Anda di halaman 1dari 8

Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:

1. pemberi kerja yang terdiri dari:


 orang pribadi;
 badan; atau
 cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau
seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.
2. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau
pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga
negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan;
3. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua;
4. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta
badan yang membayar:
 honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak
dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan
bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama
persekutuannya;
 honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak
luar negeri;
 honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan
pelatihan, serta pegawai magang;
5. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi
berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah sebagai
berikut:
1.
 penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa
Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
 penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
 penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya
melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
 penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang
dibayarkan secara bulanan;
 imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,
dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;
 imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
 penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang
tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
 penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
 penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh:
 Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
 Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
3. Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima
atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada
saat dibebankan sebagai biaya.
1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)
Karyawan menanggung beban pajaknya sendiri. Metode untuk menghitung PPh
Pasal 21 yang dibebankan kepada karyawan dikenal dengan Metode Gross (Gross
Method). Dengan metode ini penghasilan yang diterima karyawan akan berkurang
sebesar PPh Pasal 21 yang dipotong oleh perusahaan.
2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)
Perusahaan menanggung beban pajak karyawan baik sebagian maupun seluruhnya
dalam bentuk Benefit in Kind (BIK). Metode untuk menghitung PPh Pasal 21 yang
ditanggung oleh perusahaan dalam bentuk Benefit in Kind (BIK) dikenal dengan
Metode Net (Net Method). Dengan metode ini penghasilan yang diterima karyawan
dapat diterima secara utuh tanpa adanya pengurangan PPh Pasal 21, kecuali jika
perusahaan hanya menanggung sebagian. Pemilihan metode ini membutuhkan
analisa komprehensif karena selain menjadi beban, pengeluaran perusahaan untuk
menanggung PPh Pasal 21 karyawan tidak dapat dibebankan secara fiskal dalam
menghitung PPh Badan.
3. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan dengan cara memberikan tunjangan
pajak (ditunjang)
Perusahaan menanggung beban pajak karyawan baik sebagian maupun seluruhnya
dengan cara memberikan tunjangan pajak. Pemberian tunjangan pajak sifatnya sama
dengan tunjangan lainnya. Penghasilan karyawan yang bersangkutan akan bertambah
dengan diberikannya tunjangan pajak.
Pemilihan metode ini membutuhkan analisa komprehensif meskipun
pengeluaran perusahaan untuk menanggung PPh Pasal 21 karyawan secara fiskal
dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung PPh Badan. Jika perusahan
sedang mengalami kerugian, tentu saja pilihan ini tidak menguntungkan karena
beban yang harus dipikul oleh perusahaan menjadi semakin besar mengingat
tunjangan pajak akan menambah penghasilan karyawan yang tentunya akan
menambah besarnya PPh Pasal 21.
Tunjangan Pajak dapat diberikan secara Flat (tetap) maupun dengan
melakukan Gross Up (Jumlahnya tidak tetap melainkan disesuaikan dengan besarnya
pajak yang harus dipotong dari penghasilan karyawan atau proporsional). Besarnya
tunjangan pajak yang diberikan secara Flat (Flat Method) biasanya akan berbeda
dengan PPh Pasal 21 yang sesungguhnya harus dipotong.
Besarnya tunjangan pajak yang diberikan secara Gross up atau dikenal
dengan Metode Gross up (Gross up Method) akan sama dengan PPh Pasal 21 yang
sesungguhnya. Metode gross up memberikan tunjangan pajak sebesar 100% dari PPh
yang harus dipotong. Dalam praktek, tunjangan pajak biasanya diberikan dengan
metode gross up. Istilah gross up sendiri sebenarnya tidak dikenal dan tidak
disebutkan secara eksplisit diberbagai peraturan perpajakan secara formal. Gross up
pada dasarnya hanya berkaitan dengan logika perhitungan yang dibuat sedemikian
rupa sehingga tidak bertentangan dengan ketentuan perpajakan.
Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh objek pajak PPh Pasal 21 telah dipotong
pajaknya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan. Baik yang
berasal dari akun neraca maupun akun biaya. Jika perhitungan PPh pasal 21
dilakukan oleh sebagian SDM, maka rekonsiliasi juga harus dilakukan untuk data
SDM dengan data yang ada di bagian akuntansi/keuangan. Rekonsiliasi ini sangat
berguna dalam rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh
objek PPh Pasal 21 telah dipotong PPh-nya. Hal semacam ini akan memudahkan
wajib pajak Ketika diperiksa oleh petugas pajak nantinya
Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum,
yaitu taxability-deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income, di
perusahaan menjadi deductible expense, dan sebaliknya jika bagi karyawan
merupakan non taxable income maka di perusahaan menjadi non deductible expense.
Perlakuan ini bergantung pada kebijakan yang ditempuh oleh perusahaan. Dengan
prinsip tersebut, senantiasa akan terdapat pihak yang dikenai pajak
Namun demikian, terdapat beberapa penyimpangan dari prinsip umum
tersebut yang diatur secara khusus oleh ketentuan perpajakan. Misalnya, terdapat
pembayaran kepada karyawan yang bersifat non taxable, tetapi bagi perusahaan tetap
merupakan deductible expense, atau terdapat pembayaran kepada karyawan yang
bersifat taxable, tetapi di perusahaan bersifat non deductible expense
1. Klausul Pajak Dalam Perjanjian/Kontrak Kerja
Dalam beberapa kasus timbul konflik dalam bisnis, dimana kewajiban
pemotongan PPh Pasal 21 atau Pasal 26 yang dilakukan dari penghasilan
orang pribadi menerima penghasilan, sewaktu dilaksanakan pemotongannya
pihak, yang dipotong pajak tidak menerima sehingga terjadi dispute.
Secara normative undang-undang perpajakan telah mewajibkan
perusahaan pemilik proyek atau pemberi kerja melaksanakan pemungutan
atau pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi
jasa ( Kontraktor ) tidak bersedia pajaknya dipotong dengan alasan pada saat
perjanjian atau kontrak kerja masalah pajak tidak dibahas, apa yang dilakukan
pihak kontraktor ini memiliki justifkasi hukum yang kuat, sehingga bila pada
akhirnya pemilik proyek atau pemberi kerja harus menanggung pajaknya,
tentu ini menjadi tambahan beban yang seharusnya tidak terjadi.
Masalah perpajakan yang berhubungan dengan pekerjaan jasa atau
kegiatan, antara lain meliputi :
 Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara,akuntan,arsitek,dokter,konsultan,notaris,penilai,dan
aktuaris, dikenakan tarif 50% dari jumlah penghasilan bruto, sehingga
PPh Pasal 21 yang dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x Tarif PPh
Pasal 17 ayat 1 huruf a
 Sehubungan dengan pemberian jasa selain pegawai dan tenaga ahli,
yang dalam pemberian jasanya mempekerjakan orang lain sebagai
pegawainya dan atau melakukan penyerahan material atau bahan,
dikenai sebesar Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a dari nilai proyek
Fenomena tersebut sering terjadi dalam perjanjian atau kontrak kerja
yang tidak mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum
kontrak kerja ditandatangani, harus dipastikan :
 Pemuatan klausul pajak dalam perjanjian atau kontrak kerja, yang
mensyaratkan pajak terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak,
yakni dikenakan dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21 atau
pasal 26, pemberi kerja wajib memotong dari pembayarannya.
 Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus
menanggung PPh Pasal 21/26, sehingga pajak yang terutang dan
pemotongannya didasarkan pada klausul tersebut.
Apabila perusahaan pemilik proyeksi tidak memotong PPh Pasal 21,
dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus maka perusahaan harus membayar
PPh Pasal 21 dengan denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan
dari pokok pajak.
Dari kasus ini tax planning jelas memerlukan dukungan dari beberapa
divisi dari perusahaan pemilik proyek atau pemberi kerja, untuk mencegah
timbulnya kerugian dikemudian hari diluar anggaran yang direncanakan.
2. Pajak Ditanggung pemberi kerja atau Tunjangan Pajak secara Gross-Up
Seringkali didalam kontrak kerja sering ditemukan Klausul yang menyatakan
nilai kontrak sudah net tidak termasuk pajak dan pajak ditanggung oleh
perusahaan atau pemberi kerja. Istilah ini seharusnya digunakan secara hati-
hati. Karena akan berdampak pada pemotongan pajak dan pembebanan biaya
di PPh Badan
 Tidak termasuk pajak, artinya pajak aan menjadi beban pemberi kerja
atau ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja. Hal in akan
mengakibatkan PPh yang ditanggung perusahaan pemberi kerja tidak
dapat dibiyakan oleh SPT PPh Badan
 Agar PPh yang ditanggung pemberi kerja dapat dibiayakan, maka
perhitungan pajak harus menggunakan metode Gross-up. Hasil
perhitungan tersebut kemudian dimasukkan kedalam nilai kontrak,
atau menambah penghasilan dari orang yang menerima penghasilan

Net (Tidak Gross-up) Gross-up


Nilai 10.000.000 Nilai 10.000.000
Pekerjaan Pekerjaan
PPh 5% 500.000 PPh 5% 526.316
Nilai Kontrak 10.000.000 Nilai Kontrak 10.526.316

Catatan:
 Tarif honorarium untuk pemberian jasa oleh orang pribadi adalah tarif
pasal 17 dari nilai bruto dan PPh yang ditanggung pemberi kerja
sebesar 500 ribu tanpa gross up dan tidak mengubah nilai kontrak,
maka sejumlah PPh tersebut tidak dibayarkan
 PPh dihitung dengan metode gross up akan menambah nilai kontrak
sebesar, 5% x 10.000.000 x 100/(100-5) = Rp. 526.316
PPh sejumlah itu menjadi unsur biaya yang bersifat deductible
expenses, karena bagi penerima hal ini menjadi unsur penghasilan Secara
sederhana dapat diilustrasikan :
 Jika secara fiskal perusahaan masih merugi, gross up akan
menambah beban PPh Pasal 21 tanpa mempengaruhi PPh badan
terutang, pengaruhnya pada kompensasi kerugian. Dari cashflow
timbul pengeluaran yang justru lebih besar dan jika
mempertimbangkan time value of money, manajemen bisa
memilih untuk tidak melakukan gross up
 Sebaliknya jika perusahaan mendapat laba fiskal dan sudah
dikenai PPh tarif tertinggi, metode gross up akan menghasilkan
penghematan dari selisih tarif antara PPh Badan degan tarif PPh
Pasal 21 dikenakan.
 Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum atau Reimbusement
Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan
ataupun sejenis pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan
aspek pajak yang berbeda.
 Pembayaran secara lump-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21
dihitung dari seluruh nilai yang dibayarkan. Pengertian lump-sum,
perusahaan memberikan sekaligus dalam jumlah tertentu yang
meliputi uang saku, transport, akomodasi atau unsur biaya lainnya,
tanpa disertai dengan pertanggungjawaban dan bukti atas
penggunaannya
 Sedangkan dalam prosedur Reimbusement , pembayaran disertai
dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan penggunaan dana
dengan meminta bukti pengeluaran. Apabila terjadi kelebihan, harus
dikembalikan ke perusahaan, apabila terjadi kekurangan dapat
dimintakan kembali ( reimbursement ). PPh pasal 21 hanya akan
dihitung dari uang saku atau tunjangan berupa uang lainnya yang
benar benar diterima atau diperoleh karyawan.
 Pemberian Tunjangan Makan atau Menyiapkan Makan Bersama?
Sejak berlakunya UU PPh tahun 2000, makanan dan minuman bagi karyawan
sudah boleh dibiayakan di PPh badan (deductible expenses). Perlu dikaji,
apakah perusahaan masih hendak memberikan tunjangan makan atau
menyiapkan makan bersama sebagai pengganti tunjangan makan.
Pemberian tunjangan makan akan mengakibatkan bertambahnya PPh
Pasal 21. Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, lebih menguntungkan jika
disiapkan makan bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam
praktiknya harus menggunakan jasa catering, harus diingat timbulnya
kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto.
 Memberikan Tunjangan Kesehatan atau Fasilitas Pengobatan ?
Untuk biaya kesehatan, perusahaan memiliki pilihan, memberikan tunjangan
kesehatan, menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan atau
menggunakan metode reimbursement biaya pengobatan.
 Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka
perlakuan pajaknya bersifat taxable-deductible, artinya tunjangan
kesehatan merupakan objek pajak PPh Pasal 21 bagi karyawan
(penghasilan) dan merupakan biaya bagi perusahaan.
 Bila perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan, maka perlakuan
pajaknya bersifat non taxable – non deductible artinya hal itu bukan
penghasilan bagi karyawan dan bukan biaya bagi perusahaan
 Bila menggunakan metode reimbursement maka perlakuan pajaknya
ada yang bersifat non-taxable – non deductible, bila persyaratan
reimbursement dapat dipenuhi yaitu tidak boleh ada mark up, bukti
asli diserahkan ke perusahaan, bukti dibuat atas nama perusahaan atau
atas nama karyawan perusahaan,dan diatur dalam kontrak kerja antara
perusahaan dengan karyawan. Dan ada pula yang bersifat taxable –
deductible, bila persyaratan reimbursement tidak dapat dipenuhi.
Dalam hal ini esensinya adalah karyawan menerima uang dari
perusahaan yang kemudian digunakan untuk membayar pengobatan
6. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasa 21)
Penerapan tax planning dalam PPh Pasal 21 antara lain dengan cara
 Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenai pajak bersifat final
diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan
dalam bentuk natura atau kenikmatan.
 Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final,
memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura atau
kenikmatan merupakan salah satu pilihan untuk menghindari lapisan
tarif maksimum PPh Pasal 21.
 Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenai pajak bersifat final,
contohnya perusahaan jasa konstruksi maka efisiensi PPh pasal 21
karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal
mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura dan kesejahteraan
yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21

Anda mungkin juga menyukai