Anda di halaman 1dari 41

KONSEP PEMOTONGAN PPh 21

PPh Pasal 21 sering disebut sebagai pajak karyawan. Dalam ketentuan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor : PER – 16/PJ/2016, definisi PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.

Yang membedakan PPh 21 dan 26 adalah golongan status subjek pajak penerima penghasilan. 21
Wajib Pajak orang pribadi subjek pajak dalam negeri sedangkan, PPh 26 dikenakan terhadap Wajib Pajak
orang pribadi subjek pajak luar negeri. Pelunasan PPh pasa 21/26 melalui mekanisme pemotongan PPh
Pasal 21/26 oleh pihak ketiga atau witholding tax system merupakan salah satu sistem pemotongan atau
pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia.

 Pemotong PPh Pasal 21


Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 16/PJ/2016 (PER-16/PJ/2016), Pemotong
PPh Pasal 21 adalah Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan, bentuk usaha tetap, yang punya
kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang berhubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi.
Pemotongan PPh Pasal 21serta penyetoran dan pelaporan pajaknya wajib dilakukan oleh
beberapa pihak diantaranya: Pemberi kerja, yang terdiri dari: Orang Pribadi Badan Cabang,
perwakilan, atau unit, bendahara / pemegang kas pemerintahDana pensiun, badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala
dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua. Lalu orrang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar: (Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
Subjek Pajak luar negeri, dalam negeri, maupun kepada peserta pendidikan dan pelatiha ) serta
Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional.

 Bukan Pemotong PPh Pasal 21

Organisasi Internasional Ini Tidak dapat Memotong PPh Pasal 21


Pemberi Kerja itu perseorangan, pengusaha, badan hukum, dsb, yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan. Disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. 16/PJ/2016 (PER – 16/PJ/2016) yang tidak termasuk sebagai
pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak yaitu: Kantor
perwakilan negara asing. Organisasi-organisasi internasional, serta Pemberi kerja orang pribadi
yang tidak melakukan kegiatan usaha atau yang melakukan pekerjaan rumah tangga.

Organisasi Internasional Bukan Subjek Pajak Penghasilan

Organisasi Internasional yang tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila


memenuhi syarat sebagai berikut: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
Jenis Organisasi Internasional yang Bukan Pemotong PPh Pasal 21

Organisasi Internasional yang Tidak berkewajiban memotong Pajak Penghasilan Pasal 21


diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 156/PMK.010/2015. Organisasi-
organisasi internasional tersebut adalah: IBRD (International Bank for Reconstruction and
Development) IMF (International Monetary Fund) UNDP (United Nations Development
Programme) FAO (Food and Agricultural Organization) ILO (International Labour Organization)
UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) UNIC (United Nations Information
Centre) UNICEF (United Nations Children’s Fund) UNESCO (United Nations Educational,
Scientific, and Cultural Organization) WHO (World Health Organization), dsb.

 Pihak yang Dipotong PPh Pasal 21

Wajib Pajak Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21


Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status
sebagai Subjek Pajak dalam negeri. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah
orang pribadi yang merupakan: Pegawai yang terdiri dari Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak
Tetap, penerima uang pesangon, pension, dsb. lalu Bukan Pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan dengan pemberian jasa, meliputi: tenaga ahli, seperti arsitek, dokter,
lalu pemain music, olahrawagawan, aktris, pelatih, pengajar, dsb. Lalu distributor perusahaan
multilevel marketing, matan pegawai, serta peserta kegiatan yang menerima penghasilan dari
kegiatan tersebut.

 Pihak yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21

Penerima Penghasilan Ini Tidak Dipotong PPh 21


Beberapa penerima penghasilan tidak dipotong PPh Pasal 21 yaitu: Pejabat perwakilan
dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada
mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama mereka, pejabat perwakilan organisasi
internasional.

 Objek PPh Pasal 21

Apa Saja Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 21?

Undang-Undang Pajak Penghasilan, objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah penghasilan


sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 ditegaskan kembali jenis


penghasilan apa saja yang dikenakan PPh Pasal 21. Penghasilan tersebut yaitu: penghasilan yang
diterima pegawai tetap, penerima pension secara teratur, penghasilan berupa pesangon, uang
manfaat pension, penghasilan pegawai tidak tetap, imbalan kepada bukan pegawai, lalu imbalan
kepada peserta kegiatan, penghasilan berupa honorarium, jasa produksi, dsb.
 Non Objek PPh 21

Penghasilan yang bukan objek PPh pasal 21

Pada Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 diatur berbagai jenis
penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21. PER-16/PJ/2016 juga menjelaskan beberapa
jenis penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21, yaitu pertama, pembayaran manfaat atau
santunan asuransi dari perusahaan asuransi. Kedua, iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Ketiga, zakat yang diterima
oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh Pemerintah. Keempat, beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ketentuan beasiswa tersebut diatur melalui Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2020 (tidak berlaku untuk pemilik komsaris, direksi, dsb).

Lalu berlakunya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat lima jenis


natura/kenikmatan yang dikecualikan dari objek PPh. Merujuk Pasal 4 ayat (3) huruf d UU HPP,
lima jenis natura tersebut adalah: pertama, makanan, bahan makanan dsb. Kedua, natura dan/
kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu, ketiga, yang harus disediakan oleh pemberi kerja
dalam pelaksaannya, keempat yang bersumber atau di biayai APBN/APBD/APBD Desa, kelima
natura/kenikmatan dengan jenis/ Batasan tertentu.

 Saat Terutang PPh Pasal 21

Kapan PPh pasal 21 terutang ?


Merujuk pasal 21 peraturan direktur jenderal pajak nomor PER 16/PJ/2016, PPh pasal 21
terutang bagi penerima penghasil pada saat dilakukannya pembayaran atau penghasilan yang
bersangkutan. Bagi pemotong PPh pasa 21 terutang untuk setiap masa pajak. Saat,terutang itu
pada akhir bulan dilakukannya pembayaran

Ilustrasi penentu saat terutang PPh pasal 21


PT XYZ mencatat bebang aji karyawan bulan januari 2022 tanggal 25 Januari 2022. Gaji
bulan Januari 2022 diberikan tanggal 3 Februari 2022. Tanggal 25 Januari 2022 tanggalnya
terutang penghasilan, sedangkan tangga 3 Februari 2022 pembayaram. Karena penghasilan terjadi
lebih awal jadi 25 Januari 2022 jadi PPh pasal 21 bagi karyawan. Bagi PT. xyz kemudian
berkewajiban untuk memotong, menyetor dan melaporkan PPh pasal 21 itu.

UNSUR UNSUR PENGHITUNGAN PPh 21 Pegawai Tetap

 Penghasil Teratur & Penghasilan Tidak Teratur


Perbedaan penghasilan teratur dan tidak teratur dalam PPh 21
Penghasilan yang di potong PPh pasal 21 atas pegawai tetap adalah penghasilan yang
diterima atau diperoleh pegawai tetap bersifat teratur maupun tak teratur. Adapun perbedaan
keduannya berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan RI NO. 252/PMK.03/2008 :
Penghasilan teratur berupa penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji, dan segala macam
tunjangan secara periodic berdasarkan ketentuan. Penghasilan tak teratur, penghasilan bagi
pegawai tetap yang diterima sekali dalam satu tahun antara berupa bonus, THR, dsb.
Penghitung PPh pasal 21 atas penghasilan teratur dan tak teratur
Berdasarkan petunjuk umum dan contoh penghitungan PPh Pasal 21 di Lampiran
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bahwa penghitungan PPh Pasal 21
untuk Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang
untuk setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), Penghitungan
kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak
terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun.
Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi,
tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya
dibayarkan sekali setahun atau periode lainnya. Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak
subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari, maka
PPh Pasal 21 atas penghasilan yang tidak teratur tersebut dihitung dengan memperhatikan
ketentuan mengenai Penghitungan PPh Pasal 21 Bulanan atas Penghasilan Teratur.

 BPJS Kesehatan
Ketentuan BPJS Kesehatan dalam Penghitungan PPh Pasal 21
Ketentuan Umum Penghitungan BPJS Merujuk Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun
2018 tentang Jaminan Kesehatan, setiap peserta Pekerja Penerima Upah wajib membayar iuran
BPJS Kesehatan 5% dari upah per bulan. Persentase iuran BPJS tersebut dapat ditanggung
pemberi kerja (perusahaan) sebesar 4%, sedangkan 1% sisanya dibayar oleh karyawan
bersangkutan. Iuran BPJS Kesehatan karyawan dihitung berdasarkan gaji pokok dan tunjangan
tetap. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 menentukan batas upah
tertinggi 12juta dengan iutan 600rb dalam perhitungan BPJS Kesehatan karyawan.

BPJS Kesehatan dalam penghitungan PPh pasal 21 pembayaran iuran BPJS Kesehatan
merupakan pembayaran premi asuransi kesehatan. Merujuk Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, dalam menghitung PPh Pasal 21, premi yang dibayarkan oleh
perusahaan digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada
pegawai.

 BPJS Ketenagakerjaan
Ketentuan BPJS Ketenagakerjaan dalam Penghitungan PPh Pasal 21
Untuk perusahaan yang masuk program BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JKM) yang dibayar oleh pemberi kerja
merupakan penghasilan bagi pegawai. Untuk perusahaan yang masuk program BPJS
Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JKM) yang
dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai.

Pada umumnya, berikut jenis Jaminan Hari Tua yang Dibayar Pemberi Kerja yang diwajibkan
oleh pemerintah untuk mendaftar pegawainya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan :
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) ; Dikelompokkan berdasarkan resiko kecelakaan kerja,
yaitu : Kelompok I = Premi sebesar 0,24% x Gaji sebulan Kelompok II = Premi sebesar
0,54% x Gaji sebulan Kelompok III = Premi sebesar 0,89% x Gaji sebulan Kelompok IV =
Premi sebesar 1,27% x Gaji sebulan Kelompok V = Premi sebesar 1,74% x Gaji sebulan.
2. Jaminan Kematian (JKM) ditetapkan sebesar 0,30% x Upah sebulan
3. Jaminan Hari Tua (JHT) ditetapkan sebesar 5,70% Upah Sebulan; yang terdiri dari 3,70%
ditanggung perusahaan dan 2% ditanggung oleh pegawai Dari Program BPJS
Ketenagakerjaan di atas, yang menjadi objek PPh Pasal 21 yaitu premi JKK, JKM yang
dibayar oleh pemberi kerja. 

 Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun


Menentukan Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun dalam Menghitung PPh Pasal 21
Setelah menentukan jumlah penghasilan bruto, unsur penting dalam penghitungan PPh
Pasal 21 adalah pengurang. Biaya yang dapat menjadi pengurang dalam penghitungan PPh Pasal
21 di antaranya adalah biaya jabatan dan biaya pensiun.
Biaya jabatan merupakan biaya yang diberikan kepada karyawan tetap yang masih aktif
bekerja baik bagi yang mempunyai jabatan ataupun tidak, dikurangkan penghasilan bruto untuk
penghitungan PPh Pasal 21 ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya atau
Rp500.000 sebulan atau Rp6.000.000 setahun.
Biaya pensiun merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto dalam
penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur bagi penerima pensiun berkala. esaran biaya
pensiun yang dapat menjadi pengurang adalah 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya
Rp200.000,00 sebulan atau Rp2.400.000 setahun.

Perlakuan Biaya Jabatan bagi Wajib Pajak yang Bekerja pada Dua Pemberi Kerja
atau Lebih Melalui Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ.41/1993, dijelaskan bahwa jika
Wajib Pajak memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja atau lebih, maka besarnya biaya
jabatan merupakan penjumlahan dari masing-masing formulir 1721 A1 atau 1721 A2. Biaya
jabatan tersebut bisa saja lebih tinggi dari Rp 6.000.000,-.

 Iuran Pensiun dan Premi Asuransi


Jaminan pension dalam penghitungan PPh 21 Jaminan Pensiun adalah jaminan sosial yang
bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli
warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami
cacat total tetap, atau meninggal dunia. Manfaatnya sejumlah uang yang dibayarkan setiap bulan
kepada peserta yang memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau kepada ahli waris
bagi peserta yang meninggal dunia, penerima pension baik pribadi maupun ahli warisnya.

Iuran Program Jaminan Pensiun Iuran program jaminan pensiun dihitung sebesar 3%, yang
terdiri atas 2% iuran pemberi kerja dan 1% iuran pekerja. Upah setiap bulan yang dijadikan dasar
perhitungan iuran terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap. Mekanisme pembayaran iuran
mengikuti program paket. Pemberi kerja wajib membayar iuran paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya. Pemberi kerja yang tidak memenuhi ketentuan pembayaran iuran dikenakan denda
sebesar 2% setiap bulan keterlambatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 terkait Jaminan Pensiun penghitungan PPh Pasal 21, untuk
Jaminan Pensiun yang dibayarkan oleh pemberi kerja sebesar 2% tidak diperhitungkan dalam
penghitungan PPh Pasal 21, dikarenakan bukan merupakan objek PPh Pasal 21 sesuai Pasal 8
ayat (1) huruf c PER – 16/PJ/2016. Sedangkan Jaminan Pensiun yang dibayarkan oleh karyawan
sebesar 1% diperhitungkan sebagai pengurang dalam penghitungan PPh Pasal 21.

 Penghasilan Tidak Kena Pajak


Pahami Ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Dalam Menghitung PPh 21

Catatan : TK/1 = K/0 ; TK/2 = K/1 ; TK/3 = K/2; HB = TK T


K = Tidak Kawin;  K = Kawin;  HB = Hidup Berpisah.

 Penghasilan Kena Pajak


Ketentuan penghasilan kena pajak dalam PPh 21
Dalam pengenaan dan pemotongan PPh pasal 21 menurut pasal 9 peraturan dirjen pajak
no. 16 tahun 2016 (PER – 16/PJ/2016) terbagi jadi 4 jenis salah satunya penghasilan kena pajak
(PKP).

Pemberlakuan PKP bagi pegawai tetap, penerima pensiun berkala, pegawai tak tetap,
bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang
berkesinambungan.

Ketentuan menghitung PKP, bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala besar
penghasilan neto dikurangi penghasilan tak kena pajak (PTKP), Bagi pegawai tak tetap sebesar
bruto dikurangi PTKP, bagi bukan pegawai sebesar 50 persen dari jumlah penghasilan bruto
dikurangi PTKP perbulan.

Ketentuan Pembulatan PKP untuk ketentuan penerapan PPh pasal 17 harus dibulatkan
ke bawah hingga ribuan penuh. Missal Rp. 98.870.432,00 menjadi 98.870.000.

 Tarif PPh Pasa 17


Mengenal Tarif PPh Pasal 17 dalam Menghitung PPh 21 Tarif berdasarkan Pasal 17
ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sering disebut dengan tarif progresif atau tarif
berlapis. Dalam penghitungan PPh Pasal 21, Tarif Pasal 17 digunakan untuk menghitung Pegawai
Tetap, Penerima Pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan, juga Pegawai Tidak Tetap atau
Tenaga Kerja Lepas yang dibayarkan secara bulanan. Selain itu, sesuai Pasal 16 PER –
16/PJ/2016, penerapan tarif Pasal 17 juga digunakan untuk penerima penghasilan lain seperti
bukan pegawai, peserta kegiatan, dan lainnya.

Berikut persandingan tarif lama sesuai UU PPh No 36 Tahun 2008 dan tarif bari sesuai UU
HPP.

Selain bracket lapisan tarif 5% yang berubah dari Rp50jt ke Rp60jt, juga terdapat
penambahan tarif baru yaitu 35% yang dikenakan pada lapisan ke 5 (lima) bagi untuk penghasilan
yang lebih dari Rp5 miliar

Contoh Perhitungan Tarif Pasal 17 Andreas bekerja pada PT Ortax Indonesia.


Diketahui bahwa Andreas memiliki Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebesar Rp560 juta. Berikut
PPh Pasal 21 terutang Mr. Andreas jika menggunakan perbandingan antara tarif lama dan tarif
baru.
PENGHITUNG PPh 21 Pegawai Tetap

 Pegawai Tetap yang Masuk dari Awal Tahun


Cara Menghitung PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap Secara sederhana, PPh Pasal 21
dapat diartikan pajak penghasilan atas imbalan yang diterima karyawan. penting bagi perusahaan
untuk memahami tata cara penghitungan PPh Pasal 21. Tahap pertama menghitung PPh Pasal 21
pegawai tetap adalah menghitung seluruh penghasilan bruto yang diterima/diperoleh dalam satu
bulan. Penghasilan tersebut meliput seluruh gaji, segala jenis tunjangan, dan pembayaran teratur
lainnya, termasuk uang lembur atau sejenisnya. Tahap kedua yang perlu diperhatikan bahwa
penghasilan bruto sebagaimana dimaksud diatas kemudian dikurangi biaya jabatan, serta iuran
pensiun, iuran Jaminan Hari Tua, iuran Jaminan Penisun dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang
dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan. Tahap ketiga, Penghasilan neto sebulan
kemudian dikalikan 12 untuk memperoleh penghasilan neto setahun.

Ilustrasi Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap


 Pegawai Tetap yang Masuk di Pertengahan Tahun
Menghitung PPh 21 Karyawan yang Masuk pada Pertengahan Tahun Dalam
penghitungan PPh Pasal 21 untuk karyawan yang masuk pada pertengahan tahun, terdapat dua
kondisi. Pertama, karyawan telah memiliki kewajiban subjektif sejak awal tahun pajak. Kedua,
karyawan yang kewajiban subjektifnya dimulai setelah awal tahun pajak. Kewajiban subjektif
yang dimaksud adalah sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU Pajak Penghasilan. WNI atau warga
negara asing menjadi subjek pajak dalam negeri apabila: Bertempat tinggal di Indonesia Berada
di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan Dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Pada kondisi pertama,
penghitungan PPh Pasal 21 tidak jauh berbeda dengan pegawai tetap pada umumnya. kondisi
kedua biasanya terjadi apabila seorang warga negara asing menjadi pegawai tetap di perusahaan
yang berada di Indonesia.

Ilustrasi Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Karyawan yang Masuk pada Pertengahan Tahun
Berikut merupakan penghitungan PPh Pasal 21 di bulan September.

 Pegawai Tetap yang Keluar (Resign)


Cara Menghitung PPh Pasal 21 Bagi Pegawai Resign

Dalam penghitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai yang resign, terdapat dua perlakuan.
Pertama, perlakuan bagi pegawai yang berhenti di tengah tahun namun masih memiliki kewajiban
subjektif. Kedua, perlakuan bagi pegawai yang berhenti di tengah tahun sekaligus kewajiban
subjektifnya juga berhenti.

Mekanisme penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Resign

Mekanisme penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan tertentu untuk pegawai tetap
yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebagai berikut:
a. Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, baik penghasilan yang
teratur maupun yang tidak teratur.
b. PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan tertentu untuk pegawai tetap
yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar selisih antara PPh
Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur dengan PPh Pasal
21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan
bulan sebelumnya.
c. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan
sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh
penghasilan teratur dan tidak teratur, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21
tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja bersamaan dengan
pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21. Pemotong pajak dapat memperhitungkan
kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 untuk dengan PPh Pasal 21 terutang atas
penghasilan pegawai tetap lainnya dalam Masa Pajak yang sama.

Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Resign

Selanjutnya, dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas seluruh penghasilan yang diterima sampai
dengan bulan Juni 2022.
Setelah dihitung, ternyata penghasilan Putu Mario masih di bawah PTKP, sehingga PPh Pasal 21
yang seharusnya terutang selama Januari sampai dengan Juni 2021 adalah Rp 0. Namun, pada
bulan Januari – Mei 2022 telah dilakukan pemotongan, sehingga timbul lebih potong. Kelebihan
Potong PPh 21 sebesar Rp750.000,- dikembalikan dan kepada Putu Mario diberikan bukti potong
(1721 A1) paling lama satu bulan sejak Putu Mario berhenti bekerja.

 Pegawai Tetap yang Pindah Cabang


Bagaimana Menghitung PPh 21 bagi Pegawai yang Pindah Cabang?
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pegawai yang Pindah Cabang Yoga
Mahendra yang berstatus belum menikah merupakan pegawai pada PT Wana Giri yang terletak di
Denpasar. Sejak 1 Juni 2022, Yoga dipindahtugaskan ke kantor cabang di Bogor. Mulai 1
Oktober 2022, Yoga kemudian dipindahkan ke cabang Malang. Gaji Yoga Mahendra adalah
sebesar Rp5.000.000. Ia juga membayar iuran pensiun sebesar Rp100.000 per bulan. Selama
bekerja di PT Wana Giri, ia hanya menerima penghasilan berupa gaji.
Berikut merupakan penghitungan PPh Pasal 21 di Kantor Pusat Denpasar. Sebagai
catatan, setiap bulan penghasilan Yoga telah dipotong PPh Pasal 21 sebesar Rp7.500
Berikut merupakan penghitungan yang dilakukan untuk penghasilan yang diterima di cabang
Bogor
Penghitungan dilakukan dengan menggabungkan penghasilan neto yang diperoleh di
kantor Denpasar kemudian disetahunkan. Penghitungan di atas juga berlaku untuk penghitungan
di cabang selanjutnya.

 Pegawai Tetap yang Meninggal Dunia


Menghitung PPh Pasal 21 bagi Pegawai yang Meninggal Dunia
Penghitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai yang meninggal diawali dengan menghitung
jumlah PPh Pasal 21 yang terutang untuk penghasilan teratur maupun tidak teratur sampai.
Jumlah penghasilan yang dimaksud dihitung dari awal tahun sampai dengan bulan sebelum
pegawai meninggal. Jumlah penghasilan neto yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21
tersebut adalah penghasilan neto yang disetahunkan. Selanjutnya, PPh Pasal 21 yang masih harus
dipotong dihitung dari selisih antara PPh Pasal 21 dari seluruh penghasilan teratur dan tidak
teratur, dikurangi dengan PPh Pasal 21 yang sudah dipotong.
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Bagi Pegawai yang Meninggal Dunia Andika
(K/3) telah bekerja di PT Makmur Abadi sejak tahun 2018. Diketahui bahwa Andika meninggal
dunia di bulan Juni 2022. Selama tahun 2022, ia menerima gaji per bulan sebesar Rp15.000.000
dan di bulan Februari memperoleh bonus sebesar Rp10.000.000. Berikut penghitungan PPh Pasal
21 atas gaji yang diterima Andika.

Karena Andika menerima bonus di bulan April, maka harus dihitung juga PPh Pasal 21 atas
bonus yang diterima. Berikut merupakan penghitungan PPh Pasal 21 atas bonus yang diterima
Andika.
Selanjutnya, hitung PPh Pasal 21 atas seluruh penghasilan sampai dengan bulan Mei
2022. Selisih antara PPh Pasal 21 terutang dengan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong
merupakan jumlah pajak yang harus dipotong di bulan Mei 2022.

Sebagai catatan, ketentuan penghitungan di atas sama dengan penghitungan yang berlaku
bagi pegawai WNA yang berhenti bekerja dan kembali ke negara asalnya (kehilangan kewajiban
subjektif).
 Pegawai Tetap Ekspatriat
Bagi warga negara asing, mereka akan memiliki kewajiban subjektif apabila memenuhi
syarat pada Pasal 2 ayat (3) UU Pajak Penghasilan. Pertama, bertempat tinggal di Indonesia.
Kedua, berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau ketiga dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Ekspatriat Cindy Smith merupakan WNA yang
menjadi pegawai tetap di PT Startup Bagus. Cindy mulai bekerja di Indonesia sejak bulan
September 2022. Gaji Cindy sebulan adalah Rp30.00.000,00. Cindy diketahui sudah menikah
namun belum memiliki anak. Berikut penghitungan PPh Pasal 21 bagi Cindy Smith pada bulan
September 2022.

 Pegawai Tetap yang Menerima THR/Bonus


Menghitung PPh Pasal 21 atas Bonus atau THR
Merujuk Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Nomor 16 Tahun 2016, jika pegawai tetap
diberikan penghasilan yang bersifat tidak teratur seperti bonus dan THR, maka PPh Pasal 21
dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut.
1. PPh Pasal 21 dihitung atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan
penghasilan tidak teratur.
2. PPh Pasal 21 dihitung atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa penghasilan
tidak teratur.
3. Selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal
21 atas penghasilan tidak teratur.
Ilustrasi Penghitungan PPh Pasal 21 atas Bonus Ben Laksono (belum menikah)
bekerja pada PT Hutan Raya dengan memperoleh gaji sebesar Rp5.000.000 sebulan. Pada
bulan Oktober 2022, Ben memperoleh bonus sebesar Rp10.000.000 sehingga total
penghasilan Ben pada bulan Oktober 2021 sebesar Rp15.000.000. Setiap bulannya Ben
membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan sebesar Rp100.000,00. Berapakah pajak yang terutang atas bonus yang diterima
Ben? Pada gambar di bawah ini dapat dilihat penghitungan untuk seluruh penghasilan,
termasuk bonus yang diterima oleh Ben.

Selanjutnya, gambar di bawah menunjukkan penghitungan PPh Pasal 21 atas


penghasilan teratur saja.

PPh Pasal 21 atas bonus dihitung dari selisih hasil penghitungan tersebut. Maka dari itu, PPh
Pasal 21 yang terutang atas bonus yang diterima oleh Ben adalah Rp565.000 – Rp90.000 =
Rp475.000

 Pegawai Tetap yang Menerima Uang Pesangon


Pemotongan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon Uang Pesangon adalah penghasilan
yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada
pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja
atau terjadi pemutusan hubungan kerja

Teknis Penghitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon Pemotongan pajak bersifat
final diberlakukan apabila uang pesangon dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau
seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Untuk penerima pesangon yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif pajak yang sama dengan
penerima pesangon yang memiliki NPWP.

Contoh Penghitungan Ardila (ber-NPWP) menerima pembayaran Uang Pesangon yang


dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, yaitu bulan Desember 2020 sebesar Rp50.000.000,
dan bulan April 2021 sebesar Rp125.000.000. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong
adalah sebagai berikut.
Karena pembayaran pesangon yang diterima Ardila dilakukan dalam jangka waktu 2 tahun, maka
seluruh penghasilan tersebut dikenakan tarif PPh Pasal 21 Final. Penerapan tarif dihitung sesuai
dengan jumlah kumulatif penghasilan yang diterima. Pegawai Tetap yang Menerima THR/Bonus

PENGHITUNGAN PPh 21 NON PEGAWAI TETAP

 Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas


Penghitungan PPh 21 atas Upah Tenaga Kerja Lepas
Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima
penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah
unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh
pemberi kerja. Adapun jenis penghasilan yang diterima umumnya berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan maupun uang saku harian atau mingguan.

Batasan Upah Harian, Penghasilan Kumulatif Sebulan, Tarif dan DPP

Teknis perhitungan
1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau
diperoleh dalam sehari:
2. upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;
3. upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
4. upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan borongan.
5. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi
Rp450.000,00, dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender
yang bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang
harus dipotong.
6. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi
Rp450.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan
kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka PPh Pasal 21 yang
harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku
harian setelah dikurangi Rp450.000,00, dikalikan 5%.
7. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender
yang bersangkutan telah melebihi Rp4.500.000,00 dan kurang dari Rp8.200.000,00, maka
PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata
upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
8. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender
telah melebihi Rp10.200.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar PPh Pasal 21 hasil Penghitungan tersebut dibagi 12.

Kemudian untuk, Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon
Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan, PPh Pasal 21 dihitung
dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar
PPh Pasal 21 hasil Penghitungan tersebut dibagi 12.

Contoh Penghitungan Ali (tidak ber-NPWP) dengan status belum menikah pada bulan
Oktober 2022 bekerja sebagai buruh harian PT Ortax Indonesia. la bekerja selama 10 hari dan
menerima upah harian sebesar Rp450.000,00.

Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi
Rp.4.500.000,- maka tidak ada PPh 21 yang dipotong Jika ternyata Ali diberikan tugas
tambahan satu hari kerja oleh perusahaan tersebut dan menerima upah pada hari ke-11, maka
jumlah kumulatif yang diterima melebihi Rp. 4.500.000,-.

Maka PPh 21 dipotong dengan cara dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP sehari
kemudian dikalikan 6% (tidak ber-NPWP berarti dikenakan tarif 20% lebih tinggi)

 Tenaga Ahli
Penghitungan PPh pasal 21 tenaga ahli Tenaga Ahli adalah salah satu jenis penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. Sesungguhnya Tenaga Ahli
merupakan kelompok Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa. Umumnya tenaga ahli yang dimaksud melakukan pekerjaan bebas.
Menurut Pasal 3 huruf (c) PER-16/PJ/2016 terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter dr. Abdul Gopar, Sp.JP
merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung
Sehat dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong
20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80%
dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar, Sp.JP pada setiap akhir bulan.
Selain praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dr. Abdul Gopar, Sp.JP juga melakukan
praktik sendiri di klinik pribadinya. dr. Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP. Pada tahun
2022, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah Sakit
Harapan Jantung Sehat. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan
Desember 2022 adalah  sebagai berikut :

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2022:
Apabila dr. Abdul Gopar, Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka Tarif PPh Pasal 21 terutang
dikenakan lebih tinggi sebesar 20% dari tarif umum.

 Bukan Pegawai Tidak Berkesinambungan


Penghitungan PPh 21 Bukan Pegawai Penghasilan Tidak Berkesinambungan adalah
orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang
memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayar atau terutang
hanya satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

Ketentuan Penghitungan Penghasilan Bruto Menurut Pasal 10 ayat 5 PER- 16/PJ/2016 , dalam
hal Bukan Pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 jika:

 Mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto
adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari
pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat
dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya
penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan.
 Melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto
hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat
dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan
bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.

Contoh Penghitungan PPh 21 Bukan Pegawai Tidak Berkesinambungan Sandi


Abdullah (ber-NPWP) melakukan jasa perawatan AC kepada PT Ortax Indonesia dengan
imbalan Rp10.000.000,00. Sandi Abdullah mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan
membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp180.000,00. Upah harian yang dibayarkan
untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000,00. Selain itu, Sandi Abdullah
membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp1.000.000,00.

Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Sandi Abdullah, dapat
diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja
harian yang dipekerjakan oleh Sandi Abdullah dan biaya untuk membeli spare part AC, maka
jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT
Ortax Indonesia atas imbalan yang diberikan kepada Sandi Abdullah adalah sebesar imbalan
bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Sandi Abdullah dan biaya
spare part AC, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar: Rp10.000.000,00 – Rp4.500.000,00 –
Rp1.000.000,00 = Rp4.500.000,00 PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Ortax Indonesia atas
penghasilan yang diterima Arip Nugraha adalah sebesar: 5% x (50% x Rp4.500.000,00) =
Rp112.500,00 Dalam hal PT Ortax Indonesia tidak memperoleh informasi berdasarkan
perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Sandi Abdullah mengenai upah
yang harus dikeluarkan Sandi Abdullah atau pembelian material/bahan, PPh Pasal 21 yang
harus dipotong PT Ortax Indonesia adalah jumlah sebesar: 5% x (50% x Rp10.000.000,00) =
Rp250.000,00

 Bukan Pegawai Berkesinambungan


Penghitungan PPh 21 Bukan Pegawai dengan Penghasilan Berkesinambungan
Merujuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16 Tahun 2016 (PER-16/2016), Bukan
Pegawai yang dimaksud meliputi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, di antaranya
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris. Selain itu pekerja
seni, pemain musik, pelatih, penyuluh, peneliti, pemberi jasa di bidang komputer, fotografi,
petugas dinas luar asuransi, hingga distributor perusahaan multilevel marketing juga merupakan
bukan pegawai menurut PER-16/2016.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bukan pegawai dibagi menjadi dua kelompok. Pertama,
bukan pegawai yang menerima penghasilan tidak berkesinambungan. Kedua, bukan pegawai
yang menerima penghasilan berkesinambungan. Seorang tenaga ahli atau bukan pegawai
dianggap menerima penghasilan secara berkesinambungan apabila penghasilan diterima lebih
dari satu kali dalam satu tahun.

Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai Berkesinambungan Riko merupakan


seorang aktuaris. Di tahun 2022, Riko dikontrak oleh PT ABC yang merupakan perusahaan
asuransi. Selama tahun 2022 ia menerima penghasilan sebanyak tiga kali dengan jumlah masing-
masing Rp50.000.000. Berikut merupakan penghitungan PPh Pasal 21 bagi Riko.

Dalam contoh di atas, Riko tergolong sebagai Bukan Pegawai. Ia menerima penghasilan
secara berkesinambungan, sehingga tarif PPh yang berlaku ditentukan berdasarkan penghasilan
kumulatif. Pada bulan Januari dan Maret, penghasilan Riko masih di bawah Rp60.000.000. Maka,
pada bulan tersebut penghasilannya dikenakan tarif 5%. Pada bulan Agustus, penghasilan Riko
secara kumulatif telah melewati Rp60.000.000. Bagian penghasilan yang telah melebihi batasan
tersebut dikenakan tarif 15%.
 Peserta Kegiatan
Penghitungan PPh 21 Atas Peserta Kegiatan Peserta kegiatan adalah orang pribadi
yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya
(workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau
memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
Jenis Peserta Kegiatan Berikut adalah jenis-jenis peserta kegiatan menurut
PER-16/PJ/2016 : Peserta perlombaan dalam segala bidang Peserta rapat, konferensi, sidang,
pertemuan/kunjungan kerja Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu Peserta pendidikan & pelatihan Peserta kegiatan lainnya
Teknis Penghitungan: Menurut PER-16/PJ/2016, PPh Pasal 21 dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh sebagaimana telah diubah terakhir dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 mengenai tarif pajak progresif PPh 21 yaitu:

maka atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan
tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan. Berikut contoh penghitungan PPh Pasal 21
atas peserta kegiatan. Prasetyo Sigit (ber-NPWP) adalah seorang atlet catur professional
Indonesia yang bertempat tinggal di Semarang. la menjuarai turnamen Indonesia Chess Grand
Prix Gold dan memperoleh hadiah sebesar Rp200.000.000,00.
PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Grand Prix Gold tersebut
adalah :
5% x Rp60.000.000,00              =  Rp   3.000.000,00 15% x Rp140.000.000,00          =
Rp 21.000.000,00  = Rp 24.000.000,00
 Mantan Pegawai
Perhitungan PPh Pasal 21 Bagi Mantan Pegawai Penghasilan Mantan Pegawai yang
dibayarkan oleh perusahaan sehubungan dengan pekerjaannya di masa lalu merupakan objek
PPh Pasal 21. Dalam PER-16/PJ/2016 mengenai Pedoman teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan PPh 21/26, penghasilan yang dibayarkan kepada Mantan Pegawai
tersebut dapat berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat
tidak teratur.

Contoh Penghitungan PPh 21 Bagi Mantan Pegawai Hamdi Chung bekerja pada PT
Ortax Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 2022 telah berhenti bekerja pada PT Ortax Indonesia
karena pensiun. Pada bulan April 2022 Hamdi Chung menerima jasa produksi tahun 2021 dari PT
Ortax Indonesia sebesar Rp65.000.000,00.

Ketentuan Lain Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan
kepada mantan pegawai lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan
yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah
penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah
diterima sebelumnya.
 Penarikan Dana Pensiun
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penarikan Dana pension Orang priadi yang
merupakan peserta program pensiun dapat melakukan penarikan dana pensiun meski masih
berstatus sebagai pegawai. Penarikan dana pensiun dilakukan dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Dalam PER-16/PJ/2016 , diatur mengenai
penghitungan PPh Pasal 21 bagi peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai
yang menarik dana pensiun. PPh Pasal 21 ini dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a UU PPh dari kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun
kalender.

Contoh Penghitungan PPh 21 atas Penarikan Dana Pensiun Billy Romadhon adalah
pegawai PT Ortax Indonesia menerima gaji Rp10.000.000,00 sebulan. PT Ortax Indonesia
mengikuti program pensiun untuk para pegawainya. PT Ortax Indonesia membayar iuran dana
pensiun untuk Billy Romadhon sebesar Rp100.000,00 sebulan ke Dana Pensiun Abadi Sejahtera,
yang merupakan dana pensiun yang dibentuk bagi pengelolaan uang pensiun pegawai PT Ortax
Indonesia yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Billy Romadhon membayar
iuran serupa ke dana pensiun yang sama sebesar Rp50.000,00 sebulan. Bulan April 2022 Billy
Romadhon memerlukan biaya untuk perbaikan rumahnya maka ia mengambil iuran dana pensiun
yang telah dibayar sendiri sebesar Rp20.000.000,00. Kemudian pada bulan Juni 2022 ia menarik
lagi dana sebesar Rp15.000.000,00. Kemudian bulan Oktober 2022 untuk keperluan lainnya ia
menarik lagi dana sebesar Rp35.000.000,00.
 atas penarikan dana sebesar Rp20.000.000,00 pada bulan April 2022 terutang PPh Pasal
21 sebesar 5% x Rp20.000.000,00 = Rp1.000.000,00.
 atas penarikan dana sebesar Rp15.000.000,00 pada bulan Juni 2022 terutang PPh Pasal
21 sebesar 5% x Rp15.000.000,00 = Rp750.000,00
 atas penarikan dana sebesar Rp35.000.000,00 pada bulan Oktober 2022 terutang PPh
Pasal 21 sebesar :

Keterangan: Tarif tersebut menggunakan tarif progresif PPh Pasal 17 dikarenakan


penarikan dana pensiun yang dilakukan oleh Billy Romadhon masih berstatus pegawai di PT
Ortax Indonesia.

 Anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas


Penghitungan PPh Pasal 21 atas Anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas
Dalam PER-16/PJ/2016 penghitungan PPh Pasal 21 bagi Anggota Dewan Pengawas atau
Dewan Komisaris terbagi menjadi 2 (dua). Pertama, Anggota Dewan Pengawas atau Dewan
Komisaris yang merangkap sebagai pegawai tetap, Kedua, Anggota Dewan Pengawas atau
Dewan Komisaris yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama.
Untuk Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 untuk anggota dewan komisaris atau
dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama
berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur. PPh Pasal 21 dihitung dengan
menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto
yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender.
Contoh perhitungan PPh Pasal 21 Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas Rico
Geniano merupakan Komisaris pada PT Ortax Indonesia yang tidak merangkap sebagai Pegawai
Tetap. Pada Tahun 2022, Rico Geniano menerima honorarium dari PT Ortax Indonesia sebanyak
3 kali pada bulan April, Agustus, dan Desember masing-masing sebesar Rp45.000.000,00;
Rp215.000.000,00; dan Rp150.000.000,00.

PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PPh 21

 Batas Waktu Setor dan Lapor


Ketentuan Batas Waktu Setor dan Lapor PPh Pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan No.
242/PMK.03/2014 untuk penyetoran PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Sedangkan batas pelaporan PPh Pasal 21 yaitu tanggal 20 (duapuluh) bulan berikutnya. Apabila
bertepatan dengan hari libur, maka pelaporan dan penyeteron dapat mundur ke hari kerja
berikutnya.

 Kode Jenis Setoran dalam Pembuatan Kode Billing


Mengenal Kode Jenis Setoran dalam Pembuatan Kode Billing PPh Pasal 21
Atas PPh Pasal 21 yang telah dipotong, perusahaan wajib untuk menyetorkan PPh Pasal 21 ke kas
negara. Sebelum melakukan penyetoran, perusahaan wajib membuat kode billing pada e-Billing
Pajak dengan mengisi formulir Surat Setoran Elektronik (SSE). Wajib Pajak perlu memastikan
Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang tepat agar terhindar dari kesalahan
mengingat terdapat berbagai jenis setoran PPh Pasal 21. Kesalahan setor dapat mengakibatkan
adanya surat klarifikasi atau himbauan dari Kantor Pajak. Berikut ini adalah daftar KAP dan KJS
terkait penyetoran PPh Pasal 21.
 Cara Instal Aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26
Bagi pengguna baru, unduh dan instal file Single Installer Aplikasi e-SPT Masa PPh
Pasal 21-26 Versi 2.4.0.0. Sebelum menginstal, pastikan perangkat yang digunakan telah
memenuhi spesifikasi minimu untuk menggunakan e-SPT Masa PPh Pasal 21/26. Apabila telah
menginstal e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 versi sebelumnya, cukup instal file patch update versi
2.4.0.0 yang tersedia.
Setelah diunduh, install aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan mengklik e-SPT
package. Kemudian, ikuti seluruh instruksi proses instalasi. Apabila telah terinstal, silakan
masuk folder e-SPT Pasal 21, lalu klik file espt2114.
Selanjutnya, Anda akan masuk ke menu utama e-SPT. Pada perangkat tertentu, akan
muncul notifikasi untuk melakukan perubahan regional. Untuk melakukan perubahan regional,
silakan masuk ke menu Control Panel di perangkat Anda, kemudian pilih Clock and Region,
kemudian pilih Region.
Pada menu Region, ubah pengaturan bahasa menjadi Bahasa Indonesia, lalu klik Apply,
dan klik OK. Setelah itu, kembali masuk ke menu utama e-SPT. Masukkan kode password yaitu
123, lalu klik Login. Kemudian, isi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), lalu klik Simpan.
Setelah itu, tahapan selanjutnya adalah mengisi data profil perusahaan atau wajib pajak, seperti
nama, alamat, nomor telepon, e-mail, NPWP penandatangan, dan nama penandatangan. Jika
sudah diisi secara lengkap dan benar. Klik Simpan. Aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 sudah
dapat digunakan
 Menu-menu pada Aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26
Direktorat Jenderal Pajak telah memfasilitasi Wajib Pajak dengan berbagai sistem
elektronik dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Salah satu yang masih digunakan hingga saat
ini adalah e-SPT PPh Pasal 21/26. Aplikasi ini digunakan oleh Wajib Pajak yang merupakan
pemotong PPh Pasal 21/26. Berikut merupakan beberapa menu utama e-SPT PPh Pasal 21/26
yang dapat digunakan oleh Pemotong PPh Pasal 21/26 dalam menjalankan program aplikasi e-
SPT PPh Pasal 21/26.
 Menu Database Menu ini digunakan untuk menampilkan database setiap masa pajak yang
akan dibuka pada aplikasi eSPT PPh Pasal 21/26. Dalam menu database, terdapat 2 (dua)
pilihan yaitu “Pilih Database” dan “Compact Database”.
 Menu Pilih SPT Pada menu “Pilih SPT” ini terdapat 2 (dua) pilihan sub menu, yaitu sub
menu “Buat SPT Baru” yang berfungsi untuk membuat satu masa pajak baru, dimana Wajib
Pajak belum pernah membuat Masa Pajak tersebut dan belum pernah dilaporkan ke KPP.
Sedangkan pada sub Menu “Buka SPT”, berfungsi untuk membuka masa pajak yang sudah
pernah dibuat sebelumnya dan dapat membuat SPT Masa Pajak pembetulan. Sehingga dalam
hal terjadi kesalahan pemotongan PPh Pasal 21/26, maka Wajib Pajak dapat melakukan
pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan sub menu “Buka SPT” pada e-
SPT Masa 21-26.
 Menu Isi SPT Menu ini merupakan dasar pembuatan suatu SPT yang akan dilaporkan oleh
Wajib Pajak, dimana pada menu ini terdapat 5 (lima) komponen penting yaitu; daftar bukti
potong, daftar pemotongan pajak (1721-1), Daftar Biaya (1721-V).
 Menu CSV, Terdapat 3 sub menu yang terdiri dari : ekspor, impor, dan pelaporan SPT.
 Menu Cetak, Dalam menu ini terdapat dua kategori yaitu Menu “Cetak Formulir SPT” dan
Menu “Bukti Potong PPh 21/26”. Melalui menu ini, Wajib Pajak dapat mencetak langsung
formulir SPT 1721 dalam bentuk pdf atau langsung dapat dicetak sesuai dengan Masa Pajak
yang sedang dibuka.
 Menu Referensi terdiri dari 5 sub menu : sub menu bukti potong, sub menu kode, sub menu
tarif, sub menu ubah username, sub menu ubah password.
 Menu profil ini wajib diisi oleh Wajib Pajak yang baru pertama kali menggunakan program
e-SPT PPh Pasal 21/26 pada saat pertama kali login. Wajib Pajak dapat mengubah data-data
Wajib Pajak terkait dengan Nama, alamat, No. Telpon dan lainnya, kecuali NPWP yang
hanya dapat diubah sewaktu pindah KPP oleh Wajib Pajak.
 Menu Help, Menu ini merupakan tutorial singkat terkait dengan penggunaan aplikasi eSPT
PPh Pasal 21/26. Melalui menu help ini, Wajib Pajak diharapkan dapat menggunakan
Aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26 sesuai dengan keadaan sebenarnya dan dapat memudahkan
Wajib Pajak dalam menghitung Pajak yang harus dibayar dalam PPh Pasal 21/26.

 Minimum Requirement Aplikasi e-SPT PPh 21/26


Minimum Spesifikasi Hardware dan Software dalam Menjalankan Aplikasi eSPT PPh
21/26
Sebelum melakukan instalasi aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26, berikut ini minimum spesifikasi
(requirement) dalam menjalankan aplikasi eSPT PPh 21/26 pada komputer yang digunakan.
Untuk Perangkat Keras :
 Pentium IV
 256 Mb RAM
 100 Mb Hard disk space
 VGA dengan minimal resolusi layar 1280 x 768
Untuk Perangkat Lunak:
 Microsoft Windows (Min. XP SP3)
 Microsoft Office Access atau Microsoft  Data Access Component
 Microsoft .NET Framework 4.0
 Crystal Report 12

Installer e-SPT PPh Pasal 21/26


Installer e-SPT PPh Pasal 21 yang masih berlaku yaitu installer :
 e-SPT Masa 21-26 2014 v2.0,
 Selanjutnya lakukan Patch Update e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 dalam Versi V.2.2.0.1

 Error Impor e-SPT 21/26 dan solusinya


Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak.
Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER – 14/PJ/2013, SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau
26 yang dilaporkan oleh pemotong pajak dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau e-SPT
yang disampaikan dalam media elektronik.
E-SPT merupakan data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Wajib
Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. E-
SPT beserta lampiran-lampirannya dilaporkan dengan menggunakan media elektronik (CD,
disket, flash disk dan lain-lain) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana Wajib Pajak terdaftar.
Dengan menggunakan aplikasi e-SPT Wajib Pajak dapat merekam, memelihara, dan men-
generate data elektronik SPT serta mencetak SPT beserta lampirannya.

Kewajiban menggunakna Aplikasi e-SPT PPh 21/26 :


 Melakukan pemotongan PPh pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pension
 Melakukan pemotongan PPh pasal 21 ( tak final)
 Melakukan pemotongan PPh pasal 21 (Final)
 Error Penggunaan e-SPT PPh 21/26 dan solusinya
Kompilasi Gagal Impor CSV ke e-SPT PPh 21 dan Solusinya
Berikut kumpulan permasalahan gagal impor CSV file beserta dengan  solusi penanganannya:  
Apabila Wajib Pajak mendapati selain permasalahan atau keterangan errorlog yang
disebutkan diatas, maka Wajib Pajak dapat melihat secara langsung penyebab keterangan errorlog
pada folder errorlog yaitu di folder C:Program FilesDJPe-SPT Masa 21-26 2014errorlog atau
juga dapat dilihat dengan cara mengklik tombol berikut :
 Error penggunaan e-SPT PPh 21/26 dan solusinya
Permasalahan dan Solusi eSPT PPh 21/26
1. Permasalahan : tidak bisa mencetak formular e-SPT PPh 21/26
Solusi : Lakukan Instalasi Crystal Report sesuai dengan spesifikasi Komputer yang
direkomendasikan, dengan cara sebagai berikut ini : Tutup aplikasi eSPT PPh 21/26
Lakukan uninstall Crystal Report terlebih dahulu (apabila sebelumnya telah diinstal)
Pastikan Crystal Report for .NET Framework 4.0 sudah tersedia. Jika belum silahkan Klik
di sini untuk mengunduh  dan lakukan instalasi. Sebelum instalasi Crystal Report,
sesuaikan Versi Windows yang terinstall pada komputer dengan instalaer Crystal Report
yang ada. Sebagai contoh, untuk komputer yang dengan versi 32 bit dapat menggunakan
CRRuntime_32bit_13_0_7 pada Crystal Report.  Sedangkan untuk komputer dengan versi
64 bit dapat menggunakan Crystal Report CRRuntime_64bit_13_0_7 atau
CRRuntime_32bit_13_0_7 pada Crystal Report. Lakukan instalasi dengan cara klik kanan
pada Crystal Report yang dipilih kemudian klik “Install” Kemudian Pilih “Next” dan Pilih
“Finish” apabila instalasi Crystal Report telah berhasil dilakukan. Untuk memastikan
kembali apakah aplikasi e-SPT PPh 21/26 sudah dapat digunakan mencetak, silahkan buka
kembali e-SPT PPh 21/26 kemudian lakukan cetak pada Formulir SPT Masa PPh 21/26
atau atau Bukti Potong terkait.
2. Permasalahan : e-SPT PPh 21/26
solusi : Silahkan lakukan instalasi Ms. Acces Database Engine (Sampai dengan informasi
ini disampaikan, Ms Access Database Engine yang digunaan adalah Ms. Acces 2007)
dengan cara sebagai berikut ini : Tutup aplikasi e-SPT PPh 21/26 terlebih dahulu Pastikan
Ms. Acces Database Engine 2007 sudah tersedia. Jika belum Klik disini untuk
mengunduhnya Lakukan instalasi Ms. Acces Database Engine 2007 dengan cara klik kanan
lalu pilih “open file” Kemudian Pilih “Next” sampai pada Pilih “Finish” apabila instalasi
telah berhasil dilakukan. Untuk memastikan kembali apakah database dalam aplikasi e-SPT
PPh 21/26 sudah dapat digunakan, silahkan buka kembali e-SPT PPh 21/26 kemudian pilih
database yang akan digunakan.
3. Permasalahan : Muncul Pesan Error “NPWP harus 15 Digit” . Padahal Data NPWP
yang Diinput Sudah 15 Digit.
Solusi : Ubah Regional And Language Setting pada Komputer yang digunakan user pada
sisi sebelah kanan bawah untuk windows 7. Selain itu juga dapat diubah melalui Control
Panel, kemudian pilih Clock, Language, And Region. Setelah itu ubah Region and
Language pada komputer yang digunakan.

TOPIK TERKAIT LAINNYA

 Hak dan Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 21


Hak dan Kewajiban Pemotong PPh Pasal 21 Sebagai Pemotong PPh Pasal 21, perusahaan
wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Kemudian, perusahaan wajib melakukan penghitungan PPh
Pasal 21 yang didokumentasikan dalam catatan atau kertas kerja perhitungan PPh masing-masing
penerima penghasilan. Dokumen tersebut wajib disimpan selama sepuluh tahun sesuai ketentuan
Pasal 28 ayat 11 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pemotong wajib membuat bukti potong PPh Pasal 21. Bagi pegawai tetap atau penerima pensiun
berkala, bukti potong dibuat setahun sekali dengan bentuk Formulir 1721 A1 atau Formulir 1721
A2. Bukti potong tersebut diberikan paling lama satu bulan setelah tahun pajak berakhir. Bagi
pegawai yang resign atau keluar di pertengahan tahun, bukti potong juga diberikan paling lama
satu bulan setelah pegawai berhenti. Di sisi lain, bukti potong untuk selain pegawai
tetap/penerima pensiun berkala dibuat setiap kali ada pemotongan. Apabila dalam satu bulan
terdapat lebih dari satu kali pembayaran, bukti potong dapat dibuat sekali dalam satu bulan.

 Hak dan Kewajiban Penerima Penghasilan


Pemotong wajib membuat bukti potong PPh Pasal 21. Bagi pegawai tetap atau penerima
pensiun berkala, bukti potong dibuat setahun sekali dengan bentuk Formulir 1721 A1 atau
Formulir 1721 A2. Bukti potong tersebut diberikan paling lama satu bulan setelah tahun pajak
berakhir. Bagi pegawai yang resign atau keluar di pertengahan tahun, bukti potong juga diberikan
paling lama satu bulan setelah pegawai berhenti. Di sisi lain, bukti potong untuk selain pegawai
tetap/penerima pensiun berkala dibuat setiap kali ada pemotongan. Apabila dalam satu bulan
terdapat lebih dari satu kali pembayaran, bukti potong dapat dibuat sekali dalam satu bulan.
Selain itu, Wajib Pajak yang dipotong PPh Pasal 21 wajib membuat surat pernyataan mengenai
jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun atau saat dimulainya kewajiban subjektif.
Sebagai pihak yang dipotong, Wajib Pajak berhak menerima bukti potong. Bagi pegawai
tetap atau penerima pensiun berkala, menerima bukti potong berupa Formulir 1771 A1/A2
setahun sekali. Selain pegawai tetap atau penerima pensiun berkala, bukti potong diterima setiap
pembayaran atau satu bukti potong jika terdapat beberapa kali pembayaran dalam satu bulan.

 Pendaftaran NPWP Baru Bagi Pegawai Pada Tahun Berjalan


Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal
diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. PPh Pasal 21
merupakan pajak yang dipotong berdasarkan kondisi riil subjektif dan objektif wajib pajak. Salah
satu kondisi riil subjektif yaitu mengenai kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang
akan mempengaruhi ketepatan penghitungan PPh Pasal 21. Apabila terdapat kondisi riil subjektif
dimana tidak memiliki NPWP maka atas penghasilan yang diterima akan dipotong PPh Pasal 21
dengan tarif lebih tinggi sebesar 20%.

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-173/PJ./2002, pemerintah


mengatur standar gaji bagi karyawan asing. Standar gaji karyawan asing yang ditetapkan adalah
besaran penghasilan bruto dalam satu bulan sehubungan dengan pekerjaan berupa gaji dan
imbalan lain yang diterima atau diperoleh karyawan asing yang bekerja dalam bidang-bidang di
luar bidang pengeboran minyak dan gas bumi.

Dalam menggunakan pedoman standar gaji karyawan asing, terdapat beberapa hal yang
harus diperhitungkan, yaitu: Kebangsaan dari karyawan asing yang bersangkutan Jenis usaha dari
perusahaan tempat karyawan asing memperoleh penghasilan (pemberi kerja) Kedudukan atau
jabatan karyawan asing dalam perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja.

Pedoman standar gaji karyawan asing digunakan dalam hal: terdapat petunjuk bahwa
pembukuan Wajib Pajak tidak benar sehingga tidak dapat dihitung besarnya pajak yang
seharusnya terutang. diperoleh bukti yang menunjukkan bahwa terdapat pembayaran gaji
karyawan asing yang tidak seluruhnya dibukukan untuk pelunasan PPh Pasal 21 atau Pasal 26.
Pemeriksa tidak mendapatkan data yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah gaji
karyawan asing dalam rangka penetapan jumlah PPh Pasal 21 atau Pasal 26 yang terutang.

 Standardisasi Gaji Karyawan Asing


Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-173/PJ./2002, pemerintah
mengatur standar gaji bagi karyawan asing. Standar gaji karyawan asing yang ditetapkan adalah
besaran penghasilan bruto dalam satu bulan sehubungan dengan pekerjaan berupa gaji dan
imbalan lain yang diterima atau diperoleh karyawan asing yang bekerja dalam bidang-bidang di
luar bidang pengeboran minyak dan gas bumi.
Dalam menggunakan pedoman standar gaji karyawan asing, terdapat beberapa hal yang
harus diperhitungkan, yaitu: Kebangsaan dari karyawan asing yang bersangkutan, Jenis usaha
dari perusahaan tempat karyawan asing memperoleh penghasilan (pemberi kerja), Kedudukan
atau jabatan karyawan asing dalam perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja.
Standar gaji bagi karyawan dapat dilihat pada Lampiran KEP-173/2002. Dalam lampiran
tersebut terdapat beberapa jenis usaha yang diatur, di antaranya industri tekstil, jasa
bangunan/kontraktor/kantor, jasa angkutan, real estate, leasing, pertanian, perikanan, kehutanan,
dan pertambangan umum atau non oil drilling company.

 PPh Pasal 21 atas Hadiah Saham


Hadiah dalam bentuk saham juga merupakan salah satu objek pemotongan PPh Pasal 21.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-56/PJ.42/1999 tentang PPh Pasal 21 atas
Hadiah Saham kepada Pegawai, ditegaskan bahwa pemberian hadiah saham secara cuma-cuma
oleh Wajib Pajak pemberi kerja kepada para pegawainya disamakan dengan bonus atau gratifikasi
yang merupakan penghasilan yang sifatnya tidak tetap/tidak teratur dan merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 21.
Pengenaan PPh Pasal 21 atas hadiah saham kepada pegawai tersebut berdasarkan tarif
umum yang berlaku yaitu tarif Pasal 17 UU PPh, yang kemudian dikalikan dengan penghasilan
bruto (tanpa pengurang). Dasar Pengenaan Pajak atas hadiah saham dibagi menjadi dua
kelompok. Apabila saham diperdagangkan di bursa, pajak dikenakan berdasarkan harga
pasar/nilai pasarnya. Jika saham tidak diperdagangkan di bursa, pajak dikenakan berdasarkan
nilai nominal saham. PPh Pasal 21 atas hadiah saham tersebut dikenakan pada saat keputusan
pemberian hadiah tersebut disepakati.

 Pengalihan Dana Pensiun Ke Perusahaan Asuransi Jiwa


Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada
orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga
Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Ketentuan PPh Pasal 21 Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada
perusahaan asuransi jiwa, dilakukan dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup.
Pasal 8 PMK16/PMK.03/2010 juga menyebutkan bahwa:
1. Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun
yang dibayarkan secara sekaligus.
2. Atas pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara
Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup terutang PPh Pasal 21 yang bersifat final.
3. Pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana
Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
4. Pada saat perusahaan asuransi jiwa membayar Uang Manfaat Pensiun kepada Pegawai,
tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.

 Pengalihan Uang Pesangon ke Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja


PPh 21 atas Pengalihan Uang Pesangon ke Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja,
Uang Pesangon didefinisikan sebagai penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja:
1 Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
2 Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
melalui pembayaran secara sekaligus, terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
bersifat final.
3 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final dipotong oleh pemberi kerja.
4 Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja membayar Uang Pesangon kepada
Pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.

Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala
kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja:

1. Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.


2. Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
melalui pembayaran secara bertahap atau berkala tidak terutang Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang bersifat final.
3. Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja membayar Uang Pesangon kepada
Pegawai, dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final oleh
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.

PPh pasal 21 final atas uang pesangon yang dihitung secara kumulatif :

 Metode Pemotongan PPh Pasal 21 Mixed sebagai Alternatif berbagai Beban


Menghitung PPh Pasal 21 pegawai tetap (karyawan) bukanlah pekerjaan sederhana
mengingat sifatnya yang subjektif dan variatif.Subjektif melibatkan kondisi dari karyawan terkait
dengan berbagai status yang melekat kepadanya, antara lain : Status Kepegawaian (Pegawai Baru,
Pindahan, Ekspatriat), Status PTKP (TK/0 sampai dengan K/3) dan Status NPWP.
Berkaitan dengan PPh Pasal 21 karyawan, ada beberapa alternatif pembebanan yang
dapat diambil oleh perusahaan, antara lain :
1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan Karyawan menanggung beban pajaknya
sendiri.
2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan Perusahaan menanggung beban pajak
karyawan baik sebagian maupun seluruhnya dalam bentuk Benefit in Kind (BIK).
3. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan dengan cara memberikan tunjangan
pajak Perusahaan menanggung beban pajak karyawan baik sebagian maupun
seluruhnya dengan cara memberikan tunjangan pajak.

Berdasarkan uraian mengenai alternatif pembebanan di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa secara umum terdapat 3 (tiga) metode pemotongan yaitu Metode
Gross, Net dan Gross Up. Untuk kemudahan dalam melakukan penghitungan PPh
Pasal 21 karyawan, perusahaan dapat menggunakan bantuan Ms Excel.

Kombinasi Metode Pemotongan PPh Pasal 21


Dalam praktek sering ditemukan perusahaan yang mengkombinasikan metode
pemotongan untuk menghitung PPh 21 karyawan. Metode ini dikenal dengan Metode
Mixed (Mixed Method). Metode ini bertujuan untuk membagi beban pajak sehingga
dapat dihitung PPh Pasal 21 yang harus ditanggung perusahaan maupun PPh Pasal 21
yang harus ditanggung oleh karyawan. Metode ini merupakan kebijakan perusahaan
terkait remunerasi karyawan yang tentunya harus mempertimbangkan berbagai aspek
dan idealnya tertuang di dalam kontrak kerja.

Teknis Penghitungan
Metode Gross Sebagian besar contoh penghitungan PPh Pasal 21 karyawan
dalam lampiran PER-31/PJ/2012 adalah penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode
gross. Berikut adalah ilustrasi sederhana penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode
gross :

Metode Net Penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode net tidak berbeda
dengan metode gross. Perbedaannya hanya terletak pada saat perusahaan menghitung
Take Home Pay untuk keperluan pembuatan slip gaji atau keperluan payroll lainnya.
Berikut adalah ilustrasi sederhana penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode Net :
Metode Gross Up Tidak ada penjelasan dan contoh penghitungan PPh Pasal 21
dengan metode gross up pada lampiran PER-31/PJ/2012. Mengingat metode gross up
pada dasarnya hanya berkaitan dengan logika penghitungan, maka kita dapat
membuat ilustrasi sendiri atau mengambil contoh yang ada (silahkan dicari pada
menu Download kontribusi Member pada ortax.org). Berikut adalah ilustrasi
sederhana penghitungan PPh Pasal 21 dengan metode gross up :

Metode mixed adalah dengan memisahkan penghitungan antara penghasilan


yang PPh Pasal 21-nya menjadi beban karyawan dan penghasilan PPh Pasal 21-nya
menjadi beban perusahaan.
Ada 2 (dua) kondisi sehubungan dengan penggunaan metode mixed untuk
penghitungan PPh Pasal 21, antara lain :
 Secara umum PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan dengan memberikan
tunjangan pajak secara gross up namun terdapat jenis penghasilan yang PPh
Pasal 21-nya ditanggung oleh karyawan
 Secara umum PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan namun terdapat jenis
penghasilan tertentu yang PPh Pasal 21-nya ditanggung perusahaan dengan
memberikan tunjangan pajak secara gross up

Menerapkan metode mixed pada dasarnya hanya berkaitan dengan logika


perhitungan yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan
ketentuan perpajakan. Masih dimungkinkan untuk mencari alternatif lain yang lebih
akurat dengan mempertimbangkan keseimbangan beban antara perusahaan dan
karyawan.

Anda mungkin juga menyukai