Anda di halaman 1dari 36

1.

Terminologi Perpajakan

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa,
atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib
Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang ini.

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.

Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun
Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.

Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak.

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah
pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya
tidak terutang.

Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda.

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah
dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah
dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah
dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang
telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus
sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti
yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda
yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak
pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara.

Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan
tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,
termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data
dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah
harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan
berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
penghitungannya.

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan
hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak,
atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau
terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan
Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.

Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali
yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau
Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.

Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan
jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.

Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan
bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.

Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan
secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.

Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima
secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.

DJP adalah sebutan singkat bagi Direktorat Jenderal Pajak

2. NPWP dan NPPKP

A. Pengertian NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

Pengertian NPWP adalah Nomor identitas yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan nya. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) terdiri dari
15 digit dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Dua digit pertama menunjukkan jenis wajib pajak, antara lain :

a. kode 01, 02, 21, 31 adalah menunjukan Wajib Pajak Badan.

b. kode 00, 20 adalah menunjukan Wajib Pajak Bendahara.

c. kode 04, 05, 06, 07, 08, 24, 25, 26, 31, 34 , 35, 36, 47, 48,49, 57, 58, 67, 67, 77, 78, 79, 87, 88, 89, 97
adalah menunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi.

2. Tujuh digit selanjutnya menunjukkan nomor tertentu yang dikeluarkan oleh kantor pajak
3. Tiga digit selanjutnya menunjukan kode Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar, Contoh
kode :

Kode 521 untuk KPP (Kantor Pelayanan Pajak) Pratama Purwokerto.

Kode 529 untuk KPP (Kantor Pelayanan Pajak) Pratama Purbalingga.

4. Tiga digit berikutnya menunjukan kode status pusat atau cabang

Contoh Kode Status Pusat atau Cabang :

NPWP : 01. 123. 456. 7 -521.000

Artinya : Wajib Pajak Badan pusat terdaftar di KPP Pratama Purwokerto

NPWP : 01. 123. 456. 7 -529.001

Artinya : Wajib Pajak Badan Cabang terdaftar di KPP Pratama Purbalingga.

Pengertian NPWP Pusat

NPWP Pusat adalah NPWP yang diberikan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib
Pajak yang menunjukkan pusat kegiatan usaha dengan 3 (tiga) digit terakhir berupa “000”.

Pengertian NPWP Cabang

NPWP Cabang adalah NPWP yang diberikan bagi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang terpisah dari
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak atau yang diberikan untuk pelaksanaan hak dan
pemenuhan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai
dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dapat
menggunakan NPWP Pusat.

B. Fungsi NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) berfungsi sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap
Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selain itu, Nomor Pokok Wajib
Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan
mencantumkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) yang dimilikinya.

C. Kewajiban Pendaftaran NPWP.

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif wajib mendaftarkan diri untuk
diberikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Wajib Pajak tersebut meliputi :

1. Wajib Pajak Orang Pribadi.


2. Wajib Pajak Warisan Yang Belum Terbagi.

3. Wajib Pajak Badan.

4. Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagai pemotong dan atau pemungut pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

D. Tempat Pendaftaran NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

1. Tempat Pendaftaran NPWP Wajib Pajak Orang Pribadi

Wajib Pajak orang pribadi wajib mendaftarkan diri pada KPP (Kantor Pelayanan Pajak) atau KP2KP
(Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan) yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal orang pribadi. Tempat tinggal Wajib Pajak Orang Pribadi ditentukan menurut keadaan yang
sebenarnya, yakni:

a. tempat tinggal tetap orang pribadi beserta keluarganya;

b. tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan, dalam hal orang pribadi tersebut:

b.1. mempunyai tempat tinggal tetap di 2 (dua) tempat atau lebih; atau

b.2. tidak mempunyai tempat tinggal tetap

c. tempat orang pribadi lebih lama tinggal dalam kurun waktu 1 (satu) tahun kalender terakhir, dalam
hal tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak
dapat ditentukan.

2. Tempat Pendaftaran NPWP Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi

Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi wajib mendaftarkan diri pada KPP (Kantor Pelayanan Pajak) atau
KP2KP (Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan) yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan. Tempat tinggal Wajib Pajak
Warisan Belum Terbagi ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, yakni :

a. tempat tinggal tetap Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan beserta keluarganya
sebelum meningggal dunia; atau

b. tempat pusat kepentingan ekonomi harta warisan berada, dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang
meninggalkan warisan tersebut:

b.1. mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a di 2 (dua) tempat atau
lebih; atau
b.2. tidak mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a.

3. Tempat Pendaftaran NPWP Wajib Pajak Badan

Wajib Pajak Badan wajib mendaftarkan diri pada KPP (Kantor Pelayanan Pajak) atau KP2KP (Kantor
Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan) yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan
Badan. Tempat kedudukan Badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, yakni:

a. tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berada sebagaimana tercantum
dalam:

a.1. akta atau dokumen pendirian dan perubahannya;

a.2. surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;

a.3. dokumen izin usaha dan/atau kegiatan;

a.4. surat keterangan tempat kegiatan usaha; atau

a.5. perjanjian kerja sama bagi bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);

b. tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berada menurut keadaan yang
sebenarnya, dalam hal tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berbeda dengan
yang tercantum dalam :

b.1. akta atau dokumen pendirian dan perubahannya;

b.2. surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;

b.3. dokumen izin usaha dan/atau kegiatan;

b.4. surat keterangan tempat kegiatan usaha; atau

b.5. perjanjian kerja sama bagi bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);

c. tempat kantor pimpinan berada, dalam hal tempat kantor pimpinan terpisah dari tempat pusat
administrasi dan keuangan serta tempat menjalankan kegiatan usaha; atau

d. tempat menjalankan kegiatan usaha, bagi Wajib Pajak Badan yang bergerak di sektor usaha tertentu
yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

4. Tempat Pendaftaran NPWP Instansi Pemerintah

Instansi Pemerintah wajib mendaftarkan diri pada KPP (Kantor Pelayanan Pajak) atau KP2KP (Kantor
Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan) yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan
Instansi Pemerintah menurut keadaan yang sebenarnya. Tempat kedudukan Instansi Pemerintah
menurut keadaan yang sebenarnya ditentukan sebagai berikut:

a. tempat kantor kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang
melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat berada, untuk Instansi
Pemerintah Pusat;

b. tempat kantor kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha
keuangan pada satuan kerja perangkat daerah berada, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau

c. tempat kantor kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa
berdasarkan keputusan kepala desa berada, untuk Instansi Pemerintah Desa.

Setiap calon Wajib Pajak yang mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak untuk memperoleh NPWP (Nomor
Pokok Wajib Pajak), maka Kantor Pelayanan Pajak akan memberikan :

1. Kartu NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).

Kartu NPWP adalah identitas perpajakan yang memuat informasi NPWP dan identitas lainnya yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

2. SKT (Surat Keterangan Terdaftar).

SKT (Surat Keterangan Terdaftar) adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPP atau KP2KP sebagai
pemberitahuan bahwa Wajib Pajak telah terdaftar pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak yang
berisi identitas Wajib Pajak

Untuk memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) seorang calon Wajib Pajak tidak dikenakan biaya
apapun alias gratis.

Yang Wajib Mendaftarkan Diri Sebagai Wajib Pajak dan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
adalah :

Setiap Orang Pribadi, Badan, Warisan Yang Belum Terbagi dan Instansi Pemerintah yang telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan,
Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pengertian Orang Pribadi

Orang Pribadi adalah seseorang yang menurut ketentuan peraturan perpajakan dapat menjadi Wajib
Pajak Orang Pribadi.

Orang Pribadi antara lain :

1. Orang Pribadi dengan profesi sebagai pegawai atau karyawan.


2. Orang Pribadi dengan profesi sebagai Pekerjaan Bebas seperti Notaris, Akuntan dan Konsultan Pajak.

3. Orang Pribadi yang mempunyai kegiatan usaha seperti pedagang barang elektronik, pedagang bahan
bangunan, dan industri kayu.

4. Orang pribadi sebagai wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan
penghasilan dan harta

5. Orang Pribadi dengan status cabang dari Wajib Pajak Orang Pribadi.

Pengertian Badan

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk
kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi (joint Operation), serta kantor
perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.

Pengertian Warisan Yang Belum Terbagi

Warisan Yang Belum Terbagi adalah warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pengertian Instansi Pemerintah

Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi
pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung
jawab penggunaan anggaran.

Pengertian Cabang

Cabang adalah tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang terpisah dari tempat tinggal/tempat kedudukan
Wajib Pajak atau yang diberikan untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban pemotongan dan
pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah
serta Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dapat menggunakan NPWP Pusat

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan yang mempunyai Kantor Cabang diluar Wilayah
Pusat dari Wajib Pajak tersebut wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Cabang di Kantor Pelayanan
Pajak dimana Kantor Cabang tersebut berkedudukan.

Contoh NPWP Cabang :


PT.Cahaya Timur Sentosa mempunyai kegiatan usaha dibidang perdagangan Sepeda Motor.

PT.Cahaya Timur Sentosa terdaftar sebagai Wajib Pajak Pusat di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Kebumen pada tanggal 30 Maret 2013.

PT.Cahaya Timur Sentosa membuka Kantor Cabang sebagai tempat penjualan sepeda motor di wilayah
Kota Temanggung pada tanggal 17 Juni 2020.

Maka Kantor Cabang di Kota Temanggung wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Cabang di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Temanggung.

Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif adalah sebagai berikut :

1. Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

a. Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak
menjalankan usaha dan atau pekerjaan bebas adalah saat memperoleh penghasilan diatas PTKP
(Penghasilan Tidak Kena Pajak). Sehingga saat penghasilannya melebihi PTKP baru Wajib mendaftarkan
diri sebagai Wajib Pajak paling lambat satu bulan pada akhir bulan berikutnya.

b. Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang
menjalankan usaha dan atau pekerjaan bebas adalah saat menjalankan usaha dan atau pekerjaan bebas
tersebut. Sehingga Orang Pribadi tersebut Wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak paling lambat
satu bulan setelah usaha dan atau pekerjaan bebas tersebut nyata-nyata dilakukan.

2. Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif bagi Wajib Pajak Badan

Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif bagi Wajib Pajak Badan adalah saat badan
tersebut didirikan.

Sehingga badan tersebut Wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak paling lambat satu bulan setelah
badan tersebut didirikan.

3. Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif bagi Wajib Pajak Warisan Yang Belum
Terbagi. Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif bagi Wajib Pajak Warisan Yang Belum
Terbagi dimulai setelah Wajib Pajak Orang Pribadi Meninggalkan Warisan.

4. Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif bagi Instansi Pemerintah

Pengertian telah memenuhi syarat Subjektif dan Objektif bagi Wajib Pajak Instansi Pemerintah adalah
saat Instansi Pemerintah tersebut akan melakukan pemotongan dan atau pemungutan pajak, Sehingga
Instansi Pemerintah tersebut Wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak paling lambat sebelum
melakukan pemotongan dan atau pemungutan pajak.
Berdasarkan pasal 1 Nomor 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) adalah identitas atau tanda pengenal yang diberikan Ditjen Pajak kepada wajib pajak. Seperti
disebutkan di atas, NPWP menjadi identitas wajib pajak yang diperlukan untuk dalam pengurusan
administrasi perpajakan. Layaknya sebuah KTP, setiap wajib pajak hanya diberikan satu NPWP. NPWP
tersebut terdiri dari 15 digit angka sebagai kode unik. Kode unik inilah yang nantinya menjamin data
perpajakan Anda tidak tertukar. Lalu apa arti dari kode seri NPWP? Berikut penjelasannya sesuai
struktur penomoran NPWP yang diterapkan oleh Ditjen Pajak.

Contoh NPWP : 12.345. 678.9-123.123

9 digit pertama pada NPWP merupakan kode unik dari identitas Wajib Pajak.

3 digit selanjutnya adalah kode unik dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Jika terdaftar sebagai Wajib
Pajak baru, kode tersebut merupakan kode tempat Wajib Pajak melakukan pendaftaran. Sedangkan bila
statusnya sebagai Wajib Pajak lama, maka itu adalah kode tempat wajib pajak saat ini.

3 digit terakhir menandakan status Wajib Pajak. 000 berarti pusat atau tunggal. 00x (001,002) berarti
cabang dengan nomor terakhir menunjukkan urutan cabang.

Menurut jenisnya, NPWP dibedakan menjadi dua, yaitu:

NPWP Pribadi, diberikan kepada setiap orang yang mempunyai penghasilan di Indonesia.

NPWP Badan, diberikan kepada perusahaan atau badan usaha yang mempunyai penghasilan di
Indonesia.

Manfaat Memiliki NPWP

Setelah mengetahui apa itu NPWP, sekarang kita akan membahas apa sih manfaat memiliki NPWP.
Rupanya masih banyak orang yang tidak tahu keuntungan memiliki NPWP. Identitas wajib pajak ini
memberikan banyak manfaat baik untuk keperluan administrasi perpajakan atau untuk urusan
administrasi di luar perpajakan. Berikut ini penjelasannya untuk Anda.

Fungsi NPWP untuk Urusan Perpajakan

1. Sebagai kode unik yang selalu digunakan dalam setiap urusan perpajakan yang membuat data
perpajakan Anda tidak akan tertukar dengan wajib pajak lainnya.

2. Apa jadinya bila biaya pajak yang Anda bayar ternyata lebih bayar? Sudah pasti Anda berharap uang
tersebut bisa kembali bukan? Secara sederhana, inilah yang disebut dengan restitusi pajak. Untuk
mengurus proses restitusi tersebut, syarat utamanya adalah menunjukkan NPWP.

3. Ada perbedaan besaran tarif pajak bagi mereka yang memiliki NPWP dan tidak memiliki NPWP.
Contohnya pada jenis pajak PPh pasal 21. Jika Anda tidak punya NPWP, maka tarif pajak yang dikenakan
20% lebih besar daripada wajib pajak yang memiliki NPWP.

Fungsi NPWP di Luar Urusan Perpajakan


Bagi Anda yang berniat mengajukan kredit ke bank, NPWP menjadi dokumen penting yang menjadi
syarat pembuatan kredit. Kalau Anda punya usaha, sudah seharusnya memiliki NPWP. Sebab, NPWP
diperlukan untuk pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).

Pengertian Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)

Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) merupakan nomor identitas Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
disematkan saat pengusaha dikukuhkan sebagai PKP lewat surat pengukuhan PKP. Jika pengusaha sudah
mendapat nomor pengukuhan PKP (NPPKP) berarti PKP tersebut dinyatakan sudah resmi menjadi PKP
dan dengan demikian terikat kewajiban-kewajiban perpajakan yang diperuntukan bagi PKP.

Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini berbeda dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) meski keduanya
berfungsi sebagai identitas perpajakan. Perbedaannya adalah, NPWP merupakan identitas wajib pajak,
baik pribadi maupun badan yang merupakan identitas atau bukti kepesertaan dalam melakukan hak dan
kewajiban perpajakan.

Sedangkan nomor pengukuhan PKP (NPPKP) lebih menitikberatkan pada identitas wajib pajak
perorangan atau badan yang terikat pada kewajiban perpajakan untuk PKP.

Fungsi Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)

Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) memiliki fungsi sebagai berikut:

Sebagai identitas PKP yang bersangkutan, selain tentunya NPWP.

Sebagai penanda bagi PKP yang memiliki untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Sebagai pengawasan administrasi perpajakan

Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini tertera dalam surat pengukuhan PKP bersama dengan identitas
wajib pajak lainnya, seperti Nama, NPWP, Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU), status usaha hingga
kewajiban pajak.

Kewajiban yang Melekat Pada Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)

Jika pengusaha telah mendapatkan nomor pengukuhan PKP (NPPKP) yang disertai juga dengan surat
pengukuhan PKP, maka kepada pengusaha tersebut terikat kewajiban-kewajiban sebagai PKP, yakni:

Memungut pajak yang terutang.

Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar dari pada pajak
masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan PPnBM yang terutang.

Melaporkan pemungutan, penyetoran, dan penghitungan pajaknya paling lambat akhir bulan
berikutnya.
Syarat Mendapatkan Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)

Untuk mendapatkan nomor pengukuhan PKP, pengusaha baik pribadi maupun badan, harus memenuhi
kriteria PKP, yang utama adalah memiliki omzet atau perderan bruto usaha satu tahun sebesar Rp4,8
miliar.

Pengusaha yang sudah memiliki omzet per tahun Rp 4,8 miliar atau lebih wajib dikukuhkan sebagai PKP
dan harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sementara, bagi pengusaha yang belum
memiliki omzet sebesar Rp 4,8 miliar namun ingin dikukuhkan sebagai PKP, harus mengajukan
permohonan pengukuhan PKP untuk mendapatkan surat pengukuhan dan nomor pengukuhan PKP
(NPPKP).

Dokumen yang dibutuhkan saat pengajuan untuk mendapatkan surat dan nomor pengukuhan PKP
(NPPKP) antara lain:

1. Untuk wajib pajak pribadi:

Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi Warga Negara Indonesia (WNI) atau fotokopi paspor,
fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) bagi Warga Negara
Asing (WNA) yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.

Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.

Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat Pemerintah Daerah (Pemda)
sekurang-kurangnya dari Lurah atau Kepala Desa.

2. Untuk wajib pajak badan:

Fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri,
atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap, yang dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang.

Fotokopi NPWP salah satu pengurus, atau fotokopi paspor dan surat keterangan tempat tinggal dari
Pejabat Pemda sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung jawab adalah WNA.

Dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.

Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari pejabat Pemda sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala
Desa.

3. Untuk wajib pajak badan berbentuk Kerja Sama Operasional (KSO):

Fotokopi perjanjian kerjasama/akta pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (joint operation), yang
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
Fotokopi NPWP masing-masing anggota bentuk KSO yang diwajibkan untuk memiliki NPWP.

Fotokopi NPWP orang pribadi salah satu pengurus perusahaan KSO, atau fotokopi paspor dalam hal
penanggung jawab adalah orang WNA.

Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.

Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari pejabat Pemda sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala
Desa bagi wajib pajak badan dalam negeri maupun badan asing.

Kelengkapan dokumen-dokumen ini disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), pengusaha akan menerima bukti penerimaan
surat. Setelah itu, KPP atau KP2KP kemudian akan melakukan survey.

Setelah dokumen diterima dan survey dilakukan, maka KPP atau KP2KP harus memberikan keputusan
dalam jangka waktu 5 hari kerja setelah bukti penerimaan surat diterbitkan. Jika keputusan dari KPP
atau KP2KP adalah menerima permohonan pengusaha untuk menjadi PKP, maka KPP atau KP2KP akan
memberikan surat pengukuhan PKP disertai dengan nomor pengukuhan PKP (NPPKP).

3. Surat Setoran Pajak (SSP)

SSP Adalah Bukti Pembayaran Pajak

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah format awal metode pembayaran pajak. Melalui SSP, penyetoran pajak
dilakukan dengan melengkapi formulir dan menyerahkannya ke kas negara melalui tempat pembayaran
yang telah ditunjuk Menteri Keuangan.

Bentuk formulir SSP dan penjelasannya tercantum dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomo
PER-24/PJ/2013 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak.

Namun, sejak pemerintah merilis Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN G2), SSP tidak lagi
digunakan. Sekadar informasi saja, MPN G2 merupakan sistem penerimaan negara yang memungkinkan
pembayaran pajak melalui online atau menggunakan Surat Setoran Elektronik (SSE) pajak.

Sebelum adanya MPN G2, dalam menuntaskan pembayaran pajak, wajib pajak harus melakukan setor
manual ke bank atau kantor pos persepsi. Saat melakukan setor manual, wajib pajak harus membawa
dan menyerahkan lembaran formulir SSP pajak yang sudah diisi kepada petugas bank persepsi atau
kantor pos.

Formulir SSP

Lazimnya, formulir SSP pajak dibuat sebanyak 4 lembar. Setiap lembarnya memiliki fungsi berbeda
seperti yang telah ditentukan. Nah, berikut ini fungsi dari keempat lembar formulir SSP pajak:

Lembar pertama: digunakan untuk arsip wajib pajak.


Lembar kedua: digunakan untuk Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN).

Lembar ketiga: digunakan untuk dilaporkan oleh wajib pajak ke KPP.

Lembar keempat: digunakan untuk arsip Kantor Penerimaan Pembayaran.

Pada umumnya, formulir SSP memang hanya dibuat rangkap empat saja. Akan tetapi, ada beberapa
kasus wajib pajak membutuhkan lebih dari 4 lembar formulir untuk arsip wajib pungut (Bendahara
Pemerintah/BUMN) atau pihak lain yang sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku.

Formulir SSP ini tidak bisa dibuat sendiri oleh wajib pajak, karena formulir SSP memiliki bentuk dan isi
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Untuk mendapatkannya, wajib pajak bisa meminta
formulir SSP secara gratis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Satu formulir SSP hanya bisa digunakan untuk pembayaran satu jenis pajak dan untuk satu masa pajak
atau satu tahun pajak/surat ketetapan pajak/surat tagihan pajak dengan menggunakan satu kode akun
pajak dan satu kode jenis setoran.

Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran Pajak

Saat mengisi formulir SSP, wajib pajak harus mengetahui kode akun pajak dan kode jenis setoran pajak.
Mengapa demikian? Alasannya karena kedua kode tersebut akan dicatat dalam data administrasi
(database).

Jika ada kesalahan dalam pengisian, Anda dianggap belum melakukan pelaporan atau bahkan belum
melakukan pembayaran pajak terutang yang seharusnya Anda bayar. Meskipun kesalahan tersebut bisa
saja Anda perbaiki di kemudian hari, akan lebih baik jika pengisian kode akun pajak dan kode jenis
setoran pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

SSP Telah Digantikan oleh SSE Pajak

Seiring perkembangan teknologi dan informasi, penggunaan SSP untuk menyetorkan pajak akhirnya
digantikan oleh SSE pajak.

SSE pajak secara efektif diberlakukan sejak 1 Juli 2016, dimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah
meresmikan eBiling atau Surat Setoran Elektronik (SSE) pajak. SSE pajak ini berbasis internet, jadi wajib
pajak akan semakin mudah dalam membayarkan pajak mereka di mana saja dan kapan saja tanpa perlu
mengantre.

Lantas, bagaimana cara mengisi SSE pajak? Sebenarnya, metode pengisian, fungsi dan substansi konten
pada SSE sama seperti SSP. Bedanya, media pengisian dilakukan secara elektronik. Penggunaan SSE
dianggap lebih efisien karena dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, sehingga memudahkan wajib
pajak mengurus administrasi perpajakannya.
Jika sebelumnya wajib pajak harus mengisi formulir serta membawanya ke bank persepsi serta kantor
pos, melalui SSE pajak semua jadi lebih mudah. Sebab, wajib pajak hanya membawa ID billing yang telah
dibuat di SSE pajak dan kemudian menunjukkan ke petugas bank persepsi dan kantor pos sebelum
menyetorkan pajak.

Selain lebih mudah dan cepat, keberadaan SSE pajak dianggap lebih aman karena dapat mengurangi
risiko pembatalan transaksi akibat buruknya kualitas data yang biasanya terjadi ketika wajib pajak
membayar pajak menggunakan SSP.

4. Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Surat ketetapan pajak adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode
akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut. Laporan keuangan
adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi: Surat
Tagihan Pajak.

Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana perubahan ketiga Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, Pasal 1 nomor 15 Surat ketetapan
pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), atau Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Lalu berdasarkan keputusan Ditjen Pajak, pihak yang berkuasa
mengeluarkan surat tersebut adalah Kantor Pajak Pratama (KPP) dan dikeluarkan berdasarkan hasil
pemeriksaan pajak.

Secara garis besar, SKP berfungsi sebagai sarana untuk menagih kekurangan pajak, mengembalikan jika
ada kelebihan bayar pajak, memberitahukan jumlah pajak terutang, mengenakan sanksi administrasi
perpajakan, serta menagih pajak. Fungsi SKP ini terbagi sesuai jenisnya yang akan dibahas pada poin
selanjutnya.

Jenis-Jenis Surat Ketetapan Pajak

Berikut ini detail penjelasan untuk masing-masing Surat Ketetapan Pajak.

1. Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk menagih pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2000, surat tagihan pajak ini akan
diterbitkan jika:

Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.

Terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis atau salah hitung.

Terkena sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.


Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya namun tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.

Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak namun membuat faktur pajak.

Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat faktur pajak, atau
membuat faktur pajak namun tidak tepat waktu, atau tidak mengisinya secara lengkap.

Jika wajib pajak mendapat surat tagihan karena alasan 1 dan 2, jumlah kekurangan pajak terutang yang
tercantum dalam surat tersebut ditambah dengan bunga sebesar 2% sebulan untuk maksimal 24 bulan.
Waktu tersebut terhitung sejak terutangnya pajak, atau bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai
terbitnya surat tagihan pajak.

Jika penerima surat tagihan pajak merupakan pengusaha (seperti yang disebutkan pada poin 4, 5, 6)
akan dikenakan denda sebesar 2% dari dasar pengenaan pajak.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

Dalam Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2009, SKPKB adalah surat yang menentukan besarnya
jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, serta jumlah pajak yang masih harus dibayar. Jenis surat ketetapan pajak ini diterbitkan
dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak.

Secara garis besar, terbitnya SKPKB ini karena wajib pajak kurang atau tidak membayar pajak terutang,
telat menyampaikan SPT Masa dari waktu yang telah ditentukan, adanya salah hitung terkait Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang dikenai tarif 0%, tidak
diketahuinya besar pajak terutang.

3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Secara
sederhana, SKPLB diterbitkan karena wajib pajak lebih membayar pajak terutang dari yang seharusnya.

SKPLB akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak dengan ketentuan: Jumlah kredit
pajak pada Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM), lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau sudah dilakukan pembayaran pajak
yang tidak seharusnya terutang.

Penerbitan surat ini dilakukan setelah dilakukannya pemeriksaan atas permohonan, paling lambat 12
bulan terhitung sejak surat permohonan diterima atau sesuai dengan keputusan Ditjen Pajak. Jika
terlambat diterbitkan, wajib pajak berhak menerima imbalan bunga 2% sebulan terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu yang ditentukan.

4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)


SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPN diterbitkan setelah Ditjen Pajak
melakukan pemeriksaan Surat Pemberitahuan.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2007, SKPN diterbitkan untuk:

Pajak Penghasilan jika jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak;

Pajak Pertambahan Nilai jika jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi
dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut;

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang
terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

5. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan. Menurut Pasal 15 ayat 1 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana perubahan ketiga Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007, menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam
jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang
terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.

Dalam pengertian sederhana, SKPKBT merupakan koreksi atas SKP yang diterbitkan sebelumnya. Ketika
wajib pajak telah melaporkan dan membayar pajak terutang sesuai dengan nominal yang tercantum
dalam SKP, petugas pajak akan melakukan pemeriksaan kembali pada data baru tersebut. Jika masih
ditemukan adanya pajak terutang yang kurang atau tidak dibayar oleh wajib pajak, Ditjen Pajak akan
menerbitkan SKPKBT.

SKPKBT diterbitkan dalam jangka waktu 5 tahun, dengan jumlah pajak terutang yang harus dibayar
ditambah 100% sebagai sanksi administrasi. Jika sudah melewati jangka waktu tersebut dan wajib pajak
belum membayar kekurangan pajak, akan ada tambahan sanksi sebesar 48% dari jumlah pajak terutang
yang harus dibayar.

Permohonan Pembetulan SKP

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan SKP
jika terdapat kesalahan. Pembetulan itu sendiri terbatas pada kesalahan-kesalahan berikut:
Kesalahan tulis pada nama, alamat, nomor pokok wajib pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak,
masa pajak atau tahun pajak, dan tanggal jatuh tempo;

kesalahan hitung yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau
pembagian suatu bilangan;

kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan,


yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,
kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan
pajak.

5. Surat Pemberitahuan (SPT)

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah laporan pajak yang disampaikan kepada pemerintah Indonesia
melalui Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan mengenai SPT diatur dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam undang-undang tersebut ditegaskan, pemerintah mengharuskan seluruh wajib pajak untuk
melaporkan SPT sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Nah, dalam ketentuan tersebut, secara garis
besar kita dapat menyimpulkan fungsi dari SPT adalah:

Melaporkan pelunasan atau pembayaran pajak yang sudah dilakukan, baik secara personal maupun
melalui pemotongan penghasilan dari perusahaan dalam jangka waktu satu tahun.

Melaporkan harta benda yang dimiliki di luar penghasilan tetap dari pekerjaan utama.

Melaporkan penghasilan lainnya yang termasuk ke dalam kategori objek pajak maupun bukan objek
pajak.

SPT juga terbagi menjadi dua kategori, yaitu SPT Tahunan dan SPT Masa. Ingin tahu apa perbedaan
fungsi dua SPT tersebut? Baca penjelasan selengkapnya di bawah ini.

SPT Tahunan

SPT Tahunan merupakan laporan pajak yang disampaikan satu tahun sekali (tahunan) baik oleh wajib
pajak badan maupun wajib pajak pribadi, yang berhubungan dengan perhitungan dan pembayaran pajak
penghasilan, objek pajak penghasilan, dan/atau bukan objek pajak penghasilan, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan peraturan pajak untuk satu tahun pajak, atau bagian dari tahun pajak.

SPT Masa

Di Indonesia terdapat 10 jenis SPT Masa. SPT Masa tersebut dinamakan berdasarkan nomor pasal, di
mana aturan pajak tersebut diatur, 10 jenis SPT Masa tersebut adalah:
PPh Pasal 21/26.

PPh Pasal 22.

PPh Pasal 23/26.

PPh Pasal 25.

PPh Pasa 4 ayat (2).

PPh Pasal 15.

PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

PPN bagi Pemungut .

PPN bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang menggunakan nilai lain sebagai Dasar Pengenaan
Pajak.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Jenis Formulir dalam Pelaporan SPT

Setiap pekerja/pegawai pasti menerima bukti potong sebagai bukti setoran pajak yang telah dipungut
dan dilaporkan oleh perusahaan pemberi kerja. Formulir bukti potong tersebut terbagi menjadi dua
yakni

Formulir 1721 A1 khusus untuk para karyawan yang bekerja di perusahaan milik swasta.

Formulir 1721 A2 untuk karyawan yang menjabat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Kedua formulir ini nantinya akan menjadi pedoman wajib pajak ketika lapor pajak.

Selain formulir bukti potong, kita juga mengenal tiga jenis formulir SPT PPh Orang Pribadi, yakni formulir
1770 yang ditujukan bagi wajib pajak yang bekerja tanpa ikatan kerja tertentu, formulir 1770 SS yang
ditujukan untuk perseorangan atau pribadi dengan jumlah penghasilan kurang dari atau sama dengan
Rp60 juta setahun dan hanya bekerja pada satu perusahaan, serta formulir 1770 S untuk wajib pajak
pribadi dengan penghasilan tahunan lebih dari Rp60 juta dan bekerja pada dua perusahaan atau lebih.

Sanksi Tidak atau Terlambat Melaporkan SPT

spt online

SPT dilaporkan menggunakan formulir tertentu, tergantung dari jenis pajak yang akan dilaporkan. Untuk
setiap jenis laporan memiliki tanggal jatuh tempo yang berbeda untuk waktu pembayaran dan
pelaporan. Jika SPT tidak dilaporkan pada waktunya, maka dikenakan sanksi sebesar:

Rp 100.000,00 untuk SPT Tahunan bagi wajib pajak pribadi.


Rp 1.000.000,00 untuk SPT Tahunan bagi Pengusaha Kena Pajak.

Rp 500.000,00 untuk SPT Masa PPN

Rp 100.000,00 untuk SPT Masa lainnya.

Sama seperti melaporkan pajak, membayar pajak juga merupakan kewajiban warga negara. Jika Anda
tidak membayar pajak tepat waktu, terdapat sanksi pajak yang tidak ringan.

e-SPT

Surat Pemberitahuan (SPT) wajib diisi dalam Bahasa Indonesia oleh Wajib Pajak dengan menggunakan
huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah (Rp), dan wajib menandatanginnya sebelum diberikan
kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar.

Saat ini Anda dapat mengisi SPT secara online yang disebut sebagai e-SPT. Melapor pajak pun dapat
dilakukan baik secara manual mau pun secara elektronik. Cara manual umumnya memakan waktu lebih
lama ketimbang elektronik.

6. Surat Tagihan Pajak

Berdasarkan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan
surat untuk melakukan tagihan pajak atau sanksi administrasi berupa bunga atau denda dan berfungsi
sebagai koreksi pajak terutang, sarana mengenakan sanksi kepada Wajib Pajak, serta sarana menagih
pajak. Surat Tagihan Pajak ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak.

Ketentuan Penerbitan STP

STP dikeluarkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
sebagai berikut:

Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, tidak atau kurang bayar.

Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah
hitung.

Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.

Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pertama, pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi membuat faktur
pajak. Kedua, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat
faktur pajak. Ketiga, PKP membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi
selengkapnya faktur pajak.

Fungsi STP
Dalam Surat Tagihan Pajak, terdapat beberapa fungsi yang dijelaskan sebagai berikut:

Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak.

Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda.

Sarana untuk menagih pajak.

Sanksi Administrasi STP

Sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 adalah sebagai berikut:

Sanksi administrasi berupa denda Rp50.000,- apabila Wajib Pajak tidak atau terlambat menyampaikan
SPT Masa. Dikenakan denda Rp100.000,- apabila tidak atau terlambat menyampaikan SPT Tahunan.

Sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak dalam hal:

a) Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP

b) Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak.

c) Pengusaha telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur
pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.

3. Sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT miliknya dan hasil
pembetulan tersebut menyatakan kurang bayar.

4. Sanksi administrasi berupa bunga apabila Wajib Pajak terlambat atau tidak membayar pajak yang
sudah jatuh tempo pembayarannya.

Penomoran STP

Pada Surat Tagihan Pajak biasanya terdapat nomor unik atau biasa disebut nomor kohir. Penomoran STP
tersebut serupa dengan penomoran SKP yang diurutkan dalam format AAAAA/BBB/CC/DDD/EE. Makna
dari penomoran AAAAA menunjukkan nomor urut dalam lima digit, sebagai 00303.

BBB menunjukkan untuk kode jenis pajak, sebagai contoh 105 untuk PPh Badan atau 106 untuk PPN. CC
menunjukkan Tahun Pajak, sebagai contoh untuk tahun pajak 2017 kodenya adalah 17. DDD merupakan
kode KPP yang menerbitkan, sebagai contoh angka 060 menunjukkan KPP PMA Enam. EE menunjukkan
tahun diterbitkannya STP tersebut, misal STP diterbitkan pada tahun 2018 maka kodenya adalah 18. Jadi
jika seluruh kode di atas diurutkan, maka penomoran STP tersebut adalah 00303/105/06/060/18.

Cara Melunasi STP

Pelunasan STP harus dilakukan Wajib Pajak dengan membayarnya di bank-bank yang menerima
pembayaran pajak melalui Surat Setoran Pajak (SSP). Anda wajib mencantumkan nomor STP dalam SSP
tersebut pada bagian Nomor Ketetapan. Sebab jika Anda lupa mencantumkan nomor STP ini biasanya
akan mengakibatkan permasalahan nantinya, karena Wajib Pajak bisa dianggap belum membayar STP
tersebut. Jika masalah ini terjadi, Wajib Pajak harus menyelesaikan melalui proses pemindahbukuan
yang membutuhkan waktu tidak sebentar.

7. Keberatan dan Banding

Pengertian Keberatan

Dalam UU KUP Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 26A maupun PMK 9/2013 s.t.d.t.d PMK 202/2015 tidak
menjabarkan definisi keberatan secara eksplisit. Namun secara sederhana, keberatan adalah upaya yang
dapat ditempuh wajib pajak yang merasatidak/kurang puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan
kepadanya atau atas gugatan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat mengajukan. keberatan
kepada Dirjen Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak di mana Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar.

Dalam hal apa keberatan dapat diajukan?

Keberatan dapat diajukan atas :

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);

Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.

Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak,
yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah
besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.

Sebagian besar Wajib Pajak melakukan proses keberatan karena Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang
dianggap tidak adil. Dan surat ketetapan pajak itu biasanya diterbitkan sebagai produk dari pemeriksaan
pajak. Keberatan umumnya didahului dengan proses pemeriksaan.

Syarat Pengajuan Keberatan

Satu Keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak;

Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;

Wajib menyatakan alasan-alasan secara jelas;

Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak.
1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan
pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;

Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui
Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum
Surat Keberatan disampaikan;

Siapa saja yang dapat mengajukan keberatan?

Bagi Wajib Pajak Badan oleh Pengurus;

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan;

Pihak yang dipotong/dipungut pihak ketiga;

Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada butir diatas.

Jangka waktu pengajuan keberatan:

Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal SKP atau sejak tanggal dilakukan
pemotongan/ pemungutan, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena di luar kekuasaannya

Surat keberatan yang diantar langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, maka jangka waktu 3 bulan dihitung
sejak tanggal SKP atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat
keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.

Surat keberatan yang dikirim melalui pos (harus dengan pos tercatat), maka jangka waktu 3 bulan
dihitung sejak tanggal SKP atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai
dengan tanggal bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.

Jika lewat tiga bulan, surat keberatan tidak dianggap karena tidak memenuhi syarat formal. Tetapi juga
membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam keadaan diluar kekuasaannya.” Inilah
klausul yang sering dimanfaatkan oleh Wajib Pajak. Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Pengertian Banding

Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang
diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak.

Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap
suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Syarat Pengajuan Banding

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat
Keputusan Keberatan.

Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3
(tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan
Keberatan tersebut.

Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

Yang dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak:

Bagi Wajib Pajak Badan oleh Pengurus;

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi adalah yang bersangkutan atau ahli warisnya;

Kuasa Hukum dari butir diatas.

Pencabutan Banding

Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak.

Banding yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan:

penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan;

putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan
dalam sidang atas persetujuan terbanding.

Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan, tidak dapat diajukan kembali.

8. Pemeriksaan Penyidikan Pajak

penyidikan merupakan proses kelanjutan dari hasil pemeriksaan yang mengindikasikan bukti permulaan.
Secara sederhana, bukti permulaan merupakan keadaan, bukti, atau benda yang memberi petunjuk
adanya suatu tindak pidana perpajakan.

Pasal 1 angka 31 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), penyidikan pajak atau lebih
tepatnya penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti.

Pengumpulan bukti itu ditujukan untuk membuat suatu tindak pidana perpajakan menjadi terang atau
jelas serta dapat ditemukan tersangkanya. Penyidikan tindak pidana perpajakan ini dilaksanakan
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana. Tujuan utama dari
dilakukannya proses penyidikan adalah untuk menemukan bukti sekaligus tersangka yang melakukan
tindak pidana dalam perpajakan.
berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU KUP, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat
dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan DJP yang diberi wewenang
khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Tugas utama dari penyidik adalah untuk
mencari dan mengumpulkan bukti yang dapat membuat suatu tindak pidana perpajakan menjadi jelas
dan pada akhirnya dapat ditemukan tersangkanya.

Pasal 44 ayat (2) UU KUP, dalam melaksanakan tugasnya penyidik memiliki 11 wewenang. Pertama,
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak
pidana perpajakan.

Kedua , meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi/badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan terkait dengan tindak pidana perpajakan. Ketiga , meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi/badan terkait dengan tindak pidana perpajakan.
keempat, memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perpajakan.
Kelima, melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan
dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut. Keenam, meminta bantuan
tenaga ahli dalam pelaksanaan tugas penyidikan. Ketujuh. menyuruh berhenti/melarang seseorang
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa. Kedelapan, memotret seseorang yang
berkaitan dengan tindak pidana perpajakan. Kesembilan, memanggil orang untuk didengar
keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. Kesepuluh, menghentikan penyidikan.
Kesebelas, melakukan tindakan lain untuk kelancaran penyidikan.

Di sisi lain, penyidik harus memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan yang diatur UU Hukum Acara Pidana.

Selain itu, apabila diperlukan, penyidik juga dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain demi
kelancaran proses penyidikan. Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik pajak juga harus tunduk pada
norma penyidikan dan memperhatikan asas hukum.

Berdasarkan pasal 44A UU KUP , penyidikan akan dihentikan apabila tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa yang disidik bukan merupakan tindak pidana perpajakan. Penyidikan juga dapat dihentikan
apabila peristiwa tersebut telah daluwarsa atau tersangkanya telah meninggal dunia.

Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
paling lama 6 bulan sejak tanggal surat permintaan penghentian penyidikan. Surat permintaan
penghentian penyidikan disusun oleh Menteri Keuangan jika menyetujui permohonan penghentian
penyidikan yang diajukan wajib pajak.

Namun, Jaksa Agung hanya bisa menghentikan penyidikan sepanjang perkara pidana itu belum
dilimpahkan ke pengadilan. Selain itu, penghentian penyidikan hanya dilakukan setelah wajib pajak
melunasi utang pajak yang tidak/kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Wajib pajak juga harus membayar sanksi administrasi berupa denda 4 kali lipat dari jumlah pajak yang
tidak/kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

9. Pembukuan dan Pencatatan

Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 29,
pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data
dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca, dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.

Sedangkan mengacu pada undang-undang yang sama pada Pasal 28 ayat 9, pencatatan terdiri atas data
yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek
pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Pada dasarnya, penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan ditujukan untuk mempermudah wajib
pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, seperti pengisian SPT, perhitungan penghasilan kena
pajak, PPN, dan PPnBM, serta mengetahui posisi keuangan dari hasil kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.

Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan, di
antaranya:

Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya.

Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah,
dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

Selain itu, segala bentuk buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
dan dokumen lain hasil pengolahan data dari pembukuan dikelola secara elektronik wajib disimpan
selama 10 tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal wajib pajak orang pribadi
atau di tempat kedudukan wajib pajak badan.

Perbedaan Pembukuan dan Pencatatan Pajak

Yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah wajib pajak badan dan wajib pajak pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Sedangkan yang wajib menyelenggarakan pencatatan adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari 4,8 miliar
rupiah dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Dari segi syarat, pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas. Selain itu, pembukuan yang menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan. Pada pembukuan
sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Sedangkan untuk pencatatan, terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
terutang. Termasuk di dalamnya penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, beberapa tujuan dibuatnya pembukuan dan pencatatan pajak
adalah untuk mempermudah pengisian SPT, perhitungan penghasilan kena pajak, PPN, dan PPnBM,
serta mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

Apa Persamaan Antara Pembukuan dan Pencatatan?

Sebelum membahas mengenai perbedaan pembukuan dan pencatatan, mari lihat persamaan di antara
keduanya, sebagai berikut:

Pencatatan dan Pembukuan merupakan kegiatan akuntansi perpajakan yang berfungsi sebagai pedoman
untuk mempermudah wajib pajak dalam menunaikan kewajiban perpajakan.

Pencatatan dan Pembukuan merupakan kegiatan akuntansi perpajakan yang harus dilakukan oleh wajib
pajak untuk menghitung pajak terutang.

Pencatatan dan Pembukuan juga dilaksanakan dalam upaya mengetahui posisi keuangan dari hasil
kegiatan usaha.

Perbedaan antara Pembukuan dan Pencatatan

Ada beberapa faktor yang membedakan kegiatan pembukuan dan pencatatan, yakni sebagai berikut:

a. Subjek Pajak

Faktor pertama yang membedakan antara pencatatan dan pembukuan adalah subjek pajak atau
penyelenggara. Pembukuan diselenggarakan oleh WP Badan atau WP Orang Pribadi (WP OP) yang
melakukan pekerjaan bebas atau kegiatan usaha.

Sementara penyelenggara pencatatan adalah WP OP pekerja bebas atau yang memiliki kegiatan usaha
dengan peredaran bruto dalam satu tahunnya setara atau kurang dari Rp4 miliar serta WP OP yang
bukan pekerja bebas atau yang tidak melakukan kegiatan usaha.

Dengan kata lain, WP yang tidak melakukan kegiatan usaha tidak diharuskan melakukan pembukuan
tetapi tetap melakukan pencatatan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NTPN) yang
wajib dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam kurun waktu tiga bulan pertama dari tahun
pajak terkait.

b. Syarat

Perbedaan dalam kegiatan pembukuan dan pencatatan juga dapat dilihat dari segi persyaratannya.

Adapun syarat-syarat dalam penyelenggaraan pembukuan pajak adalah sebagai berikut:

Pembukuan diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau
kegiatan usaha yang sebenarnya.

Pembukuan diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata
uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri
Keuangan.

Pembukuan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat diselenggarakan oleh wajib
pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.

Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Sedangkan syarat pencatatan meliputi:

Pencatatan dalam setahun harus dilakukan secara kronologis.

Pencatatan harus diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan keadaan sebenarnya.

Pencatatan harus dilakukan dengan menggunakan huruf latin, angka Arab dan satuan mata uang rupiah
dan disusun dalam bahasa Indonesia.

Pencatatan harus memuat peredaran atau penerimaan bruto/dan atau jumlah penghasilan bruto yang
diterima/diperoleh serta penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final.

Apabila wajib pajak memiliki lebih dari satu jenis usaha, maka pencatatan harus mendeskripsikan secara
jelas masing-masing jenis usaha, atau lokasi usaha yang bersangkutan.

Wajib orang pribadi harus melakukan pencatatan atas harta dan kewajiban.

Itulah beberapa hal yang membedakan antara pembukuan dan pencatatan.


Perlu diingat, segala bentuk catatan, dokumentasi atau bukti yang digunakan sebagai dasar pembukuan
dan pencatatan yang dikelola secara elektronik harus disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yang
merupakan tempat tinggal WP OP atau lokasi pengoperasian WP Badan.

Dalam pembukuan laporan keuangan perusahaan tak lepas dari unsur perpajakan di dalamnya yang
harus dipenuhi oleh WP.

10. Hak dan Kewajiban WP

Hak dan kewajiban perpajakan harus dilakukan oleh wajib pajak. Mengacu dari undang-undang yang
sama, pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan kalau wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jadi, siapapun, baik yang sudah
memiliki NPWP atau belum, sudah termasuk ke dalam wajib pajak jika sudah mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan.

Hak Wajib Pajak

Hak wajib pajak disebutkan secara jelas dalam undang-undang, dan akan dibahas secara singkat dan
tuntas pada poin ini.

1. Hak atas Kelebihan Pembayaran Pajak

Ketika besaran pajak terutang yang dibayar atau dipotong atau dipungut ternyata lebih kecil daripada
jumlah kredit pajak, wajib pajak berhak menerima kembali kelebihan tersebut. Dengan kalimat
sederhana, Anda berhak menerima kembali kelebihan bayar ketika membayar pajak lebih banyak
daripada jumlah yang sebenarnya.

Anda dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan bayar pajak dengan mengirimkan surat
permohonan pada Kepala KPP (Kantor Pajak Pratama) atau melalui SPT (Surat Pemberitahuan). Setelah
menerima surat permohonan, Ditjen Pajak akan mengembalikan kelebihan bayar pajak dalam waktu 12
(dua belas) bulan terhitung sejak surat permohonan diterima secara lengkap.

Jika wajib pajak termasuk dalam kriteria wajib pajak patuh, pengembalian ini dapat dilakukan paling
lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima.

Kalau Ditjen Pajak terlambat mengembalikan kelebihan bayar pajak, wajib pajak berhak menerima
bunga sebesar 2% per bulan dengan maksimum 24 bulan.

2. Hak dalam Hal Wajib Pajak Dilakukan Pemeriksaan

Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak pada wajib pajak, wajib pajak berhak untuk:

Meminta Surat Perintah Pemeriksaan.

Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa .


Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan.

Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT.

Hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.

Berdasarkan ruang lingkupnya, jenis pemeriksaan terbagi menjadi dua jenis, yaitu pemeriksaan kantor
dan pemeriksaan lapangan. Pemeriksaan kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
dan paling lama 6 (enam) bulan, terhitung dari tanggal wajib pajak memenuhi surat panggilan untuk
melakukan pemeriksaan kantor sampai dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan.

Sedangkan pemeriksaan lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat
diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan, terhitung sejak tanggal surat perintah pemeriksaan sampai
dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan.

3. Hak untuk Mengajukan Keberatan, Banding dan Peninjauan Kembali

Setelah dilakukan pemeriksaan, umumnya akan terbit suatu surat ketetapan pajak yang menunjukkan
kalau wajib pajak kurang bayar, lebih bayar, atau nihil perpajakannya. Jika wajib pajak tidak sependapat
dengan surat tersebut, dapat mengajukan keberatan. Lalu bila belum puas dengan keputusan keberatan,
selanjutnya wajib pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir dalam sengketa pajak, wajib pajak
dapat mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Jenis-jenis ketetapan pajak dapat Anda baca lebih lengkap di artikel “Mengenal 5 Jenis Surat Ketetapan
Pajak dan Fungsinya“.

4. Hak-Hak Wajib Pajak Lainnya

Hak kerahasiaan

Wajib pajak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan kerahasiaan atas semua informasi yang
disampaikan kepada Ditjen Pajak dalam melaksanakan kegiatan perpajakan. Di sisi lain, pihak yang
bertugas di bidang perpajakan dilarang untuk mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak. Kerahasiaan
wajib pajak yang dilindungi adalah:

Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan wajib pajak.

Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia.

Dokumen atau rahasia wajib pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

Namun, keterangan atau bukti tertulis tentang wajib pajak dapat ditunjukkan kepada pihak tertentu
yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka
kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya.

Hak untuk Pengangsuran atau Penundaan Pembayaran


Wajib pajak dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak dalam
kondisi tertentu.

Hak untuk Penundaan Pelaporan SPT Tahunan

Wajib pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi maupun
PPh Badan dengan alasan tertentu.

Hak untuk Pengurangan PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 adalah pajak yang dibayar secara angsuran dengan tujuan untuk meringankan beban wajib
pajak, mengingat pajak terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Dalam undang-undang
ketentuan umum perpajakan, wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengurangan
besaran angsuran PPh Pasal 25 dengan alasan tertentu.

Hak untuk Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Karena kondisi atau sebab tertentu, seperti rusaknya bumi dan bangunan yang terkena bencana alam,
wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan pajak terutang PBB. Wajib pajak yang
merupakan anggota veteran pejuang dan pembela kemerdekaan juga dapat mengajukan pengurangan
PBB.

Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan ke
Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan pengurangan PBB dilakukan di Kantor Dinas
Pendapatan Kota/Kabupaten setempat.

Hak untuk Pembebasan Pajak

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan


dengan alasan tertentu.

Hak Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak

Wajib pajak yang termasuk ke dalam wajib pajak patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk
PPh terhitung sejak tanggal permohonan.

Hak untuk Mendapatkan Pajak Ditanggung Pemerintah

Untuk pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, PPh
terutang atas penghasilan yang diterima kontraktor, konsultan, dan supplier utama ditanggung oleh
pemerintah.

Hak untuk Mendapatkan Insentif Perpajakan


Dalam lingkup PPN, Barang Kena Pajak (BKP) atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN.
BKP tersebut di antaranya kereta api, pesawat udara, kapal laut, buku-buku, perlengkapan TNI/Polri
yang diimpor maupun yang diserahkan di area pabean oleh wajib pajak tertentu.

Fasilitas PPN tidak dipungut ini turut diberikan pada perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan
tertentu, seperti kawasan berikat, di antaranya atas impor dan perolehan bahan baku.

Kewajiban Wajib Pajak

Selain hak, ada kewajiban yang harus dipatuhi oleh wajib pajak, di antaranya:

1. Kewajiban Mendaftarkan Diri

Wajib pajak harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di kantor
pajak pratama (KPP) atau kantor pelayanan, penyuluhan dan konsultasi perpajakan (KP2KP). Saat ini,
pendaftarakan NPWP juga dapat dilakukan melalui online. Anda dapat membaca tata cara pendaftaran
NPWP online di artikel “Daftar NPWP Online, Ini 3 Syarat & Langkah Mudahnya“.

Wajib pajak yang merupakan pengusaha, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) oleh
KPP atau KP2KP setelah memenuhi persyaratan tertentu, di antaranya pengusaha orang pribad atau
badan melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan jumlah omzet melebihi
Rp4.800.000.000 dalam setahun. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, tetap dapat melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Setelah dikukuhkan sebagai PKP, maka wajib untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari setiap
pembeli/pengguna jasanya dengan menerbitkan faktur pajak. PPN tersebut kemudian dilaporkan dalam
SPT Masa.

2. Kewajiban Pembayaran, Pemotongan/Pemungutan, dan Pelaporan Pajak

Sesuai dengan sistem self assessment, wajib pajak harus melakukan penghitungan, pembayaran dan
pelaporan pajak terutangnnya sendiri.

3. Kewajiban dalam Hal Diperiksa

Ditjen Pajak dapat melakukan pemeriksaan pada wajib pajak untuk menguji kepatuhannya dalam
memenuhi kewajiban perpajakan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menjalankan fungsi pengawasan
terhadap wajib pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Kewajiban yang diperiksa di antaranya:

Memenuhi panggilan untuk menghadiri Pemeriksaan sesuai waktu yang ditentukan, khususnya jenis
Pemeriksaan Kantor.

Menunjukkan atau meminjamkan seluruh data yang menjadi dasar serta berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang
pajak. Untuk jenis Pemeriksaan Lapangan, wajib pajak harus memberikan akses untuk melihat dan
menyimpan data.

Memberikan izin untuk memasuki tempat atau ruang yang dianggap perlu serta memberi bantuan untuk
memperlancar proses pemeriksaan.

Menyampaikan tanggapan secara tertulis atau surat pemberitahuan hasil pemeriksaan.

Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik, khususnya untuk jenis
Pemeriksaan Kantor.

Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.

4. Kewajiban Memberi Data

Data di sini adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan
atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi
mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan
keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Ditjen Pajak.

Kewajiban ini tidak hanya dipatuhi oleh wajib pajak, tetapi juga oleh setiap instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi, dan pihak lain. Jika sengaja tidak memenuhi kewajiban ini, wajib pajak akan terkena
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.

11.Sanksi Perpajakan

Sanksi perpajakan adalah sanksi yang diberikan kepada Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan UU
perpajakan, misalnya telat membayar PPh Pasal 21, telat melaporkan SPT PPh Pasal 23, dan sebagainya.

Rupanya, banyak wajib pajak yang tidak sadar bahwa mereka sering mengulang kesalahan yang sama
saat menyelesaikan kewajiban perpajakan. Oleh sebab itu, untuk menghindari sanksi pajak, kita harus
mengetahui apa saja kesalahan yang dapat menimbulkan sanksi pajak.

Nah, berikut ini contoh-contoh kesalahan tersebut:

Lupa Tanggal Pembayaran dan Pelaporan Pajak

Salah satu penyebab utama keterlambatan pembayaran pajak adalah karena wajib pajak lupa tanggal
pelaporan. Hal ini biasanya terjadi pada wajib pajak yang mengurus seluruh administrasi perpajakannya
sendiri tanpa bantuan orang lain.

Menunda Pembayaran Pajak

Sering menunda pembayaran pajak dapat menyebabkan wajib pajak terkena sanksi pajak. Tidak hanya
sanksi karena telat membayar pajak, wajib pajak juga bisa terkena sanksi karena telat menyampaikan
SPT. Sebab, jika Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dilaporkan tidak tepat waktu, wajib pajak akan
dikenakan sanksi pajak berupa denda dan bunga.
Menyembunyikan Data

Ini merupakan tindakan ilegal dari wajib pajak yang bertujuan mengurangi jumlah nominal pajak yang
akan dibayarkan. Caranya dengan menyembunyikan atau memalsukan beberapa data seperti data
pendapatan yang diperoleh dan lain sebagainya. Hal ini sudah tentu dapat membuat wajib pajak terkena
sanksi pajak. Berbicara mengenai sanksi pajak, kita harus tahu apa saja jenis dan besaran sanksi pajak itu
sendiri. Berikut ini sejumlah poin mengenai macam-macam dan besarannya sanksi pajak, yaitu:

2 Jenis Sanksi Pajak

Sanksi Administrasi Pajak

Sanksi administrasi adalah sanksi berupa pembayaran kerugian terhadap negara seperti denda, bunga
dan kenaikan. Adapun perbedaan antara denda, bunga dan kenaikan dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Sanksi pajak berupa denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban
pelaporan. Besaran nya pun bermacam-macam, sesuai dengan aturan undang-undang.

Contohnya, telat menyampaikan SPT Masa PPN, maka nominal denda yang dikenakan senilai Rp
500.000. Sedangkan telat dalam menyampaikan SPT Masa PPh, maka nominal denda yang dikenakan
senilai Rp1.000.000 untuk wajib pajak badan usaha dan Rp100.000 untuk wajib pajak perorangan.

B. Sanksi bunga ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran terkait kewajiban membayar
pajak. Besarannya sudah ditentukan per bulan. Contohnya, keterlambatan pembayaran pajak masa
tahunan akan dikenakan sanksi pajak berupa bunga senilai 2% per bulan dari jumlah pajak terutang.

Kekurangan pajak akibat penundaan SPT pun dikenakan sanksi berupa nilai bunga senilai 2% per bulan
atas kekurangan pembayaran pajak. Mengangsur atau menunda pajak juga dikenakan bunga senilai 2%
per bulan dengan ketentuan bagian dari bulan tetap dihitung penuh 1 bulan.

C. Sanksi kenaikan ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran terkait dengan kewajiban
yang diatur dalam material. Sanksi pajak ini berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar.
Penyebabnya bisa karena adanya pemalsuan data seperti meminimalkan jumlah pendapatan pada SPT
setelah lewat 2 tahun sebelum terbit SKP. Sanksi kenaikan besarannya adalah 50% dari pajak yang
kurang dibayar.
Sanksi Pidana Pajak

Sanksi Pidana adalah sanksi pajak yang diberikan berupa hukuman pidana seperti denda pidana, pidana
kurungan dan pidana penjara. Wajib pajak dapat dikenakan sanksi pidana bila diketahui dengan sengaja
tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar.

Penyebab lainnya adalah wajib pajak memperlihatkan dokumen palsu serta tidak menyetor pajak yang
telah dipotong. Sanksi akibat tindakan ini adalah pidana penjara selama 6 tahun paling lama dan denda
paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang.

Agar dapat terhindar dari sanksi pajak yang berat, berikut ini kiat yang bisa Anda lakukan:

Mengisi SPT dengan jujur dan cermat agar tidak terjadi kesalahan data. Pastikan nilai nominalnya benar,
jelas rinciannya, dan lengkap lampirannya.

Mengisi faktur pajak dengan lengkap.

Hindari akitivitas yang menimbulkan tindak pidana perpajakan terutama aktivitas yang dianggap grey
area hanya karena tidak tercantum dengan jelas dalam perundangan pajak.

Setorkan pajak dan laporkan SPT tepat waktu.

Hitung, setor, lapor secara cepat dan mudah dengan online.

Seperti disinggung sekilas di atas, salah satu penyebab wajib pajak terkena sanksi pajak adalah lupa
tanggal pembayaran dan pelaporan pajak.

Anda mungkin juga menyukai