalkan penerimaan negara

Mewujudkan system perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum

Melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis
pajak,

Meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak

Dengan disahkannya UU HPP, diharapkan Basis perpajakan indonesia menjadi lebih kuat dan luas namun
tetap adil dan berpihak pada kelompok yang tidak mampu. Diproyeksikan bahwa rasio perpajakan akan
meningkat hampir 140 Triliun pada 2022 kenaikan 150 Triliun pada 2023.

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

Sebelum pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Undang-Undang Pajak


Penghasilan terakhir diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU
Ciptaker). Terdapat tiga pasal UU PPh yang diubah dalam UU Ciptaker, yaitu Pasal 2, Pasal 4 dan Pasal
26. Sedangkan, dalam UU HPP terdapat empat ketentuan UU PPh yang diubah, yaitu:

1. Perubahan Tarif PPh Orang Pribadi


Terdapat perubahan tarif dan bracket Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Ketentuan perubahan tarif dan
bracket ditetapkan untuk mencerminkan keadilan perpajakan dan asas gotong royong dengan
keberpihakan Pemerintah pada masyarakat dengan penghasilan yang lebih rendah. Sehingga beban
pajak pada bracket bawah diringankan dan bracket atas, yang memiliki kemampuan lebih tinggi, akan
diberikan beban yang sedikit lebih tinggi. Perbandingan tarif dan bracket Pajak Penghasilan berdasarkan
UU PPh dan UU HPP adalah sebagai berikut

2. Pengenaan Pajak atas Natura

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk
kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak.

Sebelumnya, natura diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d sebagai yang dikecualikan dari Objek Pajak
Penghasilan. Lebih lanjut, biaya yang dikeluarkan oleh Wajib pajak atas natura tidak dapat dibiayakan
oleh Wajib Pajak. Pada UU HPP, pemberian natura kepada pegawai dapat dibiayakan oleh pemberi kerja
dan merupakan penghasilan bagi pegawai. Natura tertentu bukan merupakan penghasilan bagi
penerima:

a. Penyediaan makan/minum bagi seluruh pegawai

b. Natura di daerah tertentu


c. Natura karena keharusan pekerjaaan, contoh: alat keselamatan kerja atau seragam

d. Natura yang bersumber dari APBN/APBD

e. Natura dengan jenis dan Batasan tertentu.

3. Batas peredaran Bruto tidak dikenai pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Bagi Orang Pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP23/2018) dan memiliki
peredaran bruto sampai Rp500.000.000 (lima ratus juta setahun) tidak dikenai PPh. Dengan ketetapan
ini, UU HPP berupaya memberikan keberpihakan kepada UMKM Orang Pribadi di Indonesia dengan
memberikan batas bawah pengenaan tarif final UMKM. Sebelumnya ketentuan batas bawah tersebut
tidak diatur, sehingga seluruh Wajib Pajak UMKM dengan berapapun jumlah peredaran usaha akan
dikenai tarif final PP23/2018.

Penjelasan tabel:

Pengenaan tarif final tidak dikenakan pada bulan Januari s.d. Mei disebabkan karena total peredaran
usaha adalah Rp500.000.000 (lima ratus juta). Pengenaan tarif final hanya diberikan pada bulan Juni s.d.
Desember yaitu ketika peredaran bruto telah melebihi Rp500.000.000 (lima ratus juta). Dengan
demikian, bulan Januari s.d. Mei tidak dikenai tarif final dan bulan Juni s.d. dikenai tarif final sebesar
0,5% dari peredaran bruto.
4. Penurunan Tarif PPh Badan

Aturan mengenai penurunan tarif PPh Badan telah ditetapkan sebelumnya dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020, yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan Nomor 1
Tahun 2020 menjadi sebuah Undang-Undang. Sebagai berikut

(1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b
Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:

a. sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021;

b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022.

Dengan disahkannya UU HPP, terdapat penyesuaian kebijakan ketentuan penurunan tarif PPh Badan
yang ditetapkan pada tarif 22% untuk tahun 2022 dan seterusnya. Hal ini didasari oleh analisis
pemerintah bahwa tarif PPh Badan sebesar 22% sudah menggambarkan rate yang cukup kompetitif baik
ketika dibandingkan dengan rata-rata OECD, rata-rata Amerika, rata-rata G-20, dan rata-rata ASEAN.
Selain itu, pertahanan tarif PPh Badan pada rate 22% ditujukan untuk mengoptimalkan penerimaan
negara dengan mempertimbangkan asas keadilan yang telah disalurkan pada beberapa kebijakan Pajak
Penghasilan lainnya.

Buku pajak

Pajak Pertambangan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPBM) merupakan dua jenis pajak
yang berbeda meski memiliki sejumlah unsur yang sama.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang
dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.PPnBM adalah pajak yang dikenakan
pada barang yang masuk golongan barang mewah. Pengenaan PPnBM dibebankan pada produsen atau
PKP yang menghasilkan atau mengimpor barang mewah.

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak sesuai dengan Undang-Undang PPN.

Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau
perolehan JKP dan/atau pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau impor BKP.

Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP,
penyerahan JKP, ekspor BKP Berwujud/Tidak Berwujud dan/atau ekspor JKP.

Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP bila melakukan penyerahan
BKP/JKP di dalam daerah pabean atau melakukan ekspor BKP, JKP, dan ekspor BKP tidak berwujud.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil
PPN, pengusaha yang wajib menjadi PKP adalah pengusaha yang dalam satu tahun buku memiliki omzet
minimal Rp4,8 miliar. Namun, meskipun pengusaha belum mencapai omzet tersebut, pengusaha dapat
mengajukan permohonan sebagai PKP. Metode penerbitan faktur pajak dan pelaporan SPT PPN &
PPnBM menggunakan mekanisme pelaporan yang sama. Faktur diterbitkan dengan e-faktur, sedangkan
pelaporan menggunakan e-spt berupa SPT Masa PPN.

KARAKTERISTIK PPN dan PPBM Karakteristik PPN

1. Merupakan pajak tidak langsung, Artinya, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yakni pihak yang
mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak. Selain itu, tanggung jawab penyetoran
pajaknya tidak berada di pihak yang memikul beban pajak.

2. Merupakan pungutan yang sifatnya objektif. Kewajiban untuk membayar PPN ditentukan oleh objek
pajak, sehingga kondisi subjek pajak tidak diperhitungkan sama sekali. Kondisi seseorang sebagai subjek
pajak, terlepas dari gender, status sosial ataupun daya beli semuanya sama di mata PPN sehingga
dikenakan besaran pungutan yang sama.

3. Multi stage tax. Artinya, PPN dikenakan pada seluruh rantai produksi dan distribusi. Setiap barang
yang menjadi objek PPN mulai dari pabrikan ke pedagang besar hingga ke pengecer atau ritel, semuanya
dikenakan PPN. 4. Dihitung dengan metode indirect substraction. Pajak yang dipungut PKP penjual tidak
langsung disetorkan ke kas negara. PPN terutang yang harus dibayarkan ke kas negara merupakan hasil
perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan pajak masukan dengan
PPN yang dipungut dari pembeli yang dinamakan pajak keluaran.

5. Merupakan pajak atas konsumsi umum dalam negeri. PPN hanya dikenakan pada konsumsi BKP
dan/atau JKP yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditas impor juga dikenai PPN dengan
besaran sama dengan komoditas lokal.
6. Bersifat netral. Netralitas PPN dibentuk oleh dua faktor, yakni dikenakan atas konsumsi barang
maupun jasa dan menganut prinsip tempat tujuan (destination principle) dalam pemungutannya.

7. Tidak menimbulkan pajak berganda. Kemungkinan adanya pajak berganda dapat dihindari karena PPN
hanya dipungut atas nilai tambah saja.

Karakteristik PPnBM

1. Merupakan pungutan tambahan. PPnBM merupakan pungutan tambahan yang dikenakan pada
barang mewah disamping PPN. Hal ini dimaksudkan agar konsumen yang membeli barang mewah, yang
notabene merupakan konsumen dengan daya beli tinggi, memikul beban tambahan lebih tinggi
dibanding konsumen berdaya beli rendah. Sebab, jika tidak dibebankan pungutan tambahan, maka tidak
ada asas keadilan, karena konsumen yang daya belinya tinggi membayar persentase pajak yang sama
dengan konsumen dengan daya beli rendah.

2. Hanya dikenakan satu kali. PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat impor/penyerahan BKP
yang tergolong mewah yang dilakukan pabrikan yang menghasilan BKP yang tergolong mewah.

3. Tidak dapat dikreditkan. Karena sasaran PPBM adalah konsumen, maka tujuan memberi beban pajak
tambahan tidak akan tercapai apabila PPnBM dapat dikreditkan karena PPnBM yang dibayar akan masuk
kembali ke kas perusahaan pedagang besar. Oleh karena itu, PPnBM akan dibebankan sebagai biaya
oleh PKP yang menyerahkan BKP pada mata rantai distribusi yang kedua, sehingga akan menjadi unsur
harga jual yang diinta dari pembeli, yaitu PKP pada jalur berikutnya atau konsumen yang secara
langsung membeli dari pedagang besar.

4. Jika diekspor, PPnBM dapat diminta kembali. Meski PPnBM tidak dapat dikreditkan, tetapi apabila
BKP yang tergolong mewah diekspor, maka PPnBM yang dibayar berkaitan dengan perolehan BKP yang
tergolong mewah yang berhubungan langsung dengan BKP, dapat diajukan permintaan restitusi.

CARA KERJA SISTEM PPN

PPN dikenakan atas pertambahan nilai (value added) dari barang yang dihasilkan atau diserahkan oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP) baik yang oleh pabrikan, importir, agen utama, ataupun distributor utama.
Secara umum PPN dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi dengan tidak ada unsur
pemungutan pajak berganda.

Dengan demikian, system pemungutan PPN adalah:

1. Dikenakan atas penyerahan

2. Dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi

3. Terdapat mekanisme kredit pajak

PERBEDAAN PPN dan PPnBM


Berdasarkan masing-masing karakteristiknya, secara garis besar terdapat tiga poin perbedaan PPN dan
PPnBM, yakni:

1. Jenis pungutan. Pada PPN, jenis pungutan yang dibebankan adalah pungutan atas nilai tambah
barang. Sementara, PPnBM merupakan pungutan tambahan yang dikenakan selain PPN kepada barang
yang sifatnya mewah.

2. Pengenaan Pajak. PPN dikenakan di setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi, mulai
dari tingkat pabrikan, tingkat pedagang besar hingga tingkat pedagang pengecer. Sementara, PPnBM
hanya dikenakan satu kali, yakni saat impor atau saat penyerahan BKP di dalam negeri oleh pabrikan
yang menghasilkannya.

3. Pengkreditan. PPN dapat dikreditkan melalui mekanisme pajak masukan dan pajak keluaran.
Sementara, PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau PPBM lainnya.

OBJEK PPN dan PPBM

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas :

1. penyerahan Barang Kena Pajak & Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;

2. impor Barang Kena Pajak;

3. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

4. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

5. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud & Tidak Berwujud serta Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena
Pajak;

6. Kegiatan Membangun Sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200m2 yang dilakukan di luar
lingkungan perusahaan dan/atau pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang hasilnya digunakan
sendiri atau pihak lain.

7. penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP,
kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan karena perolehan BKP
atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan perolehan dan
pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan
barang dagangan atau disewakan.

Penyerahan Barang Kena Pajak meliputi:

1. penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian (jual beli/tukar menukar/sejenisnya);

2. pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
3. penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; 4. pemakaian sendiri dan/atau
pemberian Cuma-Cuma atas BKP*;

5. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;

6. penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang;

7. penyerahan BKP secara konsinyasi; dan

8. penyerahan BKP oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada
pihak yang membutuhkan BKP.

Catatan:

*) Pemakaian sendiri meliputi pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau
karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.

*) Pemberian Cuma-Cuma misalnya pemberian contoh barang untuk promosi/sampel, hadiah


tambahan, bonus dll

Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

1. penyerahan BKP kepada makelar

2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;

3. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang dalam
hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang,

4. pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan


pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan
adalah Pengusaha Kena Pajak; dan

5. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan

Barang atau Jasa yang Tidak Dikenakan PPN:

1. Barang hasil pertambangan atau pengeboran (minyak mentah, asbes, batu bara, gas bumi, dan lain-
lain).

2. Barang Kebutuhan Pokok (beras, jagung, sagu, garam, susu, daging, telur, kedelai, buah, sayuran, dan
lainnya).

3. Makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan atau restoran.


4. Uang dan emas batangan.

5. Jasa pelayanan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa
pengiriman surat dengan prangko, jasa kesenian, jasa pendidikan, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan,
jasa boga/catering dan sebagainya.

PPnBM dikenakan atas :

a. penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan BKP yang
tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya

b. impor BKP yang tergolong mewah.

DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP)

Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang atas PPN yaitu:

1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima
manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.

3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan
lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean
untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.

4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh eksportir.

5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan
Menteri Keuangan. Nilai lain sesuai PMK Nomor 121/PMK.03/2015 adalah sebagai berikut :

a. untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;

b. untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;

c. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;

d. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran
e. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;

f. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan;

g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati
antara pedagang perantara dengan pembeli; h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang
adalah harga lelang; i untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau

j. untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata berupa paket
wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi, yang penyerahannya tidak
didasari pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara penjualan adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;

k. untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa
pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih

DPP untuk Kegiatan Membangun Sendiri adalah sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Catatan: DPP tidak mengakui pembayaran di atas atau di bawah kewajaran akibat hubungan istimewa

Dalam hal harga jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau
Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak itu dilakukan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila:

1. Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada
Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% atau lebih pada dua
pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir;
atau

2. Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di bawah
penguasaan. Penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat
dan/atau ke samping satu derajat.

TARIF PPN dan PPBM

Tarif PPN
1. Tarif PPN secara umum adalah 10% (sepuluh persen). 2. Tarif PPN sebesar 0% (nol persen) diterapkan
bagi yang menerima fasilitas PPN yang diberikan oleh Pemerintah misalnya untuk ekspor Jasa Kena Pajak
sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.010/2019 yang mulai berlaku pada 29 Maret 2019,

Tarif PPnBM

1. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling

tinggi 200% (dua ratus persen). 2. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol

persen) berdasarkan PMK. Tarif PPnBM sepenuhnya diatur dalam PMK sebagai berikut:

1. Tarif PPnBM kendaraan bermotor diatur dalam PMK Nomor 33/PMK.010/2017. Yaitu berlaku tarif
10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, 125% sesuai dengan jenis dan kapasitas kendaraan. 2. Tarif PPnBM non
kendaraan bermotor diatur dalam PMK Nomor 1 35/PMK.010/2017. Yaitu berlaku tarif 20%, 40%, 50%,
75%

tergantung jenis barang. 3. Barang yang diberi fasilitas pembebasan tarif PPBM diatur dalam PMK
Nomor 64/PMK.011/2014

PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP).

DPP untuk menghitung PPnBM seperti halnya dengan DPP untuk PPN

yaitu: harga jual, harga penggantian, nilai impor, nilai ekspor dan nilai lain.

Anda mungkin juga menyukai