Anda di halaman 1dari 11

https://pajak.go.

id/index-belajar-pajak

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM PPN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa.
Pajak konsumsi merupakan jenis pajak yang tujuannya adalah membebani penghasilan
seseorang pada waktu penghasilan tersebut dibelanjakan atau digunakan untuk konsumsi.
Pajak pertambahan nilai (PPN) atau Value Added Tax merupakan pajak atas konsumsi yang
mekanisme pengenaannya secara tidak langsung. PPN pada prinsipnya bukan memajaki
penjualan namun memajaki nilai tambah (value added).
Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-
Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994,
Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang_Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

SUBJEK PPN

Subjek Pajak PPN adalah orang pribadi dan/atau badan yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan melakukan kegiatan penyerahan dan menerima Barang/Jasa Kena Pajak.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar Daerah Pabean.
Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut dengan PKP adalah pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya.
Pengusaha yang melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai Undang-
Undang PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali
pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pengusaha kecil adalah merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah). Pengusaha kecil diperkenankan
untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP.
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan PPN atau Pajak PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang
dilakukannya.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan
pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah
tersebut.

OBJEK PPN

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: (Pasal 4 ayat (1) UU PPN)


1. penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
2. impor BKP;
3. penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
4. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
5. pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP);
7. ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP; dan
8. ekspor JKP oleh PKP.
Secara khusus PPN juga dikenakan atas:
1. kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain.
2. penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya
tidak dapat dikreditkan karena perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan perolehan dan pemeliharaan
kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan
barang dagangan atau disewakan.

BUKAN OBJEK PPN

Dalam Undang-Undang PPN juga diatur Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai. Berikut adalah kelompok Barang dan Jasa yang tidak dikenakan PPN
1. Barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam
kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat berharga.
2. Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan NIlai (PPN)
a. Jasa pelayanan kesehatan medis
b. Jasa pelayanan sosial
c. Jasa pengiriman surat dengan perangko
d. Jasa Keuangan
e. Jasa asuransi
f. Jasa keagamaan
g. Jasa pendidikan
h. Jasa kesenian dan hiburan
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
k. Jasa tenaga kerja
l. Jasa perhotelan
m. Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum
n. Jasa penyedia tempat parkir
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
q. Jasa boga atau katering

TARIF PPN DAN DPP PPN

Tarif umum Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% dan mulai tahun 2022 menjadi 11%
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
1. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
2. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
3. ekspor Jasa Kena Pajak
Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau
nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Nilai Impor = Harga Impor (CIF) + Bea Masuk
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh eksportir.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

PERHITUNGAN PPN DAN PPn BM

Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak
yang terutang. PPN atau PPN BM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

PPN Terutang = Tarif X DPP

PPN BM Terutang = Tarif PPN BM X DPP

Ketentuan PPN 29 mengatur bahwa dalam membuat kontrak atau perjanjian tertulis
mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak paling sedikit memuat:
a. nilai kontrak;
b. Dasar Pengenaan Pajak; dan
c. besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang terutang.
Contohnya misalkan Pada tahun 2020 Pengusaha Kena Pajak PT A menjual BKP yang
tergolong mewah kepada PT B dengan harga jual Rp 200.000.000. Tarif PPn BM atas BKP
yang tergolong mewah tersebut adalah 20%. PT A harus memungut :
PPN = 10% x Rp 200.000.000 = Rp 20.000.000
PPn BM = 20% x Rp 200.000.000 = Rp 40.000.000
Artinya, PT B selaku pembeli akan membayar total Rp 260.000.000 yang terdiri dari harga
jual Rp 200.000.000, PPN Rp 20.000.000, dan PPN BM Rp 40.000.000.
Apabila dalam pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis bahwa dalam nilai kontrak sebesar
Rp260.000.000 secara tegas dinyatakan sudah termasuk PPN (sebesar 10%) dan PPN BM
(sebesar 20%), penghitungan PPN dan PPN BM adalah sebagai berikut:

PPN = (10/130*) x Rp260.000.000 = Rp20.000.000


PPN BM = (20/130*) x Rp260.000.000 = Rp40.000.000
* 130 = 100% + 10% PPN + 20% PPN BM
Jika dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan dengan tegas bahwa PPN dan
PPN BM termasuk dalam nilai kontrak, besarnya DPP untuk menghitung Pajak
Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp260.000.000. Sehingga penghitungan PPN dan PPN
BM adalah sebagai berikut:

PPN = 10% x Rp260.000.000,00 = Rp26.000.000


PPN BM = 20% x Rp260.000.000,00 = Rp52.000.000

PAJAK KELUARAN

Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak,
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
ekspor Jasa Kena Pajak.

Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), ekspor BKP Berwujud, ekspor BKP Tidak Berwujud
dan/atau ekspor JKP.
Sebagai bukti pungutan PPN, maka PKP diharuskan untuk membuat Faktur Pajak.
PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak inilah yang merupakan Pajak Keluaran bagi PKP
Penjual Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Dalam hal PKP memperoleh BKP dan/atau JKP dan/atau memanfaatkan BKP tidak
berwujud dari Luar Daerah Pabean da/atau pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean
dan/atau Impor BKP, maka PPN tersebut merupakan Pajak Masukan bagi PKP tersebut.
Jumlah Pajak Keluaran dan Pajak Masukan tersebut kemudian dituangkan dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.
Ketika jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya
merupakan jumlah PPN yang harus disetor ke Kas Negara oleh PKP.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku,
kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).

PAJAK MASUKAN

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena
Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena
Pajak.
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang sama. Bagi Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disingkat PKP) yang belum
berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan
atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.

PPN Terutang = Pajak Keluaran – Pajak Masukan

Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi
persyaratan perundang-undang perpajakan. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus
disetor oleh PKP. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Artinya, dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan
Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan,
tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Contoh:
Masa Pajak Mei 2010 Pajak Keluaran = Rp2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp4.500.000,00
------------------(-)
Pajak yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.
Masa Pajak Juni 2010
Pajak Keluaran = Rp3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp2.000.000,00
-------------------(-)
Pajak yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2010
yang dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010 = Rp2.500.000,00
-------------------(-)
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juni 2010 = Rp1.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.
Atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun
buku. Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikompensasikan pada Masa
Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir
tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian
(restitusi).

MEKANISME PEMUNGUTAN PPN

Secara umum, mekanisme pemungutan PPN adalah sebagai berikut:


1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
(BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) wajib memungut PPN dari pembeli/penerima BKP/JKP
yang bersangkutan sebesar 10% dari harga jual atau penggantian, dan membuat Faktur
Pajak sebagai bukti pemungutannya.
2. Apabila pembeli BKP/JKP tersebut berstatus Pemungut PPN (BUMN, kontraktor dan
pemegang izin kontrak kerja sama, bendaharawan pemerintah, dan Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara), PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP
tidak dipungut oleh PKP Penjual, melainkan disetor langsung ke kas negara oleh
Pemungut PPN tersebut. Dengan demikian, Pemungut PPN hanya membayar kepada
PKP penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%) disetor langsung ke kas
negara.
3. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PKP
Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (hutang pajak).
4. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang dikenakan
PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan, yang sifatnya sebagai pajak yang
dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan langsung
dengan kegiatan usahanya.
5. Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), jika jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari
pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak
Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat di
kompensasi ke masa pajak berikutnya. Restitusi hanya dapat diajukan pada akhir tahun
buku.
6. Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN
(SPT Masa PPN) setiap bulan ke Kantor Pelayanan Pajak terkait paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

UU HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN

UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memiliki 5 (lima)


tujuan utama, yaitu:
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung
percepatan pemulihan perekonomian;
2. Mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara
mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera;
3. Mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum;
4. Melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan
perluasan basis perpajakan; dan
5. Meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

6. Kelompok Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (BAB IV)

Apakah terdapat perubahan terkait objek dan bukan objek PPN pada UU HPP?
Perubahan pasal 4A UU PPN yang terdapat barang dan jasa yang tidak dikenai
PPN (negative list), yang menghapus barang kebutuhan pokok, jasa Pendidikan dan jasa
Kesehatan dari barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Walaupun barang
kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan jasa kesehatan memang dihapus dari daftar barang
dan jasa yang tidak dikenai PPN, namun dipindahkan ke dalam Pasal 16B yang antara lain
mengatur barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga tidak akan
terjadi perubahan atau kenaikan harga yang akan membebani masyarakat berpenghasilan
menengah ke bawah.

Apa tujuan dinaikannya tarif PPN pada UU HPP?

Kenaikan tarif PPN bertujuan untuk meningkatkan penerimaan serta keadilan dalam proses
pemungutan PPN, namun pemerintah juga tetap mempertimbangkan kondisi masyarakat
dan kegiatan usaha yang masih dalam masa pemulihan pasca pandemi COVID-19, sehingga
kenaikannya diatur dalam dua tahap dan tidak dalam waktu dekat.
Terdapat kenaikan tarif PPN dari 10% (sepuluh persen) menjadi 11% (sebelas
persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022 dan menjadi 12%(dua belas
persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Soal Praktik
Kerjakan soal berikut ini dengan teliti dan benar!
Soal 1
PT GARUDA merupakan PKP yang menjual elektronik di Surabaya. Selama April 2021, PT
Garuda melakukan berbagai transaksi sebagai berikut:
1. Penjualan secara langsung kepada konsumen sebesar Rp1.600.000.000.
2. Penyerahan BKP, yakni barang elektronik kepada Pemerintah Kota Surabaya sebesar
Rp 660.000.000. Harga tersebut sudah termasuk PPN.
3. Menyumbang ke sebuah yayasan panti asuhan 1 buah televisi dengan harga Rp
2.000.000 termasuk keuntungan Rp 200.000.
4. Membeli sebuah mobil box untuk mengangkut barang dengan harga Rp 550.000.000
dan harga tersebut sudah termasuk PPN.
5. PT. Garuda membeli barang dagangan sebesar Rp 550.000.000.
Dari transaksi-transaksi yang terjadi di atas, maka hitunglah PPN dari transaksi tersebut?
Hitunglah pajak yang terutang oleh PT Garuda! Bagaimana perhitungan pajakanya jika
transaksi dilakukan di tahun 2022?

Soal 2
Toko Gelora menjual kulkas sebanyak 20 kulkas dengan harga satuannya sebesar Rp
6.000.000. Lalu, berapakah PPN terutang toko Gelora yang wajib disetorkan?
Jawab:
Total DPP atas penjualan 20 kulkas: 20 x Rp 6.000.000 = Rp120.000.000
PPN = 10% x Rp120.000.000 = Rp 12.000.000
Jadi, PPN terutang yang wajib disetorkan Toko Gelora adalah sebesar Rp 12.000.000.

Soal 3
Pada bulan April 2022 PT INDONESIA JAYA adalah PKP. Perusahaan menyerahkan jasa
persewaan kendaraan senilai RP 40.000.000. Hitung PPN yang dipungut oleh PT INDONESIA
JAYA!

Soal 4
Pada bulan Juli 2022 PT INDOMOBIL mengimpor barang dari Jepang dengan harga Rp
500.000.000. Biaya asuransi Rp 20.000.000 dan biaya pengiriman Rp 5.000.000.
Hitunglah DPP PPN dan besarnya PPN!
Soal 5
Pada bulan Agustus 2022 PT PERDANA menandatangani kontrak jual beli komputer dengan
Pemerintah Kota Kediri seharga Rp 165.000.000. Harga sudah termasuk pajak.
Hitunglah DPP PPN dan besarnya PPN!

*** Selamat Mengerjakan ***

Pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai

SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai wajib disampaikan bagi wajib pajak yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak. Penyampaian SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai paling lama
pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan wajib dilaporkan walaupun
Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan transaksi.

SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan


penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan

2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha
Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Cara Penyampaian SPT Masa PPN

Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan SPT Masa PPN dalam bentuk dokumen elektronik.
Pelaporan SPT Masa PPN dan PPnBM wajib melalui https://web-efaktur.pajak.go.id/.

Kelengkapan SPT Masa PPN

SPT Masa PPN 1111 yang disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik wajib dilampiri
dengan seluruh Lampiran SPT dalam bentuk dokumen elektronik yang dibuat dengan tata cara
yang telah diatur Direktorat Jenderal Pajak.

Anda selaku PKP wajib melaporkan Daftar Pajak Keluaran atas penyerahan dalam negeri
dengan Faktur Pajak dalam SPT Masa PPN 1111 pada Formulir 1111 A2 untuk Masa Pajak
yang sama dengan tanggal Faktur Pajak dibuat. Sedangkan atas Pajak Masukan yang menurut
ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan dapat dikreditkan namun tidak
dilakukan pengkreditan, wajib Anda laporkan dalam Formulir 1111 B3.

Bagi Anda:

1. PKP Pedagang Eceran; atau


2. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/ atau JKP yang diatur secara khusus.

diperkenankan melaporkan Faktur Pajak dalam SPT Masa PPN 1111 dengan cara digunggung.

PKP yang tidak memenuhi ketentuan ini namun melaporkan Faktur Pajak dalam SPT Masa PPN
1111 dengan cara digunggung merupakan PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan
tidak benar yang dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

Anda mungkin juga menyukai