Anda di halaman 1dari 7

RANGKUMAN MATA KULIAH (RMK)

MATA KULIAH : PERENCANAAN PAJAK (REGULER)


PERTEMUAN 11
“PERENCANAAN PAJAK PPH 21/26”

Disusun oleh:
1. Dhimas Ilham Agus Santoso F0318037
2. Lanang Galih Prasetyo F0318071
3. Yustia ‘aini Salsabila F0318116

A. REVIEW PPh PASAL 21


PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa
gaji,upah,honorarium,tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,jasa dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi.Subjek pajak dalam negeri,sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
B. REVIEW PPh 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
(WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap
merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek
pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah
Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
C. Pemotong PPh Pasal 21/26
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Per-Dirjen Pajak No.
PER-31/PJ./2012 meliputi:
1. Pemberi kerja yang terdiri dari:
a. Orang pribadi atau badan
b. Cabang perwakilan
2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah

1
3. Dana pensiun badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua.
4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
5. Penyelenggara kegiatan.
D. Subjek Potongan PPh Pasal 21/26
Subjek pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26, atau disebut subjek
pemotongan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa atau kegitan, yang meliputi:
1. Pegawai;
2. Penerima uang pesangon, pensuin atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.
E. Dasar hukum pengenaan PPh Pasal 21
Berikut merupakan dasar hukum pengenaan PPh Pasal 21/26 yang mulai
berlaku tahun 2009:
1. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
2. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
3. PMK No. 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya
Pensiun yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau
Pensiun.
4. PMK No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak
atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi.
5. PMK No. 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan bagian penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai harian dan mingguan, serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak dikenakan Pemotongan Pajak
Penghasilan

2
6. PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi, yang kemudian direvisi dengan PER-Dirjen Pajak
Nomor: 57/PJ/2009.
7. PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi.
F. Objek PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26, adalah:
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; penghasilan yang
diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun
atau penghasilan sejenisnya;
2. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan
pembayaran lein sejenis;
3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan
secara bulanan;
4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,
dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan
sehubungan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah, atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, dan imbalan sejenis dengan nama apa pun;
6. Penerimaan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh:
a. bukan Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
(deemed tax); atau

3
c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).

G. Non Objek PPh Pasal 21/26


Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal
21 sesuai Per-Dirjen pajak No. PER-31/PJ./2012 adalah:
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan asuransi beasiswa.
2. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind), kecuali
natura atau kenikmatan yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, atau diberikan
oleh WP yang dikenakan PPh final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma
Penghitungan Khusus (deemed profit).
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, dan iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
5. Beasiswa.
6. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi pekerja.
H. Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21
Dilihat dari siapa yang menenggung beban, maka kebijakan atau metode
pemotongan PPh Pasal 21 dapat dipilih oleh Wajib Pajak, adalah:
1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)
Metode ini lazimnya disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh
Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri, sehingga
benar-benar mengurangi penghasilan. Istilah yang sering digunakan adalah
bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh perusahaan.
2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)
Metode ini lazimnya disebut Metode Net. Dalam hal ini, jumlah PPh
Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan.
Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi

4
dengan PPh Pasal 21 karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban
PPh Pasal 21. Perhitungan PPh Pasal 21 tersebut dilakukan dengan cara gross
up. PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, karena tidak termasuk sebagai
faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.
3. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjangi)
Metode ini lazim disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21
diberikan dalam bentuk tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan
menambah beban penghasilan keryawan dan dikenai PPh Pasal 21. Dalam hal
ini perhitungan PPh dilakukan dengan cara gross up di mana besarnya
tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk masing-
masing karyawan.
Sepintas lalu kebijakan PPh Pasal 21 jenis ini terlihat memberatkan
perusahaan, karena penghasilan karyawan akan bertambah besar sebagai
akibat dari penambahan tunjangan pajak. Namun beban perusahaan tersebut
akan tereleminasi, karena PPh Pasal 21-nya dapat dibiayakan.
Di samping memberi tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama
dengan PPh terutang untuk masing-masing karyawan (metode gross up),
perusahaan juga bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya
berbeda dengan PPh terutang.
Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada
tunjangan PPh Pasal 21, maka kekurangannya bisa ditanggung karyawan
(dipotong) atau ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya ditanggung oleh
perusahaan, maka perlakuan perpajakannya menjadi non deductible expenses.
I. Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21
Dasar Pengenaan Pajak (DPP):
1. Penghasilan Kena Pajak berlaku bagi:
a. Pegawai Tetap
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto - Biaya Jabatan – PTKP
b. Penerima Pensiun Berkala
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto - Biaya Pensiun – PTKP
c. Pegawai Tidak Tetap
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – PTKP
d. Bukan Pegawai, meliputi:

5
1) Distributor MLM atau direct selling
2) Petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus pegawai
3) Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai
4) Penerima penghasilan bukan pegawai
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – PTKP yang dihitung
bulanan
J. Besaran PTKP Untuk Tahun Pajak 2016
Berdasarkan Peraturan Dirjen pajak No : PER-16/PJ/2016 PMK
No.101/PMK.010/2016 dan N0.102/PMK.010/2016
Penerima PTKP Setahun Sebulan

Untuk pegawai yang bersangkutan 54.000.000 4.500.000


(Wajib Pajak)
Tambahan untuk pegawai yang kawin 4.500.000 375.000

Tambahan untuk setiap anggota 4.500.000 375.000


keluarga sedarah dan semenda dalam
garis keturunan lurus, serta anak
angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya (max 3 orang)

K. Tarif Pajak
1. Tarif Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Tarif Non NPWP (mulai berlaku 1
Januari 2009 berdasarkan Pasal 21 Ayat
5A UU PPh 2 008)
→ sampai dengan Rp 50.000.000 5% 120% x 5% = 6%
→ di atas Rp 50.000.000 s/d Rp 15% 120% x 15% = 18%
250..000.0000
→ di atas Rp 250.000.000 s/d Rp 25% 120% x 25% = 30%
500.000.000
→ di atas Rp 500.000.000 30% 120% x 30% = 36%

2. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon


sesuai Per-Menkeu No. 16/PMK.03/2010 ditentukan sebagai berikut:

6
a. Sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000;
b. Sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000 sampai
dengan Rp 100.000.000;
c. Sebesar 15% atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000 sampai
dengan Rp 500.000.000;
d. Sebesar 25% atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000
3. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Jaminan Hari tua ditentukan sebagai berikut:
a. Sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000;
b. Sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000
c. Honorarium dan imbalan lain, dengan nama apa pun yang diterima
oleh Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/Polri, yang sumber dananya
berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah, kecuali yang
dibayarkan kepada PNS golongan II d ke bawah dan anggota TNI/Polri
berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur
Tingkat Satu ke bawah.
Penghitungannya dilakukan dengan menerapkan tarif 15% x
penghasilan bruto.

Anda mungkin juga menyukai