Anda di halaman 1dari 11

NAMA : EKA LISTYANI NINGSIH

KELAS : A3

NPM : 160404020094

A. PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

1. Pengertian dan Dasar PPN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 april


1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU No 8
tahun 1983. PPN diatur dalam UU No 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM,
selanjutnya diubah dengan UU No.11 tahun 1994, lalu diubah dengan UU No. 18
tahun 2000, terakhir diubah lagi dengan UU No.42 tahun 2009.

PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di
Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan
distribusi (Siti Resmi, 2012:1). Dalam Dirjen Pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas setiap pembelian Barang Kena Pajak
dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar
daerah Pabean.

Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga


dikenakan PPN, kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN.
Misalnya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Ada juga
barang yang merupakan Barang Kena Pajak tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya
buku pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan barang-barang tertentunya.
2. Objek PPN

a. Text Box: 3Penyerahan /impor/pemanfaatan/ekspor terhadap BKP /JKP/BKP tidak


berwujud.

1. Penyerahan BKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha kena
pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi pengusaha
kena pajak tetapi belum dikukuhkan.

2. Impor BKP. Pemungutan pajak saat impor BKP dilakukan melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.

3. Penyerahan JKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daearah pabean didalam daerah
pabean.

5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean (jasa konsultan asing yang
memberikan jasa manajemen, jasa teknik dan jasa lain) didalam daerah pabean.

6. Ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP dikenakan PPN, hanya jika yang
melakukan adalah pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP.

7. Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP, pengusaha yang melakukan ekspor BKP
tidak berwujud adalah hanya pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak.

8. Ekspor JKP oleh PKP.

b. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya diigunakan sendiri atau
digunakan pihak lain.

c. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk
diperjual belikan sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan
menurut ketentuan dapat dikreditkan.
3. Bukan Objek PPN

a. Jenis Barang yang Tidak Dikenai PPN:

1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya.

2) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,


warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.

4) Uang, emas batangan, dan surat berharga.

b. Jenis Jasa yang Tidak Dikenai PPN: Jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan
sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa
keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak
bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara
dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara
luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah
dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat
parker, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang
dengan wesel pos dan jasa boga atau katering.

4. Subjek Pajak

Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan Barang


Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang PPN, yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan
barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa,
atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
5. Bukan Subjek Pajak

Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kecuali


pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(Pasal 1 angka 15 UU PPN).

6. Tarif PPN

a. Tarif PPN adalah 10%.

Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor


BKP/penyerahan JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari
luar daerah pabean di dalam pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean.

Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah
menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat disebabkan berbagai faktor, misalnya
pertimbangan perkembangan perekonomian Indonesia, sehingga tarif PPN bisa
diturunkan. Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah membutuhkan penerimaan pajak
yang besar, sehingga tarif PPN bisa dinaikkan.

b. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak.

7. Dasar Pengenaan PPN

a) Harga Jual

Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.

b) Penggantian

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut Undang- Undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh
penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

c) Nilai Impor

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena
Pajak.

Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, and Freight) + Bea Masuk.

d) Nilai Ekspor

Nilai Ekspor adalah adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

e) Nilai Lain

Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain
Sebagai DPP dan Peraturan Menteri Keuangan No.102/PMK.11/2011 tentang nilai
lain sebagai DPP atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean, di dalam daerah pabean berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita
impor.

B. Perhitungan PPN

PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.

Mekanisme Perhitungan PPN dapat diuraikan sebagai berikut :

a. PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 UU PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak.

b. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
untuk Masa Pajak yang sama.
c. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan.

d. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.

e. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak
yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.

f. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak,
sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan
pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang
pajak.

g. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak
dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.

h. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang


dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

i. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak
yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.

Contoh :

1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak (BKP) dengan Harga Jual Rp
25.000.000,00

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang

= 10% x Rp25.000.000,00

= Rp2.500.000,00

PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.

2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena (JKP) Pajak dengan memperoleh
penggantian sebesar Rp20.000.000,00

PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”

= 10% x Rp20.000.000,00

= Rp 2.000.000,00

PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat oleh
Pengusaha Kena Pajak “B”.

3. Bapak andre saputra simanjuntak mempunyai perusahaan yang memproduksi bahan


alkohol, dia melakukan penjualan sebesar Rp. 120.000.000,- dengan PPN sebesar
15%

Perhitungan :

= Rp. 120.000.000,- x 15%

= Rp. 18.000.000,-

Jadi pajak PPN yang dipungut oleh perusahaan bapak andre adalah Rp. 18.000.000,-
B. PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)

PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong
mewah didalam daerah pabean.

1. Dasar Pengenaan PPnBM

a. Perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang


berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi.

b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah.

c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional.

d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu
impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

BKP yang tergolong mewah adalah :

a) Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.

b) Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.

c) Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan


tinggi atau apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral serta
mengganggu ketertiban masyarakat.

2. Objek PPnBM

a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh
pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya.

b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah


3. Penetapan Tarif

a. Tarif PPnBM dibedakan menjadi beberapa kelompok tarif yaitu tarif terendah
sebesar 10% dan tarif tertinggi sebesar 200%. Perbedaan tersebut didasarkan
pada pengelompokkan BKP yang tergolong mewah yang atas penyerahannya
dikenakan juga PPnBM.

b. Tarif PPnBM ditetapkan sebesar 0% atas ekspor BKP yang tergolong mewah,
karena diekspor atau dikonsumsi di luar daerah Pabean.

C. Pelaporan PPN dan PPnBM

1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT
Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lama
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah
dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.

3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:

a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya


setelah Masa Pajak berakhir.

b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan paling lama
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM
dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan
kepada KPP setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.

D. Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM

1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama akhir
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP tersebut.

3. PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen Impor.

4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:

a. Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan


berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor,
harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan
pemungutan PPN pajak.

PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG),
harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O)
ditebus.

E. Sarana Pembayaran PPN dan PPnBM

1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran


Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh Indonesia.

2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/ PPn BM yang
disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib
Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro,
atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.

Contoh Soal:

Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong
Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp. 50.000.000,00 Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM misalnya
dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:

a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 50.000.000,00

b. PPN = 10% xRp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00

c. PPn BM = 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00

Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian
dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan
tarif misalnya 35%. Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor
tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 dapat
ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan
sebagai biaya.

Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP “X” dengan harga
jual Rp. 150.000.000,00 maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :

a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 150.000.000,00

b. PPN = 10% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00

c. PPn BM = 35% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 52.500.000,00

PPN sebesar Rp. 5.000.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak
masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp. 15.000.000,00 merupakan pajak
keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 tidak dapat
dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp. 52.500.000,00 tidak dapat
dikreditkan oleh PKP “X”.

Anda mungkin juga menyukai