Anda di halaman 1dari 81

DAFTAR ISI

BAB 12 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak


Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

BAB 13 Pajak Bumi dan Bangunan

BAB 14 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


(BPHTB)
BAB 12 PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI (PPN) DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH (PPNBM)
DASAR HUKUM UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994,
diubah lagi dengan UU No. 18 Tahun
2000, dan terakhir UU No. 42 Tahun
2009.

PENDAHULUAN Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai


diperkenalkan di Indonesia sejak 1 April
1985 untuk menggantikan Pajak
Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan
dalam UU No. 8 Tahun 1983.
KARAKTERISTIK PPN DI INDONESIA

Pajak Tidak Langsung

Pajak Objektif

Multistage Tax

Nonkumulatif

Tarif Tunggal

Credit Method/Invoice Method/Indirect


Substruction Method

Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri

Consumption Type Value Added Tax (VAT)


ISTILAH DAN PENGERTIAN

bersambung
bersambung
SUBJEK PAJAK

PPN merupakan pajak tidak langsung yang berarti beban pajak bisa digeser ke pembeli.
Dalam PPN, subjek pajak meliputi:
1. Pengusaha kena pajak. Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009. Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan kriteria pengusaha kecil
tidak wajib menjadi pengusaha kena pajak, kecuali memilih untuk dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak.

Pengusaha kecil (menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 197/


PMK.03/2013 merupakan pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
2. Bukan pengusaha kena pajak. PPN tetap terutang meskipun yang melakukan
kegiatan bukan PKP.
OBJEK PPN Pasal 4 UU
PP

1. Penyerahan BKP di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

2. Impor BKP
3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh PKP
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
6. Ekspor BKP Berwujud oleh PKP

7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP

8. Ekspor BKP
1. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam
Di samping beberapa hal yang kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang
hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
disebutkan, Pasal 16C dan 16D
UU PPN mengatur tentang 2. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula
pengenaan PPN atas: aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang
Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehannya
menurut ketentuan dapat dikreditkan.
PENYERAHAN TERUTANG PPN DAN TIDAK TERUTANG PPN

Penyerahan Terutang PPN

Penyerahan yang terutang PPN dikelompokkan menjadi:


1. ekspor;
2. penyerahan dalam negeri, terdiri atas:
a. penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri;
b. penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN; Penjelasan
c. penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut; lengkap baca
buku halaman
d. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN. 9 s.d. 14

Penyerahan Tidak Terutang PPN

Penyerahan yang tidak terutang PPN merupakan penyerahan bukan BKP


dan/atau bukan JKP, tidak termasuk penyerahan yang PPN-nya tidak
dipungut dan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.

Penjelasan lengkap baca buku


halaman 14 s.d. 19
SAAT TERUTANG PPN

Terutangnya PPN menurut Pasal 11 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 terjadi pada
saat:
1. penyerahan BKP;
2. impor BKP;
3. penyerahan JKP
4. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean;
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang
pribadi dan badan tersebut mulai memanfaatkan BKP tidak berwujud tersebut di
dalam daerah pabean. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang
menyerahkan BKP tidak berwujud atau JKP tersebut di luar daerah pabean
sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Oleh karena itu,
saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan tetapi dikaitkan
dengan saat pemanfaatan.
5. pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean;
6. ekspor BKP berwujud;
7. ekspor BKP tidak berwujud;
8. ekspor JKP.
TEMPAT TERUTANG PPN
Tempat terutangnya PPN ditetapkan sebagai berikut:

1. Atas penyerahan BKP di dalam daerah pabean/penyerahan JKP di dalam daerah


pabean/ekspor BKP berwujud/ekspor BKP tidak berwujud/ekspor JKP.
Tempat terutangnya pajak adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya
dikukuhkan sebagai PKP.

2. Atas impor BKP


Tempat terutangnya pajak adalah di tempat BKP dimasukkan dan dipungut melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
3. Atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
Tempat terutangnya pajak adalah di tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan dalam hal orang pribadi atau badan tersebut bukan sebagai
Wajib Pajak atau di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai
Wajib Pajak.

bersambung
4. Atas kegiatan membangun sendiri oleh PKP atau bukan PKP yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Tempat terutangnya pajak adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.

Dalam hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat
tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER Nomor: 4/Pj./2010
dan surat edaran dirjen pajak No. SE 27/Pj/2010 sebagai berikut:
1. Bagi pengusaha kena pajak orang pribadi, PPN terutang di tempat tinggal dan/atau
tempat kegiatan usaha atau tempat lain.
2. Apabila pengusaha kena pajak orang pribadi ternyata mempunyai tempat tinggal
tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, maka pengusaha orang pribadi tersebut
dikukuhkan dan terutang PPN hanya di tempat usahanya, sepanjang pengusaha kena
pajak tidak melakukan kegiatan usaha apa pun di tempat tinggalnya.
3. Bagi pengusaha kena pajak badan, PPN terutang di tempat kedudukan dan tempat
kegiatan usaha atau tempat lain.
SAAT PENYETORAN DAN PELAPORAN PPN

Penyetoran Pajak Pelaporan Pajak


Pertambahan Nilai Pertambahan Nilai

Paling lama akhir bulan


Paling lama pada akhir
berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak dan sebelum Surat bulan berikutnya setelah
Pemberitahuan Masa Pajak berakhirnya Masa Pajak.
Pertambahan Nilai
disampaikan.

Menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak
Menggunakan formulir Surat Pertambahan Nilai (SPT Masa
Setoran Pajak (SSP). PPN).
TARIF PPN Pasal 7 UU No. 42
Tahun 2009

Tarif PPN sebesar 10% Tarif PPN sebesar 0% (nol


(sepuluh persen) persen)

Atas setiap penyerahan BKP di atas ekspor BKP berwujud/ekspor


dalam daerah pabean/impor BKP tidak berwujud/ekspor Jasa
BKP/penyerahan JKP di dalam Kena Pajak.
daerah pabean/pemanfaatan BKP
tidak berwujud dari luar daerah
pabean di dalam daerah
pabean/pemanfaatan JKP dari luar
daerah pabean di dalam daerah Pengenaan tarif 0% (nol persen)
pabean. tidak berarti pembebasan dari
pengenaan PPN→ pajak yang telah
dibayar dapat dikreditkan
DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP) PPN

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) merupakan jumlah tertentu sebagai dasar untuk
menghitung PPN. Dasar Pengenaan Pajak terdiri atas harga jual, nilai penggantian, nilai
ekspor, nilai impor, dan nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
berdasarkan Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur
pajak. Harga jual merupakan DPP untuk penyerahan BKP.

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk PPN
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut berdasarkan undang-undang PPN.

bersambung
Penentuan nilai impor BKP didasarkan pada undang-undang Pabean yang
menggunakan Dasar Pengenaan Bea Masuk, yaitu cost (harga
faktur), insurance (biaya asuransi antar-Daerah Pabean), dan freight (ongkos angkut
atau pengapalan antar-Daerah Pabean) atau disingkat dengan CIF (cost, insurance,
freight).

Rumus menghitung nilai impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah:

Nilai Impor = CIF + Bea Masuk + Pungutan Lain yang Sah

Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.

Nilai lain adalah jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Nilai lain
tersebut ditetapkan sebagai berikut (Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
38/PMK.011/2013) → penjelasan baca buku halaman 24.
MENGHITUNG PPN

PPN = Tarif × Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

1. menghitung PPN secara final


Penghitungan
PPN ada 2 2. menggunakan kredit pajak
masukan
Menghitung PPN secara final artinya tidak diperbolehkan untuk
mengkreditkan Pajak Masukan. Penghitungan seperti ini dilakukan oleh:
1. Pengusaha jasa pengiriman paket.
2. Pengusaha biro perjalanan atau pengusaha jasa biro pariwisata.
3. Pengusaha pabrikan emas.
4. Pengusaha jasa pengurusan transportasi.

Penghitungan PPN dengan mekanisme kredit pajak masukan dilakukan


dengan Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan. Selisih Pajak Keluaran dan
Pajak Masukan dinamakan PPN yang kurang atau lebih disetor.
Contoh:

PKP pengiriman barang KILAT melakukan penyerahan jasa pengiriman paket barang
selama Maret 2015 senilai Rp300.000.000. Dalam bulan yang sama dilakukan pembelian
peralatan kantor senilai Rp26.000.000 dan membayar PPN sebesar Rp2.600.000.
Besarnya PPN yang terutang dihitung sebagai berikut:

PPN terutang = tarif × DPP


= 10% × (10% × Rp300.000.000)
= Rp3.000.000

Pajak Masukan sebesar Rp2.600.000 tidak dapat dikreditkan dari Rp3.000.000.


PPN KURANG/LEBIH DISETOR

PPN kurang (lebih) disetor = Pajak Keluaran – Pajak Masukan

Pajak Keluaran

Pajak Keluaran = Tarif × Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

10% (sepuluh persen) untuk penyerahan Barang Kena


Pajak di dalam Daerah Pabean/penyerahan Jasa Kena Pajak
di dalam daerah pabean oleh pengusaha kena pajak.

Tarif Pajak Keluaran


0% (nol persen) untuk ekspor Barang Kena Pajak
berwujud/ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud/ekspor
Jasa Kena Pajak oleh pengusaha kena pajak.

DPP dapat berupa harga jual, penggantian, atau nilai ekspor.


Sebelum dikalikan dengan tarif, DPP merupakan harga/nilai yang tidak
termasuk PPN.
Contoh 1

Pengusaha Kena Pajak A menjual Barang Kena Pajak kepada pelanggan XX dengan
harga jual sebesar Rp25.000.000.

PPN yang terutang = 10% × Rp25.000.000 = Rp2.500.000


PPN sebesar Rp2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
pengusaha kena pajak A.

Contoh 2

Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh
penggantian sebesar Rp20.000.000.

PPN yang terutang = 10% × Rp20.000.000 = Rp2.000.000


PPN sebesar Rp2.000.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
pengusaha kena pajak B.
Contoh 3

Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan nilai impor
sebesar Rp15.000.000.
PPN yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% × Rp15.000.000 = Rp1.500.000
PPN sebesar Rp1.500.000 tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan pada pajak keluaran apabila memenuhi ketentuan yang berlaku.

Contoh 4
Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan nilai ekspor
sebesar Rp10.000.000.

PPN yang terutang = 0% × Rp10.000.000 = Rp0


PPN sebesar Rp0 ini merupakan pajak keluaran bagi pengusaha kena pajak D.
Contoh 5
Pengusaha Kena Pajak E menggunakan Barang Kena Pajak untuk keperluan
perusahaan sendiri dengan harga jual sebesar Rp23.000.000. Harga tersebut termasuk
laba sebesar Rp3.000.000.
PPN yang terutang = 10% × (Rp23.000.000 – Rp3.000.000) = Rp2.000.000.
PPN Rp2.000.000 ini merupakan pajak keluaran bagi pengusaha kena pajak E.

Contoh 6
Pengusaha Kena Pajak F menyerahkan BKP senilai Rp4.800.000 untuk kegiatan
promosi. Nilai penyerahan tersebut termasuk laba kotor sebesar 20 persen. Kegiatan
ini termasuk pemberian cuma-cuma.

PPN yang terutang atas penyerahan tersebut adalah:


Harga jual Rp4.800.000
Laba kotor = 20/120 × Rp4.800.000 Rp 800.000 (−)
Dasar Pengenaan Pajak Rp4.000.000
PPN yang terutang = 10% × Rp4.000.000 = Rp400.000
PPN sebesar Rp400.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PKP F.
Apabila dalam sebuah harga/nilai termasuk PPN, besarnya DPP dihitung dahulu dengan
cara sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak = 100 × Harga jual (nilai penggantian)


110

Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A menjual Barang Kena Pajak kepada Instansi YY dengan harga
sebesar Rp110.000.000 (harga ini termasuk PPN).
DPP = 100 ×Rp110.000.000
110
DPP = Rp100.000.000
PPN yang terutang = 10% × Rp100.000.000 = Rp10.000.000
PPN sebesar Rp10.000.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran.
Pajak Masukan

Pajak Masukan = Tarif × Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Tarif Pajak Masukan adalah sebesar 10% (sepuluh persen).

Dasar Pengenaan Pajak dapat berupa nilai impor, harga beli (sama dengan harga
jual bagi penjual), nilai penggantian, atau nilai lain.

Contoh:
Pengusaha Kena Pajak X melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
Pengusaha Kena Pajak Y dengan harga jual Rp210.000.000.

Pajak Keluaran bagi PKP X = 10% × Rp210.000.000 = Rp21.000.000


Pajak Masukan bagi PKP Y = 10% × Rp210.000.000 = Rp21.000.000

PPN sebesar Rp21.000.000 merupakan Pajak Masukan bagi pembeli (PKP Y)


dan Pajak Keluaran bagi penjual (PKP X).
Dalam suatu masa pajak, Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Pajak
Masukan dapat dikreditkan dari Pajak Keluaran apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pajak Masukan berkaitan langsung dengan kegiatan usaha;
2. Pajak Masukan atas BKP dan/atau JKP dimanfaatkan untuk penyerahan yang bersifat
terutang PPN;
3. Pajak Masukan disertai dengan Faktur Pajak yang sah;
4. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama tiga bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang
belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Namun, Pajak Masukan dimungkinkan tidak dapat dikreditkan dari Pajak Keluaran.
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan dari Pajak Keluaran apabila berasal dari:

1. perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;


2. perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha;
3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station
wagon kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

bersambung
4. pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
5. perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan atau tidak
mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
6. pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan;
7. perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan
ketetapan pajak;
8. perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa
PPN, yang ditemukan pada waktu pemeriksaan;
9. perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi;
10. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP, impor BKP, dan/atau
pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN;

bersambung
11. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP atas kegiatan
membangun sendiri yang tidak dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaan;
12. Pajak Masukan yang dibayar oleh PKP yang melakukan penyerahan jasa
pengiriman paket dan jasa biro perjalanan atau jasa biro wisata, karena dalam nilai
lain sudah diperhitungkan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP dalam
rangka usaha tersebut.

Pajak Masukan dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada Formulir 1111 B1,
Formulir 1111 B2, dan Formulir 1111 B3. Pajak Masukan yang dikreditkan atas
impor BKP dan pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean
dilaporkan dalam Formulir 1111 B1. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan atas
perolehan BKP/JKP Dalam Negeri dilaporkan dalam Formulir 1111 B2, dan Pajak
Masukan yang tidak dapat dikreditkan atau yang mendapat fasilitas dilaporkan dalam
Formulir 1111 B3.
Pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang Melakukan Penyerahan Terutang
Pajak dan Penyerahan Tidak Terutang Pajak.
1. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang
bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari
pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak
Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.

Contoh

PKP X melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:


a. Penyerahan yang terutang pajak senilai Rp25.000.000, Pajak Keluaran atas
penyerahan ini adalah 10% × Rp25.000.000 = Rp2.500.000.
b. Penyerahan yang tidak terutang pajak (dibebaskan dari pengenaan PPN) senilai
Rp5.000.000, Pajak Keluaran atas penyerahan ini adalah Nihil.

bersambung
Pajak Masukan yang dibayar atas:
a. Perolehan BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang PPN
adalah Rp1.500.000.
b. Perolehan BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai PPN
adalah Rp300.000.
c. Perolehan BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari
pengenaan PPN adalah Rp500.000.

Total Pajak Keluaran Rp2.500.000


Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari Pajak Keluaran Rp1.500.000
2. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang terutang
pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak
Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak diketahui dengan pasti, jumlah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak
dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dalam (PMK Nomor
135/PMK.011/2014).→ penjelasan secara rinci baca buku halaman 31 s.d 32

Contoh 1

PKP B bergerak di bidang usaha pembuatan sepatu. Pada Januari 2014, perusahaan
membeli generator listrik yang dimaksudkan seluruhnya untuk kegiatan pabrik. Harga
perolehan generator listrik adalah Rp100.000.000, dengan PPN sebesar Rp10.000.000.

1) Pajak Masukan atas perolehan generator listrik sebesar Rp10.000.000


seluruhnya dikreditkan pada Masa Pajak Januari 2014. Masa manfaat
generator listrik tersebut sebenarnya lima tahun, tetapi untuk penghitungan
kembali Pajak Masukan, masa manfaat generator listrik ditetapkan empat
tahun sehingga alokasi pengkreditan Pajak Masukan untuk setiap tahunnya
adalah:

Rp10.000.000 = Rp2.500.000
4
bersambung
2) Selama tahun 2014 ternyata generator listrik tersebut digunakan sebagai berikut:

bersambung
bersambung
PPN Kurang/Lebih Disetor

PPN kurang (lebih) disetor = Pajak Keluaran – Pajak Masukan

Apabila Pajak Keluaran > Pajak Masukan, selisihnya dinamakan PPN kurang
disetor.

Apabila Pajak Keluaran < Pajak Masukan, selisihnya dinamakan PPN lebih
disetor.

Apabila Pajak Keluaran = Pajak Masukan, dinamakan NIHIL

PPN kurang disetor wajib dibayar oleh PKP paling lambat pada akhir
bulan berikutnya sebelum penyampaian SPT Masa PPN.

PPN lebih disetor dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya atau dapat
diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun.
bersambung
bersambung
bersambung
bersambung
bersambung
RESTITUSI (Permohonan Pengembalian)

Kelebihan pembayaran Pajak Masukan Pasal 9 ayat (4a)


dibanding Pajak Keluaran UU PPN

karena

apabila dalam suatu Masa Pajak,


Jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada
Pajak Masukan yang dikreditkan
jumlah Pajak Keluaran dalam suatu masa pajak
lebih besar daripada Pajak
Keluaran, selisihnya merupakan
kelebihan pajak yang
dan dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
Kesalahan pemungutan pajak yang dilakukan
oleh PKP.
bersambung
bersambung
bersambung
bersambung
bersambung
FAKTUR PAJAK

bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Faktur Pajak Gabungan

PKP diwajibkan membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP atau JKP. Namun,
untuk meringankan beban administrasi, kepada PKP diperkenankan membuat satu
Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan BKP atau JKP yang terjadi selama satu
bulan takwim kepada pembeli BKP yang sama atau penerima JKP yang sama.
Tata Cara Pengisian Faktur Pajak Baca buku halaman 53 s.d. 60

Tata Cara Perolehan Nomor Seri Baca buku halaman 60 s.d. 65


Faktur Pajak

Faktur Pajak Rusak/Salah Baca buku halaman 66

Faktur Pajak Hilang Baca buku halaman 67 s.d. 68

Dokumen Tertentu yang Diperlakukan sebagai Baca buku halaman 68


Faktur Pajak s.d. 69

Baca buku halaman 69


Nota Retur dan Nota Pembatalan
s.d. 71
Saat
Pembuatan
Faktur Pajak

bersambung
bersambung
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM)

PPnBM dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang
dilakukan oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

untuk

1. Menyeimbangkan pembebanan pajak antara konsumen


yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang
berpenghasilan tinggi; perlu adanya pengendalian pola
konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
2. Melindungi produsen kecil atau tradisional;
3. Mengamankan penerimaan negara.
Subjek Pajak

Pengusaha Kena Pajak produsen Orang pribadi atau badan yang


yang melakukan penyerahan Barang melakukan impor Barang Kena
Kena Pajak yang Tergolong Mewah. Pajak yang Tergolong Mewah.

Kegiatan menghasilkan BKP yang Pengenaan PPnBM terhadap impor


tergolong mewah bagi PKP produsen BKP yang Tergolong Mewah tidak
adalah: memandang siapa yang mengimpor
a. Merakit BKP tersebut dan apakah impor
b. Memasak tersebut dilakukan secara terus-
c. Mencampur menerus atau hanya sekali saja.
d. Mengemas
e. Membotolkan
f. Kegiatan lain yang dapat
dipersamakan dengan kegiatan itu
atau menyuruh orang lain untuk
melakukan kegiatan tersebut.
Objek Pajak
Tarif PPnBM

1. Tarif PPnBM atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah di dalam
Daerah Pabean
Tarif yang berlaku adalah tarif terendah sebesar 10% (sepuluh persen) dan tarif
tertinggi sebesar 200% (dua ratus persen).
2. Tarif PPnBM atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah ke
luar Daerah Pabean (ekspor)
Tarif yang berlaku adalah 0% (nol persen).

Kelompok BKP yang Tergolong Mewah yang


dikenakan PPnBM selain Kendaraan Baca buku halaman 79
Bermotor berdasarkan Peraturan Menteri s.d. 89
Keuangan Nomor 130/PMK.11/2013.
MENGHITUNG PPnBM

PPnBM yang terutang = Tarif PPnBM × Dasar Pengenaan Pajak

Contoh
Produsen PKP Perdana melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah (tarif 30%) dengan harga Rp140.000.000 (dalam harga tersebut tidak
termasuk PPN dan PPnBM).

PPnBM yang terutang = 30% × Rp140.000.000 = Rp42.000.000


PPN yang terutang = 10% × Rp140.000.000 = Rp14.000.000
PPN ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI
diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan
Republik Indonesia
Nomor:
Subjek dan Objek Pajak 163/PMK.03/2012

Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang membangun


untuk keperluan pribadi tidak untuk kegiatan usaha.

Objek pajak adalah kegiatan membangun sendiri.

Saat dan Tempat Pajak Terutang

Saat terutangnya PPN atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada saat
dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai.

Tempat terutangnya PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat


bangunan tersebut didirikan.
bersambung

Anda mungkin juga menyukai