PPh Pasal 21 sering disebut sebagai pajak karyawan. Dalam ketentuan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor : PER – 16/PJ/2016, definisi PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
Yang membedakan PPh 21 dan 26 adalah golongan status subjek pajak penerima penghasilan. 21
Wajib Pajak orang pribadi subjek pajak dalam negeri sedangkan, PPh 26 dikenakan terhadap Wajib Pajak
orang pribadi subjek pajak luar negeri. Pelunasan PPh pasa 21/26 melalui mekanisme pemotongan PPh
Pasal 21/26 oleh pihak ketiga atau witholding tax system merupakan salah satu sistem pemotongan atau
pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia.
Pada Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 diatur berbagai jenis
penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21. PER-16/PJ/2016 juga menjelaskan beberapa
jenis penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21, yaitu pertama, pembayaran manfaat atau
santunan asuransi dari perusahaan asuransi. Kedua, iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Ketiga, zakat yang diterima
oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh Pemerintah. Keempat, beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ketentuan beasiswa tersebut diatur melalui Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2020 (tidak berlaku untuk pemilik komsaris, direksi, dsb).
BPJS Kesehatan
Ketentuan BPJS Kesehatan dalam Penghitungan PPh Pasal 21
Ketentuan Umum Penghitungan BPJS Merujuk Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun
2018 tentang Jaminan Kesehatan, setiap peserta Pekerja Penerima Upah wajib membayar iuran
BPJS Kesehatan 5% dari upah per bulan. Persentase iuran BPJS tersebut dapat ditanggung
pemberi kerja (perusahaan) sebesar 4%, sedangkan 1% sisanya dibayar oleh karyawan
bersangkutan. Iuran BPJS Kesehatan karyawan dihitung berdasarkan gaji pokok dan tunjangan
tetap. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 menentukan batas upah
tertinggi 12juta dengan iutan 600rb dalam perhitungan BPJS Kesehatan karyawan.
BPJS Kesehatan dalam penghitungan PPh pasal 21 pembayaran iuran BPJS Kesehatan
merupakan pembayaran premi asuransi kesehatan. Merujuk Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, dalam menghitung PPh Pasal 21, premi yang dibayarkan oleh
perusahaan digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada
pegawai.
BPJS Ketenagakerjaan
Ketentuan BPJS Ketenagakerjaan dalam Penghitungan PPh Pasal 21
Untuk perusahaan yang masuk program BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JKM) yang dibayar oleh pemberi kerja
merupakan penghasilan bagi pegawai. Untuk perusahaan yang masuk program BPJS
Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JKM) yang
dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai.
Pada umumnya, berikut jenis Jaminan Hari Tua yang Dibayar Pemberi Kerja yang diwajibkan
oleh pemerintah untuk mendaftar pegawainya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan :
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) ; Dikelompokkan berdasarkan resiko kecelakaan kerja,
yaitu : Kelompok I = Premi sebesar 0,24% x Gaji sebulan Kelompok II = Premi sebesar
0,54% x Gaji sebulan Kelompok III = Premi sebesar 0,89% x Gaji sebulan Kelompok IV =
Premi sebesar 1,27% x Gaji sebulan Kelompok V = Premi sebesar 1,74% x Gaji sebulan.
2. Jaminan Kematian (JKM) ditetapkan sebesar 0,30% x Upah sebulan
3. Jaminan Hari Tua (JHT) ditetapkan sebesar 5,70% Upah Sebulan; yang terdiri dari 3,70%
ditanggung perusahaan dan 2% ditanggung oleh pegawai Dari Program BPJS
Ketenagakerjaan di atas, yang menjadi objek PPh Pasal 21 yaitu premi JKK, JKM yang
dibayar oleh pemberi kerja.
Perlakuan Biaya Jabatan bagi Wajib Pajak yang Bekerja pada Dua Pemberi Kerja
atau Lebih Melalui Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ.41/1993, dijelaskan bahwa jika
Wajib Pajak memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja atau lebih, maka besarnya biaya
jabatan merupakan penjumlahan dari masing-masing formulir 1721 A1 atau 1721 A2. Biaya
jabatan tersebut bisa saja lebih tinggi dari Rp 6.000.000,-.
Iuran Program Jaminan Pensiun Iuran program jaminan pensiun dihitung sebesar 3%, yang
terdiri atas 2% iuran pemberi kerja dan 1% iuran pekerja. Upah setiap bulan yang dijadikan dasar
perhitungan iuran terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap. Mekanisme pembayaran iuran
mengikuti program paket. Pemberi kerja wajib membayar iuran paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya. Pemberi kerja yang tidak memenuhi ketentuan pembayaran iuran dikenakan denda
sebesar 2% setiap bulan keterlambatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 terkait Jaminan Pensiun penghitungan PPh Pasal 21, untuk
Jaminan Pensiun yang dibayarkan oleh pemberi kerja sebesar 2% tidak diperhitungkan dalam
penghitungan PPh Pasal 21, dikarenakan bukan merupakan objek PPh Pasal 21 sesuai Pasal 8
ayat (1) huruf c PER – 16/PJ/2016. Sedangkan Jaminan Pensiun yang dibayarkan oleh karyawan
sebesar 1% diperhitungkan sebagai pengurang dalam penghitungan PPh Pasal 21.
Pemberlakuan PKP bagi pegawai tetap, penerima pensiun berkala, pegawai tak tetap,
bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang
berkesinambungan.
Ketentuan menghitung PKP, bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala besar
penghasilan neto dikurangi penghasilan tak kena pajak (PTKP), Bagi pegawai tak tetap sebesar
bruto dikurangi PTKP, bagi bukan pegawai sebesar 50 persen dari jumlah penghasilan bruto
dikurangi PTKP perbulan.
Ketentuan Pembulatan PKP untuk ketentuan penerapan PPh pasal 17 harus dibulatkan
ke bawah hingga ribuan penuh. Missal Rp. 98.870.432,00 menjadi 98.870.000.
Berikut persandingan tarif lama sesuai UU PPh No 36 Tahun 2008 dan tarif bari sesuai UU
HPP.
Selain bracket lapisan tarif 5% yang berubah dari Rp50jt ke Rp60jt, juga terdapat
penambahan tarif baru yaitu 35% yang dikenakan pada lapisan ke 5 (lima) bagi untuk penghasilan
yang lebih dari Rp5 miliar
Ilustrasi Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Karyawan yang Masuk pada Pertengahan Tahun
Berikut merupakan penghitungan PPh Pasal 21 di bulan September.
Dalam penghitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai yang resign, terdapat dua perlakuan.
Pertama, perlakuan bagi pegawai yang berhenti di tengah tahun namun masih memiliki kewajiban
subjektif. Kedua, perlakuan bagi pegawai yang berhenti di tengah tahun sekaligus kewajiban
subjektifnya juga berhenti.
Mekanisme penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan tertentu untuk pegawai tetap
yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebagai berikut:
a. Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, baik penghasilan yang
teratur maupun yang tidak teratur.
b. PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan tertentu untuk pegawai tetap
yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar selisih antara PPh
Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur dengan PPh Pasal
21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan
bulan sebelumnya.
c. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan
sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh
penghasilan teratur dan tidak teratur, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21
tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja bersamaan dengan
pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21. Pemotong pajak dapat memperhitungkan
kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 untuk dengan PPh Pasal 21 terutang atas
penghasilan pegawai tetap lainnya dalam Masa Pajak yang sama.
Selanjutnya, dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas seluruh penghasilan yang diterima sampai
dengan bulan Juni 2022.
Setelah dihitung, ternyata penghasilan Putu Mario masih di bawah PTKP, sehingga PPh Pasal 21
yang seharusnya terutang selama Januari sampai dengan Juni 2021 adalah Rp 0. Namun, pada
bulan Januari – Mei 2022 telah dilakukan pemotongan, sehingga timbul lebih potong. Kelebihan
Potong PPh 21 sebesar Rp750.000,- dikembalikan dan kepada Putu Mario diberikan bukti potong
(1721 A1) paling lama satu bulan sejak Putu Mario berhenti bekerja.
Karena Andika menerima bonus di bulan April, maka harus dihitung juga PPh Pasal 21 atas
bonus yang diterima. Berikut merupakan penghitungan PPh Pasal 21 atas bonus yang diterima
Andika.
Selanjutnya, hitung PPh Pasal 21 atas seluruh penghasilan sampai dengan bulan Mei
2022. Selisih antara PPh Pasal 21 terutang dengan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong
merupakan jumlah pajak yang harus dipotong di bulan Mei 2022.
Sebagai catatan, ketentuan penghitungan di atas sama dengan penghitungan yang berlaku
bagi pegawai WNA yang berhenti bekerja dan kembali ke negara asalnya (kehilangan kewajiban
subjektif).
Pegawai Tetap Ekspatriat
Bagi warga negara asing, mereka akan memiliki kewajiban subjektif apabila memenuhi
syarat pada Pasal 2 ayat (3) UU Pajak Penghasilan. Pertama, bertempat tinggal di Indonesia.
Kedua, berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau ketiga dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Ekspatriat Cindy Smith merupakan WNA yang
menjadi pegawai tetap di PT Startup Bagus. Cindy mulai bekerja di Indonesia sejak bulan
September 2022. Gaji Cindy sebulan adalah Rp30.00.000,00. Cindy diketahui sudah menikah
namun belum memiliki anak. Berikut penghitungan PPh Pasal 21 bagi Cindy Smith pada bulan
September 2022.
PPh Pasal 21 atas bonus dihitung dari selisih hasil penghitungan tersebut. Maka dari itu, PPh
Pasal 21 yang terutang atas bonus yang diterima oleh Ben adalah Rp565.000 – Rp90.000 =
Rp475.000
Teknis Penghitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon Pemotongan pajak bersifat
final diberlakukan apabila uang pesangon dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau
seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Untuk penerima pesangon yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif pajak yang sama dengan
penerima pesangon yang memiliki NPWP.
Teknis perhitungan
1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau
diperoleh dalam sehari:
2. upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;
3. upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
4. upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan borongan.
5. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi
Rp450.000,00, dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender
yang bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang
harus dipotong.
6. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi
Rp450.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan
kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka PPh Pasal 21 yang
harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku
harian setelah dikurangi Rp450.000,00, dikalikan 5%.
7. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender
yang bersangkutan telah melebihi Rp4.500.000,00 dan kurang dari Rp8.200.000,00, maka
PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata
upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
8. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender
telah melebihi Rp10.200.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar PPh Pasal 21 hasil Penghitungan tersebut dibagi 12.
Kemudian untuk, Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon
Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan, PPh Pasal 21 dihitung
dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar
PPh Pasal 21 hasil Penghitungan tersebut dibagi 12.
Contoh Penghitungan Ali (tidak ber-NPWP) dengan status belum menikah pada bulan
Oktober 2022 bekerja sebagai buruh harian PT Ortax Indonesia. la bekerja selama 10 hari dan
menerima upah harian sebesar Rp450.000,00.
Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi
Rp.4.500.000,- maka tidak ada PPh 21 yang dipotong Jika ternyata Ali diberikan tugas
tambahan satu hari kerja oleh perusahaan tersebut dan menerima upah pada hari ke-11, maka
jumlah kumulatif yang diterima melebihi Rp. 4.500.000,-.
Maka PPh 21 dipotong dengan cara dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP sehari
kemudian dikalikan 6% (tidak ber-NPWP berarti dikenakan tarif 20% lebih tinggi)
Tenaga Ahli
Penghitungan PPh pasal 21 tenaga ahli Tenaga Ahli adalah salah satu jenis penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. Sesungguhnya Tenaga Ahli
merupakan kelompok Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa. Umumnya tenaga ahli yang dimaksud melakukan pekerjaan bebas.
Menurut Pasal 3 huruf (c) PER-16/PJ/2016 terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter dr. Abdul Gopar, Sp.JP
merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung
Sehat dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong
20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80%
dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar, Sp.JP pada setiap akhir bulan.
Selain praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dr. Abdul Gopar, Sp.JP juga melakukan
praktik sendiri di klinik pribadinya. dr. Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP. Pada tahun
2022, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah Sakit
Harapan Jantung Sehat. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan
Desember 2022 adalah sebagai berikut :
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2022:
Apabila dr. Abdul Gopar, Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka Tarif PPh Pasal 21 terutang
dikenakan lebih tinggi sebesar 20% dari tarif umum.
Ketentuan Penghitungan Penghasilan Bruto Menurut Pasal 10 ayat 5 PER- 16/PJ/2016 , dalam
hal Bukan Pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 jika:
Mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto
adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari
pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat
dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya
penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan.
Melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto
hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat
dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan
bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.
Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Sandi Abdullah, dapat
diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja
harian yang dipekerjakan oleh Sandi Abdullah dan biaya untuk membeli spare part AC, maka
jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT
Ortax Indonesia atas imbalan yang diberikan kepada Sandi Abdullah adalah sebesar imbalan
bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Sandi Abdullah dan biaya
spare part AC, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar: Rp10.000.000,00 – Rp4.500.000,00 –
Rp1.000.000,00 = Rp4.500.000,00 PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Ortax Indonesia atas
penghasilan yang diterima Arip Nugraha adalah sebesar: 5% x (50% x Rp4.500.000,00) =
Rp112.500,00 Dalam hal PT Ortax Indonesia tidak memperoleh informasi berdasarkan
perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Sandi Abdullah mengenai upah
yang harus dikeluarkan Sandi Abdullah atau pembelian material/bahan, PPh Pasal 21 yang
harus dipotong PT Ortax Indonesia adalah jumlah sebesar: 5% x (50% x Rp10.000.000,00) =
Rp250.000,00
Dalam contoh di atas, Riko tergolong sebagai Bukan Pegawai. Ia menerima penghasilan
secara berkesinambungan, sehingga tarif PPh yang berlaku ditentukan berdasarkan penghasilan
kumulatif. Pada bulan Januari dan Maret, penghasilan Riko masih di bawah Rp60.000.000. Maka,
pada bulan tersebut penghasilannya dikenakan tarif 5%. Pada bulan Agustus, penghasilan Riko
secara kumulatif telah melewati Rp60.000.000. Bagian penghasilan yang telah melebihi batasan
tersebut dikenakan tarif 15%.
Peserta Kegiatan
Penghitungan PPh 21 Atas Peserta Kegiatan Peserta kegiatan adalah orang pribadi
yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya
(workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau
memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
Jenis Peserta Kegiatan Berikut adalah jenis-jenis peserta kegiatan menurut
PER-16/PJ/2016 : Peserta perlombaan dalam segala bidang Peserta rapat, konferensi, sidang,
pertemuan/kunjungan kerja Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu Peserta pendidikan & pelatihan Peserta kegiatan lainnya
Teknis Penghitungan: Menurut PER-16/PJ/2016, PPh Pasal 21 dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh sebagaimana telah diubah terakhir dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 mengenai tarif pajak progresif PPh 21 yaitu:
maka atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan
tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan. Berikut contoh penghitungan PPh Pasal 21
atas peserta kegiatan. Prasetyo Sigit (ber-NPWP) adalah seorang atlet catur professional
Indonesia yang bertempat tinggal di Semarang. la menjuarai turnamen Indonesia Chess Grand
Prix Gold dan memperoleh hadiah sebesar Rp200.000.000,00.
PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Grand Prix Gold tersebut
adalah :
5% x Rp60.000.000,00 = Rp 3.000.000,00 15% x Rp140.000.000,00 =
Rp 21.000.000,00 = Rp 24.000.000,00
Mantan Pegawai
Perhitungan PPh Pasal 21 Bagi Mantan Pegawai Penghasilan Mantan Pegawai yang
dibayarkan oleh perusahaan sehubungan dengan pekerjaannya di masa lalu merupakan objek
PPh Pasal 21. Dalam PER-16/PJ/2016 mengenai Pedoman teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan PPh 21/26, penghasilan yang dibayarkan kepada Mantan Pegawai
tersebut dapat berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat
tidak teratur.
Contoh Penghitungan PPh 21 Bagi Mantan Pegawai Hamdi Chung bekerja pada PT
Ortax Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 2022 telah berhenti bekerja pada PT Ortax Indonesia
karena pensiun. Pada bulan April 2022 Hamdi Chung menerima jasa produksi tahun 2021 dari PT
Ortax Indonesia sebesar Rp65.000.000,00.
Ketentuan Lain Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan
kepada mantan pegawai lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan
yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah
penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah
diterima sebelumnya.
Penarikan Dana Pensiun
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penarikan Dana pension Orang priadi yang
merupakan peserta program pensiun dapat melakukan penarikan dana pensiun meski masih
berstatus sebagai pegawai. Penarikan dana pensiun dilakukan dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Dalam PER-16/PJ/2016 , diatur mengenai
penghitungan PPh Pasal 21 bagi peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai
yang menarik dana pensiun. PPh Pasal 21 ini dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a UU PPh dari kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun
kalender.
Contoh Penghitungan PPh 21 atas Penarikan Dana Pensiun Billy Romadhon adalah
pegawai PT Ortax Indonesia menerima gaji Rp10.000.000,00 sebulan. PT Ortax Indonesia
mengikuti program pensiun untuk para pegawainya. PT Ortax Indonesia membayar iuran dana
pensiun untuk Billy Romadhon sebesar Rp100.000,00 sebulan ke Dana Pensiun Abadi Sejahtera,
yang merupakan dana pensiun yang dibentuk bagi pengelolaan uang pensiun pegawai PT Ortax
Indonesia yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Billy Romadhon membayar
iuran serupa ke dana pensiun yang sama sebesar Rp50.000,00 sebulan. Bulan April 2022 Billy
Romadhon memerlukan biaya untuk perbaikan rumahnya maka ia mengambil iuran dana pensiun
yang telah dibayar sendiri sebesar Rp20.000.000,00. Kemudian pada bulan Juni 2022 ia menarik
lagi dana sebesar Rp15.000.000,00. Kemudian bulan Oktober 2022 untuk keperluan lainnya ia
menarik lagi dana sebesar Rp35.000.000,00.
atas penarikan dana sebesar Rp20.000.000,00 pada bulan April 2022 terutang PPh Pasal
21 sebesar 5% x Rp20.000.000,00 = Rp1.000.000,00.
atas penarikan dana sebesar Rp15.000.000,00 pada bulan Juni 2022 terutang PPh Pasal
21 sebesar 5% x Rp15.000.000,00 = Rp750.000,00
atas penarikan dana sebesar Rp35.000.000,00 pada bulan Oktober 2022 terutang PPh
Pasal 21 sebesar :
Dalam menggunakan pedoman standar gaji karyawan asing, terdapat beberapa hal yang
harus diperhitungkan, yaitu: Kebangsaan dari karyawan asing yang bersangkutan Jenis usaha dari
perusahaan tempat karyawan asing memperoleh penghasilan (pemberi kerja) Kedudukan atau
jabatan karyawan asing dalam perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja.
Pedoman standar gaji karyawan asing digunakan dalam hal: terdapat petunjuk bahwa
pembukuan Wajib Pajak tidak benar sehingga tidak dapat dihitung besarnya pajak yang
seharusnya terutang. diperoleh bukti yang menunjukkan bahwa terdapat pembayaran gaji
karyawan asing yang tidak seluruhnya dibukukan untuk pelunasan PPh Pasal 21 atau Pasal 26.
Pemeriksa tidak mendapatkan data yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah gaji
karyawan asing dalam rangka penetapan jumlah PPh Pasal 21 atau Pasal 26 yang terutang.
Ketentuan PPh Pasal 21 Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada
perusahaan asuransi jiwa, dilakukan dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup.
Pasal 8 PMK16/PMK.03/2010 juga menyebutkan bahwa:
1. Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun
yang dibayarkan secara sekaligus.
2. Atas pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara
Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup terutang PPh Pasal 21 yang bersifat final.
3. Pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana
Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
4. Pada saat perusahaan asuransi jiwa membayar Uang Manfaat Pensiun kepada Pegawai,
tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja:
1 Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
2 Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
melalui pembayaran secara sekaligus, terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
bersifat final.
3 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final dipotong oleh pemberi kerja.
4 Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja membayar Uang Pesangon kepada
Pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala
kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja:
PPh pasal 21 final atas uang pesangon yang dihitung secara kumulatif :
Teknis Penghitungan
Metode Gross Sebagian besar contoh penghitungan PPh Pasal 21 karyawan
dalam lampiran PER-31/PJ/2012 adalah penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode
gross. Berikut adalah ilustrasi sederhana penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode
gross :
Metode Net Penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode net tidak berbeda
dengan metode gross. Perbedaannya hanya terletak pada saat perusahaan menghitung
Take Home Pay untuk keperluan pembuatan slip gaji atau keperluan payroll lainnya.
Berikut adalah ilustrasi sederhana penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode Net :
Metode Gross Up Tidak ada penjelasan dan contoh penghitungan PPh Pasal 21
dengan metode gross up pada lampiran PER-31/PJ/2012. Mengingat metode gross up
pada dasarnya hanya berkaitan dengan logika penghitungan, maka kita dapat
membuat ilustrasi sendiri atau mengambil contoh yang ada (silahkan dicari pada
menu Download kontribusi Member pada ortax.org). Berikut adalah ilustrasi
sederhana penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode gross up :