Anda di halaman 1dari 5

Resume Materi Kuliah

TM 8
Perpajakan II
Oleh : Atthariq Firdauzan Bihaqqi
042111333169

PPh Pasal 21/26

• Pengertian
➢ Pengertian PPh pasal 21 adalah pajak yang dibebankan atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya. Penghasilan
tersebut diperoleh dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak
dalam negeri.
➢ Pengertian PPh Pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia. Dengan
pengecualian selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
• Subjek dan Objek
➢ PPh pasal 21
✓ Objek :
1. Penghasilan bagi Pegawai Tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur
2. Penghasilan bagi Penerima Pensiun secara teratur, dapat berupa
uang pensiun atau penghasilan serupa
3. Penghasilan bagi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) atau
pensiun yang diterima secara sekaligus, dapat berupa uang
pesangon, tunjangan/jaminan hari tua, uang manfaat pensiun, serta
pembayaran lain sejenisnya
4. Penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas,
dapat berupa upah satuan, upah borongan upah harian, upah
mingguan, atau upah bulanan
5. Penghasilan bagi Bukan Pegawai, dapat berupa honorarium, upah,
komisi dan imbahan serupa
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, dapat berupa uang saku, uang
rapat, honorarium, hadiah, uang representasi, atau penghargaan
sejenis dengan nama dan dalam bentuk lainnya.
✓ Subjek :
1. Pegawai
2. Bukan pegawai
3. Penerima pensiun maupun pesangon
4. Anggota dewan komisaris
5. Mantan pekerja dan peserta kegiatan
➢ PPH Pasal 26
✓ Objek :
1. Dividen
2. Bunga
3. Royalti, sewa, maupun penghasilan lain yang berhubungan dengan
penggunaan harta
4. Imbalan atas jasa, pekerjaan, maupun kegiatan lain
5. Hadiah dan penghargaan
6. Pensiun serta pembayaran berkala lain
7. Premi Swap dan transaksi lindung nilai lain
8. Keuntungan pembebasan utang.
9. Penghasilan dari penjualan maupun pengalihan harta yang dilakukan
di Indonesia (perhiasan mewah, emas, barang antik, lukisan,
kendaraan bermotor, berlian, dan intan)
10. Premi dibayar tertanggung perusahaan asuransi
11. Premi dibayar oleh perusahaan asuransi dan reasuransi
12. Penghasilan dari penjualan saham PT dalam negeri yang tidak
berstatus Emiten atau Perusahaan Publik (sesuai UU Pasar Modal)
13. Penghasilan penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara di
tax haven country yang memiliki hubungan khusus dengan Badan
dalam negeri atau BUT Indonesia.
14. Penghasilan Kena Pajak atau PKP yang telah dikurangi pajak BUT
✓ Subjek :
1. Pengoperasian Usaha di Indonesia
2. Memperoleh Penghasilan dari Indonesia
• Pemotong PPh
➢ PPh Pasal 21 : Pemotong PPh Pasal 21 adalah Wajib Pajak Orang Pribadi atau
Wajib Pajak Badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban
untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi.
➢ PPh Pasal 26 : Subjek pajak pemotong PPh pasal 26 wajib dilakukan oleh:
Badan Pemerintah, Subjek pajak dalam negeri, Penyelenggara kegiatan, Bentuk
usaha tetap, Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan
pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
• Hak dan kewajiban WP dan pemotong pajak
➢ PPh Pasal 21 dan 26
1. Pemotong PPh Pasal 21/26 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan
Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Pemotong wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan
PPh yang terutang untuk setiap bulan kalender.
3. Pemotong wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh untuk
masing-masing penerima penghasilan dan wajib menyimpan catatan atau
kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan meskipun jumlah pajak yang dipotong
pada bulan yang bersangkutan nihil.
4. Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh
Pasal 21/26 yang terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat
diperhitungkan dengan PPh terutang pada bulan berikutnya melalui Surat
Pemberitahuan Masa.
5. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan
setelah tahun kalender berakhir.
6. Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti
pemotongan PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah
yang bersangkutan berhenti bekerja.
7. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti
pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain Pegawai
Tetap dan penerima pensiun berkala setiap kali melakukan pemotongan PPh
Pasal 26.
8. Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan
dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti
pemotongan PPh Pasal 21 dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
9. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke kantor
pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10
(sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
10. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib melaporkan
pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk
setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
11. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan batas waktu
pelaporan PPh Pasal 21 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu
atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21/26 dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
• Tata Cara penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21/26
➢ Penyetoran Pajak Penghasilan bisa dilakukan dengan cara Online Banking,
menyetor lewat Teller Bank atau Kantor Pos, dan bisa juga dibayarkan lewat
pajakku. Setelah dilakukan penyetoran pajak oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak
harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21. Pelaporan guna pelunasan Pajak
Penghasilan (PPh) dapat dilakukan dengan berbagai pihak, seperti halnya Orang
Pribadi, Wajib Pajak, pemungutan pajak, pemotongan pajak, yang menyerahkan
barang, dan pegawai atau petugas perpajakan, menurut (Mulyono, 2010).
Pelaporan SPT Masa Pph Pasal 21 ini diwajibkan melalukan dengan cara E-
Filing Pph Pasal 21.
➢ Merajuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi
Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah diberlakukan sejak 1 Januari 2022,
tedapat lapisan tarif terbaru atas PPh 21 wajib pajak orang pribadi yakni UU
HPP merevisi lapis pajak mulai dari lapisan 1 hingga 4, serta menambahkan 1
lapisan pajak, sehingga menjadi :
Lapis I (5%) = PKP ≤ Rp60juta
Lapis II (15%) = Rp60 juta < PKP ≤ Rp250 juta
Lapis III (25%) = Rp250 juta < PKP ≤ Rp500 juta
Lapis IV (30%) = Rp500 juta < PKP ≤ Rp5 miliar
Lapis V (35%) = PKP > Rp5 miliar.
➢ Tarif yang dikenakan sesuai dengan persetujuan penghindaran pajak berganda
(P3B) antar negara atau tax treaty, yaitu sebesar 20% untuk setiap pengenaan
jenis Pajak Penghasilan pasal 26. Ketentuan dasar pengenaan pajak adalah
sebagai berikut:
Tarif 20% dari penghasilan bruto;
Tarif 20% dari penghasilan neto;
Tarif 20% dari peghasilan setelah pajak (penghasilan kena pajak dikurangi
dengan pajak penghasilan).
• Perlakuan fiscal atas natura / kenikmatan dalam PPh
➢ Secara umum sebagaimana yang termuat dalam pasal 4 ayat 3e , menyatakan
bahwa imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam
bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintahan bukan
termasuk sebagai objek PPh.

Anda mungkin juga menyukai