Anda di halaman 1dari 9

PERPAJAKAN II

RESUME MINGGU KE-11

Disusun oleh:
KELOMPOK 10

1. Verena Ayu Carinnira Pradjarto (042111333147)


2. Atthariq Firdauzan Bihaqqi (042111333169)
3. Rangga Kurniawan (042111333177)
4. Bintang Toto Laksono Sugiatmoko (042111333178)
5. Rafli Aliefdiputra (042111333182)

PROGRAM STUDI SARJANA AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2023
1. Latar belakang penggantian PPn dengan PPN.
Pajak Pembangunan I
Sebelum adanya PPN, pemerintah secara resmi mengadakan pemungutan Pajak
Pembangunan I (PPb I) pada 1 Juli 1947. Pajak ini dikenakan atas usaha rumah makan,
penginapan dan penyerahan jasa di rumah makan. Sebelumnya, PPb I berstatus pajak pusat,
namun sejak tahun 1957 berubah menjadi pajak daerah.
Pajak Peredaran Tahun 1950
Pengenaan pajak peredaran berdasarkan atas penyerahan barang dan jasa yang
dilakukan di Indonesia. Pemungutan pajaknya dilakukan secara berjenjang pada setiap mata
rantai jalur produksi dan jalur distribusi. Pajak Peredaran berlaku sejak 1 Oktober 1951.

Tarif yang digunakan untuk pajak peredaran adalah 2,5%. Undang-Undang yang
mengatur Pajak Peredaran adalah Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang
Pajak Peredaran. Namun, pemungutan pajak peredaran ini tidak berlangsung lama dan
tergantikan dengan pajak penjualan.

Pajak Penjualan
Seperti telah disebutkan pada poin sebelumnya, pajak peredaran yang diatur dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pajak Peredaran tidak berlangsung
lama.

Selanjutnya, pajak peredaran digantikan dengan pajak penjualan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953 tentang Penetapan “Undang-Undang Darurat Nomor
19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan” (Lembaran-Negara Nomor 94 Tahun
1951) Sebagai Undang-Undang. UU inilah yang kemudian menjadi dasar hukum pemungutan
pajak penjualan yang dikenal dengan Pajak Penjualan 1951.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pajak Penjualan 1951 akhirnya direformasi dengan munculnya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Undang-Undang yang mengatur tentang PPN dan PPnBM tersebut akhirnya
disahkan pada 1 April 1985.

Sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 ditetapkan, hingga saat ini sudah ada
tiga kali perubahan UU PPN di Indonesia . Nah, berikut ini perubahan UU PPN kedua dan
ketiga di Indonesia.
Perubahan Kedua:
Setelah perubahan pertama pada 1983, UU PPN mengalami perubahan kedua yang
disebut sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Adapun sasaran yang ingin diwujudkan dari perubahan kedua UU PPN tersebut
adalah menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, sederhana, dan memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat serta dapat mengamankan dan meningkatkan penerimaan negara.

Perubahan ketiga:

Perubahan UU PPN ketiga adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang


Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Hingga
tahun 2018, undang-undang ini masih digunakan dan belum ada rencana untuk direvisi.

Tujuan dilakukannya perubahan ketiga UU PPN ini adalah untuk semakin


meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih
sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat
dilaksanakan secara mandiri.

2. Dasar Hukum dan Pengertian umum PPN


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas pajak atas konsumsi barang dan
jasa di dalam Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi
dan distribusi. PPN merupakan pajak tidak langsung karena pembayaran atau pemungutan
pajaknya disetorkan oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak.

Dasar Hukum:
● UU Nomor 8 Tahun 1983
Undang-undang No. 8 Tahun 1983 mengatur tentang daerah pabean, barang
berwujud dan BKP. Penyerahan BKP dalam peraturan tentang PPN ini adalah
penyerahan BKP karena suatu perjanjian, pengalihan BKP karena suatu perjanjian
sewa beli (leasing) dan pengalihan hasil produksi dalam keadaan bergerak.
Sedangkan yang dimaksud penyerahan JKP meliputi pemberian JKP yang
dilakukan dalam lingkungan perusahaan/untuk kepentingan sendiri. Tarif PPN
ditetapkan sebesar 10% dan tarif atas ekspor BKP/JKP sebesar 0% dengan ketentuan
dapat diubah serendah-rendahnya menjadi 5% dan setinggi-tingginya 15%.
Undang-undang ini mulai berlaku sejak 1 Januari 1984 bersamaan dengan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Indonesia serta Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Namun dasar hukum PPN ini baru disahkan pada 1 April 1985.
● UU Nomor 11 Tahun 1994
Sepuluh tahun sejak diberlakukannya UU Nomor 8 Tahun 1983, lahirlah UU
Nomor 11 Tahun 1994. Beberapa poin penting dari kebijakan ini adalah penjelasan
PPN sebagai pajak tidak langsung yang dihitung oleh penjual tetapi dibayar oleh
orang lain (pembeli).
Selanjutnya, dasar hukum PPN ini menjelaskan adanya sistem Muli Stage Tax
sebagai pajak yang yang dikenakan secara bertingkat, pada rantai produksi dan
distribusi.
Setiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN sejak dari pabrik,
pedagang besar sampai pengecer dikenakan PPN. Peraturan ini juga mengatur
mengenai indirect subtraction/invoice method yaitu cara menghitung pajak dengan
metode tidak langsung terhadap pajak atas konsumsi dalam negeri sebagai pajak yang
yang dikenakan secara definitif terhadap barang konsumsi di Indonesia.
UU No. 11 Tahun 1994 ini juga membahas mengenai consumption type VAT
sebagai pajak yang dipungut atas nilai tambah, penerapan Non cummulative tax yaitu
sistem pengenaan pajak pada barang/jasa yang telah dikenakan terhadap barang/jasa
yang telah dikenakan pajak daerah
Penerapan tarif tunggal 10% diberlakukan untuk pungutan PPN dan pajak
objektif sebagai pajak yang dikenakan atas barang/jasa tanpa melihat orang/badan
yang melakukan transaksi.
● UU Nomor 42 Tahun 2009
UU No. 42 tahun 2009 adalah perubahan ketiga atas UU PPN. Dengan kata
lain, peraturan ini merupakan dasar hukum terbaru yang mengatur tentang PPN.
Undang-undang yang menjadi dasar hukum PPN ini membahas sejumlah
perubahan dari undang-undang sebelumnya seperti mengenai status PKP sebagai
pihak yang wajib menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang, hingga
kewajiban pengusaha kecil yang sudah memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Berdasarkan peraturan ini, PPN dikenakan atas penyerahan BKP di dalam
daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, impor BKP, penyerahan JKP dalam
daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean, ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor
BKP tidak berwujud oleh PKP dan ekspor JKP oleh PKP.
UU No.42 tahun 2009 juga mengatur bahwa PPN atas penyerahan JKP yang
dibatalkan (sebagian/seluruhnya) dapat dikurangkan dari PPN terutang yang terjadi
dalam masa pajak terjadinya pembatalan.
● Dasar Hukum PPN: Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan
Peraturan mengenai pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN diatur
melalui PMK No. 197/PMK.03/2013 yang juga mengatur PKP sebagai pihak yang
wajib melaporkan pajaknya karena jumlah penjualan barang dan jasa yang sudah
melebihi Rp 4.800.000.000. Pelaporan dilakukan pada akhir bulan berikutnya setelah
jumlah penjualan berhasil melebihi Rp 4.800.000.000.

3. Karakteristik dan mekanisme pemungutan PPN.


Karakteristik
1. Merupakan Pajak Atas Konsumsi : Karakteristik PPN dibebankan pada konsumen
atau orang yang membeli Barang kena Pajak, dan tidak untuk dijual kembali. Artinya,
yang memiliki tanggung jawab membayar beban pajak ini adalah konsumen akhir.
2. Merupakan Pajak Tidak Langsung : Pajak ini dibebankan pada konsumen
akhir BKP yang ada, sedangkan yang melakukan penyetoran pajak bukanlah
konsumen akhir namun Anda, sebagai PKP yang menjual barang tersebut. Ini yang
dimaksudkan dengan pajak tidak langsung, karena berbeda antara penyetor dan
pembayarannya.
3. Karakteristik PPN Merupakan Pajak Objektif :Pajak pertambahan nilai tidak
melihat dari sisi subjek pajak, melainkan dari objek pajak. Setiap konsumen, yang
juga wajib pajak dan subjek pajak, akan dikenai tarif PPN yang sama, sesuai dengan
harga barang atau transaksi BKP dan JKP yang terjadi.
4. Penggunaan Tarif Tunggal : Berbeda dengan PPh 21 yang memiliki
perhitungan progresif, dimana setiap batas penghasilan memiliki besaran pajak
sendiri. Pajak Pertambahan Nilai memiliki tarif dasar tunggal yakni sebesar 10%.
Setiap konsumen akhir yang membeli BKP untuk digunakan akan bertanggung jawab
membayar pajak sebesar 10% dari nilai transaksi.Pajak ini juga dikenakan untuk
transaksi ekspor, hanya saja tarif yang dikenakan tidak sebesar 10% melainkan 0%.
Pemerintah menerapkan tarif ini untuk merangsang pertumbuhan ekspor dan
memberikan kemudahan untuk eksportir yang ada.
5. Karakteristik PPN adalah Pajak Atas Konsumsi BKP/JKP di Dalam Negeri :
Pajak ini hanya dikenakan atas konsumsi BKP dan JKP di dalam negeri seperti
misalnya transaksi impor. Impor barang oleh PKP dikenakan PPN, selain itu juga
diterapkan pada pemanfaatan BKP dan JKP tidak berwujud diluar daerah kepabeanan
yang dimanfaatkan di dalam negeri.
6. Bersifat Multi Stage Levy : Pajak ini akan dikenakan atau dipungut pada setiap
tahap jalur produksi dan distribusi, mulai dari pabrik, pedagang besar, grosir, hingga
pedagang kecil atau pengecer. Meski karakteristik PPN adalah dikenakan pada setiap
mata rantai produksi dan distribusi, pajak ini tidak akan menimbulkan efek
pemungutan pajak ganda karena mekanismenya yang menganut pengkreditan Pajak
Keluaran dan Pajak Masukan.
7. Indirect Subtraction Method : Mekanisme perhitungan Pajak Pertambahan
Nilai menggunakan metode pengurangan secara tidak langsung, artinya Anda sebagai
PKP dapat mengkreditkan pajak masukan atas BKP dan JKP yang berbeda. Misalnya
saja, pajak masukan dapat berasal dari pembelian barang kena pajak yang dilakukan
PKP, sedangkan pajak keluaran dapat diperoleh dari penjualan jasa yang dilakukan
oleh PKP.
Mekanisme pemungutan PPN

1. Rekanan memiliki kewajiban dalam membuat faktur pajak dan Surat Setoran Pajak
(SSP) atas tiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP)
kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
2. Faktur pajak dibuat sesuai ketentuan di bidang perpajakan.
3. Mencantumkan NPWP dan identitas rekanan dan melakukan penandatanganan SPP
yang dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama rekanan tersebut.
4. Atas penyerahan BKP, selain terutang PPN, yakni terutang pula PPnBM, maka
rekanan mencantumkan pula jumlah PPnBM terutang pada faktur pajak.
5. Faktur pajak dibuat rangkap 3. Lembar pertama untuk BUMN, lembar kedua untuk
rekanan, dan ketiga untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN.
6. SSP dibuat rangkap 5. Lembar pertama untuk rekanan, kedua untuk KPPN lewat bank
persepsi atau kantor pos, ketiga untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa
PPN, keempat untuk bank persepsi atau kantor pos, kelima untuk BUMN yang
dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi pemungut PPN.
7. Melakukan pemungutan wajib menyertakan cap “Disetor tanggal ……….” dan
menandatanganinya pada faktur pajak.
8. Faktur pajak dan SSP adalah bukti pemungutan dan penyetoran atas PPN dan
PPnBM.

4. Subjek, Objek dan pengecualian


● Tidak semua kegiatan usaha bisa dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Terdapat
beberapa pengecualian seperti barang hasil pertambangan atau pengeboran minyak
mentah, asbes, batu bara, gas bumi, dan lain-lainnya. Kemudian barang kebutuhan
pokok seperti beras, jagung, susu, daging, kedelai, sayuran, dan lainnya. Lalu
makanan dan minuman yang mana disajikan pada suatu rumah makan atau restoran.
Serta uang, emas batangan, jasa pelayanan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan,
asuransi, pendidikan, dan lain sebagainya.
● Adapun untuk Objek PPN antara lain :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak atau yang disingkat dengan istilah BKP.
Selanjutnya penyerahan Jasa Kena Pajak atau yang disingkat dengan JKP.
Dimana penyerahan BKP dan JKP tersebut dilakukan di dalam daerah Pabean
yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak (PKP).
2. Impor Barang Kena Pajak.
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
5. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atau Tidak Berwujud dan Ekspor Jasa
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
● Subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP)

5. Tarif PPN
● Tarif untuk pembayaran PPN telah di atur oleh Undang-Undang perpajakan sesuai
dengan ketentuan yang ada di Indonesia. Berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan perpajakan tersebut, tarif PPN bisa digolongkan menjadi:
1. Tarif PPN sebesar 10% untuk penyerahan dalam negeri.
2. Tarif PPN sebesar 0% untuk ekspor barang kena pajak berwujud maupun tidak
berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.
3. Tarif pajak tersebut dapat berubah minimal sebesar 5% dan maksimal sebesar
15%, sebagaimana yang telah diatur oleh pemerintah.
6. Kewajiban PKP

PKP merupakan pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau
Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1984 yang kini telah diubah menjadi UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam peraturan tersebut, pengusaha
berkewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP bila melakukan
penyerahan BKP/JKP di dalam daerah pabean atau melakukan ekspor BKP, JKP, dan ekspor
BKP tidak berwujud.Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013
tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN, pengusaha yang wajib menjadi PKP adalah
pengusaha yang dalam 1 tahun buku memiliki omzet minimal Rp4,8 miliar.

Namun, bila pengusaha memiliki omzet tidak mencapai Rp4,8 miliar, pengusaha tersebut bisa
mengajukan diri sebagai PKP. Biasanya, banyak pula pengusaha yang meski omzetnya tidak
mencapai angka tersebut, namun memilih untuk menjadi PKP. Sebab, ada banyak keuntungan
yang bisa pengusaha dapatkan bila menjadi PKP. Tapi, sebelum membahas keuntungan
menjadi PKP, mari simak pembahasan tentang hak dan kewajiban PKP atas PPN terlebih
dahulu.

Hak PKP atas PPN


Apabila seorang pengusaha sudah dikukuhkan sebagai PKP. Maka terdapat hak dan
kewajiban yang wajib dipenuhi oleh PKP. Nah, berikut ini hak PKP atas PPN:
- PKP dapat melakukan pengkreditan pajak masukan/pembelian atas BKP/JKP.
- PKP juga meminta restitusi jika pajak masukan lebih besar dari pajak
keluaran/penjualan dan berhak pula atas kompensasi kelebihan pajak.
Kewajiban PKP atas PPN
Setelah mengetahui hak PKP, jika Anda merupakan pengusaha yang sudah dikukuhkan
sebagai PKP, maka Anda juga perlu mengetahui kewajiban apa saja ditanggung oleh PKP
sebagai berikut:
- PKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP jika sudah memiliki
omzet mencapai Rp4,8 miliar dalam satu tahun buku.
- PKP wajib memungut PPN dan PPnBM terutang.
- PKP juga wajib menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran
lebih besar dari pajak masukan yang bisa dikreditkan. Selain itu, PKP juga wajib
menyetorkan PPnBM terutang.
- PKP wajib melaporkan penghitungan pajak ke dalam SPT Masa PPN.
- PKP juga wajib menerbitkan faktur pajak atas setiap penyerahan BKP/JKP.

Anda mungkin juga menyukai