Anda di halaman 1dari 11

8.

PPh 21 dan 23/26


Dasar hukum PPh adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan. UU ini mengalami empat kali perubahan, yakni:
 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas UU
No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan
 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU
No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU
No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU
No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan.
Selain itu, pengaturan terbaru tentang pajak penghasilan juga dalam UU Cipta
Kerja No. 11 Tahun 2020 dan melalui UU HPP Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
b. Kategori Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan dibedakan menjadi beberapa kategori yakni:
 PPh yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi, yang terbagi atas
pegawai serta bukan pegawai maupun pengusaha
 PPh yang dibebankan atas penghasilan wajib pajak badan atau perusahaan,
hingga objek yang dikenakan PPh itu sendiri

Dasar hukum Pajak Penghasilan Pasal 23 dan PPh Pasal 26 adalah Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU 7/1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh).
Pajak penghasilan yang diatur dalam UU PPh ini di antaranya:
 Pajak penghasilan Orang Pribadi
 Pajak penghasilan Badan
 PPh pasal 4 ayat 2 jasa konstruksi
 Pajak penghasilan pasal 15
 Pajak penghasilan pasal 21
 PPh pasal 22
 Pajak penghasilan pasal 23
 Pajak penghasilan pasal 24
 Pajak penghasilan pasal 25/29
 Pajak penghasilan pasal 26

A. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 21


Definisi PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri.
1. Objek PPh Pasal 21
Objek pajak penghasilan pasal 21 di antaranya:
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik
berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima industri secara
teratur berupa uang industri atau penghasilan sejenisnya
 Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan
penghasilan sehubungan dengan industri yang diterima secara sekaligus
berupa uang pesangon, uang manfaat industri, tunjangan hari tua
 Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah industri atau upah yang
dibayarkan secara bulanan
 Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,
komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan
 Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan
nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
2. Subjek yang dikenakan PPh 21
Jenis PPh 21 ini dikenakan pada wajib orang pribadi yang menerima penghasilan
seperti penjelasan definisi PPh tersebut.
Kategori subjek yang dikenakan PPh 21 ini seperti pegawai, bukan pegawai,
penerima pensiun maupun pesangon, anggota dewan komisaris, mantan pekerja
dan peserta kegiatan.
3. Subjek Pemotong PPh 21
Namun jenis PPh yang dibebankan atau dikenakan wajib pajak orang pribadi
tersebut tidak dibayarkan sendiri oleh yang bersangkutan.
Akan tetapi jenis PPh 21 ini dipotong atau dipungut oleh perusahan/pemberi kerja
melalui pemotongan pajak PPh Pasal 21.
Pihak pemotong/perusahaan/pemberi kerja kemudian menyetorkan atau
membayarkan PPh 21 yang dipotong dari wajib pajak orang pribadi yang
memperoleh penghasilan kena pajak tersebut ke kas negara.
Berikutnya, sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 21, akan memperoleh bukti
pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak yang memotong penghasilan tersebut.

Apa itu PPh Pasal 26 ayat 4


Merujuk UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, PPh Pasal 26 ayat 4
adalah penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
Artinya, jika penghasilan yang sudah dikurangi pajak yang diperoleh BUT itu
ditanamkan kembali di Indonesia, maka tidak akan dikenakan PPh26.
Apabila penghasilan kena pajak yang sudah dikurangi pajak tersebut tidak
diinvestasikan kembali di Indonesia, maka akan dikenakan PPh Pasal 26 ayat 4.
Singkatnya, PPh Pasal 26 ayat 4 merupakan pajak yang dikenakan pada BUT yang
tidak menanamkan kembali penghasilan yang diperolehnya di Indonesia.
Perlu diperhatikan, dari beberapa jenis pajak penghasilan yang ada, tidak
semuanya dapat dikelola melalui satu platform pajak online.
Maksudnya, beberapa jenis PPh tersebut hanya dapat dikelola pada dua platform
yakni e-Filing dan e-Bupot Unifikasi.
1. Jenis PPh yang dikelola melalui e-Filing
Seperti diketahui, wajib pajak pemungut/pemotong PPh Pasal 21 wajib membuat
bukti potong, menyetorkan dan melaporkan SPT Masa PPh 21.
Pelaporan SPT Masa PPh 21 tersebut dilakukan melalui aplikasi e-Filing.
2. Jenis PPh yang dikelola melalui e-Bupot Unifikasi
Sedangkan aplikasi eBupot Unifikasi digunakan untuk membuat bukti potong dan
melaporkan SPT Masa PPh Unifikasi beberapa jenis PPh, yakni:
 PPh Pasal 4 ayat 2
 PPh Pasal 15
 PPh Pasal 22
 PPh Pasal 23
 PPh Pasal 26

9. PPh Final Pasal 4 Ayat 2


Kewajiban pajak penghasilan PPh pasal 4 ayat 2 sewa bangunan atau yang lainnya
berapa persen? Pelajari selengkapnya pengertian, tarif, penggunaan PPh Pasal 4
ayat 2 dan cara pelaporan PPh Final 4 ayat 2 terbaru bagi perusahaan.
Mekari Klikpajak akan memberikan update tarif, objek pajak, peraturan PPh final
pasal 4 ayat 2 terbaru dan contoh soal.
Aturan PPh Pasal 4 ayat 2 cukup kompleks mengatur pajak penghasilan, yang
dikenakan pada Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP)
untuk beberapa jenis penghasilan yang WP tersebut peroleh.
Selain itu, ketentuan yang dibuat juga sangat penting untuk dipahami. Sebab ada
beberapa penghasilan yang dikenakan pada jenis Pajak Penghasilan 4 ayat 2 ini.
Bukan hanya itu, tarif PPh Final serta cara perhitungannya pun berbeda
sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
Indonesia.
Pemotongan pajak penghasilan PPh tersebut bersifat final yang artinya,
pemotongan pajaknya hanya sekali dalam satu masa pajak atau pada saat
transaksi.
Mengapa pemotongan PPh 4 ayat 2 bersifat final, dan besarnya berapa persen?
Karena pertimbangannya adalah kemudahan, kesederhanaan, kepastian,
pengenaan pajak yang tepat waktu dan pertimbangan lainnya.
Perlu dipahami, tarif PPh Final terbaru ini juga berbeda-beda untuk setiap jenis
penghasilan.
Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 Terbaru Berapa Persen?
Tarif Pajak Penghasilan Pasal PPh 4 ayat 2 yang dikenakan kepada WP badan dan
WP OP berapa persen akan merujuk pada sumber-sumber penghasilan yang
diterima.
Mengenai hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Berikut ini macam-macam objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 dengan tarifnya
masing-masing yang telah diatur pemerintah:
1. Bunga deposito / tabungan, diskonto SBI dan jasa giro
Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 untuk objek pajak bunga deposito/tabungan, diskonto SBI
dan jasa giro (kecuali yang diterima bank, dana pensiun, tabungan kepemilikan
rumah RSS, tabungan atau deposito di bawah Rp7.000.000) sebesar 20%
Tarif ini merupakan bunga dari kewajiban. Penjelasan lebih rinci termaktub dalam
Pasal 4 (2) a UU PPh jo PP 131 Tahun 2000 jo KMK 51/2001 .
2. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi
Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi ( kecuali bunga di bawah Rp240.000 tidak dikenakan pajak ) kena PPh
Pasal 4 ayat 2 sebesar 10%.
Tarif ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 (2) a dan Pasal 17 (7) jo PP No. 15 tahun
2009.
3. Bunga obligasi (surat utang negara) dan SUN lebih dari 12 bulan
Ketentuan tarif ini sesuai Pasal 4 (2) a UU PPh jo PP No. 16 Tahun 2009.
Berikut rincian tarif pajaknya:
 15% : untuk bunga dari obligasi dengan kupon bagi wajib pajak dalam
negeri dan BUT (Badan Usaha Tetap)
 20% : untuk bunga dari obligasi dengan kupon bagi wajib pajak luar negeri
non BUT sesuai P3B
 15% : untuk diskonto dari obligasi dengan kupon bagi wajib pajak luar
negeri non BUT sesuai BUT (Penghasilan dari selisih harga jual atau nilai
nominal di atas harga perolehan obligasi)
 20% : untuk diskonto dari obligasi dengan kupon bagi wajib pajak luar
negeri non BUT sesuai P3B (Penghasilan dari selisih harga jual atau nilai
nominal di atas harga perolehan obligasi)
 15% : untuk diskonto dari obligasi tanpa bunga bagi wajib pajak dalam
negeri dan BUT (Dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga
perolehan obligasi)
 20% : untuk diskonto dari obligasi tanpa bunga bagi wajib pajak luar negeri
non BUT sesuai P3B (Dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas
harga perolehan obligasi)
 0% : untuk bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau
diperoleh wajib pajak reksa dana yang terdaftar pada Badan Pengawal Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan untuk tahun 2009 – 2010
 5% : untuk bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau
diperoleh wajib pajak
 15% : untuk bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau
diperoleh wajib pajak reksa dana yang terdaftar pada Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan untuk tahun 2014 dan seterusnya
4. Dividen yang diterima/diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam
negeri
Dividen yang diterima atau diperoleh WP Pribadi dalam negeri dikenakan tarif
pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 sebesar 10%.
Tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 dividen ini diatur dalam Pasal 17 (2c) dan
Pasal 4 (2) UU PPh.
5. Hadiah undian
Tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 pada hadiah, lotre atau undian
sebesar 25% seperti diatur dalam PP No. 132 Tahun 2000.
6. Transaksi derivatif berupa kontra berjangka yang diperdagangkan di
bursa
Tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 untuk transaksi derivatif berupa kontrak
berjangka panjang yang diperdagangkan di bursa sebesar 2,5% dari margin awal
sebagaimana telah diatur PP No. 17 Tahun 2009.
7. Transaksi penjualan saham pendiri
 0,5% : untuk transaksi penjualan saham pendiri, yang diatur dalam PP No.
14 Tahun 1997 jo KMK 282/KMK.04/1997 jo SE-15/PJ.42/1997 dan SE
06/PJ/14/1997.
 0,1% : untuk transaksi penjualan bukan saham pendiri
8. Persewaan atas tanah dan/atau bangunan
Tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 untuk persewaan atas tanah dan/atau
bangunan diatur dalam Pasal 4 (2) d UU PPh jo PP No. 71 Tahun 2008.
 10% x jumlah bruto (nilai persewaan): untuk sewa tanah / bangunan
9. Pengalihan hak atas tanah/bangunan dan RSS dan Rumah Susun
 5% : untuk wajib pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, termasuk usaha real estate ( kecuali pengalian oleh WP
Pribadi yang berpenghasilan di bawah PTKP dengan nilai pengalihan kurang
dari Rp60.000.000, penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, hibah,
warisan atau cara lain kepada pemerintah, untuk pelaksanaan pembangunan
dan kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
 1% x jumlah bruto (nilai pengalihan): untuk pengalihan rumah
sederhana dan rumah susun sederhana oleh wajib pajak yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
 0% : atas pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
atau kantor/ instansi pemerintah
 2,5% x jumlah bruto (nilai pengalihan): untuk lainnya
10. Transaksi penjualan saham
Tarif Pajak Penghasilan pasal 4 (2) untuk transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyerahan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura sebesar 0,1% sebagaimana diatur dalam PP No. 4
Tahun 1995.
Peraturan PPh Final Pasal 4 Ayat 2 Terbaru Jasa Konstruksi
Tarif lama PPh Pasal 4 ayat 2 jasa konstruksi diatur dalam Pasal 4 (2) c UU PPh jo
PP No. 51 Tahun 2008 jo PP No. 40 Tahun 2009.
 2% : untuk pelaksana jasa konstruksi kecil
 4% : untuk pelaksana jasa konstruksi tanpa sertifikasi
 3% : untuk pelaksana jasa konstruksi sedang dan besar
 4% : untuk perancang atau pengawal jasa konstruksi oleh penyedian jasa
konstruksi bersertifikasi usaha
 6% : untuk perancang atau pengawas jasa konstruksi oleh penyedia jasa
konstruksi bersertifikasi usaha
Sedangkan tarif PPh Pasal 4 ayat terbaru Jasa Kontruksi diatur
dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 2022 yang berlaku mulai 21
Februari 2022, adalah sebagai berikut:
 1,75% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN) : untuk pekerjaan
konstruksi, dilakukan oleh (kontraktor pelaksana) penyedia jasa yang
memiliki sertifikat badan usaha kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi
kerja usaha orang perseorangan
 4% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN) : untuk pekerjaan konstruksi,
dilakukan (kontraktor pelaksana) penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat
badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha perseorangan
 2,65% c nilai kontrak (tidak termasuk PPN) : untuk pekerjaan
konstruksi, dilakukan (kontraktor pelaksana) penyedia jasa selain penyedia
jasa sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b (Pekerjaan konstruksi
bersertifikat menengah dan besar)
 2,65% x nilai kontraka (tidak termasuk PPN) : untuk pekerjaan
konstruksi terintegrasi, dilakukan penyedia jasa yang memiliki sertifikat
badan usaha
 4% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk pekerjaan konstruksi
terintegrasi, dilakukan penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan
usaha
 3,5% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN) : untuk jasa konsultasi
konstruksi, dilakukan (kontraktor perencana/pengawas) penyedia jasa yang
memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha
orang perseorangan
 6% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk jasa konsultasi
konstruksi, dilakukan (kontraktor perencana/pengawas) penyedia jasa yang
tidak memiliki badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha
orang perseorangan
 Berikut ini contoh kasus untuk perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat
(2):
 Pemerintah DKI Jakarta bersiap melakukan pembangunan sebuah jembatan.
 Pemenang tender yang sudah diputuskan adalah PT AAA, yang juga
berfungsi sebagai pelaksana konstruksi.
 PT AAA merupakan perusahaan konstruksi yang mempunyai kualifikasi
dalam usaha kelas menengah.
 Sedangkan Bpk. Kelik adalah PKP yang bertindak sebagai perencana
konstruksi dan konsultan sipil yang mempunyai sertifikasi dalam
perencanaan konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil.
 Nilai kontrak proyek pembangunan jembatan ini sebesar Rp5.000.000.000
(tidak termasuk PPN).
 Pembayaran dilakukan secara bertahap berdasarkan kemajuan
pembangunan yang dilaporkan.
 Pada 31 Januari 2023, dilakukan pembayaran tahap I kepada PT AAA
sebesar Rp1.750.000.000.
 Pembayaran dilakukan dengan nomor Faktur Pajak 010.000-15.00000830
tertanggal 1 Desember 2022.
 Pembayaran tahap II dilakukan Bpk. Kelik pada 5 Juli 2023 sebesar
Rp65.000.000.
 Pembayaran dilakukan atas nomor seri Faktur Pajak 010.000-15.00000950
tertanggal 30 Juni 2023.
 Berdasarkan data di atas, maka kewajiban pajak yang harus dipenuhi
sebagai berikut:
 a. Pemotongan/Pemungutan PPh 4 (2)
 Bendahara Inspektorat Provinsi akan memotong PPh Pasal 4 Ayat 2 jasa
konstruksi, yaitu:
1. Pembayaran tahap I PT AAA dibayar pada 31 Januari 2023:

= Rp1.750.000.000 x 3% = Rp52.500.000
2. Pembayaran tahap II kepada Bpk. Kelik pada 5 Juli 2023:

= Rp65.000.000 x 4% = Rp2.600.000
 b. Pemungutan PPN
 Bendahara Inspektorat Provinsi akan mengambil Pajak Pertambahan Nilai
( PPN ) sebesar 11% atas transaksi jasa konstruksi seperti berikut:
1. Pembayaran tahap I oleh PT AAA dibayar pada 31 Januari 2022:

= Rp1.750.000.000 : 1,1 (DPP)

= Rp1.590.909.090,9 x 11% = Rp174.999.999,9

2. Pembayaran tahap II kepada Bpk. Kelik dibayar pada 5 Juli 2023:

= Rp65.000.000 : 1,1 (DPP)

= Rp59.090.909 x 11% = Rp6.499.999,9


10. PPh Pasal 15
Bicara PPh 15 adalah jenis pajak yang memang cukup asing di telinga dibanding
pajak lainnya seperti PPh 21. Wajar saja, mengingat jenis PPh Pasal 15 ini
memang hanya dikenakan pada wajib pajak tertentu dengan tarif dan perhitungan
tertentu pula. Seperti apa contoh perhitungan PPh Pasal 15 ini?
Dengan demikian, memahami dasar pengenaan PPh Pasal 15 diperlukan, sehingga
sebagai wajib pajak tertentu yang memiliki kewajiban perpajakan PPh 15 dapat
mengelolanya dengan baik dan benar.
Mengingat, wajib pajak yang bergerak di bidang tertentu tak jarang mengalami
kesulitan untuk menghitung berapa besar Penghasilan Kena Pajaknya.
Sehingga tata cara pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 ini ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dan Dierktur Jenderal Pajak sebagai peraturan pelaksana dari
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Apa saja peraturan pajak tentang PPh Pasal 15?
Regulai atau peraturan tentang PPh Pasal 15 berisi ketentuan mengenai pajak yang
digunakan sebagai dasar bagi WP untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan
kewajiban atas PPh 15 yang terutang.
Dasar hukum / peraturan / regulasi yang mengatur tentang PPh 15 adalah sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)
Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagai dasar hukum tentang pengenaan PPh
Pasal 15 bagi wajib pajak tertentu.
Berikut beberapa perubahan pengaturan terkait PPh Pasal 15 dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Awalnya, ketentuan pengenaan PPh Pasal 15 diatur dalam Pasal 15 UU No 7/1983
yang menyebutkan:
Menteri Keuangan dapat mengeluarkan keputusan untuk menetapkan Norma
Penghitungan Khusus guna menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak
tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan Pasal 16.
Berikut bunyi Pasal 16 UU No 7 Tahun 1983 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ini:
(1) Penghasilan kena pajak, sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam
negeri dalam suatu tahun pajak, dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dengan pengurangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf b,
huruf c, dan huruf d.
(2) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dihitung dengan menggunakana Norma
Penghitungan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(3) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak luar negeri adalah jumlah penghasilan
bruto yang diterima atau diperoleh.
Artinya, wajib pajak yang memenuhi kriteria dalam PPh Pasal 15 dikenakan pajak
penghasilan dengan perhitungan tersendiri yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
sebagai peraturan pelaksana UU PPh.
2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU No 7
Tahun 1983 tentang PPh Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No 7
Tahun 1991
Dalam Pasal 15 UU No. 10 Tahun 1994 disebutkan:
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak
tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau
ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.
Artinya, beleid ini menegaskan bahwa Menteri Keuangan akan menetapkan kembali
pengenaan PPh Pasal 15 bagi wajib pajak tertentu.
3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh
Dalam UU No 36/2008 ini, yang memenuhi kriteria dalam UU PPh Pasal 15
merupakan objek pajak.
Jadi, objek pajak yang sesuai dengan UU PPh 15 adalah tidak termasuk yang
dikecualikan sebagai objek pajak.
Seperti diketahui, dalam Pasal 4 ayat (3) UU No 36/2008 disebutkan ada beberapa
yang dikecualikan dari objek pajak, salah satunya adalah objek pajak yang
memenuhi kriteria UU PPh Pasal 15.
Hal ini tertuang dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d UU No 36 Tahun 2008 yang
berbunyi:
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (demeed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
b. Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
Keputusan Menteri Keuangan atau KMK adalah sebagai peraturan pelaksana dari
ketentuan yang sudah diundangkan dalam UU PPh.
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang mengetaur tentang PPh 15 beberapa kali
diterbitkan dan diubah seperti berikut:
 Keputusan Menteri Keuangan No. 982/KMK.04/1983 (sudah tidak
berlaku)
 KMK No. 433/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Kena Pajak atas Penghasilan dari Pekerjaan yang Diterima
Tenaga Asing yang Bekerja pada WP Badan di Bidang Pengeboran Minyak
dan Gas Bumi di Indonesia
 KMK No. 632/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto bagi WP Luar Negeri yang Bergerak di Bidang Usaha
Pelayaran atau Penerbangan dalam Jalur Internasional (sudah tidak
berlaku)
 KMK No. 634/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto bagi WP Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan
Dagang di Indonesia (masih berlaku)
 KMK No. 181/KMK.04/1995 tentang Norma Perhitungan Khusus
Penghasilan Neto bagi WP yang Bergerak di Bidang Usaha Pelayaran atau
Penerbangan (sudah tidak berlaku)
 KMK No. 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan PPh Terhadap Pihak-
Pihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna
Serah (Built Operate and Transfer) atau BOT.
 KMK No. 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto bagi WP Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (sudah
tidak berlaku)
 KMK No. 417/KMK.04/1996 tetang Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto bagi WP Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan
Luar Negeri (sudah tidak berlaku)
 KMK No. 475/KMK.04/1996 tetang Norma Perhitungan Penghasilan Neto
bagi WP Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri (masih berlaku)
 KMK No. 543/KMK.03/2001 tentang Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto dan Cara Pembayaran Pajak Penghasilan bagi WP yang
Melakukan Kegiatan Usaha Jasa Maklon (Contract Manufacturing)
Internasional di Bidang Produksi Mainan Anak-Anak.
Masih berlakunya beberapa KMK tersebut seiring diterbitkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.03/2018 tentang Pencabutan Keputusan Menteri
Keuangan dan Peraturan Menteri Keuangan di Bidang Pajak Penghasilan.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 15
Untuk lebih mendalami pemahaman mengenai UU Pajak Penghasilan dan tarif PPh
15, berikut contoh soal perhitungannya.
a. Contoh Perhitungan PPh Pasal 15 untuk Perusahaan Pelayaran Dalam
Negeri (1)
PT AAA adalah perusahaan pelayaran dalam negeri yang bergerak dalam jasa
penyewaan kapal. Tanggal 10 Januari 2020, perusahaan ini melakukan kontrak
dengan PT BBB untuk mengangkut bahan baku pembuatan kertas dari Lampung –
Banten. Nilai yang tertera dalam kontrak adalah sebesar Rp100.000.000 dan telah
dibayar pada 30 Januari 2020.
Pada Maret 2020 PT AAA menandatangani kontrak dengan PT CCC berupa
persewaan kapal untuk mengangkut minyak. Nilai sewa yang disepakati adalah
Rp300.000.000 dan telah dibayar pada tanggal 20 Maret 2020.
Bagaimana perhitungan Pajak Penghasilan menurut UU Pajak
Penghasilan Pasal 15?
1. Atas penghasilan PT AAA dari PT BBB terutang PPh sebesar 1,2% dari
peredaran bruto.
PPh Pasal 15 = 1,2% x Rp100.000.000 = Rp1.200.000
2. Penghasilan PT AAA dari PT CCC tidak termasuk dalam UU Pajak Penghasilan
Pasal 15 karena termasuk dalam pengertian sewa.
Oleh karena itu termasuk dalam pajak penghasilan Pasal 23 terbaru sebesar 2%
dan dipotong oleh PT CCC.
PPh Pasal 23 = 2% x Rp300.000.000 = Rp6.000.000
Kewajiban PT BBB sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 15 adalah:
 Memotong PPh Pasal 15 atas pembayaran jasa pengangkutan bahan baku
kertas sebesar Rp1.200.000. Serta memberikan bukti potong kepada PT
AAA.
 Menyetor Pajak Penghasilan yang sudah dipotong ke kas negara melalui
Kantor Pos atau bank yang sudah ditunjuk Kementerian Keuangan paling
lama 15 Februari 2020.
 Menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Januari 2020 paling lama
25 Februari 2020.
b. Contoh Perhitungan PPh Pasal 15 untuk Perusahaan Pelayaran Dalam
Negeri (2)
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 15 atas penghasilan sewa kapal milik
perusahaan dalam negeri:
PT BBB membayar atas sewa kapal kepada PT CCC sebesar Rp 50 juta
Penghasilan sewa kapal = Rp 50 juta
Tarif PPh pasal 15 = 1,2%
PPh yang harus dipotong sama dengan Rp 50 juta × 1,2% = Rp600.000

Anda mungkin juga menyukai