Anda di halaman 1dari 15

Bab 8

PAJAK PENGHASILAN 23

Pada bab 8 ini dijelaskan mengenai pajak penghasilan pasal 23. Dimana pajak Penghasilan Pasal 23
adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan
penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pihak yang menerima penghasilan atau penjual
atau pemberi jasa akan dikenakan PPb Pasal 23. Pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau penerima
jasa akan memotong dan melaporkan PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak. Objek PPh Pasal 23
telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis jasa lainnya seperti yang tercantum dalam
PMK No. 141/PMK.03/2015.

Pada bab 8 ini memuat penjelasan secara rinci yang disusun secara sistematis bagian per bagian. Seperti
halnya, yang terdiri dari pemotong PPh Pasal 23 adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Juga termasuk
wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong PPh 23 seperti orang pribadi
yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, akuntan, arsitek, dokter, notaris, pejabat
pembuat akte tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang
melakukan pekerjaan bebas.

Bab ini menjelaskan bahwa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 diantaranya adalah:

1. Wajib pajak dalam negeri dalam hal ini bisa orang pribadi atau badan

2. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Seperti halnya yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa objek PPh Pasal 23 ini terdiri dari 62 jenis jasa
sesuai dengan ketentuan atau peraturan Menteri Keuangan. Penghasilan yang dikecualikan dari PPh
Pasal 23 ini meliputi :

1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank

2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi

3. Dividen yang bukan objek PPh dan dividen yang diterima oleh orang pribadi (merupakan objek PPh
yang bersifat final).

4. Bagian laba yang bukan objek PPh

5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya

6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman / pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

TARIF PPH PASAL 23


Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari penghasilan. Ada
dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan 2%, tergantung dari objek PPh pasal 23
tersebut.

1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas:

- Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan royalti;

- Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;

2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas:

- sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan.

- imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.

- imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015
dan efektif mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015.

3. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.

4. Jumlah Bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:

- Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;

- Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan faktur pembelian);

- Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak
ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);

- Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang
nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan
atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).

Jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas:

- Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;

- Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan pajak yang bersifat final;

- Pembayaran gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain yang merupakan imbalan atas
pekerjaan yang dilakukan wajib pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja. Hal ini harus
dibuktikan oleh kontrak kerja dengan pengguna jasa dan daftar pembayaran gaji, tunjangan, upah, atau
honorarium;

- Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan hasil pengadaan barang atau material terkait Jasa
yang diberikan. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur pembelian atas pengadaan barang atau material

- Pembayaran melalui penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur tagihan
dari pihak ketiga dan disertai dengan perjanjian tertulis

- Pembayaran melalui penyedia jasa yang berupa penggantian atau reimbursement. Ini berlaku untuk
biaya yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur
tagihan dan bukti pembayaran.

Beberapa hal terkait tarif PPh 23 berlaku ketentuan sebagai berikut:

1. Pengenaan PPh atas dividen dibedakan sebagai berikut:

- Dividen yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan tarif 20%.

- Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri dikenakan tarif 10% bersifat final.

- Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk Koperasi yang dividen tersebut berasal dari
cadangan laba tidak dibagi dikecualikan dari pengenaan PPh.

- Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan BUMN/BUMD dengan
syarat :

a. Dividen tersebut berasal dari cadangan laba tidak dibagi.

b. PT dan BUMN/BUMD tersebut mempunyai kepemilikan saham pada pemberi dividen paling rendah
25% dari jumlah saham disetor, dikecualikan dari pengenaan PPh.

c. Dividen selain memenuhi ketentuan huruf a sampai d dikenakan tarif 15% PPh pasal 23 (tidak final).

2. Pengenaan PPh atas bunga dibedakan sebagai berikut:

- Bunga yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan tarif 20%.

- Bunga berupa bunga obligasi atau diskonto obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia
dikenakan tarif 15% bersifat final.

- Bunga yang dibayarkan oleh nasahab kepada Bank dikecualikan dari pengenaan PPh.

- Bunga yang dibayarkan oleh Bank kepada nasabah dikenakan tarif 20% bersifat final.

- Bunga yang diterima oleh anggota koperasi atas simpanan di koperasi dengan jumlah tidak melebihi
Rp240.000 dalam sebulan dikecualikan dari pengenaan PPh.
- Bunga yang diterima oleh anggota koperasi atas simpanan di koperasi dengan jumlah melebihi
Rp240.000 dalam sebulan dikenakan tarif 10% bersifat final.

- Bunga pinjaman selain memenuhi ketentuan huruf a sampai dengan f dikenakan tarif 15% PPh pasal
23.

3. Pengenaan PPh atas sewa dibedakan sebagai berikut:

- Sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan tarif 10% bersifat final.

- Sewa selain tanah dan/atau bangunan, misalnya sewa kendaraan, alat-alat berat, mesin-mesin, dan
lain-lain dikenakan tarif 2%.

4. Pengenaan PPh atas hadiah dibedakan sebagai berikut:

- Hadiah undian dikenakan tarif 25% bersifat final.

- Hadiah penghargaan yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dikenakan tarif 17 UU PPh sesuai
ketentuan PPh Pasal 21.

- Hadiah penghargaan diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dikenakan
tarif 20%.

- Hadiah penghargaan yang diterima Wajib Pajak badan dikenakan tarif 15% PPh pasal 23.

5. Imbalan jasa dibedakan sebagai berikut :

- Imbalan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dikenakan tarif pasal 17 UU PPh sesuai
ketentuan PPh pasal 21.

- Imbalan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri dikenakan tarif 20%.

- Imbalan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak badan dikenakan tarif 2% PPh pasal 23.

Selain dari itu, bab ini juga menyajikan cara ataupun langkah dalam menghitung PPh Pasal 23 yang
diformulasikan sebagai berikut:

PPh Pasal 23 dihitung dengan mengalihkan tarif dan jumlah bruto penghasilan

PPH PASAL 23 = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak

Dasar Pengenaan Pajak = Jumlah Bruto Penghasilan

Dimana, Dasar Pengenaan Pajak dalam PPh pasal 23 adalah jumlah bruto penghasilan, meliputi jumlah
dividen, bunga, royalti, hadiah penghargaan, bonus, sewa dan imbalan jasa lain yang tidak dikurangi
beban apapun dan tidak dikalikan dengan persentase tertentu. Tidak Hanya menyajikan cara
penghitungan, namun bab ini juga menyediakan contoh contoh untuk perhitungan PPh Pasal 23 baik
atas dividen, bunga, royalti, hadiah, sewa, serta imbalan jasa.
SAAT TERUTANG, PENYETORAN & PELAPORAN PPH PASAL 23

- Saat terutang PPh 23 adalah pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya
penghasilan yang bersangkutan, tergantung yang lebih dahulu terjadi. Maksud dari saat terutangnya
penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sabagal biaya oleh pemotong pajak sesuai
dengan metode pembukuan yang dianutnya.

- Saat penyetoran selambat-lambatnya adalah tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat
terutangnya pajak. Pembayaran dapat dilakukan ke bank persepsi, kantor pos maupun pembayaran
secara online dengan e-payment dimana sebelumnya harus membuat kode billing di layanan pajak
online.

- Saat pelaporan Surat Pemberitahuan Masa oleh pemotong selambat lambatnya adalah 20 hari setelah
masa pajak berakhir.

- Pemotong wajib memberikan tanda bukti pemotongan kepada WP dalam negeri atau BUT yang
dipotong.

TATA CARA PEMBAYARAN & PELAPORAN PPH PASAL 23

1. Pajak Penghasilan PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukan pembayaran, tersedia untuk
dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu;

2. Pembayaran Pajak PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak temponya paling lambat setiap tanggal
sepuluh setelah periode bulan pajak terutang dengan menggunakan aplikasi pembayaran pajak online e-
Billing Pajak yang bisa Anda akses secara online melalui sse.pajak.go.id untuk mendapatkan kode billing;

3. Pelaporan SPT Masa PPh 23 disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, jatuh temponya paling
lambat 20 hari setelah periode Masa Pajak berakhir.

4. Pihak pemotong pajak PPh Pasal 23 harus memberikan Bukti Potong tersebut kepada Wajib Pajak
Orang Pribadi atau Badan yang telah dilakukan pemotongan pajak penghasilan PPh Pasal 23.

5. Pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pph pasal 23 dilakukan secara desentralisasi
artinya dilakukan di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan
objek pph pasal 23.

Selain dari tata cara pembayarannya, bab ini juga dilengkapi dengan bukti potong PPh Pasal 23, cara
pengisian bukti potong PPh Pasal 23, pelaporan PPh 23 secara online, dan juga gambar bukti potong PPh
pasal 23.

BAB 9

PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

Pada bab 9, dijelaskan mengenai pajak penghasilan pasal 24. Dimana PPh pasal 24 adalah pajak yang
dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima/diperoleh wajib
pajak dalam negeri. PPh pasal 24 mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang
atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri. Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam
tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia.

Persyaratan administratif pengkreditan pajak luar negeri diantaranya adalah wajib pajak yang telah
membayarkan pajaknya di luar negeri, kemudian ingin mengkreditkannya di Indonesia, terlebih dahulu
harus menyampaikan permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Permohonan kemudian dilaporkan
bersamaan pada saat pelaporan SPT Tahunan dengan melampirkan sejumlah dokumen yakni:

- Laporan keuangan dari luar negeri

- Fotokopi SPT (Tax Return) yang dilaporkan di luar negeri

- Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Mekanisme pengkreditan PPh yang dibayarkan di luar negeri:

1. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah di antara
PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang
terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian
(Penghasilan dari luar negeri lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).

2. Apabila penghasilan dari luar negeri dari beberapa negara, maka penghitungan PPh pasal 24 dilakukan
untuk masing-masing negara.

3. Penghasilan Kena Pajak yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat 2) dan/atau penghasilan yang
dikenakan pajak tersendiri tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh
dari dalam negeri maupun luar negeri

4. Dalam hal jumlah PPh yang dibayarkan atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang dapat
dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.

5. Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
lampiran oleh wajib pajak karena alasan yang ada di luar kekuasaan wajib pajak.

6. Dalam hal terjadinya perubahan besaran penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak perlu
bahkan wajib melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen
yang berkenaan dengan perubahan tersebut.

7. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang bayar, maka atas kekurangan bayar tersebut
tidak akan dikenakan sanksi bunga.
8. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut dapat
dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Pada bab ini, ada dijelaskan mengenai penggabungan penghasilan. Penggabungan penghasilan yang
berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:

1. Pengggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut (accrual basis).

2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
(cash basis).

3. Penggabungan penghasilan berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU PPh) dilakukan dalam tahun pajak
pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Selain itu, dijelaskan pula mengenai sumber penghasilan dan batas maksimum kredit pajak. Dimana
sumber penghasilan PPh 24 diantaranya:

Sumber penghasilan yang bisa dikreditkan sebagai pengurang pajak di dalam negeri antara lain:

1. Penghasilan dari saham dan surat berharga lainnya.

2. Keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga lainnya

3. Pendapatan lain yang berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta
benda bergerak.

4. Pendapatan yang berupa sewa terkait dengan penggunaan harta benda tidak bergerak.

5. Jasa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.

6. Semua keuntungan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.

7. Keuntungan dari keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di perusahaan pertambangan.

8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Batas Maksimum Kredit Pajak

Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah diantara 3 unsur/perhitungan berikut ini:

1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri.

2. (Penghasilan luar negeri seluruh penghasilan kena pajak) x PPh atas seluruh yang dikenakan tarif pasal
17.

3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan kena pajak
adalah lebih kecil dari pada penghasilan luar negeri).
Bab ini juga menyajikan materi mengenai perhitungan kredit pajak luar negeri mencakup perhitungan
PPh Pasal 24 terhadap batas maksimum kredit pajak, perhitungan batas maksimum kredit pajak untuk
setiap negara (Per Country Limitation), dan perhitungan rugi usaha di luar negeri.

BAB 10

PAJAK PENGHASILAN PASAL 25, 28, 29

Bab 10 pada buku ini membahas mengenai pajak penghasilan pasal 25, 26, 27. Dimana PPh Pasal 25
adalah angsuran pembayaran Pajak Penghasilan pada tahun berjalan. Tujuannya adalah untuk
meringankan beban wajib pajak. Wajib Pajak yang memiliki kegiatan usaha akan membayar angsuran
Pajak Penghasilan/PPh 25 setiap bulannya. Batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 adalah paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya dari masa pajak yang akan dibayarkan. Apabila ada keterlambatan dalam
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 25, terdapat sanksi yang berlaku yaitu dikenakan bunga sebesar 2%
perbulan dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Wajib Pajak yang melakukan
pembayaran PPh Pasal 25 secara online dan SSP nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai
dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25
Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan
pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Subjek Pajak PPh 25 dibedakan menjadi Wajib Pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Dimana wajib
pajak orang pribadi digolongkan menjadi wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WP-OPPT)
adalah wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha baik secara grosir atau eceran, penjualan barang
ataupun jasa di satu atau lebih tempat usaha. Adapun tarif PPh pasal 25 bagi WP- OPPT adalah 0,75% x
omset bulanan tiap- tiap tempat usaha. Selanjutnya wajib pajak orang pribadi selain pengusaha tertentu
(WP-OPSPT) adalah wajib pajak berstatus pekerja bebas atau karyawan yang tidak memiliki usaha
sendiri. Adapun ketentuan tarif PPh pasal 25 bagi WP-OPSPT adalah dengan perhitungan PKP x tarif PPh
Pasal 17 Ayat (1) huruf a Undang- Undang Pajak Penghasilan (12 bulan).

Sedangkan untuk wajib pajak badan usaha adalah wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha tetap dan
memiliki kewajiban sebagai pembayar, pemotong, atau pemungut pajak. Ketentuan tarif PPh Pasal 25
bagi Wajib Pajak Badan adalah PKP x 25% tarif PPh Pasal 17 ayat (1) Undang - Undang Pajak Penghasilan.
Sama seperti bab-bab sebelumnya, bab ini juga dilengkapi dengan cara perhitungan angsuran PPh 25
baik bagi Wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan usaha dan disertai dengan contohnya
masing- masing.

PPH PASAL 25 BAGI WAJB PAJAK BARU

Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru terdaftar pada suatu Tahun
Pajak, termasuk Wajib Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pengambilalihan
usaha dan/atau perubahan bentuk badan usaha.
Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK.03/2018 memberikan kelonggaran angsuran bagi Wajib
Pajak baru terdaftar Kelonggaran dimaksud adalah dibebaskan dari pembayaran PPh Pasal 25. Hal ini
diatur di Pasal 10 Misalkan PT Bangun terdaftar tahun 2019, maka selama tahun 2019 angsuran PPh
Pasal 25 ditetapkan NIHIL.

Angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru dalam rangka penggabungan, peleburan, dan/atau
pengambilalihan usaha pada sisa Tahun Pajak berjalan sebesar penjumlahan angsuran PPh Pasal 25 dari
seluruh Wajib Pajak yang terkait sebelum penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan usaha.
Misal, A dan B bergabung menjadi AB pada tahun 2019. A bayar PPh Pasal 25 sebesar Rp25.000.000
sedangkan B bayar PPh Pasal 25 sebesar Rp50.000.000. Maka angsuran PPh Pasal 25 AB (setelah
penggabungan) ditetapkan sebesar Rp75.000.000.

Angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak dalam rangka pemekaran usaha, jumlah angsuran PPh Pasal 25
untuk seluruh Wajib Pajak hasil pemekaran usaha sebesar angsuran PPh Pasal 25 sebelum pemekaran
usaha.

Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru yang merupakan hasil perubahan bentuk
badan usaha, maka besaran angsuran PPh Pasal 25 sama dengan angsuran PPh 25 bulan terakhir
sebelum terjadinya perubahan bentuk badan usaha.

PPH PASAL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU

Hal-hal tertentu yang dimaksud adalah:

1. Wajib pajak berhak atas kompensasi.

Jika wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian, besarnya angsuran PPh pasal 25 sama dengan PPh
yang dihitung atas dasar perhitungan PPh dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut atau terutang
di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan pasal 21. pasal 22, pasal 23, dan pasal 24 UU PPh,
kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak

2. Wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.

Jika wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah
sama dengan PPh yang dihitung dengan dasar perhitungan PPh dikurangi dengan PPh yang
dipotong/dipungut atau dibayar/diutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan pasal
21, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24 UU PPh, kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian
tahun pajak.

3. SPT Tahunan PPh Tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan

Apabila SPT Tahunan Pph tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan, yaitu
selambat-lambatnya tiga bulan. setelah akhir tahun pajak untuk wajib pajak orang pribadi dan empat
bulan untuk wajib pajak badan, besarnya Pph pasal 25 dihitung sebagai berikut:
a. Untuk bulan-bulan mulai batae waktu penyampaian SPT sampai dengan bulan sebelum disampaikan
SPT tersebut, besarnya angsuran PPh ppasal 25 sama dengan besarnya angsuran PPh pasal 25 bulan
tetakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara.

b. Untuk bulan-bulan setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya angsuran PPh
pasal 25 dihitung kembali berdasarkan ketentuan yang telah dibahas sebelumnya dan berlaku surut.

4. Wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh

Besarnya PPh pasal 25 dihitung sebagai berikut:

a. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyamoaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum
disampaikannya SPT Tahunan tersebut, besarnya nagsuran sama dengan besarnya yang dihitung
berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan wajib pajak pada saat mengajukan permohonan
izin perpanjangan.

b. Untuk bulan-bulan setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya angsuran dihitung
kembali berdasarkan Tahunan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT
Tahunan.

5. Wajib pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih
besar daripada angsuran bulanan sebelum pembetulan Besarnya PPh pasal 25 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh pembetulan tersebut dan berlaku surut mukai bulan batas waktu
penyampaian SPT tersebut.

6. Terjadi perubahan usaha atau kegiatan wajib pajak

Perubahan udaha atau kegiatan wajib pajak dapat terjadi karena penurunan usaha maupun peningkatan
usaha. Penurunan atau peningkatan usaha tersebut berpengaruh pada besarnya penghasilan dan
selaanjutnya mempengaruhi PPh.

PPH PASAL 25 BAGI WAJIB PAJAK BUMN DAN BUMD

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha milik Negara kecuali Wajib Pajak Bank dan Sewa Guna Usaha hak opsi adalah sebesar pajak
penghasilan yang di hitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut rencana
kerja dan anggaran pendapatan (RKAP).

Jika anggaran kerja dan anggaran pendaatan (RKAP) belum disahkan, untuk besar anggaran pajak
penghasilan pasal 25 untuk bulan-bulan sebelumnya sama dengan angsuran pajak penghasilan pasal 25
bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.

Apabila dalam tahun pajak bersangkutan terdapat sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan
maka PPh yang terutang atas PKP yang di hitungkan dari penghasilan neto menurut RKAP setelah di
kurangi dengan jumlah sisa kerugian yang belum dikompensasikan tersebut.
Apabila Wajib Pajak BUMN/BUMD yang wajib pajak bank atau wajib pajak sewa guna usaha dengan hak
opsi, besarnya angsuran PPh pasal 25 di hitung berdasarkan laporan triwulan berlaku wajib pajak bank
dan wajib pajak sewa guna usaha dengan hak opsi.

Jika rencana kerja dan anggaran pendapatan (RKAP) belum di sahkan maka besar angsuran pajak
penghasilan untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan sama dengan angsuran pajak penghasilan
pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.

PPH PASAL 25 UNTUK BANK

Dasar untuk penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak bank adalah laporan keuangan yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba
rugi sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak yang dilaporkan. Contoh: untuk PPh Pasal 25
bulan Mei 2019 maka laporan keuangan yang digunakan adalah laporan keuangan periode Januari
sampai dengan Mei 2019. Begitu seterusnya.

Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak bank dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 Undang-
undang PPh atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan bulanan yang disampaikan ke OJK
dikurangi dengan:

- PPh 22 yang dipotong dan/atau dipungut sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak yang
dilaporkan

- PPh 25 yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak sebelum Masa
Pajak yang dilaporkan

Untuk menghitung penghasilan neto dalam rangka penghitungan PPh Pasal 25, bank memperhitungkan
kompensasi kerugian tetapi tidak menghitung:

- penghasilan dari luar negeri

- penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang dikenai PPh final/ bukan objek PPh

ANGSURAN PPH PASAL 25 LEMBAGA KEUNGAN NON BANK DAN PERUSAHAAN MASUK BURSA

Lembaga keuangan Non Bank diharuskan membuat laporan keuangan berkala yang selanjutnya disebut
Wajib Pajak Lainnya adalah Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana
pensiun, Lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Dasar penghitungan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak lembaga keuangan non bank dan Wajib Pajak
masuk bursa non bank adalah laporan keuangan yang disampaikan setiap 3 (tiga) bulan kepada bursa
dan/atau Otoritas Jasa Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi sejak
awal Tahun Pajak sampai dengan periode yang dilaporkan

Misal, masa pajak bulan Juli. Untuk perusahaan masuk bursa ada 2 laporan keuangan, yaitu bulan Maret
dan Juni. PPh Pasal 25 bulan Juni berdasarkan laporan keuangan bulan Maret dan Juní (kumulatif di
income statement). Dan PPh Pasal 25 bulan Juli sejumlah PPh PPh Pasal 25 bulan Juni. Cara
menghitungnya sama seperti Wajib Pajak bank, yaitu PPh badan terutang berdasarkan laporan
keuangan kumulatif dikurangi dengan:

- PPh 22 dan PPh 23 yang dipotong dan/atau dipungut sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa
Pajak yang dilaporkan.

- PPh 25 yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak sebelum Masa
Pajak yang dilaporkan.

PPH Pasal 25 BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan yang mempunyai
tempat usaha lebih dari satu atau mempunyai tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili.
Besarnya di tetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dan masing-masing
tempat usaha tersebut.

Menurut PP No 23 tahun 2018 bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tidak
melebihi Rp 4.800.000.000,00 dikenal PPh final sebesar 0,5% kecuali WPOP memilih untuk dikenai PPh
berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-undang PPh. Dalam ketentuan PPh, yang disebut pekerjaan bebas
adalah profesi:

1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), penilai, dan aktuaris;

2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;

3. olahragawan;

4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator,

5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;

6. agen iklan;

7. pengawas atau pengelola proyek;

8. perantara;

9. petugas penjaja barang dagangan;

10. agen asuransi;

11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang langsung dan kegiatan sejenis lainnya.

PENYETORAN DAN PELAPORAN PPH PASAL 25


1. PPh pasal 25 harus dibayar/disetorkan selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan takwin berikutnya
setelah masa pajak berakhir.

2. Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT masa selambat lambat nya 20 hari setelah masa
pajak berakhir.

3. Bagi wajib pajak pengusaha tertentu, berlaku juga ketentuan sebegai berikut:

- Jika wajib pajak memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah kerja kantor pelayanan pajak,
harus mendaftarkan masing-masing tempat usahanya di kantor pelayanan pajak yang bersangkutan.

- Wajib pajak yang memiliki beberapa tempat usaha lebih dari 1 wilayah kerja kantor pelayanan pajak,
harus mendaftarka setiap tempat usahanya dikantor pelayan pajak masing tempat usaha Wajib Pajak
Kependudukan.

- SPT tahunan PPh harus di sampaikan di kantor pelayanan pajak tempat domisili wajib pajak terdaftar
dengan batas waktu ketentuan 2 butir.

PPH PASAL 28 DAN PASAL 29

PPh Pasal 28 dan PPh Pasal 29 digunakan untuk perhitungan PPh akhir tahun. Menurut UU No. 36 Tahun
2008, PPh Pasal 28 adalah: PPh Lebih Bayar (LB) yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu
kelebihan dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan dibandingkan dengan kredit PPh
(PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh Pasal 25.

Sedangkan PPh Pasal 29 adalah: PPh Kurang Bayar (KB) yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu
sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (PPh
Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh Pasal 25. PPh Pasal 28 adalah kelebihan pembayaran pajak pada akhir
tahun. Sedangkan PPh Pasal 29 adalah kekurangan pembayaran pajak pada akhir tahun.

Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, pajak yang terutang untuk seluruh tahun pajak menurut Undang-undang
ini, dikurangi dengan kredit pajak berupa:

1. Pemotongan Pajak atas penghasilan dari pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam PPh pasal 21.

2. Pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 22.

3. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, royalti, sewa, dan imbalan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23.

4. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

5. Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri untuk tahun pajak yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
BAB 11

PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

Pada bab 11 buku ini berisikan tentang Pajak Penghasilan Pasal 26. Dijelaskan bahwa menurut Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008, PPh Pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan
yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. PPh
Pasal 26 mengatur kebijakan mengenai pajak yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri. Badan
usaha apapun di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen, royalti, dan
sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri diwajibkan untuk membayar PPh Pasal 26 atas transaksi
tersebut.

Hal yang menentukan seorang individu atau perusahaan dikategorikan sebagai wajib pajak luar negeri
adalah:

- seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun (12 bulan), dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di
Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

- seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun (12 bulan), dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui
menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

SUBJEK PAJAK PPH PASAL 26

Subjek PPh pasal 26 adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang meliputi:

1. Bentuk usaha tetap luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia

2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.

3. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia

Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan
kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT
Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat. Di sisi lain, pengenaan Pajak
Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui
sistem self assessment pelaporan SPT Tahunan.

Tidak hanya itu, bab 11 ini juga dilengkapi dengan pengecualian pemotongan PPh 26, objek pajak
penghasilan pasal 26, pemotong PPh pasal 26 dan juga sifat pemotongannya, tarif PPh Pasal 26 yang
disajikan dalam bentuk tabel dan tersusun secara sistematis sehingga pembaca mudah untuk
menemukan hal- hal yang penting maupun yang hendak dipelajari. Selain itu bab ini menyediakan cara
disertai contoh penghitungan PPh Pasal 26 baik atas penghasilan yang berupa dividen, bunga, royalti, dll.
Begitu pun dengan cara dan contoh atas penghitungan dari penjualan dan Premi asuransi, atas
penghasilan yang berupa penjualan atau penghasilan saham, atas penghasilan kena pajak sesudah
dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia. Dilengkapi pula dengan keterangan
keterangan yang menjelaskan bagaimana saat terutang, tata cara pemotongan, penyetoran, dan
pelaporan PPh Pasal 26 dan apa yang harus dilakukan dalam hal memberikan penghasilan kepada subjek
pajak luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai