Anda di halaman 1dari 15

Tax Planning PPH

Pasal 21/26
Oleh kelompok 2
1. Blesontruses Boymau
2. Susan Susanti Atalanta Koro
3. Kresensia Aprinia Kehi
4. Maria Junira Fahik
5. Thomas Richardson Freitas Asa
6. Selfiana Pello
7. Emiliana Vianasti Charmanita Haekase
8. Anastasio Verdial
PPh Pasal 21/26
PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain, dengan nama dan dalam bentuk apa pun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

PPh pasal 21 diberlakukan kepada WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri
(SPDN), apabila penerima penghasilan adalah orang pribadi dengan status
sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) selain BUT (Badan Usaha Tetap), maka
akan dikenai PPh 26.
PPh Pasal 21/26
Berikut merupakan dasar hukum pengenaan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku tahun 2009:

• UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
• UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh).
• PMK No. 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiun.
• PMK No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
• PMK No. 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan
Dari Pegawai Harian dan Mingguan, serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan
• PER-Dijen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yang kemudian direvisi dengan PER-Dirjen Pajak Nomor:
57/PJ/2009.
• PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Pemotong PPh Pasal 21
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Per-Dirjen
Pajak No. PER-31/PJ./2012 meliputi:
• Pemberi kerja yang terdiri dari:
a. Orang pribadi atau badan
b. Cabang perwakilan
• Bendahara atau pemegang kas pemerintah
• Dana pension badan penyelenggara jaminan social tenaga
kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pension dan
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
• Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas
• Penyelenggara kegiatan.
Subjek Pemotongan PPh Pasal 21/26

Subjek Pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26, atau disebut Subjek Pemotongan
adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jabatan, jasa atau legiatan.

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Per-
Dirjen Pajak No. PER-31/PJ./2012 adalah orang pribadi yang merupakan:
1. Pegawai
2. Penerima uang pesangon pension atau uang manfaat pension, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan jasa.
4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai
tetap pada perusahaan yang sama.
5. Mantan pegawai
6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.
Objek PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah sebagai
berikut:
• Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Per-
Dirjen Pajak No. PER-31/PJ./2012
• Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk
pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
• Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh dalam mata uang asing
penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar
(Kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat
pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
• Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa
penerimaan dalam bentuk antara dan/atau kenikmatan lainnya didasarkan
pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian
natura dan/atau kenikmatan yang diberikan.
Non Objek PPh Pasal 21
Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
sesuai Per-Dirjen pajak No. PER-31/PJ./2012 adalah:
• Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan asuransi beasiswa.
• Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind), kecuali
natura atau kenikmatan yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, atau diberikan
oleh WP yang dikenakan PPh final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma
Penghitungan Khusus (deemed profit).
• Iuran pension yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, dan iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara jamsostek yang dibayar yang dibayar oleh pemberi kerja.
• Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
• Beasiswa.
• Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi pekerja.
Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21

7.1. Dasar Pengenaan Pajak (DPP):


a. Penghasilan Kena Pajak berlaku bagi:
1. Pegawai Tetap
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – Biaya Jabatan – PTKP

2. Penerima Pensiun Belaka


Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – Biaya Pensiun – PTKP

3. Pegawai Tidak Tetap


Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – PTKP
Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21

4. Bukan Pegawai, meliputi:


- Distributor MLM atau direct selling
- Petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus pegawai
- Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai
- Penerima penghasilan bukan pegawai

Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – PTKP yang dihitung bulanan


7.2. Pengurangan yang Diperbolehkan
a. Biaya Jabatan
Pengurangan ini diperbolehkan tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki
jabatan atau tidak.

b. Biaya Pensiun
Hanya boleh dikurangkan dari penghasilan bruto seorang pensiunan yangberupa uang
pensiun yang dibayarkan secara berkala (bulanan) karena dianggap sebagai biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiunan.

c. Iuran yang terkait dengan gaji


Yaitu iuran yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari
tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
 
d. Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam penghitungan PPh Pasal 21 merupakan
batasan penghasilan yang tidak dikenai pajak bagi orang pribadi yang berstatus sebagai
pegawai, baik pegawai tetap, termasuk pensiunan; pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon
pegawai; termasuk juga pegawai harian lepas, dan distributor multilevel marketing atau direct selling
maupun kegiatan sejenisnya, dengan ketentuan yang berbeda-beda.
Tarif Pajak

1. Tarif Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009:

Lapisan Penghasilan Kena Tarif Tarif Non NPWP


Pajak Pajak
→ sampai dengan Rp    
50.000.000
5% 120% x 5% = 6%
→ di atas Rp 50.000.000 s/d    
Rp 250..000.0000
15% 120% x 15% = 18%
→ di atas Rp 250.000.000    
s/d Rp 500.000.000
25% 120% x 25% = 30%
→ di atas Rp 500.000.000    
30% 120% x 30% = 36%
2. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon sesuai
Per-Menkeu No. 16/PMK.03/2010 ditentukan sebagai berikut:
• Sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000;
• Sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp
100.000.000;
• Sebesar 15% atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000 sampai dengan Rp
500.000.000;
• Sebear 25% atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000

3. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, Jaminan Hari tua ditentukan sebagai berikut:
• Sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000;
• Sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000
• Honorarium dan imalan lain, dengan nama apa pun yang diterima oleh Pejabat
Negara, PNS, anggota TNI/Polri, yang sumber dananya berasal dari keuangan
negara atau keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan kepada PNS golongan II d
ke bawah dan anggota TNI/Polri berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah
atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.

Penghitungannya dilakukan dengan menerapkan tarif 15% x penghasilan bruto.


Rekonsilasi Objek PPh Pasal 21
Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh objek PPh Pasal 21
telah dipotong pajaknya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara data
laporan keuangan, baik yang berasal dari akun neraca maupun
akun biaya. Rekonsiliasi ini sangat berguna dalam rangka
pelaksanaan pengendaian dan pembuktian bahwa seluruh objek
pajak ketika diperiksa oleh petugas pajak nantinya.
Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku
prinsip umum, yaitu taxability-deductiblity. Jika bagi karyawan
merupakan taxable income (penghasilan yangmenjadi objek PPh),
di perusahaan menjadi deductible expense (biaya), dan sebaliknya
jika bagi karyawan merupakan non taxable income (penghasilan
yang bukan objek PPh), maka di perusahaan menjadi non
deductible expense (bukan biaya).
Taxability dan Deductibility Objek PPh
Pasal 21
• Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing
Deductions)
Prinsip Taxability Deductbility adalah prinsip yang menjelaskan
tentang pos-pos yang dapat/tidak dapat dikenai pajak
penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan
pos-pos yang dapat/tidak dapat dibayarkan (pengurang
penghasilan bruto), yang mekanismenya: jika pada pihak pemberi
kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan
(pengurang penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan
merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya jika
pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut
bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja
tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).
Terimakasih 

Anda mungkin juga menyukai