Anda di halaman 1dari 9

RMK MANAJEMEN PERPAJAKAN

“Tax Planning PPh Pasal 21”

DISUSUN OLEH :

Annisa Fitriah Mudassir

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
A. Pengertian PPh Pasal 21

PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

PPh pasal 21 diberlakukan kepada WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri
(SPDN), apabila penerima penghasilan adalah orang pribadi dengan status sebagai
Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) selain BUT (Badan Usaha Tetap), maka akan dikenai
PPh 26.

Berikut merupakan dasar hukum pengenaan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku tahun
2009:

1. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

2. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (PPh).

3. PMK No. 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiun.

4. PMK No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak


atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi.

5. PMK No. 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan


Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan, serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak
Penghasilan

6. PER-Dijen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara


Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi, yang kemudian direvisi dengan PER-Dirjen Pajak
Nomor: 57/PJ/2009.

7. PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman teknis Tata Cara


Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi.

B. Pemotong PPh Pasal 21

Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Per-Dirjen Pajak No. PER-
31/PJ./2012 meliputi :

1. Pemberi kerja yang terdiri dari:

a. Orang pribadi atau badan

b. Cabang perwakilan

2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah

3. Dana pension badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pension dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua.

4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

5. Penyelenggara kegiatan.

C. Subjek Pemotongan PPh Pasal 21


Subjek Pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26, atau disebut Subjek
Pemotongan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa atau kegiatan.

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai
Per-Dirjen Pajak No. PER-31/PJ./2012 adalah orang pribadi yang merupakan :

1. Pegawai

2. Penerima uang pesangon pension atau uang manfaat pension, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.

3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan


dengan pekerjaan jasa.

4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap pada perusahaan yang sama.

5. Mantan pegawai

6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan


dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.

D. Objek PPh Pasal 21

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah sebagai
berikut :

1. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Per-
Dirjen Pajak No. PER-31/PJ./2012

2. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh:

a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,


b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).

3. Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh dalam mata uang asing
penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar
(Kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat
pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.

4. Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa


penerimaan dalam bentuk antara dan/atau kenikmatan lainnya didasarkan pada
harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian natura
dan/atau kenikmatan yang diberikan.

E. Non Objek PPh Pasal 21

Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
sesuai Per-Dirjen pajak No. PER-31/PJ./2012 adalah :

1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi


kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan asuransi beasiswa.

2. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind), kecuali


natura atau kenikmatan yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, atau diberikan
oleh WP yang dikenakan PPh final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma
Penghitungan Khusus (deemed profit).

3. Iuran pension yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, dan iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara jamsostek yang dibayar yang dibayar oleh pemberi kerja.

4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

5. Beasiswa.

6. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi pekerja.

F. Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21

Dasar Pengenaan Pajak (DPP):

a. Penghasilan Kena Pajak berlaku bagi:

1. Pegawai Tetap

Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – Biaya Jabatan – PTKP

2. Penerima Pensiun Berkala

Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – Biaya Pensiun – PTKP

3. Pegawai Tidak Tetap

Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – PTKP

4. Bukan Pegawai, meliputi:

- Distributor MLM atau direct selling

- Petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus pegawai

- Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai

- Penerima penghasilan bukan pegawai

Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – PTKP yang dihitung bulanan


G. Pengurang Yang Diperbolehkan

a. Biaya Jabatan

Pengurangan ini diperbolehkan tanpa memandang apakah yang bersangkutan


memiliki jabatan atau tidak.

b. Biaya Pensiun

Hanya boleh dikurangkan dari penghasilan bruto seorang pensiunan yangberupa uang
pensiun yang dibayarkan secara berkala (bulanan) karena dianggap sebagai biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiunan.

c. Iuran yang terkait dengan gaji

Yaitu iuran yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan.

d. Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam penghitungan PPh Pasal 21


merupakan batasan penghasilan yang tidak dikenai pajak bagi orang pribadi
yang berstatus sebagai pegawai, baik pegawai tetap, termasuk pensiunan;
pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai; termasuk juga pegawai harian
lepas, dan distributor multilevel marketing atau direct selling maupun kegiatan
sejenisnya, dengan ketentuan yang berbeda-beda.

H. Tarif Pajak

1. Tarif Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009:
2. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon
sesuai Per-Menkeu No. 16/PMK.03/2010 ditentukan sebagai berikut:

 Sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000;

 Sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000 sampai


dengan Rp 100.000.000;

 Sebesar 15% atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000 sampai


dengan Rp 500.000.000;

 Sebear 25% atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000

2. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Manfaat


Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Jaminan Hari tua ditentukan sebagai berikut:

 Sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000;

 Sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000

 Honorarium dan imalan lain, dengan nama apa pun yang diterima oleh
Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/Polri, yang sumber dananya berasal
dari keuangan negara atau keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan
kepada PNS golongan II d ke bawah dan anggota TNI/Polri berpangkat
Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke
bawah.

Penghitungannya dilakukan dengan menerapkan tarif 15% x penghasilan bruto.


I. Rekonsiliasi Objek PPh Pasal 21

Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh objek PPh Pasal 21 telah dipotong
pajaknya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan, baik yang berasal
dari akun neraca maupun akun biaya. Rekonsiliasi ini sangat berguna dalam rangka
pelaksanaan pengendaian dan pembuktian bahwa seluruh objek pajak ketika diperiksa
oleh petugas pajak nantinya.

Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum,


yaitu taxability-deductiblity. Jika bagi karyawan merupakan taxable income (penghasilan
yangmenjadi objek PPh), di perusahaan menjadi deductible expense (biaya), dan
sebaliknya jika bagi karyawan merupakan non taxable income (penghasilan yang bukan
objek PPh), maka di perusahaan menjadi non deductible expense (bukan biaya).

J. Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21

Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing Deductions) :

Prinsip Taxability Deductbility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos-pos yang
dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak
penghasilan) dan pos-pos yang dapat/tidak dapat dibayarkan (pengurang penghasilan
bruto), yang mekanismenya: jika pada pihak pemberi kerja pemberian
imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), maka pada
pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya jika pada
pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan
penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang
penghasilan bruto).

Anda mungkin juga menyukai