A. PENGANTAR
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah jenis pajak yang dikenakan terhadap penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan bentuk apa pun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi dalam Negeri.
Sedangkan pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan
oleh wajib pajak orang pribadi subjek pajak luar negeri disebut Pajak Penghasilan Pasal 26.
Jumlah pajak yang dipotong dan disetorkan dengan benar oleh pemberi kerja dan pemotong
lainnya dapat digunakan oleh wajib pajak untuk dijadikan kredit pajak atas PPh yang terutang pada
akhir tahun.
.
B. POKOK-POKOK ISI
4.1. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri wajib dilakukan oleh:
1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
2. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
3. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan
nama apa pun dalam rangka pensiun;
4. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan
5. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu
kegiatan.
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana
tersebut di atas adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional. Jika
pemberi pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana tersebut di atas
adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional maka disebut dan
termasuk dalam kategori pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 (selanjutnya disingkat Pasal 26).
Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah
penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong
pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan
pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Tarif pemotongan
atas penghasilan adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam UU PPh Pasal 17 ayat (1) huruf
a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak
yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ketentuan mengenai petunjuk
pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
5% x Rp50.000.000,00= Rp2.500.000,00
15% x Rp25.000.000,00= Rp3.750.000,00 (+)
Jumlah Rp6.250.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:
5% x 120% x Rp50.000.000,00= Rp3.000.000,00
15% x 120% x Rp25.000.000,00= Rp4.500.000,00 (+)
Jumlah Rp7.500.000,00
Kemudian atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh
pihak yang wajib membayarkan:
1. dividen;
2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang;
3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5. hadiah dan penghargaan;
6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
8. keuntungan karena pembebasan utang.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia adalah negara tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut
(beneficial owner). Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali
yang diatur dalam UU PPh Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan
asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. Atas
penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari perkiraan penghasilan neto.
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai
pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan. Pemotongan pajak tersebut di atas bersifat final, kecuali:
1. pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
bentuk usaha tetap di Indonesia dan penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan
yang memberikan penghasilan dimaksud.
2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Hal yang harus dilaksanakan oleh pejabat negara, PNS, anggota ABRI dan pensiunan jika
menerima penghasilan selain dari penghasilan yang dibebankan kepada keuangan negara atau
daerah adalah
1. Pejabat Negara, PNS, anggota ABRI, dan Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-
anaknya yang menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan yang
dibebankan kepada Keuangan Negara / Daerah, penghasilan tersebut ditambah dengan
penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah dan dilaporkan
pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh yang bersangkutan.
2. PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang atas
seluruh penghasilan yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Pemotong PPh Pasal 21 untuk penghasilan yang bersifat tetap dan tidak tetap yang dibebankan
kepada negara adalah :
1. Bendaharawan Pemerintah;
2. Pemegang Kas ABRI;
3. Perusahaan Perseroan Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero Taspen);
4. Asuransi Anggota ABRI (ASABRI).
kewajiban pemotong PPh Pasal 21 untuk penghasilan yang bersifat tetap yang dibebankan kepada
negara adalah:
1. menghitung PPh Pasal 21 terutang yang ditanggung pemerintah;
2. mencantumkan PPh Pasal 21 dalam daftar gaji, pembayaran pensiun, dan pembayaran lainnya
yang berkaitan dengan pemberian imbalan kepada pegawai;
3. melaporkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong (walaupun nihil) kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat, paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah bulan
dilakukannya pemotongan pajak.
Kewajiban pemotong PPh Pasal 21 untuk penghasilan yang bersifat tidak tetap yang dibebankan
kepada negara adalah :
1. memotong PPh Pasal 21 sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah penghasilan bruto, dan
bersifat final;
2. memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada penerima penghasilan;
3. menyetorkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
setelah dilakukan pemotongan pajak;
4. melaporkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dan disetor kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak setempat, paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah bulan dilakukan
pemotongan pajak.
Untuk menghitung besarnya PPh Pasal 21 terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Penghasilan Kena Pajak adalah
pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar Penghasilan Netto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru. Sementara pegawai tidak tetap dikenakan PKP
sebesar Penghasilan Bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru.
Sedangkan untuk pegawai yang termuat dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-
32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, dikenakan sebesar 50% atas PKP dari jumlah penghasilan bruto
dikurangi PTKP dalam satu bulan.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan pendapatan yang tidak dikenai Pajak
Penghasilan seperti yang termuat dalam PPh Pasal 21. Menurut Direktorat Jenderal Pajak,
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dijelaskan sebagai pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan dasar Wajib Pajak beserta keluarga, dalam satu tahun. Maka tidak termasuk dalam PPh
Pasal 21.
Berdasarkan PMK No. 101/PMK. 010/2016, Wajib Pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan
apabila penghasilan Wajib Pajak sama dengan atau tidak lebih dari Rp54.000.000,-. Objek
Penghasilan Tidak Kena Pajak dipaparkan sebagai berikut.
1. Rp 54.000.000,- untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi.
2. Rp 4.500.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
3. Rp 54.000.000,- untuk istri yang memiliki jumlah penghasilan tersebut telah digabung dengan
penghasilan suami.
4. Rp 4. 500.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga kandung serta keluarga dalam garis
keturunan serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang
untuk setiap keluarga.
Contoh:
Penghasilan Tetap
Satria adalah seorang karyawan swasta yang mulai bekerja di PT Harapan Kreasi pada bulan
Januari 2018 dengan status menikah dan mempunyai dua orang anak. Gaji pokok Satria adalah
sebesar Rp10.000.000 per bulan dengan tambahan tunjangan pada bulan Januari 2018 dari
perusahaan sebagai berikut:
1. Tunjangan Lembur = Rp1.000.000
2. Tunjangan Komunikasi = Rp300.000
3. Tunjangan Transport Rp500.000
Selain itu, perusahaan juga mengikuti program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang
menimbulkan iuran yang harus dibayarkan sebagai berikut:
1. Jaminan Kesehatan oleh Perusahaan 4% dan oleh Karyawan 1%
2. Jaminan Kecelakaan Kerja oleh Perusahaan 0,24%
3. Jaminan Kematian oleh Perusahaan 0,3%
4. Jaminan Hari Tua oleh Perusahaan 3,7% dan oleh Karyawan 2%
5. Jaminan Pensiun oleh Perusahaan 2% dan oleh Karyawan 1%
Maka perhitungan PPh Pasal 21 sebagai berikut:
Januari 2018
1. Gaji Pokok = Rp10.000.000
2. Tunjangan Lembur = Rp1.000.000
3. Tunjangan Komunikasi = Rp300.000
4. Tunjangan Transport = Rp500.000
Penghasilan dari Pemberi Kerja per Bulan = Rp11.800.000
Jaminan yang dibayar oleh pemberi kerja:
1. Jaminan Kesehatan (4%) = Rp320.000
2. Jaminan Kecelakaan Kerja (0,24%) = Rp24.000
3. Jaminan Kematian (0,3%) = Rp30.000
4. Penghasilan Bruto per Bulan = Rp12.174.000
Pengurang:
1. Biaya Jabatan (5% x Ph. Bruto) = Rp500.000
2. Jaminan Hari Tua o/ Karyawan (2%) = Rp200.000
3. Jaminan Pensiun o/ Karyawan (1%) = Rp77.035
Berarti PPh 21 yang harus dipotong oleh PT Harapan Kreasi pada bulan Januari 2018 adalah
sebesar Rp449.120,83.
D. PERTANYAAN
1. Berapakah PTKP untuk orang pribadi, wajib pajak kawin, dan tambahan untuk anggota
keluarga?
2. Sebutkan lapisan tarif berdasarkan pasal 17 (1) A.
3. Berapakah tarif yang diberlakukan bagi golongan IV dalam ketentuan khusus PNS?
4. Dr. Lukman (bukan PNS) menerima honorarium sebagai pembicara di KEMENDIKNAS
sebesar Rp 25.000.000. hitunglah berapa PPH pasal 21 yang terutang?