Anda di halaman 1dari 4

Branch Profit Tax

Branch Profit Tax adalah pajak yang dikenakan pada keuntungan yang diperoleh oleh
perusahaan atau korporasi asing melalui cabang atau perwakilan tetapnya di negara lain. Ini
merupakan bentuk pajak perusahaan yang dikenakan oleh negara tuan rumah atas keuntungan
yang dihasilkan oleh cabang atau anak perusahaan perusahaan asing. Branch Profit Tax di
Indonesia menurut Pasal 1 ayat (1) PMK-14/PMK.03/2011 yaitu Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia.
Tujuan dari Branch Profit Tax adalah untuk memastikan bahwa negara tuan rumah
menerima bagian yang adil dari pendapatan pajak dari keuntungan yang diperoleh oleh
perusahaan asing di wilayahnya. Hal ini dirancang untuk mencegah pergeseran keuntungan dan
memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak atas keuntungan yang mereka
hasilkan di negara tempat mereka beroperasi.
Peraturan dan tarif Branch Profit Tax spesifik bervariasi dari negara ke negara. Beberapa
negara mungkin memiliki tarif pajak terpisah untuk keuntungan cabang, sementara yang lain
mungkin menerapkan tarif pajak perusahaan yang sama baik untuk perusahaan domestik maupun
asing. Beberapa negara juga memiliki perjanjian pajak untuk menghindari pemajakan ganda dan
memberikan keringanan kepada perusahaan asing yang beroperasi melalui cabang.
Tarif branch profit tax Indonesia sendiri sudah diatur dalam dalam Pasal 26 Ayat 4
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% tarif
sebagaimana ditentukan dalam P3B antara Indonesia dengan negara domisili kantor pusat BUT,
kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia (Pasal 5
PMK-14/PMK.03/2011). Tarif ini berlaku untuk perusahaan tetap atau BUT yang berasal dari
negara mitra non-perjanjian. Selain itu, jika BUT berasal dari negara mitra P3B, tarif BPT
dikenakan sesuai dengan perjanjian pajak berganda (P3B) dengan negara tersebut.
Pengecualian pengenaan PPh pasal 26 ayat 4 atas Branch Profit tax, yaitu apabila Seluruh
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi PPh dari suatu BUT ditanamkan kembali di Indonesia
dalam bentuk (Pasal 1 ayat (3) PMK-14/PMK.03/2011) :
1. Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri;
2. Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pemegang saham;
3. Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau
melakukan kegiatan BUT di Indonesia;atau
4. Inventasi berupa aktiva tidak berwujud oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau
melakukan kegiatan BUT di Indonesia.
Perlakuan pajak bagi BUT di Indonesia
Di Indonesia, Badan Usaha Tetap (BUT) merupakan jenis entitas yang dikenakan pajak di negara
ini. Perlakuan pajak bagi BUT diatur berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)
dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Berikut adalah perlakuan pajak yang umumnya diberikan kepada BUT di Indonesia:
1. Pajak Penghasilan (PPh) Badan, BUT diwajibkan untuk membayar PPh Badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usahanya di Indonesia. Tarif PPh
Badan saat ini adalah 22% dari penghasilan bruto.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), BUT yang melakukan kegiatan usaha tertentu seperti
jasa atau penjualan barang, dapat dikenai PPN. Tarif PPN saat ini adalah 10% dari nilai
transaksi.
3. Pajak Penghasilan Pasal 26, Jika BUT melakukan pembayaran kepada pihak luar negeri
seperti royalti, bunga, atau jasa teknik, dikenakan pajak penghasilan pasal 26 sebesar
20% dari jumlah bruto pembayaran.
4. Pajak Dividen, Jika BUT membagikan dividen kepada pemegang saham, penerima
dividen dapat dikenakan pajak penghasilan final sebesar 10% dari jumlah dividen yang
diterima.
5. Pajak Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
(PBBKB), Jika BUT memiliki kendaraan bermotor, wajib membayar PKB dan PBBKB
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Pajak atas Bahan Bakar Minyak (PBBM), Jika BUT menggunakan bahan bakar minyak,
dikenakan PBBM sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Objek pajak BUT
Penghasilan BUT yang menjadi objek pajak PPh dapat dikelompokkan menjadi tiga (Pasal 5 ayat
1 UU PPh), sebagai berikut:
1. penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
(factual attribution)
2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di
Indonesia (force of attraction);
3. penghasilan yang menjadi Objek PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected income).
Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan c boleh dikurangkan dari penghasilan BUT.
Yang dimaksud dengan poin pertama, factual attribution adalah penghasilan atas usaha yang
dihasilkan di Indonesia yang didalamnya meliputi penghasilan BUT dari modal yang ditanam
di Indonesia atau tidak terbatas. penghasilan yang diperoleh dari deviden, bunga, dan sewa
atas harta yang ada di Indonesia juga merupakan objek pajak penghasilan BUT.. Poin kedua,
force of attraction adalah penerapan penghasilan kantor pusat di luar negeri tetapi
penghasilan tersebut sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di
Indonesia. Poin terakhir, effectively connected income kantor pusat menerima penghasilan
yang berhubungan efektif dengan kegiatan BUT yang ada di Indonesia.
Pada poin kedua dan ketiga menerapkan prinsip force of attraction principle. Prinsip ini
diterapkan untuk menghindari usaha penghindaran pajak atau pengecilan pajak oleh BUT,
yaitu dengan memindahkan sebagian atau seluruh penghasilannya menjadi penghasilan
kantor pusatnya. Dengan cara penggeseran penghasilan ini, maka penghasilan kantor pusat
bertambah besar, tetapi penghasilan BUT menjadi lebih kecil atau tidak ada sama sekali.
Sementara itu, atas penghasilan kantor pusat, apabila bukan merupakan objek PPh Pasal 26,
maka akan bebas dari pengenaan pajak di Indonesia. Apabila merupakan objek PPh Pasal 26,
maka hanya akan dikenakan pajak yang tarifnya tidak lebih dari 20% dan sifatnya final
sehingga akhirnya pajak yang dibayar atau terutang di Indonesia menjadi lebih kecil
dibandingkan dengan apabila atas penghasilan tersebut dikenakan tarif umum yang masih
ditambah dengan PPh Pasal 26 ayat 4, yaitu pajak atas penghasilan sesudah pajak bagi BUT.

Sumber referensi:
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Tata Cara Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Bunga, Royalti, dan Jasa Teknik yang
Diterima dari dalam Negeri oleh Pengusaha dari Luar Negeri.
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Sumber referensi:
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Tata Cara Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Bunga, Royalti, dan Jasa Teknik yang
Diterima dari dalam Negeri oleh Pengusaha dari Luar Negeri
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2011 tentang Tata Cara Pemungutan
Pajak Penghasilan Final atas Dividen
Branch Profit Tax: PPh 26 atas Laba Neto BUT - Pajak.io
Peraturan Pajak BUT [Bentuk Usaha Tetap] | Thinktax

Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) - Blog Pajak dan Bisnis (rikiasp.id)

Anda mungkin juga menyukai