Anda di halaman 1dari 142

Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

BAB I
PENGANTAR PEMOTONGAN DAN
PEMUNGUTAN PPh

PENDAHULUAN
Pada saat kita belajar PPh Orang Pribadi dan PPh Badan kita sedang menghitung jumlah pajak
kita sendiri untuk SPT PPh Orang Pribadi dan perusahaan kita untuk SPT PPh Badan ( Self Assessment
System). Pada kesempatan ini kita akan belajar PPh Pemotongan dan Pemungutan di mana kita
menghitung pajak orang lain dengan Withholding Tax System. Dalam sistem Withholding Tax, pihak
ketiga diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas
penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas Negara.
Di akhir tahun pajak, pajak yang telah dipotong atau dipungut dan telah disetorkan ke kas negara itu
akan menjadi pengurang pajak atau kredit pajak bagi pihak yang dipotong dengan melampirkan bukti
pemotongan atau pemungutan.

Apabila kita tidak memotong atau memungut PPh dengan benar, kitalah yang harus membayar
PPh yang kurang potong. Jadi kewajiban pembayaran PPh pihak ketiga telah beralih kepada pemotong
pajak.Disamping itu beragamnya jenis pajak yang harus dipotong memerlukan pemahaman yang cermat
atas setiap jenis pajak agar tidak terjadi salah penerapan. Contoh yang paling sering terjadi adalah salah
membedakan pasal yang harus diterapkan, mengira bersifat final padahal tidak final atau salah
menerapkan tarif. Walaupun terdapat jalan keluar seandainya kita salah potong yaitu dengan
permohonan pemindahbukuan, tetapi hal tersebut memakan banyak energi termasuk kepercayaan
rekan bisnis kita yang pajaknya salah dipotong.

Hal-hal diatas hendaknya memacu kita untuk memahami pasal-pasal yang terkait dengan PPh
Pemotongan dan Pemungutan atau lebih dikenal dengan istilah PPh Potput yaitu PPh pasal 21, PPh
Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Modul ini hadir untuk
membantu Anda mengatasi belantara pasal-pasal PPh Pemotongan dan Pemungutan dengan
pemahaman praktis tentang pasal-pasal tersebut dengan jelas dan dilengkapi dengan contoh-contohnya.

ATC – Tax Specialist 81


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

BAB II
PPh PASAL 21

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Objek Pajak, Bukan Objek Pajak, Subjek PPh Pasal 21
2. Memahami Pengurang, Pemotong Penghasilan PPh Pasal 21
3. Memahami Karyawan Berdasarkan PPh Pasal 21

PENDAHULUAN

PPh Pasal 21 merupakan Pajak yang dipotong dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi Dalam Negeri, yaitu
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, serta pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Pemotongan PPh Pasal 21 sangat bervariasi. Mulai dari penghasilan teratur yang di terima oleh
pegawai tetap, pegawai tidak tetap, pegawai harian, bonus, tunjangan cuti, uang rapat dan lain-lain.
Dalam Bab ini akan kami sajikan lengkap beserta contoh perhitungannya.
Ketentuan yang mengatur tentang tata cara pengenaan PPh Pasal 21 sampai saat ini adalah:
1. Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1983 S.T.D.T.D. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh)
2. PER 16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan,
Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.
3. PER 14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian Dan Penyampaian SuratPemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21Dan/Atau Pasal 26
4. PMK 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
5. PMK 152/PMK.011/2015 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan
Dari Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan
6. PER-1/PJ./2011 jo PER 21/PJ/2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan Dari
Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Oleh Pihak Lain
7. PMK-252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
8. PMK-250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap Atau Pensiunan
82
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

9. PMK-83/PMK.03/2009 Penyediaan Makanan Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai


SertaPenggantian Atau Imbalan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu dan
Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
Pemberi Kerja
10. PP 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan
Sekaligus
11. PMK-16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas
Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan
Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus
12. PP 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan Dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas
Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah
13. PMK-262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, Dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi
Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah

OBJEK PPh PASAL 21


Pada prinsipnya semua pembayaran kepada Orang Pribadi Subjek Pajak Dalam Negeri (OP
SPDN) dari pemberi kerja sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan wajib dipotong
PPh 21 kecuali ditentukan lain. Penghasilan yang dipotong PPh 21 ada 8 macam yaitu:

1. Penghasilan Teratur
a. Penghasilan yang diterima oleh pegawai tetap: gaji, tunjangan, honorarium
b. Penghasilan yang diterima oleh pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai: gaji,
tunjangan
c. Penghasilan yang diterima oleh pensiunan: uang pensiun
Termasuk kategori penghasilan teratur yang menjadi obyek PPh 21 adalah gaji, gaji kehormatan,
dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara,
Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait
dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-
anaknya.
Selain itu penghasilan teratur yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam
bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak
yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau yang dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

2. Penghasilan Tidak Teratur


a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa THR, jasa produksi,
tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya
yang sifatnya tidak tetap. Termasuk didalamnya pemberian hadiah saham secara cuma-
cuma dari pemberi kerja kepada pegawainya (Employee Stock Option Program/ESOP)
yang menurut ketentuan diperlakukan sama dengan bonus atau gratifikasi (SE-
56/PJ.42/1999 jo. PMK-252/PMK.03/2008)

ATC – Tax Specialist 83


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

b. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;

3. Upah
Penghasilan berupa upah contohnya upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah
borongan;

4. Penghasilan saat berhenti bekerja


Penghasilan karena berhenti bekerja dapat berupa uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang
Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, dan pembayaran lain sejenis;

5. Imbalan kepada Bukan Pegawai


Penghasilan yang diterima Bukan Pegawai antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa
yang dilakukan.

6. Imbalan kepada peserta kegiatan


Termasuk kategori penghasilan tidak teratur lainnya adalah penghasilan berupa imbalan kepada
peserta kegiatan seperti uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau
penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

7. Penghasilan yang diterima atau diperoleh mantan pegawai


Penghasilannya berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat
tidak teratur lainnya.

8. Penghasilan peserta program pensiun


Peserta program pensiun yang masih aktif berstatus sebagai pegawai melakukan penarikan dana
pensiun.

Penghasilan tersebut diatas bilamana diterima atau diperoleh Orang Pribadi Subjek Pajak Luar Negeri
(OP SPLN) merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26. Dalam hal dibayarkan dalam mata
uang asing maka perhitungan PPh pasal 21 /atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada
saat dibebankan sebagai biaya.

PENGHASILAN YANG BUKAN OBJEK PEMOTONGAN PPh PASAL 21


Pembayaran kepada Orang Pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri yang tidak dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. Pembayaran klaim asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
Alasan :
Berdasarkan Pasal 4 ayat 3 huruf e UU PPh pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang
pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa bukan
obyek PPh. Ketentuan ini didasarkan pada asas convenience to pay karena saat menerima klaim
wajib pajak sedang memerlukan dana.
Catatan :
Pembebasan pajak atas pendapatan klaim asuransi dikompensasi dengan ketentuan lain yaitu
premi asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan Obyek 21 sedangkan premi asuransi

84
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

yang dibayar sendiri tidak boleh menjadi pengurang penghasilan dalam menghitung PPh 21
(Pasal 9 ayat 1 huruf d). Tujuannya agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda. Logika yang
digunakan adalah WP rugi di awal (saat menerima penghasilan berupa premi asuransi dibayar
pemberi kerja WP dipotong PPh 21 serta saat membayar sendiri premi asuransi tidak boleh
menjadi pengurang) tetapi untung di akhir (saat menerima klaim bebas pajak).

b. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Alasan :
Fiskus mengalihkan titik pengenaan pajak atas natura dan kenikmatan bukan pada pegawai yang
menerima tetapi kepada perusahaan yang memberikan natura dan kenikmatan tersebut. Oleh
karena itu pengeluaran berupa natura dan kenikmatan tidak boleh menjadi biaya perusahaan
(non deductable berdasarkan pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh). Karena bukan biaya maka bagi yang
menerima juga bukan penghasilan dan tidak dikenakan PPh 21. Badan-badan yang bukan Wajib
Pajak serta WP yang dikenakan PPh final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan
norma penghitungan khusus (deemed profit) tidak memperhitungkan biaya dalam perhitungan
pajaknya sehingga natura yang diberikan pihak-pihak tersebut merupakan penghasilan.
Contoh WP deemed profit : Perusahaan pelayaran dan atau penerbangan luar negeri PPhnya
adalah 2,64 % dari penghasilan bruto
Catatan :
Tidak semua natura tidak boleh menjadi biaya perusahaan. Pemberian natura dan kenikmatan
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan
bagi Pegawai yang menerimanya adalah (PMK 83/PMK.03/2009 jo. PER-51/PJ./2009):
 Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan;
 Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang
kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut;
 Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya.
Sedangkan pembelian HP untuk keperluan pekerjaan, biaya pulsa dan servis HP, pembelian,
perbaikan besar dan servis rutin atas sedan 50% nya dapat merupakan biaya. Pembelian,
perbaikan besar dan biaya servis rutin atas bus atau minibus untuk antar jemput pegawai dapat
dibebankan 100% sebagai biaya. Kenikmatan bagi pegawai berupa HP & antar jemput diatas
bukan penghasilan pegawai (KEP-220/PJ./2002).
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang
dibayar oleh pemberi kerja;
Alasan :
Kebalikan dari perlakuan PPh atas premi asuransi, perlakuan PPh atas iuran pensiun adalah WP
untung di awaltetapi rugi di akhir. WP untung di awal karena penghasilan berupa iuran pensiun
yang dibayar oleh pemberi kerja bukan objek 21 dan iuran pensiun yang dibayar sendiri boleh
menjadi pengurang penghasilan dalam menghitung PPh 21 (pasal 6 ayat 1 huruf c). WP rugi di
akhir karena saat menerima penghasilan berupa pensiun akan dipotong PPh.

ATC – Tax Specialist 85


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

c. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh Orang Pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah (PMK-252/PMK.03/2008).
Alasan :
Ketentuan tersebut merupakan fasilitas pajak dari pemerintah bagi penerimanya mengacu pada
Pasal 4 Ayat 3 huruf a nomor 1 Undang-undang PPh jo. PMK-252/PMK03/2008.

e. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sesuai Pasal 4 Ayat 3 huruf i UU PPh dan PMK-
246/PMK.03/2008 jo. PMK-154/PMK.03/2009.

f. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja;


Alasan :
Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja adalah kenikmatan dan bukan biaya bagi perusahaan
(non deductable berdasarkan pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh) Karena bukan biaya maka bagi yang
menerima juga bukan penghasilan dan bebas PPh 21. Tetapi apabila diberikan dalam bentuk
tunjangan pajak maka tunjangan tersebut dapat menjadi biaya serta merupakan penghasilan
karyawan yang menjadi obyek PPh 21.
Catatan :
Pembayaran kepada Orang Pribadi WPDN yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa dan kegiatan dipotong PPh pasal 21. Sedangkan pembayaran kepada Orang Pribadi WPDN
yang tidak berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan tidak dipotong PPh
pasal 21 melainkan akan dipotong PPh 23 jika bersifat tidak final atau PPh pasal 4 ayat 2 jika
bersifat final. Contohnya pembayaran deviden, bunga, royalti dan hadiah (DBRH) serta sewa.
Pembayaran bukan kepada orang pribadi dari pemberi kerja sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa dan kegiatan juga tidak dipotong PPh 21 tetapi dipotong PPh 23. Contohnya
pembayaran jasa konsultasi kepada firma hukum akan dipotong PPh 23, tetapi jika jasa konsultasi
diberikan oleh orang pribadi maka harus dipotong PPh 21. Pembayaran kepada Orang Pribadi
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dari pemberi kerja sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa dan kegiatan juga tidak dipotong PPh 21 melainkan wajib dipotong PPh 26.

SUBJEK PAJAK YANG DIPOTONG PPh PASAL 21


Subjek Pajak yang dipotong PPh Pasal 21 adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, baik
pegawai tetap atau tidak tetap, pensiunan dan sebagainya. Seseorang termasuk sebagai Subjek Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri jika memenuhi salah satu dari 3 (tiga) kategori berikut ini :
1. Bertempat tinggal di Indonesia. Pengertian tempat tinggal adalah menetap atau domisili;
2. Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau
3. Mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan. Tes niat ditunjukkan dengan keadaan yang sebenarnya
misalnya kontrak kerja.
Jika salah satu dari ketiga tes tersebut tidak dapat dipenuhi, maka Orang Pribadi yang
bersangkutan termasuk sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, dan penghasilan yang diterimanya akan
dipotong PPh Pasal 26 yang bersifat final.

86
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Subjek Pajak yang dipotong PPh Pasal 21 adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, baik
pegawai tetap atau tidak tetap, pensiunan dan sebagainya. Dengan demikian, pemotongan PPh Pasal 21
meliputi:

1. Pegawai Tetap
Yang dimaksud Pegawai Tetap berdasarkan PER-16/PJ/2016 adalah pegawai yang menerima
atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan
komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk
suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah
tertentu secara teratur.
Pegawai tetap ini secara pengenaannya bisa berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing
pegawai tetap, seperti:
1. Pegawai Tetap yang memang bekerja penuh (Januari-Desember)
2. Pegawai Tetap yang baru bekerja pada Tahun Berjalan (misal April-Desember)
3. Pegawai Tetap yang berhenti bekerja pada Tahun Berjalan (misal Januari-Agustus)
4. Pegawai Tetap yang mutasi/pindah perusahaan tapi masih sama perusahaannya (misal
dari Pusat ke Cabang, dari Cabang ke Pusat, atau bahkan antar Cabang)
5. Pegawai Tetap yang bekerja secara overtime/lembur
6. Pegawai Tetap yang mendapatkan Bonus/Tunjangan Hari Raya (THR)
7. Pegawai Tetap yang meninggal dunia
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan perhitungan PPh Pasal 21 bisa berbeda-beda.

2. Pegawai Tidak Tetap


Yang dimaksud Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas berdasarkan PER-16/PJ/2016 adalah
pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja,
berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian
suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Untuk perhitungan Pegawai Tidak Tetap, dapat dibedakan:
a. Pegawai Tidak Tetap yang sistem pembayarannya bulanan
b. Pegawai Tidak Tetap yang sistem pembayarannya selainbulanan (misalnya secara harian
atau mingguan)

3. Bukan Pegawai:
Yang dimaksud Penerima penghasilan Bukan Pegawai berdasarkan PER-16/PJ/2016 adalah
orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang
memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau
permintaan dari pemberi penghasilan.Diantara Bukan Pegawai adalah:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
c. Olahragawan;
d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

ATC – Tax Specialist 87


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;


f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
g. Agen iklan;
h. Pengawas atau pengelola proyek;
i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
j. Petugas penjaja barang dagangan;
k. Petugas dinas luar asuransi;
l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya

4. Anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap
pada perusahaan yang sama

5. Mantan Pegawai

6. Peserta Kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan


keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
d. Peserta pendidikan dan pelatihan;
e. Peserta kegiatan lainnya

7. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua, termasuk ahli warisnya

PEMOTONG PPh PASAL 21


Berdasarkan PER-16/PJ/2016, Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:

a. pemberi kerja yang terdiri dari:


1. orang pribadi dan badan;
2. cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi
yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.

b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada
Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar
negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;

c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;

88
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
1. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga
ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan
untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan, serta
pegawai magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional
dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada
Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.

Tidak semua pihak yang membayarkan uang kepada karyawan atau non karyawan diberikan
kewenangan untuk memotong PPh Pasal 21/26. Pihak-pihak tersebut sesuai PMK -252/PMK.03/2008
Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-
Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau
pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pihak-pihak di atas dibebaskan dari kewajiban memotong PPh 21 karena mereka bukan Subjek Pajak
(Pasal 3 UU PPh) sesuai dengan kelaziman internasional. Karena tidak memotong PPh 21 maka warga
negara Indonesia yang menerima penghasilan dari kedutaan besar asing dan organisasi internasional
harus membayar sendiri pajaknya dengan cara mengangsur PPh pasal 25 dan melunasinya pada akhir
tahun dengan membayar PPh Pasal 29.

PENGURANG PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21


Terdapat 3 (tiga) macam pengurang penghasilan bruto pegawai untuk mendapatkan jumlah Penghasilan
Kena Pajak yaitu Biaya Jabatan/Biaya Pensiun, Iuran Pensiun dan PTKP.

A. Biaya Jabatan
Biaya Jabatan diberikan untuk karyawan tetap yang masih aktif bekerja. Biaya jabatan ini
merupakan biaya yang tidak riil dan merupakan kebijaksanaan pemerintah karena setiap orang
yang bekerja mengeluarkan biaya untuk melaksanakan pekerjaan tersebut (biaya transport,
makan, dll). Telah diatur dalam PMK-250/PMK.03/2008 bahwa biaya jabatan adalah sebesar 5%
X Penghasilan Bruto dengan jumlah maksimal Rp 500.000,- /bulan atau Rp 6.000.000/tahun (jika
masa perolehan penghasilan dari Januari – Desember). Besarnya Biaya Jabatan ini tergantung
jumlah bulan bekerja.
Contoh Perhitungan Biaya Jabatan:
Tuan Lukman bekerja di PT. ABC dengan gaji Rp 4.000.000,- per bulan sejak 1 Maret 2017
sehingga total gaji setahun Rp 40.000.000,-. Berapa Biaya Jabatan dalam Tahun Pajak 2017?
Jawab :

ATC – Tax Specialist 89


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Tuan Lukman hanya bekerja selama 10 bulan maka biaya jabatan yang diperkenankan sebagai
pengurang penghasilan bruto adalah sebesar Rp 2.000.000,- yaitu pilihan terkecil antara:
- 5 % X Rp 40.000.000,- = Rp 2.000.000,-
- 10 bln X Rp 500.000,- = Rp 5.000.000,-
Sehingga biaya jabatan yang diperkenankan hanya Rp 2.000.000,-

B. Biaya Pensiun
Biaya Pensiun : diberikan untuk pensiunan. Biaya pensiun ini merupakan biaya yang tidak riil
dan merupakan kebijaksanaan pemerintah.
Biaya pensiun perlakuannya sama dengan biaya jabatan tetapi hanya dikurangkan atas
pendapatan pensiun. Jumlah Biaya Pensiun maksimal 5% dari Penghasilan Bruto, atau sebesar Rp
200.000/bulan atau maksimal sebesar Rp 2.400.000/tahun (jika masa perolehan penghasilan dari
Januari–Desember).
Contoh Perhitungan Biaya Pensiun:
Tuan Rizki adalah pensiunan di Dana Pensiun PT. ABC dengan uang pensiun sebesar Rp
1.000.000,- per bulan. Berapa Biaya Pensiun yang dapat dikurangkan dari penerimaan pensiun
Tuan Badu setiap bulan?
Jawab:
Biaya Pensiun yang dapat menjadi pengurang penghasilan pensiun adalah sebesar Rp 50.000,-
yaitu pilihan terkecil antara:
- 5 % X Rp 1.000.000,- = Rp 50.000,-
- 1 bln X Rp 200.000,- = Rp 200.000,-

C. Iuran Pensiun
Iuran Pensiun yang dapat menjadi pengurang Penghasilan Kena Pajak adalah iuran pensiun yang
dibayarkan kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
(pasal 6 ayat 1 huruf c). Termasuk dalam pengertian iuran pensiun adalah iuran Jaminan Hari Tua
yang dibayar sendiri. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1993 jo PP No. 53 Tahun
2012 tentang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja bahwa iuran Jaminan Hari
Tua yang dibayar sendiri sebesar 2% dari gaji sebulan. Perlakuan PPh atas iuran pensiun adalah
WP untung di awaltetapi rugi di akhir. WP untung di awal karena iuran pensiun yang dibayar
sendiri boleh menjadi pengurang penghasilan dalam menghitung PPh 21.

D. PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)


Ketentuan PTKP untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Bulanan
Bagi Pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan PTKP diberikan sesuai jumlah dalam Pasal 6
dan Pasal 7 UU PPh jo. PMK-101/PMK.010/2016 yaitu per tahun adalah:
a. Rp 54.000.000,- untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi (status WP adalah TK/0);
b. Rp 4.500.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin/status kawin (status WP menjadi
K/0);
c. Rp 54.000.000,- tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami (status WP menjadi K/I/0);
d. Rp 4.500.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya,

90
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga (status WP bisa menjadi TK/.... atau
K/.... atau K/I/.... tergantungan jumlah tanggungan).

PTKP ditentukan oleh keadaaan per tanggal 1 Januari. Bila orang asing menjadi WP DN pada
tahun berjalan, maka PTKP-nya ditentukan pada keadaan awal bulan dia menjadi WP DN.

PTKP berdasarkan status karyawan, Tidak Kawin (TK) atau Kawin (K) sebagai berikut:

Status 2016 Sejak Th. 2015 Th. 2013 - 2014 Th. 2009 - 2012
TK / 0 Rp 54.000.000 Rp. 36.000.000 Rp. 24.300.000 Rp. 15.840.000
TK / 1 Rp 58.500.000 Rp. 39.000.000 Rp. 26.325.000 Rp. 17.160.000
TK / 2 Rp 63.000.000 Rp. 42.000.000 Rp. 28.350.000 Rp. 18.480.000
TK / 3 Rp 67.500.000 Rp. 45.000.000 Rp. 30.375.000 Rp. 19.800.000
K/0 Rp 58.500.000 Rp. 39.000.000 Rp. 26.325.000 Rp. 17.160.000
K/1 Rp 63.000.000 Rp. 42.000.000 Rp. 28.350.000 Rp. 18.480.000
K/2 Rp 67.500.000 Rp. 45.000.000 Rp. 30.375.000 Rp. 19.800.000
K/3 Rp 72.000.000 Rp. 48.000.000 Rp. 32.400.000 Rp. 21.120.000

Bagaimana dengan PTKP bagi seorang karyawati?


PTKP untuk karyawati itu cukup unik (berbeda dari umumnya). Berikut ketentuannya dengan
memperhatikan beberapa kondisi karyawati tersebut:
- Dalam hal karyawati tidak/belum kawin, pengurangan PTKP hanya untuk dirinya sendiri
ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya sesuai Pasal 8 ayat
3 huruf (c) UU PPh.
- Dalam hal karyawati kawin/sudah kawin, PTKP yang dikurangkan adalah tetap hanya untuk
dirinya sendiri (TK/0) yaitu sebesar Rp 54.000.000,-
- Jika seorang karyawati namun suami-nya tidak mempunyai penghasilan bahkan biaya hidup
suami-nya ditanggung oleh istri? Bisa jadi karena suami sakit, cacat, lumpuh? Maka status PTKP
karyawati tersebut yang tadinya hampir selalu TK/0, bisa berubah menjadi K/..... (artinya melekat
status kawin untuk istri dan melekat tanggungan) sepanjang karyawati tersebut menunjukkan
keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan), bahwa
suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan.

Ketentuan PTKP untuk pegawai kriteria pegawai tidak tetap dan tenaga kerja lepas :
- Pegawai tidak tetap meliputi 2 golongan yaitu pegawai tidak tetap yang menerima upah rutin
bulanan serta pegawai yang menerima upah berupa upah harian, satuan dan borongan (tenaga
kerja lepas).
- PTKP untuk pegawai tidak tetap yang menerima upah rutin bulanan adalah sebesar PTKP
bulanan sesuai status keluarga, yaitu Rp 3.000.000 bagi yang berstatus TK/0, Rp 3.000.000 bagi
yang berstatus TK/1 dan seterusnya.
- Khusus untuk pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, satuan dan borongan, PTKP
harian berdasarkan PMK-152/PMK.010/2015 besarnya Rp 300.000 per hari.

Ketentuan PTKP untuk bukan pegawai:

ATC – Tax Specialist 91


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Penerima penghasilan yang bukan pegawai terdiri atas 3 golongan yaitu :


a. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan yang bersifat berkesinambungan, antara lain 12 golongan bukan pegawai yaitu:
1) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3) olahragawan;
4) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
7) agen iklan;
8) pengawas atau pengelola proyek;
9) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10) petugas penjaja barang dagangan;
11) petugas dinas luar asuransi
12) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya.
b. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan yang bersifat tidak berkesinambungan, antara lain ( tidak terbatas pada) 12
golongan di atas.
c. bukan pegawai dengan kriteria sebagai peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi :
1) peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2) peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3) peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4) peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
5) peserta kegiatan lainnya

Catatan :
- Bagi bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan secara berkesinambungan, antara lain (tidak terbatas pada) 12 golongan di atas,
PTKP bulanan sesuai status keluarga akan diberikan jika:
 telah mempunyai NPWP;
 hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21/26,
dan,
 tidak memperoleh penghasilan lainnya.
Jika penghasilannya tidak berkesinambungan atau tidak ber-NPWP, maka mereka tidak berhak
PTKP apapun. Hal ini berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dan pasal 9 ayat (1) huruf c PER
16/PJ/2016

92
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

- Bagi bukan pegawai dengan kriteria sebagai peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, maka mereka tidak berhak
PTKP apapun, baik ber-NPWP maupun tidak. Hal ini berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf d PER
16/PJ/2016

PENGGOLONGAN KARYAWAN BERDASARKAN PENGURANG PENGHASILAN


A. Karyawan yang Berhak Mendapatkan Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun dan PTKP
Karyawan Tetap dan Pensiunan Bulanan berhak atas pengurang berupa Biaya Jabatan atau Biaya
Pensiun dan PTKP
B. Penerima Penghasilan Yang Berhak Mendapatkan PTKP Saja
Penerima penghasilan yang berhak atas pengurang PTKP saja adalah:
1. pegawai kriteria pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan rutin setiap bulan
2. pegawai kriteria pegawai tidak tetap penerima upah harian, satuan , borongan
3. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain (tidak terbatas pada) 12 golongan yang memenuhi
syarat ber-NPWP dan menerima penghasilan berkesinambungan
C. Penerima Penghasilan Yang Tidak Berhak Mendapatkan PTKP dan Biaya Jabatan
Penerima penghasilan yang tidak berhak atas pengurang berupa PTKP maupun biaya jabatan
adalah:
1. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain 12 golongan yang tidak ber-NPWP ataupun
menerima penghasilan tidak berkesinambungan
2. Bukan pegawai dengan kriteria sebagai peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan
D. Penerima Penghasilan Yang Berhak Pengurangan berupa Biaya Asisten dan Biaya Material/Barang
Dalam hal Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain 12 golongan:
a. Mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto
sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai
yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat
dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, maka besarnya
penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
b. Melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto
hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/ perjanjian tidak dapat
dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang, maka besarnya penghasilan
bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang
c. Khusus bagi dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya
jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui
rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit
dan/atau klinik. Jadi dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik tidak
berhak atas pengurang berupa biaya asisten atau biaya material.
Ketentuan pengurangan berupa Biaya Asisten dan Biaya Material/Barang bagi Bukan Pegawai
yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
tercantum dalam pasal 10 ayat (5) PER 32/PJ/2015
E. Penerima Penghasilan yang berhak atas pengurangan sebesar Rp 50.000.000

ATC – Tax Specialist 93


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2009 tanggal 16 Nopember 2009 menyatakan bahwa
penerima Pesangon, uang Tebusan Pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, penerima Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
sampai dengan Rp 50.000.000 dikenakan tarif 0%.

Kesimpulan :
Bila kita perhatikan, jenis pengurang penghasilan yang diberikan tergantung pada hubungan
kerja antara pegawai dan perusahaan. Semakin kuat hubungan kerjanya semakin banyak jenis
pengurang yang didapatkan. Contohnya pegawai tetap/penerima pensiun mendapatkan pengurang
berupa biaya jabatan/biaya pensiun dan PTKP, pegawai harian hanya mendapatkan pengurang berupa
PTKP sedangkan peserta kegiatan tidak mendapatkan pengurang apapun.
Sedangkan pengurang berupa iuran pensiun yang dibayar oleh pegawai diberikan bila pegawai
yang bersangkutan membayar sendiri iuran pensiun. Bila ia tidak membayar sendiri iuran pensiun maka
pengurang tersebut tidak ada.

PENGGOLONGAN KARYAWAN BERDASARKAN DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP)


A. DPP berupa 100% penghasilan neto (Penghasilan Bruto dikurangi PTKP)
Penerima penghasilan yang PPh 21-nya dihitung dari 100% penghasilan neto adalah:
1. Pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan. Mereka ini berhak PTKP Tahunan
2. Pegawai tidak tetap yang menerima gaji bulanan. Mereka ini berhak PTKP Tahunan
3. Penerima upah harian, satuan dan borongan. Mereka berhak PTKP Harian Rp 300.000
ataupun PTKP bulanan jika upah kumulatif sudah melebihi Rp 3.000.000,-
B. DPP berupa 50% dari penghasilan bruto
Penerima penghasilan yang PPh 21-nya dihitung dari 50% penghasilan bruto adalah Bukan
Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan, antara lain (tidak terbatas pada) 12 golongan di atas, tidak berkesinambungan serta baik
ber-NPWP maupun tidak.
Ada tidaknya NPWP bagi Bukan Pegawai dengan kriteria ini tidak berpengaruh terhadap
penggunaan DPP berupa 50% dari penghasilan bruto, tetapi lebih berpengaruh kepada berhak
tidaknya PTKP bulanan dan pengenaan tarif 20% lebih tinggi jika tidak ber-NPWP.
C. DPP berupa 100% dari penghasilan bruto
Selain penerima penghasilan diatas, PPh pasal 21 dihitung dari 100% penghasilan bruto. Jadi
selain pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, penerima upah harian,
mingguan, borongan dan bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain 12 golongan di atas, PPh pasal 21-
nya dihitung dari 100% penghasilan bruto.

PENGGOLONGAN KARYAWAN BERDASARKAN TARIF PAJAK


A. Dikenakan Tarif sebesar Tarif Progresif Khusus (Final)
Berdasarkan PP 68 Tahun 2009 tentang tarif pajak penghasilan pasal 21 atas penghasilan berupa
uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan
sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) tahun kalender diatur sebagai berikut:

94
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan
sebagai berikut:
Rp 0 - Rp. 50.000.000 = 0%
Rp 50.000.001 - Rp. 100.000.000 = 5%
Rp100.000.001 - Rp. 500.000.000 = 15 %
Rp 500.000.001ke atas = 25 %
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan
kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
Rp 0 - Rp. 50.000.000 = 0%
Rp > 50.000.000 = 5%

Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang
Pesangon dengan jumlah Rp 175.000.000,00.

Penghasilan bruto Rp 175.000.000,00


Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :
0% x
= RP 0,00
Rp50.000.000,00
5% x
= Rp 2.500.000,00
Rp50.000.000,00
15% x
= Rp 11.250.000,00 (+)
Rp75.000.000,00
______________
Rp13.750.000,00

Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa
kali pembayaran, misalnya :

a. Bulan Desember
= Rp 50.000.000,00
2017
b. Bulan April 2018 = Rp 125.000.000.00 (+)
_______________
Jumlah Rp 175.000.000,00

Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran


sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000.00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong :


Bulan Desember 2017:
Jumlah penghasilan
Rp 50.000.000,00
bruto
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :
0% x Rp50.000.000.00 = Rp 0,00
Bulan April 2018:
Jumlah penghasilan Rp 125.000.000,00

ATC – Tax Specialist 95


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

bruto
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :
5% x Rp 50.000.000.00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp75.000.000.00 = Rp 11.250.000,00 (+)
______________
Jumlah Rp 13.750.000,00

Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp 0,00 + Rp 13.750.000,00 = Rp


13.750.000,00

Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 150.000.000,00 adalah:

Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp 150.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang:


0% x Rp 50.0000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 100.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
_____________
Jumlah = Rp 5.000.000,00

Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam
beberapa kali pembayaran, misalnya :

Bulan Desember 2017 sebesar Rp 50.000.000,00


Bulan Februari 2018 sebesar Rp 100.000.000,00
_______________
Jumlah Rp 150.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:

Bulan Desember 2017: = Rp 0,00


0% x Rp50.000.000,00
Bulan Februari 2018: = Rp 5.000.000,00
5% x Rp 100.000.000,00
_____________
Jumlah = Rp 5.000.000,00

B. Dikenakan Tarif sebesar Tarif Progresif pasal 17 atas jumlah kumulatif


Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang
terutang atau dibayarkan pada tahun ke tiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 atas jumlah bruto seluruh
penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender
yang bersangkutan.
Rp 0 - Rp. 50.000.000 = 5%
Rp 50.000.001 - Rp. 250.000.000 = 15 %
Rp 250.000.001 - Rp. 500.000.000 = 25 %

96
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Rp 500.000.001 ke atas = 30 %
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
Tarif pasal 17 di atas dikenakan atas jumlah kumulatif jika penerima penghasilan adalah :
1. Pegawai tetap
2. Penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan
3. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan
4. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain 12 golongan yang menerima penghasilan
berkesinambungan, baik ber-NPWP maupun tidak. Ada tidaknya NPWP bagi ke-12
golongan ini tidak berpengaruh terhadap pengenaan tarif pasal 17 atas jumlah kumulatif
atau non kumulatif, tetapi lebih berpengaruh kepada berhak tidaknya PTKP bulanan dan
pengenaan tarif 20% lebih tinggi jika tidak ber-NPWP. Dasar Pengenaan Pajak atas
penghasilan bagi Bukan Pegawai dengan kriteria ini adalah 50 % penghasilan bruto
5. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai
tetap pada perusahaan yang sama yang menerima atau memperoleh penghasilan bruto
berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur
6. Mantan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan bruto berupa jasa produksi,
tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur
7. Peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menerima
penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

C. Dikenakan Tarif Progresif pasal 17 atas jumlah setiap bayar (non kumulatif)
Tarif pasal 17 di atas dikenakan atas jumlah setiap kali pembayaran (non kumulatif) jika penerima
penghasilan adalah:
1. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain 12 golongan yang menerima penghasilan
tidakberkesinambungan, baik ber-NPWP maupun tidak. Dasar Pengenaan Pajak atas
penghasilan bagi Bukan Pegawai dengan kriteria ini adalah 50 % penghasilan bruto.
2. Bukan Pegawai dengan kriteria peserta kegiatan yang menerima penghasilan bruto untuk
setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah.

D. Dikenakan Tarif 20% lebih tinggi dari pasal 17 bagi pegawai yang tidak ber-NPWP
- Berdasarkan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh bagi Penerima Penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21 yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif
lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak
yang memiliki NPWP, sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar
120 % (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong
dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP
- Pemotongan PPh Pasal 21 yang lebih tinggi 20% tersebut hanya berlaku untuk
pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final
- PPh Pasal 21 yang telah dipotong lebih tinggi tersebut tetap dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan WP Orang Pribadi

ATC – Tax Specialist 97


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

- Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan
yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud
pada point pertama di atas, mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh
Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih
pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan
dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak.

Kesimpulan:
Dari uraian tentang Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan tarif pajak di atas, dapat disimpulkan
bahwa Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan, antara lain12 golongan di atas mendapat fasilitas khusus berupa DPP 50% dari
penghasilan bruto dengan ketentuan jumlah tarifnya dikenakan atas jumlah kumulatif jika
penghasilannya berkesinambungan, sedangkan jika tidak berkesinambungan, tarifnya dikenakan atas
jumlah non kumulatif.
Selain itu Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain 12 golongan diatas (selain dokter) juga berhak atas fasilitas
pengurang berupa biaya material/barang atau biaya asisten. Fasilitas lain bagi mereka adalah pengurang
PTKP jika mereka ber-NPWP.

PERLAKUAN PROGRAM JAMSOSTEK


Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, dapat dikurangkan dari penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 berdasarkan pasal
10 ayat (2) PMK-252/PMK.03/2008. Pada umumnya, pembayaran Jaminan Hari Tua dibayarkan dalam
premi Jamsostek.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1993 jo PP No 53 tahun 2012 Program Jamsostek
terdiri dari:
- Jaminan Kecelakaan Kerja (berdasarkan tingkat risiko kecelakaan)
Kelompok I : 0,24% x Upah sebulan
Kelompok II : 0.54% x Upah sebulan
Kelompok III : 0,89% x Upah sebulan
Kelompok IV : 1,27% x Upah sebulan
Kelompok V : 1.74% x Upah sebulan
- Jaminan Kematian (JKM) : 0,3% x Upah sebulan
- Jaminan Hari Tua (JHT)
 Dibayar oleh Perusahaan : 3.7% x upah sebulan
 Dibayar oleh Karyawan : 2 % x upah sebulan

- Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK):


Besaran JPK ditentukan oleh penyelanggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai berikut:

98
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

1. Pekerja Penerima Upah ( PNS, TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah Non
Pegawai Negeri )
 Iuran jaminan Kesehatan sebesar 5 % dari gaji/upah per bulan, dimana 3 % dibayar
oleh Pemberi Kerja dan 2% dibayar oleh Pekerja.
 Gaji atau upah yang dipakai sebesar dasar perhitungan iuran bagi PNS, TNI/POLRI
dan Pejabat Negara adalah gaji pokok dan tunjangan keluarga.
 Gaji dan upah yang dipakai sebagai dasar perhitungan iuran untuk Pegawai
Pemerintah Non Pegawai Negeri adalah Penghasilan tetap dengan batas paling tinggi
sebesar dasar perhitungan 2 kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Status Kawin
anak 1.

2. Pekerja Penerimaan Upah selain peserta diatas


 Iuran Jaminan Kesehatan sebesar 4,5% dari gaji atau upah yang diterima tetap setiap
bulan, dimana 4% dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5% dibayar oleh Pekerja.
 Iuran Jaminan Kesehatan yang dibayarkan mulai 1 Juli 2015 sebesar 5% dari gaji atau
upaha yang diterima setiap bulan, dimana 4% dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1%
dibayar oleh Pekerja.
 Gaji atau upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan iuran jaminan kesehatan
terdiri dari gaji atau upah pook dan tunjangan tetap
Batas paling tinggi gaji atau upah perbulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan
iuran adalah 2 kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan status kawin
dengan anak 1.
 Untuk keluarga lainnya, yaitu terdiri dari anak keempat dan seterusnya, orang tua
dan mertua besaran iuran sebesar 1% per orang dari gaji/upah sesuai ketentuan.
 Untuk tambahan kerabat seperti kakak, adik, keponakan, asisten rumah tangga, supir,
dsb, besaran iuran adalah nominal sesuai dengan pilihan ruang kelas perawatan.

Perlakuan Jamsostek bagi pegawai dan pemberi kerja sebagai berikut :

Uraian Pemberi kerja Karyawan


JKK, JKM, JPK dibayar Biaya bagi perusahaan Penghasilan (digabung dalam
perusahaan (deductible) penghasilan bruto gaji)
Alasan : karena tidak tercantum
dalam pasal 4 ayat 3 (bukan objek
PPh) sehingga merupakan objek PPh
JKK, JKM, JPK dibayar Bukan pengurang bagi OP
karyawan (karyawan) yang membayarnya
-
Alasan : sesuai Pasal 9 ayat (1) UU
PPh
Iuran JHT 3,7% Biaya bagi perusahaan Bukan menambah penghasilan bruto
dibayar oleh (deductible) karyawan, tapi objek PPh pada saat
perusahaan Semua iuran pensiun menerima JHT sekaligus dari PT
adalah biaya bagi yang Jamsostek
membayarnya (Pasal 6 Alasan : Pasal 4 ayat (3) huruf g, iuran
ayat (1) huruf c) ke dana pensiun bukan penghasilan
ATC – Tax Specialist 99
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Iuran 2% dibayar oleh Biaya bagi karyawan (pengurang


karyawan penghasilan bruto)
- Alasan : semua iuran pensiun adalah
biaya bagi yang membayarnya (Pasal
6 ayat (1) huruf c)

Catatan :
 Tunjangan Hari Tua (THT) dan Iuran Pensiun yang dibayar perusahaan, perlakuannya sama dengan
perlakuan Iuran JHT yang dibayar perusahaan (di atas)
 Tunjangan Hari Tua (THT) dan Iuran Pensiun yang dibayar karyawan, perlakuannya sama dengan
perlakuan Iuran JHT yang dibayar karyawan (di atas)

PENGHASILAN NETO SETAHUN / DISETAHUNKAN


Penghasilan kena pajak WPOP DN yang kewajiban pajak subjektifnya berawal atau berakhir pada
tahun berjalan dihitung berdasarkan penghasilan netto yang diterima atau diperoleh dalam bagian
tahun pajak yang disetahunkan. Hal ini berdasarkan pasal 16 ayat 4, pasal 2A ayat 6 dan pasal 17 ayat 5
UU PPh. Ketiga pasal tersebut menyiratkan pula bahwa untuk WPOP DN yang kewajiban pajak
subjektifnya sudah ada sejak awal tahun dan tetap ada sampai akhir tahun maka penghasilan netonya
tidak disetahunkan.
Disetahunkan artinya penghasilan netto sebulan dikalikan 12 dibagi jumlah bulan pegawai bekerja
sedangkan tidak disetahunkan artinya dikalikan jumlah bulan pegawai bekerja.
Berdasarkan ketentuan diatas maka aturan penghasilan neto disetahunkan atau tidak disetahunkan
disarikan dalam tabel berikut:

Penghasilan Neto Tidak Disetahunkan Penghasilan Neto Disetahunkan

1. karyawan yang baru bekerja di periode 1. pendatang dari Luar Negeri dalam periode berjalan
berjalan

2. karyawan yang berhenti bekerja di periode 2. karyawan yang berhenti karena meninggalkan Indonesia
berjalan selama-lamanya
3. karyawan yang berhenti karena meninggal dunia

100
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

4. mutasi dari pemberi kerja yang sama

A. Penghasilan Neto Tidak Disetahunkan


Penghasilan neto karyawan dalam negeri yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada
sejak lahir dan bekerja di pertengahan tahun tidak disetahunkan. Hal ini berdasarkan pasal 2 ayat
(3) serta pasal 16 UU PPh dengan juklak pasal 14 PER 16/PJ/2016
Contoh 1:
Tuan Lukman diterima bekerja pada PT. BERKAH per tanggal 1 Mei 2017. Dalam menghitung PPh 21
per bulan penghasilan neto Tuan Lukman sebulan cukup dikalikan jumlah bulan dari bulan Mei
sampai dengan Desember (8 bulan). Kemudian PPh 21 atas penghasilan neto 8 bulan tersebut dibagi 8.
Pada akhir tahun jumlah penghasilan selama 8 bulan tersebut dihitung ulang dalam formulir 1721-A1.
Apabila perhitungan setiap bulan sudah tepat maka PPh 21 pada akhir tahun menunjukkan jumlah
NIHIL karena perhitungan PPh 21 akhir tahun atas Tuan Lukman hanya merupakan penjumlahan
dari penghasilan neto selama 8 bulan.
Contoh 2:
Misalnya Tuan Lukman berhenti bekerja pada bulan Agustus 2017. Jika PT. BERKAH sudah sejak
awal Januari 2017 mengetahui bahwa Tuan Lukman akan berhenti pada bulan Agustus 2017 maka
dalam menghitung PPh 21 per bulan penghasilan neto Tuan Lukman sebulan cukup dikalikan 8 bulan
kemudian dibagi 8. Dengan demikian pada akhir Agustus 2017 perhitungan PPh 21 tahunan atas Tuan
Lukman menunjukkan jumlah NIHIL. Tetapi karena sangat jarang pegawai yang menginformasikan
kapan ia akan resign sejak awal tahun maka perhitungan PPh 21 per bulan menggunakan asumsi
bahwa pegawai tersebut akan bekerja sampai akhir tahun. Sebagai contoh Tuan Lukman tidak
menginformasikan jika ia akan resign pada akhir Agustus 2017. Akibatnya PPh 21 per bulan dihitung
dengan mengalikan penghasilan neto sebulan kali 12 kemudian dibagi 12 dan menghasilan potongan
PPh 21 yang cukup besar. Akibat lain adalah perhitungan PPh 21 pada saat Tuan Lukman resign akan
menunjukkan LEBIH BAYAR karena PPh 21 terutang lebih kecil dari PPh 21 yang telah dipotong
selama 8 bulan.
B. Penghasilan Neto Disetahunkan
Penghasilan neto karyawan luar negeri (expatriate) yang kewajiban pajak subjektifnya
baru timbul pada tahun berjalan dan bekerja di pertengahan tahun disetahunkan. Hal ini
berdasarkan pasal 2 ayat (3) serta pasal 16 ayat (4) UU PPh dengan juklak pasal 14 ayat (6) PER
16/PJ/2016
Contoh :
Mr. Donald diterima bekerja pada PT. BERKAH per tanggal 1 Mei 2015. Dalam menghitung PPh 21
per bulan penghasilan neto Mr. Donald sebulan harus dikalikan 12. Kemudian PPh 21 atas
penghasilan neto 12 bulan tersebut dibagi 12. Pada akhir tahun jumlah penghasilan neto selama 8
bulan (Mei – Desember) dikalikan 12 kemudian dibagi 8 (disetahunkan). Apabila perhitungan setiap
bulan sudah tepat maka PPh 21 pada akhir tahun menunjukkan jumlah NIHIL karena perhitungan
PPh 21 akhir tahun atas Mr. Donald sudah menggunakan dasar 12 bulan, sama seperti dasar
perhitungan PPh 21 per bulan.
Contoh :
Misalnya Mr. Donald berhenti bekerja pada bulan Agustus 2015 dan meninggalkan Indonesia
selama-lamanya. PT. BERKAH menghitung PPh 21 per bulan (Januari – Agustus) dengan cara
penghasilan neto Mr. Donald sebulan dikalikan 12 bulan kemudian dibagi 12. Pada akhir
agustus 2015 untuk menghitung PPh 21 tahunan, penghasilan neto Mr Donald disetahunkan
(dikalikan 12 dibagi 8 bulan). Dengan demikian perhitungan PPh 21 tahunan atas Mr. Donald

ATC – Tax Specialist 101


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

menunjukkan jumlah NIHIL karena perhitungan PPh 21 akhir Agustus tersebut sudah
menggunakan dasar 12 bulan, sama seperti dasar perhitungan PPh 21 per bulan. Analog dengan
kasus tersebut adalah kasus WPOP DN yang meninggal dunia pada tahun berjalan.
Kasus penyetahunan lainnya adalah jika terdapat mutasi pada pemberi kerja yang sama. Alasan
penyetahunan dalam kasus ini lebih bersifat teknis dan tidak terkait aturan Undang-Undang. Tujuannya
adalah agar perhitungan PPh 21 di tempat kerja yang lama maupun di tempat kerja yang baru tidak
menghasilkan PPh 21 lebih bayar karena perhitungan PPh 21 pada saat pindah menggunakan dasar 12
bulan, sama seperti dasar perhitungan PPh 21 per bulan sebelum pindah.

TUNJANGAN PAJAK DAN PAJAK DITANGGUNG PEMBERI KERJA


Tunjangan Pajak dan Pajak ditanggung pemberi kerja keduanya merupakan pengeluaran kepada
pegawai. Bedanya, jumlah tunjangan pajak tidak ditentukan oleh besarnya PPh 21 pegawai sedangkan
jumlah pajak yang ditanggung pemberi kerja tergantung besarnya PPh 21 pegawai. Jumlah Pajak yang
ditanggung pemberi kerja sama besar dengan PPh 21 pegawai, berapapun jumlahnya sedangkan jumlah
tunjangan pajak relatif tetap setiap bulan.
Bagi pemberi kerja perbedaan keduanya adalah tunjangan pajak boleh menjadi biaya pemberi
kerja sedangkan Pajak ditanggung pemberi kerja tidak boleh. Hal tersebut berdasarkan pasal 9 UU PPh
dan pasal 5 PER 32/PJ/2015 yang menggolongkan pajak ditanggung pemberi kerja sebagai kenikmatan
(benefit in kind) sehingga tidak boleh menjadi biaya. Oleh karenanya bagi pegawai yang menerima,
tunjangan pajak akan merupakan penghasilan sedangkan pajak yang ditanggung pemberi kerja bukan
penghasilan (Prinsip Taxable – Deductible ).
Apabila perusahaan mengambil kebijakan untuk menanggung semua PPh 21 pegawai tetapi
sekaligus ingin membiayakan pengeluaran tersebut, maka jumlah tunjangan pajak setiap pegawai harus
dihitung sedemikian rupa sehinggga jumlahnya sama dengan PPh 21 pegawai yang bersangkutan
(metode gross up).

TARIF 20% LEBIH TINGGI BAGI YANG TIDAK BER-NPWP


Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh 21, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan
tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang telah diterapkan terhadap WP yang memiliki NPWP . Jumlah
PPh yang harus dipotong sebesar 120 % dari jumlah PPh 21 yang semestinya dipotong dalam hal yang
bersangkutan memiliki NPWP. Tetapi pemotongan PPh 21 ini hanya berlaku untuk pemotongan PPh
21 yang bersifat tidak final.

PELAPORAN PASAL 21 AKHIR TAHUN


Pada bulan Desember bagi pegawai tetap/penerima pensiun yang bekerja sampai Desember atau
pada bulan dimana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun, pemotong pajak mengisi Form 1721 A1
atau 1721 A2 yang merekapitulasi pemotongan pajak selama pegawai bekerja sampai dengan bulan
Desember atau bulan berhenti bekerja.

102
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

BAB III
PETUNJUK UMUM PEMOTONGAN PPh
PASAL 21 DAN/ATAU
PPh PASAL 26
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala
2. Memahami Penghitungan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Teratur dan Tidak Teratur

I. PETUNJUK PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA


PENSIUN BERKALA
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu:
1. Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang
untuk setiap masa pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21, selain masa pajak
Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja;
2. Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan PPh
Pasal 21 dan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk masa pajak Desember atau masa
pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
Penghitungan kembali ini dilakukan pada:
a. Bulan dimana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;
b. Bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender dan bagi penerima
pensiun yang menerima uang pensiun sampai akhir tahun kalender.

A. PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN TERATUR


A.A PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN TERATUR BAGI PEGAWAI
TETAP
1. Tentukan penghasilan neto sebulan
a) Hitung seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang
meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk
uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya.
b) Untuk perusahaan yang masuk program Jamsostek, Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), Premi Jaminan Kematian (JK) dan Premi Jaminan Pemeliharaan Kesehataan (JPK)
yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai. Ketentuan yang
sama diberlakukan juga bagi premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh pemberi

ATC – Tax Specialist 103


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal
21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi
kerja kepada pegawai
c) Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun,
iuran Jaminan Hari Tua, dan/atau Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh
pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan
Penyelenggara Program Jamsostek.
2. Tentukan penghasilan neto setahun
a) Jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12
b) Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai
Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah
bulan Januari, maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan
penghasilan neto setahun dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang
bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember.
c) Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17
UU PPh, yaitu sebesar Penghasilan neto setahun pada huruf a atau b di atas,
dikurangi dengan PTKP.
d) Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c,
selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke
kas negara, yaitu sebesar:
 jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi dengan 12; atau
 jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi banyaknya bulan yang menjadi faktor
pengali.
3. Jika gaji tidak 1 (satu) bulan
a) Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji
sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut
terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor
perkalian sebagai berikut:
 Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4
 Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26.
b) Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan dengan cara seperti
dalam angka 2 di atas (penghasilan neto setahun).
c) PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan
dalam huruf b dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung
berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 26.
4. Mendapatkan rapel
Jika kepada pegawai disamping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan gaji yang
berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas
rapel tersebut adalah sebagai berikut :
a) rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut (dalam hal ini 5
bulan);

104
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

b) hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya
kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21;
c) PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali
atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan;
d) PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih
antara jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c dikurangi jumlah pajak yang
telah dipotong sebagaimana disebut pada huruf b.
5. Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji yang didasarkan masa gaji kurang dari satu
bulan juga dibayar gaji lain mengenai masa yang lebih lama dari satu bulan (rapel) seperti
tersebut dalam angka 4, maka cara penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sesuai dengan
yang telah ditetapkan dalam angka 4 dengan memperhatikan ketentuan dalam angka 3.

A.B PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN TERATUR BAGI PENERIMA


PENSIUN BERKALA
1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima atau diperoleh penerima
pensiun pada tahun pertama pensiun adalah sebagai berikut :
a. Hitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan
bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang
bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember;
b. penghasilan neto pensiun sebagaimana tersebut pada huruf a ditambah dengan penghasilan
neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja
sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti
pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
c. untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan pada huruf b tersebut
dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena
Pajak tersebut;
d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara
mengurangi PPh Pasal 21 dalam huruf c dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi
kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam
bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti tersebut dalam
huruf d dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan untuk tahun kedua dan selanjutnya
adalah sebagai berikut :
a. Hitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan
bruto dengan biaya pensiun;
b. Selanjutnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara penghitungan untuk pegawai tetap.

B. PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN TIDAK TERATUR BAGI PEGAWAI


TETAP
1. Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi,
tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan
biasanya dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara
sebagai berikut:

ATC – Tax Specialist 105


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

a. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan
penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
b. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem,
jasa produksi, dan sebagainya.
c. selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh
Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan
sebagainya.
2. Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun,
namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari, maka PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
tidak teratur tersebut dihitung dengan cara sebagaimana pada butir 1 dengan
memperhatikan ketentuan mengenai Penghitungan PPh Pasal 21 Bulanan atas Penghasilan
Teratur.

C. PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 TERUTANG PADA BULAN DESEMBER ATAU MASA PAJAK
TERTENTU UNTUK PEGAWAI TETAP YANG BERHENTI BEKERJA SEBELUM BULAN
DESEMBER
1. Pemotong pajak harus melakukan penghitungan kembali besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang:
a. Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, baik penghasilan
yang teratur maupun yang tidak teratur.
b. PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan
tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah
sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan
tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan PPh Pasal 21 yang
telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan bulan
sebelumnya.
c. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan
sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh
penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam
tahun kalender yang bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti bekerja
pada pertengahan tahun, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut
dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja bersamaan dengan
pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21. Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal
21 untuk pegawai tetap yang bersangkutan, pemotong pajak dapat memper-
hitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan pegawai tetap lainnya
dalam masa pajak yag sama, sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang harus disetor oleh
pemotong pajak untuk masa pajak tersebut telah mempertimbangkan jumlah
kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 yang telah diberikan oleh pemotong pajak
kepada pegawai tetap yang bekerja.
2. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 huruf a adalah sebagai berikut:

106
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

a. Untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun,
namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan
Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan
yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur,
selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong pajak.
b. Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya baru dimulai
setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang
dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik
yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.

II. PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TIDAK TETAP ATAU TENAGA KERJA LEPAS
A. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang
Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian
atau Mingguan

1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau
diperoleh dalam sehari:
a. upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;
b. upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
c. upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan borongan.
2. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp
450.000,00, dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang
bersangkutan belum melebihi Rp 4.500.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus
dipotong
3. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp
450.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan
kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp 4.500.000,00, maka PPh Pasal 21 yang
harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian
setelah dikurangi Rp 450.000,00, dikalikan 5%.
4. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang
bersangkutan telah melebihi Rp 4.500.000,00 dan kurang dari Rp8.200.000,00, maka PPh
Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata
upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
5. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender
telah melebihi Rp 8.200.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12

B. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima
Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan:
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah
upah bruto yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong
adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.

III. PPh PASAL 21 BAGI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS/DEWAN KOMISARIS YANG TIDAK
MERANGKAP PEGAWAI TETAP, MANTAN PEGAWAI YANG MENERIMA JASA PRODUKSI,

ATC – Tax Specialist 107


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

TANTIEM, GRATIFIKASI, BONUS ATAU IMBALAN LAIN YANG BERSIFAT TIDAK TERATUR,
DAN PESERTA PROGRAM PENSIUN BERSTATUS PEGAWAI YANG MENARIK DANA
PENSIUN
1. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Anggota Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris Yang Tidak
Merangkap Sebagai Pegawai Tetap
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun
kalender.
2. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Mantan Pegawai Yang Menerima Penghasilan Berupa Jasa
Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus atau Imbalan Lain yang Bersifat Tidak Teratur
PPh Pasal 21 dihitung dengan cara menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun
kalender.
3. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Peserta Program Pensiun Yang Masih Berstatus Sebagai Pegawai
yang Menarik Dana Pensiun
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari
kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun kalender.

IV. PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI BUKAN PEGAWAI
A. Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai, atas imbalan
yang bersifat berkesinambungan
a. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan
kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh
penghasilan lainnya. PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat
(1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun
kalender yang bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
b. Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari
hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
serta memperoleh penghasilan lainnya. PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh
persen) dari jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.
B. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, atas Imbalan
yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas 50%
(lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.

C. Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam pointA dan B


adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya
jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah
sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit
dan/atau klinik.

108
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

D. Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam pointA dan B memberikan jasa
kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan
bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau
upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar
jumlah yang dibayarkan;
b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan
bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian
tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka
besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau
barang.

V. PPh PASAL 21 BAGI PESERTA KEGIATAN


PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah
penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang
diterima oleh peserta kegiatan.

VI. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 BAGI ORANG PRIBADI YANG
BERSTATUS SEBAGAI SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI.
Dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah dari jumlah penghasilan bruto.
Dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), dalam hal orang pribadi yang menerima
penghasilan adalah subjek pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai P3B dengan
Indonesia.

VII. TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS


PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN APBN ATAU APBD
1. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh pemerintah atas beban APBN atau
APBD. Penghasilan tersebut meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat Negara, untuk:
1. gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2. imbalan tetap sejenisnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya
tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur
setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
2. Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang
dibebankan pada APBN atau APBD dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi

ATC – Tax Specialist 109


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak. Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% (dua puluh persen)
sebagaimana dimaksud dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya.
3. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang berupa honorarium atau imbalan lain dengan
nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah
yang membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut dan bersifat final dengan tarif:
a. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira
Pertama, dan pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lainbagi
Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
4. Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai
pimpinan dan/atau anggota pada lembaga yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, atas
penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya sebagai
pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tidak ditanggung oleh
Pemerintah.
5. Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI Anggota POLRI, dan Pensiunannya,
menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat
final di luar penghasilan tetap dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD,
penghasilan lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi
yang bersangkutan.
6. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah dan tambahan Pajak
Penghasilan Pasal 21 20% lebih tinggi dari yang tidak ber NPWP dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang telah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib pajak orang pribadi.

110
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

BAB IV
PERHITUNGAN PPh PASAL 21

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Beberapa Contoh Kasus PPh Pasal 21
2. Dapat menghitung PPh 21 dengan bebagai macam variasi kasus

I. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN PEGAWAI TETAP

I.1. DENGAN GAJI BULANAN


I.1.1. Fajar Ari Wibowo (ber-NPWP) bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi sejak tahun 2010,
Pada tahun 2016 memperoleh gaji sebulan Rp 3.750.000 dan membayar luran pensiun sebesar
Rp100.000. Fajar Ari Wibowo menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghasilan Fajar Ari
Wibowo dari PT Jaya Abadi hanya dari gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 setiap bulan adalah
sebagai berikut:

ATC – Tax Specialist 111


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

ILUSTRASI PERHITUNGAN PPh PASAL 21 PEGAWAI TETAP


DENGAN PENGHASILAN SETIAP BULAN NILAINYA SAMA SELAMA SETAHUN
A B C D E F
SKEMA PERHITUNGAN JANUARI FEBRUARI MARET DESEMBER
1 Penghasilan :

untuk bulan Desember dihitung dengan mengakui penghasilan selama


Pola dan cara menghitunnya sama hingga bulan November. Khusus
Gaji Pokok 3.750.000 3.750.000 3.750.000 45.000.000
Jumlah Penghasilan Bruto 3.750.000 3.750.000 3.750.000 45.000.000
2 Pengurang :
5% x Ph. Bruto atau
Biaya Jabatan 187.500 187.500 187.500 2.250.000
maksimal 500.000
Iuran Pensiun (dibayar pegawai) 100.000 100.000 100.000 1.200.000
Jumlah Pengurang 287.500 287.500 287.500 3.450.000
3 Penghasilan netto sebulan 3.462.500 3.462.500 3.462.500

setahun.
Ph. netto sebulan X
4 Penghasilan netto setahun 41.550.000 41.550.000 41.550.000 41.550.000
masa kerja
5 PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak): K/0 39.000.000 39.000.000 39.000.000 39.000.000
6 Penghasilan Kena Pajak (PKP) setahun 2.550.000 2.550.000 2.550.000 2.550.000
7 Pembulatan 2.550.000 2.550.000 2.550.000 2.550.000
8 PPh Pasal 21 terutang setahun
5% 50.000.000 0 s/d 50 jt 127.500 127.500 127.500 127.500
15% 200.000.000 > 50 jt s/d 250 jt - - - -
25% 250.000.000 > 250 jt s/d 500jt - - - -
30% sisanya > 500 jt - - - -
127.500 127.500 127.500 127.500
9 PPh Pasal 21 sebulan PPh 21 setahun / 12 10.625 10.625 10.625 10.625

Keterangan :
a. Pada perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap diatas, mengilustrasikan bahwa seorang
pegawai memperoleh penghasilan berupa gaji pokok saja sebagai komponen penghasilan yang
diperhitungkan PPh Pasal 21.
b. Dalam perhitungan PPh Pasal 21, terdapat nilai pengurang diantaranya "Biaya Jabatan". Biaya
jabatan ini timbul hanya pada perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap, yang dimaksud Biaya
Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai Pegawai Tetap tanpa
memandang mempunyai jabatan atau tidak. Nilai biaya jabatan adalah 5% dari jumlah
penghasilan bruto atau Rp. 500.000 untuk perhitungan PPh Pasal 21 sebulan atau Rp.
6.000.000 untuk perhitungan PPh Pasal 21 tahunan pada bulan Desember atau pada masa/
bulan terakhir pegawai bekerja.
c. Sebagai pengurang lainnya yaitu Iuran Pensiun yang dibayar sendiri oleh pegawai melalui
pemotongan langsung oleh pihak perusahaan. Hal ini dikarenakan Iuran Pensiun, JHT, THT
bukan merupakan penghasilan yang menjadi objek dalam perhitungan PPh Pasal 21 yang
dilakukan perusahaan. Iuran Pensiun, JHT, THT diperhitungkan PPh Pasal 21nya saat
diterima kelak saat pensiun atau saat tua nanti ( ketika tidak aktif bekerja lagi).
d. Skema perhitungan PPh pasal 21 diatas pada prinsipnya sama pada setiap bulannya
(perhatikan contoh perhitungan pada bulan Januari, Februari, dan seterusnya hingga bulan
November. Khusus perhitungan bulan Desember, gaji selama setahun dijumlahkan begitu
pula nilai pengurangnya (iuran pensiun yang dipotong dari gaji)
e. Untuk mencari nilai PPh Pasal 21 pada bulan terakhir ( Desember atau bulan terakhir
pegawai bekerja) yaitu dengan memperhitungkan PPh Pasal 21 setahun dikurangi dengan
PPh Pasal 21 yang telah dipotong dari bulan Januari s.d November.

PPh Pasal 21 setahun 127.500


PPh Pasal 21 Januari s.d. November 10.625 X 11 = 116.875(-)
PPh Pasal 21 bulan Desember 10.625

112
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

f. Kewajiban pemberi kerja setelah berakhirnya tahun pajak atau pegawai berhenti bekerja yaitu
menerbitkan bukti potong PPh Pasal 21. Bukti Potong untuk pegawai swasta dengan
menggunakan formulir 1721-A1 sedangkan untuk pegawai negeri menggunakan formulir
1721-A2.
g. Data yang dituangkan pada Bukti Potong PPh Pasal 21 yaitu perhitungan bulan Desember
atau bulan terakhir pegawai bekerja.

I.1.2. Budi Karyanto sejak Januari sebagai pegawai PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh
gaji sebulan Rp 6.000.000.
Mulai bulan Maret PT Candra Kirana mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan, premi JKK dan
premi JKM dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji.
PT Candra Kirana menanggung iuran JHT setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi
Karyanto membayar iuran JHT sendiri sebesar 2% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra
Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran
pensiun untuk Budi Karyanto ke Dana Pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, setiap bulan sebesar Rp 100.000, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun
sendiri sebesar Rp 100.000.
Mulai bulan Juli Budi Karyanto mendapatkan tunjangan transport sebesar Rp. 400.000 dan
tunjangan makan Rp. 500.000.
Pada ilustrasi kasus ini Budi Karyanto pada bulan tertentu menerima pembayaran uang lembur
dengan nominal yang bervariasi.

Berikut ilustrasi penghitungan PPh Pasal 21 atas Budi Karyanto selama setahun (sesuai Per 16/PJ/2016).

ATC – Tax Specialist 113


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

114
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

ATC – Tax Specialist 115


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Keterangan :
a. Pada perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap diatas, mengilustrasikan bahwa seorang
pegawai memperoleh penghasilan berupa gaji, premi asuransi dan tunjangan serta uang
lembur sebagai komponen penghasilan yang diperhitungkan PPh Pasal 21. Penghasilan
yang diterima dari pemberi kerja yang tidak diperhitungkan antara lain tunjangan berupa
Iuran Pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT) dan Jaminan Hari Tua (JHT).
b. Skema perhitungan PPh pasal 21 diatas pada prinsipnya sama pada setiap bulannya
walaupun terjadi perbedaan jumlah penghasilan bruto. Untuk bulan Desember yaitu
dengan memperhitungkan semua komponen penghasilan selama setahun, begitu pula
nilai pengurangnya (iuran pensiun / JHT / THT yang dipotong dari gaji pegawai).
c. Untuk mencari nilai PPh Pasal 21 pada bulan terakhir ( Desember atau bulan terakhir
pegawai bekerja) yaitu dengan memperhitungkan PPh Pasal 21 setahun dikurangi
dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dari bulan Januari s.d November.
d. Data yang dituangkan pada Bukti Potong PPh Pasal 21 formulir 1721-A1 yaitu
perhitungan bulan Desember.

I.1.3 dr. Danang (menikah dan mempunyai 3 anak kandung) merupakan dokter spesialis
kandungan yang bekerja sebagai pegawai tetap di rumah sakit swasta Sehat Tentrem dengan
gaji tetap sebesar Rp 20.000.000.00. Jam praktik dr. Danang mulai pukul 8.00 s.d 12.00 selama
5 hari dalam seminggu. Untuk bulan Agustus 2017 dr. Danang menerima pembayaran dari
Rumah Sakit Sehat Tentrem berupa gaji sebesar Rp 20.000.000 dan menerima jasa medis
sebagai dokter yang bersumber dari pasien sebesar Rp 25.000.000, Dokter Danang membayar
iuran pensiun sebesar Rp 200.000.00 setiap bulannya. Penghitungan PPh Pasal 21 atas
penghasilari dr, Danang dari Rumah Sakit Tentrem pada bulan Agustus 2017 adalah:

Penghasilan sebagai pegawai tetap


Gaji sebulan Rp 20.000.000
Penghasilan bruto sebulan Rp 20.000.000
Pengurangan :
1. Biaya jabatan : 5% x Rp20.000.000.00= Rp 1.000.000.00
Maksimum diperkenankan = Rp 500.000
2. luran Pensiun: Rp 200.000
(Rp 700.000)
Penghasilan neto sebulan Rp 19.300.000
Penghasilan neto setahun12 x Rp19,300.000 Rp 231.600.000

PTKP (K/3)
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan tiga orang tanggungan Rp 13.500.000
(Rp 72.000.000)
Penghasilan Kena Pajak adalah Rp 159.600.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 109.600.000.00 = Rp 16.440.000
Rp 18.940.000

116
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

PPh Pasal 21 sebulan 18.940.000 : 12 = Rp 1.578.334


Catatan:
Atas jasa medis yang diterima oleh dr. Danang dihitung sebagaimana dipelajari pada
pembahasan penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai.
Pada kasus ini dr. Danang akan mendapatkan bukti potong sebagai pegawai rumah sakit dan
bukti potong sebagai dokter yang melakukan pekerjaan bebas.

I.2 DENGAN GAJI M1NGGUAN DAN GAJI HARIAN


Contoh-contoh perhitungan berikut ini hanya berlaku bagi pegawai tetap (bukan pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas) yang gajinya dibayar secara mingguan atau harian.

I.2.1 Marhentin Ika, belum menikah, pada tahun 2017 bekerja sebagai pegawai tetap pada
Perusahaan PT Mahagoni Gemilang menerima gaji yang dibayar mingguan sebesar
Rp1.500.000. Marhentin Ika hanya menerima penghasilan berupa gaji saja. Berikut
ilustrasi penghitungan PPh Pasal 21 mingguan pada setiap bulan.

Keterangan :
a. Pada perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap dibayar mingguan diatas,
mengilustrasikan bahwa seorang pegawai memperoleh penghasilan berupa gaji saja
yang nominalnya sama pada setiap minggunya.
b. Skema perhitungan PPh pasal 21 diatas pada prinsipnya sama pada setiap minggu pada
bulan yang lainnya walaupun terjadi perbedaan jumlah penghasilan bruto. Untuk
bulan Desember yaitu dengan memperhitungkan semua komponen penghasilan
selama setahun, begitu pula nilai pengurangnya (iuran pensiun / JHT / THT yang
dipotong dari gaji pegawai) jika ada.

ATC – Tax Specialist 117


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

c. Apabila terjadi kenaikan gaji pada pertengahan tahun maka yang akan terjadi nilai
PPh Pasal 21 selama setahun tidak sama besarnya. Untuk itu pada dasarnya ketika
mencari nilai PPh Pasal 21 pada bulan terakhir ( Desember atau bulan terakhir
pegawai bekerja) yaitu dengan memperhitungkan PPh Pasal 21 setahun dikurangi
dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dari bulan Januari s.d November. Maka nilai
PPh Pasal 21 yang dipotong setahun akan sesuai.
d. Data yang dituangkan pada Bukti Potong PPh Pasal 21 formulir 1721-A1 yaitu
perhitungan bulan Desember sama dengan yang dicontohkan pada ilustrasi pegawai
tetap dibayar bulanan.

I.2.2 Heri Herawan adalah Pegawai Tetap pada perusahaan PT Segara Hurip dengan
memperoleh gaji dengan pembayaran mingguan sebesar Rp 1.500.000. Heri Herawan
berstatus telah menikah dan mempunyai seorang anak. PT Segara Hurip masuk program
BPJS Ketenagakerjaan, premi JKK dan premi JKM dibayar oleh pemberi kerja dengan
jumlah masingmasing setiap bulan sebesar 1% dan 0,30% dari gaji. PT Segara Hurip
membayar iuran JHT setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji dan Heri Herawan membayar
iuran pensiun Rp 20.000.00 dan JHT sebesar 2% dari gaji. Perhitungan PPh Pasal 21
setiap minggunya pada saat pembayaran adalah:
Penghasilan Sebulan (4 Minggu x Rp 1.500.000) Rp 6.000.000
Premi JKK Rp. 40.000
Premi JKM Rp 12.000
Total Penghasilan Bruto Sebulan Rp. 6.052.000
Pengurang:
1. Biaya Jabatan (5% x Rp 6.052.000) Rp 302.600
2. Iuran Pensiun (Dibayar Karyawan) Rp 20.000
3. Iuran JHT (Dibayar Karyawan) Rp. 80.000
Rp 402.600
Penghasilan Netto Sebulan Rp 5.649.400
Penghasilan Netto Setahun (12 x Rp 5.649.400) Rp 67.792.800
PTKP
- untuk Wajib Pajak Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan seorang anak Rp 4.500.000
Rp 63.000.000
PKP Rp 4.792.800
PKP Dibulatkan s.d. ribuan ke bawah Rp 4.792.000
PPh Pasal 21 Terutang Setahun (5% x Rp 4.792.000) Rp 239.640
PPh Pasal 21 Sebulan (Rp 239.640 : 12) Rp. 19.970
PPh Pasal 21 Seminggu (Rp 19.970 : 4) Rp 4.992

I.2.3 Ari Bramantyo pada tahun 2017 bekerja sebagai pegawai tetap pada perusahaan PT
Indonusa dengan memperoleh gaji yang dibayar harian sebesar Rp 150.00. Ari Bramantyo
kawin dan mempunyai seorang anak. PT Indonusa masuk program BPJS
Ketenagakerjaan, premi JKK dan premi JKM dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
masing-masing setiap bulan sebesar 1% dan 0,30% dari gaji. PT Indonusa membayar
iuran JHT setiap bulan sebesar 3.70% dari gaji dan Ari Bramantyo membayar iuran
pensiun Rp 25.000 dan JHT sebesar 2% dari gaji.
Penghasilan sebulan (26 x Rp 250.000.00) Rp 6.500.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp 39.000

118
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Premi Jaminan Kematian Rp 11.700


Penghasilan bruto Rp 6.550.700

Pengurangan
1. Biaya jabatan 5% x Rp 6.550.700,- = Rp 327.535
2. luran pensiun Rp 25.000
3. luran Jaminan Hari Tua Rp 78.000
(Rp 430.535)
Penghasilan neto sebulan Rp 6.120.165
Penghasitan neto setahun 12 x Rp 6.120.165 Rp 73.441.980

PTKP :
- untuk wajib pajak Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan seorang anak Rp 4.500.000
(Rp 63.000.000)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 10.441.980
Pembulatan Rp 10.441.000
PPh Pasal 21 setahun5% x Rp 10.441.000.00 = Rp 522.050
PPh Pasal 21 sebulanRp 522.050 : 12 = Rp 43.504
PPh Pasal 21 sehariRp 43.504 : 26 = Rp 1.673

I.3 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PEMBAYARAN UANG RAPEL

I.3.1 Fajar Ari Wibowo pada bulan Januari tahun 2017 menerima gaji sebesar Rp. 5.750.000.
Pada bulan Juni 2017 menerima kenaikan gaji, menjadi Rp. 6.750.000 sebulan dan
berlaku surut sejak 1 Januari 2017. Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut
tersebut maka Fajar Ari Wibowo menerima rapel sejumlah Rp5.000.000 (kekurangan gaji
untuk masa Januari s.d. Mei 2017). Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas uang rapel
tersebut. terlebih dahulu dihitung kembali PPh Pasal 21 untuk masa Januari s.d. Mei
2017 atas dasar penghasilan setelah ada kenaikan gaji. Berikut ilustrasi penghitungan PPh
Pasal 21 terutang atas uang rapel tersebut.

ATC – Tax Specialist 119


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

I.4 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN BERUPA:


JASA PRODUKSI, TANTIEM, GRATIFIKASI, TUNJANGAN HARI RAYA ATAU TAHUN
BARU, BONUS, PREMI, DAN PENGHASILAN SEJENIS LAINNYA YANG SIFATNYA TIDAK
TETAP DAN PADA UMUMNYA DIBERIKAN SEKALI DALAM SETAHUN

I.4.1 Joko Qurnain (tidak kawin) bekerja pada PT Qolbu Jaya dengan memperoleh gaji sebesar
Rp 5.000.000 sebulan, Pada bulan Maret 2017 Joko Qurnain memperoleh bonus sebesar
Rp 5.000.000 sehingga pada bulan Maret 2017 Joko Qurnain memperoleh penghasilan
berupa gaji sebesar Rp 5.000.000 dan bonus sebesar Rp 5.000.000,- Setiap bulannya Joko
Qurnain membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 60.000.00
Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah:

a. PPh Pasal 21 alas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun):


Gaji setahun (12 x Rp 5.000.000) Rp 60.000.000
Bonus Rp 5.000.000
Penghasilan bruto setahun Rp 65.000.000
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 5% x Rp 65.000.000 =Rp 3.250.000
2. Iuran pensiun setahun 12 x Rp60.000 = Rp 720.000
(Rp 3.970.000)
120
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Penghasilan neto setahun Rp 61.030.000

PTKP (untuk WP sendiri) (Rp54.000.000)


Penghasilan Kena Pajak Rp 7.030.000
PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp 7.030.000= Rp 351.500

b. PPh Pasal 21 atas Gaji setahun


Gaji setahun (12 x Rp 5.000.000) Rp 60.000.000
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 5% x Rp 60.000.000=Rp 3.000.000
2. Iuran pensiun setahun 12 x Rp 60.000 = Rp 720.000
(Rp 3.720.000)
Penghasilan neto setahun Rp 56.280.000
PTKP untuk WP sendiri (Rp 54.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 2.280.000
PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp 2.280.000 = Rp 114.000

c. PPh Pasal 21 atas Bonus


Rp 351.500 - Rp 114.000 = Rp 237.500

1.4.2. Fajar Ari Wibowo (ber-NPWP) bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi sejak tahun 2010,
Pada tahun 2017 memperoleh gaji sebulan Rp 5.000.000 dan membayar luran pensiun
sebesar Rp 100.000. Fajar Ari Wibowo menikah tetapi belum mempunyai anak.
Penghasilan Fajar Ari Wibowo dari PT Jaya Abadi hanya dari gaji. Pada bulan Juli
menerima THR sebesar Rp 5.000.000 (sebulan gaji) .
Pada kasus ini kami menyajikan ilustrasi perhitungan PPh Pasal 21 selama setahun
dengan variasi pada bulan Juli ada penghasilan tidak teratur berupa THR. Secara prinsip
skema perhitungan sama dengan pemahaman perhitungan PPh Pasal 21 pada kasus
pegawai tetap menerima gaji saja. Yang menjadi perhatian adalah pada bulan dimana ada
penghasilan selain gaji yang berupa THR.
Ketentuan pada bulan Desember pada prinsipnya sama, hanya pada kasus ini mengakui
kembali nominal THR yang ikut diperhitungkan.

ATC – Tax Specialist 121


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

122
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

I.5 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI YANG


DIPINDAHTUGASKAN DALAM TAHUN BERJALAN

Pada saat pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan tidak berhenti bekerja dari
perusahaan tempat dia bekerja, Pegawai yang bersangkutan masih tetap bekerja pada perusahaan
yang sama dan hanya berubah lokasinya saja, Dengan demikian dalam penghitungan PPh Pasal
21 tetap menggunakan dasar penghitungan selama setahun.

ATC – Tax Specialist 123


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

I.6 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI YANG


BERHENTI BEKERJA ATAU MULA1 BEKERJA DALAM TAHUN BERJALAN

I.6.1 Pegawai Baru Mulai Bekerja Pada Tahun Berjalan

1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya
sebagai Subjek Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun kalender tetapi baru bekerja
pada pertengahan tahun.

Budiyanta bekerja pada PT Xiang Malam sebagai pegawai tetap sejak 1 September 2017.
Budiyanta menikah tetapi beium punya anak. Gaji sebulan adalah sebesar Rp 20.000.000
dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar Rp150.000. Budiyanta hanya
memperoleh penghasilan berupa gaji saja.

2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya
sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulal setelah permulaan tahun pajak, dan mulai
bekerja pada tahun berjalan.

David Raisita (K/3) mulai bekerja 1 September 2017. la bekerja di Indonesia s.d Agustus
2019. Selama Tahun 2017 menerima gaji per bulan Rp 20.000.000. David Raisita hanya
memperoleh penghasilan berupa gaji saja.

Penghitungan PPh Pasal 21 bulan September tahun 2017 untuk kasus Budiyanta dan David
Raisita disajikan dalam ilustrasi berikut dibawah ini.

124
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

I.6.2 Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan

1. Pegawai Yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja Pada Tahun
Berjalan
Arip Marwanto yang berstatus belum menikah adalah pegawai pada PT Mahakam
Utama di Yogyakarta - DIY. Sejak 1 Oktober 2017 yang bersangkutan berhenti bekerja
di PT Mahakam Utama. Gaji Arip Marwanto setiap bulan memperoleh sebesar Rp
15.000.000,- dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada Dana Pensiun
yang pendiriannya telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan sejumlah Rp l00.000
setiap bulan. Selama bekerja di PT Mahakam Utama Arip Marwanto hanya menerima
penghasilan berupa gaji saja.

2. Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan dan Sekaligus Kehilangan Kewajiban
Pajak Subjektif
Lewis Oshea (K/3) mulai bekerja Mei 2014 dan berhenti bekerja sejak 1 Juni 2017 dan
meninggalkan Indonesia ke negara asalnya (kehilangan kewajiban pajak subjektif).
Selama tahun 2017 menerima gaji perbulan sebesar Rp15.000.000.

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk kasus Arip Marwanto dan Lewis Oshea disajikan dalam
ilustrasi berikut dibawah ini.

ATC – Tax Specialist 125


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Catatan :
Cara penghitungan Lewis Oshea di atas berlaku juga bagi pegawai yang kehilangan
kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan karena meninggal dunia.

I.7 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG SEBAGIAN


ATAU SELURUHNYA DIPEROLEH DALAM MATA UANG ASING
Neill Mc Leary adalah seorang pegawai tetap memperoleh gaji pada bulan Januari 2017 dalam
mata uang asing sebesar US$ 1.500 sebulan. Kurs yang berlaku untuk bulan Januari 2017
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan adalah Rp13.300 per US$1.00. Neill Mc Leary
berstatus menikah dengan 1 anak.

Penghitungan PPh Pasal 21 adalah :


Gaji sebulan adalah:US$ 1.500 x Rp13.300 Rp 19.950.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan 5% x Rp 19.950.000 = Rp 997.500.00
Maksimum diperkenankan (Rp 500.000)
Penghasilan neto sebulan Rp 19.450.000
Penghasilan neto setahun 12 x Rp19.450.000 Rp 264.000.000
126
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

PTKP (K/1)
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan untuk 1 orang anak Rp 4.500.000
(Rp 63.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 201.000.000
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp151.000.000 Rp 22.650.000
Rp 25.150.000
PPh Pasal 21 bulan Januari: Rp 25.150.000 : 12 = Rp 2.095.833

I.8 PPh PASAL 21 SELURUH ATAU SEBAGIAN DITANGGUNG OLEH PEMBERI KERJA

Dalam hal PPh Pasa1 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, pajak yang ditanggung
pemberi kerja tersebut termasuk dalam pengertian kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) hurut b dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan.

Arip Mulyana adalah seorang pegawai dari PT Lautan Otomata dengan status menikah dan
mempunyai 3 orang anak. Dia menerima gaji Rp 7.500.000 sebulan dan PPh ditanggung oleh
pemberi kerja. Tiap bulan ia membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp150.000. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan
Juli 2017 dalam hal Arip Mulyana hanya menerima pembayaran gaji saja adalah:

Gaji sebulan Rp 7.500.000


Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 5% x Rp 7.500.000 Rp 375.000
2. Iuran pensiun Rp 150.000
(Rp 525.000)
Penghasilan neto sebulan Rp 6.975.000
Penghasilan neto setahun12 x Rp 6.975.000,- Rp 83.700.000
PTKP K/3 (Rp 72.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 11.700.000
PPh Pasai 21 setahun adalah 5% x Rp 11.700.000 = Rp 645.000
PPh Pasal 21 bulan Juli:Rp 645.000: 12 = Rp 53.750

PPh Pasal 21 sebesar Rp 53.750.00 ini ditanggung dan dibayar oleh pemberi kerja, Jumlah sebesar
Rp 53.750 tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto pemberi kerja dan bukan merupakan
penghasilan yang dikenakan pajak kepada Arip Mulyana.
Namun apabila pemberi kerja adalah Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersitat final atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit), maka kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi
kerja ditambahkan ke dalam penghasilan dari pegawai yang bersangkutan, dan penghitungan
pajaknya dilakukan sesuai contoh Nomor 1.9.

ATC – Tax Specialist 127


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

I.9 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PEGAWAI TETAP YANG


MENERIMA TUNJANGAN PAJAK

Dalam hal kepada pegawai diberikan tunjangan pajak. maka tunjangan pajak tersebut merupakan
penghasilan pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.

Contoh penghitungan:
Peri lrawan (status belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan) bekerja pada PT Kartika
Kawashima Pionirindo dengan memperoleh gaji sebesar Rp 7.500.000.00 sebulan. Kepada Peri
lrawan diberikan tunjangan pajak sebesar Rp50.000.00. Iuran pensiun yang dibayar oleh Peri
lrawan adalah sebesar Rp25.000.00 sebulan.
PPh Pasal 21 bulan September 2017 dalam hal Peri lrawan tidak menerima penghasilan dari PT
Kartika Kawashima Pionirindo selain gaji adalah:

Penghitungan PPh Pasal 21 adalah :


Gaji sebulan Rp 7.500.000
Tunjangan pajak Rp 50.000
Penghasilan bruto sebulan Rp 7.550.000
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 5% x Rp7.550.000 = Rp377.500
2. Iuran pensiunRp25.000
(Rp 402.500.00)
Penghasilan neto sebulan Rp 7.147.500
Penghasilan neto setahun12 x Rp 7.147.500 Rp 85.770.000
PTKP untuk WP sendiri (Rp 54.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 31.770.000
PPh Pasal 21 setahun adalah5% x Rp31.770.000 = Rp 1.588.500
PPh Pasal 21 bulan September adalah: Rp 1.588.500 : 12 = Rp 132.375

I.10 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN
KENIKMATAN LA1NNYA YANG DIBERIKAN OLEH WAJIB PAJAK YANG PENGENAAN
PAJAK PENGHASILANNYA BERS1FAT FINAL ATAU BERDASARKAN NORMA
PENGHITUNGAN KHUSUS (DEEMED PROFIT)

Qalbun Junaidi adalah warga negara RI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang asing yang
pengenaan pajaknya menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit), pada bulan
Agustus 2017 memperoleh gaji sebesar Rp 6.500.000 sebulan beserta beras 50 kg dan gula 10 kg.
Qalbun Junaidi berstatus menikah dengan 1 orang anak. Nilai uang dari beras dan gula dihitung
berdasarkan harga pasar yaitu :
Harga beras : Rp10.000 per kg.
Harga gula : Rp 8.000 per kg.
Penghitungan PPh Pasal 21
Gaji sebulan Rp 6.500.000
Beras : 50 x Rp 10.000 Rp 500.000
Gula : 10 x Rp 8.000 Rp 80.000
Penghasilan bruto sebulan Rp 7.080.000
Pengurangan :
Biaya Jabatan5% x Rp7.080.000 (Rp 354.000)
Penghasilan neto sebulan Rp 6.726.000
Penghasilan neto setahun12 x Rp6.726.000 Rp 80.712.000

128
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

PTKP (K/1)
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan untuk 1 orang anak Rp 4.500.000
(Rp 63.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 17.712.000
PPh Pasal 21 setahun adalah5% x Rp 17.712.000 = Rp 885.600
PPh Pasal 21 bulan AgustusRp885.600 : 12 = Rp 73.800

I.11 PERHITUNGAN PPM PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP YANG BARU MEMILIKI NPWP
PADA TAHUN BERJALAN

Wahyu Santosa. status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada PT
Fajar Sejahtera dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar Rp5.500.000, dan
yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp200.000. Wahyu
Santosa Baru memiliki NPWP pada bulan Juni 2017 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP
kepada PT Fajar Sejahtera untuk digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 bulan Juni.
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari - Mei 2017
adalah sebagai berikut:

Gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.500.000.00


Pengurangan
1. Biaya Jabatan5% x Rp5.500.000 =Rp 275.000
2. Iuran pensiun Rp 200.000
(Rp 475.000)
Penghasilan Neto atas gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.025.000
Penghasiian Neto setahun: 12 x Rp5.025.000 Rp 60.300.000
PTKP (TK/0) (Rp 54.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 6.300.000
PPh Pasal 21 atas penghasilan setahun:5% x Rp 6.300.000 = Rp 315.000
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan Rp 315.000 : 12 = Rp 26.250
PPh Pasal 21 yang harus dipotong karena yang bersangkutan
belum memiliki NPWP:120% x Rp 26.250 = Rp 31.500

Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong dari Januari - Mei 2016


5 x Rp 31.500 = Rp 157.500
Jumlah PPh Pasal 21 terutang apabila yang bersangkutan memiliki NPWP
5 x Rp 26.250 = (Rp 131.250)
Selisih (20% x 5 x Rp26.250) = Rp 26.250

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus dipotong untuk bulan Juni 2017. setelah
yang bersangkutan memiliki NPWP dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada pemberi
kerja, dengan catatan gaji dan tunjangan untuk bulan Juni 2017 tidak berubah, adalah sebagai
berikut:

PPh Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan Perhitungan sebelumnya) Rp 26.250


Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan 20%
sebelum memiliki NPWP (Januari-Mei 2017) 20% x 5 x Rp 26.250 (Rp26.250)

ATC – Tax Specialist 129


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Juni 2017 Nihil

Apabila Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada akhir November 2017 dan menyerahkan
fotokopi kartu NPWP sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk buian Desember 2017, dengan
asumsi penghasilan setiap bulan besarnya sama dan tidak ada penghasilan lain selain penghasilan
tetap dan teratur setiap bulan tersebut, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada
bulan Desember 2017 adalah sebagai berikut:

PPh Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan perhitungan sebelumnya Rp 26.250


Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan 20% sebelum
memiliki NPWP (Januari-November 2017) 20% x 11 x Rp 26.250 (Rp 57.750)
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Desember 2017 (Rp 31.500)

Karena jumlah yang diperhitungkan lebih besar daripada jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk
bulan Desember 2017, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk bulan tersebut
adalah Nihil. Jumlah sebesar Rp 31.500 dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 untuk bulan-
bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya. Karena jumlah tersebut sudah
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan berikutnya, jumlah tersebut
tidak termasuk dalam kredit pajak yang dapat diperhitungkan oleh pegawai tetap dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2017, dimana Wahyu Santosa baru memiliki
NPWP pada akhir bulan November 2017 sebelum pemotongan PPh Pasal 21 bulan Desember
2017 adalah sebagai berikut:

Gaji dan tunjangan setahunRp5.500.000 x 12 Rp 66.000.000


Pengurangan :
Biaya Jabatan5% x Rp66.000.000 Rp 3.300.000
luran pensiun:Rp200.000 x 12 = Rp 2.400.000
(Rp 5.700.000)
Penghasilan Nato setahun Rp 60.300.000
PTKP (TK/0) (Rp 54.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 6.300.000
PPh Pasal 21 atas penghasilan setahun : 5% x Rp 6.300.000 Rp 315.000
Pasal 21 yang telah dipotong:
Bulan Januari November 2017 11 x Rp 31.500 =Rp 346.500
Bulan Desember 2017 Rp 0
Rp 346.500
PPh Pasal 21 lebih dipotong untuk diperhitungkan
pada bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya (Rp 31.500)

Karena jumlah sebesar Rp31.500 sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang bulan
berikutnya oleh Pemotong PPh Pasal 21, maka jumlah yang dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi pegawai yang
bersangkutan sebesar Rp 315.000.

I.12 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 YANG HARUS DIPOTONG PADA MASA PAJAK TERAKHIR

Masa pajak terakhir yang dimaksud disini, yaitu :


a. Bulan Desember untuk Pegawai Tetap yang Bekeria sampai dengan akhir tahun kalender;

130
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

b. Bulan Terakhir Memperoleh Gaji atau Penghasilan Tetap dan Teratur karena yang
Bersangkutan Berhenti Bekerja.

1 Penghitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong pada Bulan Desember.


a. Dalam Hal Penghasilan Tetap dan Teratur Setiap Bulan Sama/Tidak Berubah, maka
jumlah PPh Pasal 21 yang hares dipotong pada bulan Desember besarnya sama
dengan yang dipotong pada bulan-bulan sebelumnya.
b. Dalam Hal Besarnya Penghasllan Tetap dan Teratur Setiap Bulan mengalami
Perubahan.

Jaka Lelana. status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada
PT Lazuardi Internusa dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar
Rp6.000.000, dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana
Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar
Rp250.000. Mulai bulan Juli 2017 Jaka Lelana memperoleh kenaikan penghasilan tetap
setiap bulan menjadi sebesar Rp8.000.000.

Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari-Juni 2017
adalah sebagai berikut

Gaji dan tunjangan sebulan Rp 6.000.000


Pengurangan :
Biaya Jabatan5% X Rp6.000.000 = Rp 300.000
Iuran pensiun = Rp 250.000
Rp. 550.000
Penghasilan Neto atas gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.450.000
Penghasilan Neto setahun12 X Rp5.450.000 Rp65.400.000
PTKP (TK/0) (Rp 54.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 11.400.000
PPh Pasal 21 atas gaji setahun 5% X Rp 11.400.000 = Rp 570.000
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan Rp 570.000 : 12 = Rp 47.500

Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Juli-November
2017 adalah sebagai berikut :

Gaji dan tunjangan sebulan Rp 8.000.000


Pengurangan :
Biaya Jabatan5% X Rp8.000.000 =Rp 400.000
Iuran pensiun = Rp 250.000
(Rp 650.000)
Penghasilan Neto atas gaji dan tunjangan sebulan Rp 7.350.000
Penghasilan Neto setahun 12 X Rp7.350.000 Rp 88.200.000
PTKP (TK/0) (Rp 54.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 34.200.000
PPh Pasal 21 atas penghasilan setahun :
5% X Rp 34.200.000 Rp 1.710.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan
Rp1.710.000 : 12 = Rp 142.500

Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2017:

ATC – Tax Specialist 131


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Penghasilan selama setahun


(6 X Rp6.000.000) + (6 X Rp8.000.000) = Rp 84.000.000.00
Pengurangan:
Biaya Jabatan :5% X Rp75.000.000 =Rp 4.200.000
Iuran Pensiun12 X Rp250.000 =Rp 3.000.000
(Rp 7.200.000)
Penghasilan Neto Rp 76.800.000
PTKP (TK/0) (Rp 54.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 22.800.000
PPh Pasal 21 terutang:5% X Rp 22.800.000 Rp 1.140.000
PPh Pasal 21 yang telah dIpotong s.d. November 2017
(6 X Rp 47.500) + ( 5 X Rp 142.500) (Rp 997.500)
PPh Pasal 21 yang harus dipotongpada bulan Desember 2017 Rp 142.500

2 Penghitungan PPh Pasal 21 Yang Harus Dipotong pada Bulan Terakhir Pegawai Tetap
Memperoleh Penghasilan Tetap dan Teratur Karena Yang Bersangkutan Berhenti Bekerja
sebelum Bulan Desember.
contoh: Lihat Contoh 1.6.2. Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan

II PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS UANG PENSIUN YANG DIBAYARKAN SECARA


BERKALA (BULANAN)

II.1 Penghitungan PPh Pasal 21 Pada Tahun Pertama Dibayarkannya Uang Pensiun Secara
Bulanan

II.1.1 Penghitungan PPh Pasal 21 di Tempat Pemberi Kerja Sebelum Pensiun.


Apabila waktu pensiun sudah dapat diketahui dengan pasti pada awal tahun,
misalnya berdasarkan ketentuan yang beriaku di tempat pemberi kerja yang
dikaitkan dengan usia pegawai yang bersangkutan. maka penghitungan PPh Pasal 21
terutang sebulan dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang akan diperoleh
dalam periode dimana pegawai yang bersangkutan akan bekerja dalam tahun
berjalan sebelum memasuki masa pensiun.
Namun, apabila waktu pensiun belum dapat diketahui dengan pasti pada waktu
menghitung PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap maka penghitungan PPh Pasal
21 didasarkan pada perkiraan penghasilan neto setahun seperti pada Contoh 1.6.2.1.
Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Masih
Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja pada Tahun Berjalan,

Contoh
Hari Irawan. berstatus kawin dengan 2 (dua) orang anak yang masih menjadi
tanggungan, bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Nusa lndah Gemilang dengan
gaji sebulan sebesar Rp 15.000.000_ Hari Irawan setiap bulan membayar iuran
pensiun sebesar Rp 300.000 ke Dana Pensiun Artha Mandiri yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku di PT
Nusa Indah Gemilang terhitung mulai 1 Juli 2017, Hari irawan akan memasuki masa
pensiun.

Penghitungan PPh Pasal 21 sebulan :


Gaji sebulan Rp 15.000.000

132
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Pengurangan
1. Biaya jabatan: 5% x Rp9.000.000 =Rp 750.000
2. Iuran pensiun Rp 300.000
(Rp 1.050.000)
Penghasilan Neto sebulan Rp 13.950.000
Penghasilan Neto 6 bulan (masa bekerja Januari s.d. Juni 2017)
Rp 13.950.000 X 6 = Rp 83.700.000
PTKP (K/2)
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan untuk 2 orang anak Rp 9.000.000
(Rp 67.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 16.200.000
PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp 16.200.000 Rp 810.000
PPh Pasal 21 terutang sebulan : Rp 810.000 : 6 Rp 135.000

Pada saat Hari Irawan berhenti bekerja dan memasuki masa pensiun, maka pemberi
kerja memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721 Al) dengan data sebagai
berikut :
Gaji selama 6 bulan :6 x Rp15.000.000 Rp 90.000.000
Pengurangan :
1. Biaya jabatan :5% x Rp 90.000.000 = Rp 4.500.000
2. Iuran pensiun : 6 x Rp300.000 = Rp 1.800.000
(Rp 6.300.000)
Penghasilan Neto selama 6 bulan Rp 83.700.000
PTKP
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan untuk 2 orang anak Rp 9.000.000
(Rp 67.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 16.200.000
PPh Pasal 21 terutang(5% x Rp 16.200.000) Rp 810.000.00
PPh Pasal 21 telah dipotong(6 x Rp 135.000) (Rp 810.000.00)
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL

Apabila pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulan didasarkan pada penghasilan yang
disetahunkan, karena pada saat perhitungan belum diketahui secara pasti saat
pensiun atau berhenti bekerja, maka pada saat penghitungan PPh Pasai 21 terutang
untuk masa terakhir (saat pensiun atau berhenti bekerja), akan terjadi kelebihan
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang bersangkutan, yang harus
dikembalikan oleh pemotong pajak kepada pegawai yang bersangkutan.

II.1.2 Penghitungan PPM Pasal 21 oleh Dana Pensiun yang Membayarkan Uang Pensiun
Bulanan.

Untuk kemudahan dan kesederhanaan bagi pegawai yang


pensiun dalam hal yang bersangkutan tidak mempunyai penghasilan selain dari
pekedaan dari satu pemberi kerja clan uang pensiun, Dana Pensiun menghitung
pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada tahun pertama pegawai menerima
uang pensiun dengan berdasarkan pada gunggungan penghasilan neto dari pemberi

ATC – Tax Specialist 133


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

kerja sampai dengan pensiun dan perkiraan uang pensiun yang akan diterima dalam
tahun kalender yang bersangkutan. Agar Dana Pensiun dapat melakukan
pemotongan PPh Pasal 21 seperti itu, maka penerima pensiun harus segera
menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721 A-2) dari pemberi
kerja sebelumnya.

Melanjutkan contoh sebelumnya:


Selanjutnya, mulai bulan Juli 2017 Hari Irawan memperoleh uang pensiun dari Dana
Pensiun Artha Mandid sebesar Rp 8.000.000 sebulan. Penghitungan PPh Pasal 21
terutang atas uang pensiun adalah sebagai berikut :

Pensiun sebulan adalah Rp 8.000.000


Pengurangan:
Biaya pensiun 5% x Rp 8.000.000 = (Rp 400.000)
Penghasilan neto sebulan Rp 7.600.000
Penghasilan neto Juli s.d. Desember 2017: 6 x Rp 7.600.000.00 Rp 45.600.000
Penghasilan neto dari PT Nusa Indah Gemilang
sesuai dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21 adalah Rp 83.700.000
Jumlah penghasilan neto tahun 2017 Rp 129.300.000
PTKP (K/2) (Rp 67.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 61.800.000
PPh Pasal 21 terutang adalah 5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp 11.800.000 Rp 1.770.000

PPh Pasal 21 terutang di PT Nusa Indah Gemilang


sesuai dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721 A1) (Rp 135.000)
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun Artha Mandiri 6 bulan Rp 4.135.000
PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang harus dipotong tiap bulan
Rp 4.135.000: 6 = Rp 689.167

Penghitungan kembali PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun Artha Mandiri untuk
dicantumkan dalam Form 1721 A1:

Pensiun selama 6 bulan 6xRp8.000000 Rp 48.000.000


Pengurangan :
Biaya pensiun 5% x Rp 48.000.000 = (Rp 2.400.000)
Penghasilan neto 6 bulan Rp 45.600.000
Penghasilan neto dari di PT Nusa Indah Gemilang
sesuai dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21 adalah Rp 83.700.000.00
Jumlah penghasilan neto tahun 2017 Rp 129.300.000.00
PTKP (K/2) (Rp 67.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 61.800.000
PPh Pasal 21 terutang adalah 5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp 11.800.000 Rp 1.770.000
PPh Pasal 21 terutang di PT Nusa Indah Gemilang
sesuai dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721 Al) (Rp 135.000)
PPh Pasal 21 terutang Dana Pensiun Swadhana Utama 6 bulan Rp 4.135.000
PPh Pasal 21 telah dipotong 6 x Rp 689.167 (Rp 4.135.000)
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL

134
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

II.2 Penghitungan PPh Pasai 21 Atas Pembayaran Uang Pensiun Secara Bulanan Pada Tahun
Kedua dan Seterusnya.

Dengan menggunakan contoh sebelumnya, penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun
bulanan mulai Januari 2017 (tahun kedua yang bersangkutan pensiun) adalah sebagai
berikut :

Pensiun sebulan adalah Rp 8.000.000


Pengurangan :Biaya pensiun 5% x Rp 8.000.000 = (Rp 400.000)
Penghasilan neto sebulan Rp 7.600.000
Penghasilan neto disetahunkan 12 x Rp 7.600.000 Rp 91.200.000
PTKP (K/2) (Rp 67.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 23.700.000
PPh Pasal 21 setahun 5%xRp23.700.000 = Rp 1.185.000
PPh Pasal 21 sebulan Rp 30.000 : 12 = Rp 98.750

III PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN PEGAWAI


HARIAN, TENAGA HARIAN LEPAS, PENERIMA UPAH SATUAN, DAN PENERIMA UPAH
BORONGAN

III.1 DENGAN UPAH HARIAN


III.1.1 Nurcahyo dengan status belum menikah pada bulan Januari 2017 bekerja sebagai
buruh harian PT Cipta Mandiri Sejahtera. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima
upah harian sebesar Rp 450.000.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
Upah sehari Rp 450.000
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan
pemotongan PPh (Rp 450.000)
Penghasilan Kena Pajak sehari Rp 0
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah sehari Rp 0
Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum
melebihi Rp 4.500.000 maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.

Pada hari ke-11 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 4.500.000, maka
PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang
sebenamya.

Upah s.d hari ke-11 (Rp 450.000 x 11) Rp 4.950.000


PTKP sebenamya:11 x (Rp 54.000.000 / 360) (Rp 1.650.000)
Penghasilan Kena Pajak s.d hari ke-11 Rp 3.300.000

PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-11 5% x Rp 3.300.000 Rp 165.000


PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-10 (Rp 0)
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-11 Rp 165.000

Sehingga pada had ke-11, upah bersih yang diterima Nurcahyo sebesar: Rp 450.000 –
Rp 165.000 = Rp 285.000

ATC – Tax Specialist 135


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Misalkan Nurcahyo bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong pada hari ke-12 adalah sebagai berikut :

Upah sehari Rp 450.000


PTKP sehariuntuk WP sendiri (Rp 54.000.000: 360) (Rp 150.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 300.000
PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp 300.000 Rp 15.000

Sehingga pada hari ke-12, Nurcahyo menerima upah bersih sebesar: Rp 450.000 – Rp
10.000 = Rp 435.000

III.1.2 Nanang Hermawan (belum menikah) pada bulan Maret 2017 bekerja pada
perusahaan PT Tani Jaya, menerima upah sebesar Rp 750.000.00 per hari.

Upah sehari di atas Rp 450.000 adalah:


Rp 750.000 – Rp 450.000 = Rp 300.000
PPh Pasal 21 = 5% x Rp300.000 = Rp 15.000

Pada hari ke-7 dalam bulan kalender yang bersangkutan, Nanang Hermawan telah
menerima penghasilan sebesar Rp 5.250.000.00. sehingga telah melebihi Rp
4.500.000. Dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan Nanang Hermawan pada
bulan Maret 2017 dihitung sebagai berikut:

Upah 7 hari kerja Rp 3.500.000


PTKP:7 x (Rp 54.000.000 / 360) (Rp 1.050.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 2.450.000
PPh Pasal 21 = 5%xRp 2.450.000 Rp 122.500
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d. hari ke-6 : 6xRp15.000 (Rp 90.000)
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hati ke-7 Rp 32.500

Jumlah sebesar Rp 32.500 ini dipotongkan dari upah harian sebesar Rp 750.000
sehingga upah yang diterima Nanang Hermawan pada had kerja ke-7 adalah:

Rp 750.000 – Rp 32.500 = Rp 717.500.00

Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan,
jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah:
Upah sehari Rp 750.000
PTKP
- untuk WP sendiri (Rp 54.000.000 : 360) (Rp 150.000 )
Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000
PPh Pasa1 21 terutang adalah 5% x Rp. 600.000 = Rp 30.000

III.2 DENGAN UPAH SATUAN

Rizal Fahmi (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV
pada suatu perusahaan elektronika. Upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan
yang diselesaikan yaitu Rp 100.000 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Da1am
waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 36 buah TV dengan upah Rp
2.400.000.00
136
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Penghitungan PPh Pasal 21 :


Upah sehari adalahRp 3.600.000.00 : 6 Rp 600.000
Upah diatas Rp 450.000 sehari, Rp 600.000 – Rp 450.000 Rp 150.000
Upah seminggu terutang pajak6 x Rp 150.000 Rp 900.000
PPh Pasal 21 (mingguan) 5% x Rp900.000 = Rp 45.000

III.3 DENGAN UPAH BORONGAN

Contoh Penghitungan
Mawan mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp 1.400.000.
pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.
Upah borongan sehari : Rp1.400.000 : 2 = Rp 700.000
Upah sehari diatas Rp 450.000
Rp 700.000 – Rp 450.000 Rp 250.000
Upah borongan terutang pajak:
2 x Rp250.000 Rp 500.000
PPh Pasal 21 = 5% x Rp500.000 = Rp 25.000

III.4 UPAH HARIAN/SATUAN/BORONGAN/HONORARIUM YANG DITERIMA TENAGA


HARIAN LEPAS TAPI DIBAYARKAN SECARA BULANAN

Bagus Hermanto bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2017 Bagus Hermanto hanya bekerja 20 hari
kerja dan upah sehari adalah Rp 450.000. Bagus Hermanto menikah tetapi belum memiliki
anak.
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah Januari 2017 = 20 x Rp 450.000 = Rp 9.000.000
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp 5.000.000 = Rp 108.000.000
PTKP (K/0) adalah sebesar
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
(Rp 58.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 49.500.000

PPh Pasal 21 setahun adalah sebesar:


5% x Rp 49.500.000 = Rp 2.475.000

PPh Pasal 21 sebulan adalah sebesar: Rp2.450.000 : 12 = Rp 206.250

IV PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS JASA PRODUKSI, TANTIEM,


GRATIFIKASI YANG DITERIMA MANTAN PEGAWAI, HONORARIUM KOMISARIS YANG
BUKAN SEBAGAI PEGAWAI TETAP DAN PENARIKAN DANA PENSIUN OLEH PESERTA
PROGRAM PENSIUN YANG MASIH BERSTATUS SEBAGAI PEGAWAI

ATC – Tax Specialist 137


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

IV.1 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan kepada mantan pegawai.

Victoria Endah bekerja pada PT Fajar Wisesa. Pada tanggal 1 Januari 2018 telah berhenti
bekerja pada PT Fajar Wisesa karena pensiun. Pada bulan Maret 2018 Victoria Endah
menerima jasa produksi tahun 2017 dari PT Fajar Wisesa sebesar Rp 60.000.000.00.
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp50.000.000.00 Rp 2.500.000
15% x Rp10.000.000 Rp 1.500.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 4.000.000

Apabila dalam tahun kalander yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada mantan
pegawai lebih dan 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang
berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh alas
jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan
yang telah diterima sebelumnya.
IV.2 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap.
Aulia Rais adalah seorang komisaris di PT Media Primatama, yang bukan sebagai pegawai
tetap. Dalam tahun 2017, yaitu bulan Desember 2017 menerima honorarium sebesar Rp
60.000.000
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp10.000.000 = Rp 1.500.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 4.000.000.00

Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada yang
bersangkutan lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang
berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh alas
jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan
yang telah diterima sebelumnya.

IV.3 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 penarikan dana pensiun oieh peserta program pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai.

Nicholas Sinulingga adalah pegawai PT Abadi Sejahtera menerima gaji Rp2.000.000


sebulan. PT Abadi Sejahtera mengikuti program pensiun untuk para pegawainya. PT Abadi
Sejahtera membayar iuran dana pensiun untuk Nicholas Sinulingga sebesar Rp100.000
sebulan ke Dana Pensiun Abadi Sejahtera, yang merupakan dana pensiun yang dibentuk
bagi pengelolaan uang pensiun pegawai PT Abadi Sejahtera yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan. Nicholas Sinulingga membayar iuran serupa ke dana
pensiun yang sama sebesar Rp50.000.00 sebulan.
BuIan April 2017 Nicholas Sinulingga memerlukan biaya untuk perbaikan rumahnya maka
ia mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar sendiri sebesar Rp20.000.000.

138
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Kemudian pada bulan Juni 2017 ia menarik lagi dana sebesar Rp 15.000.000. Kemudian
bulan Oktober 2017 untuk keperluan lainnya ia nnenarik lagi dana sebesar Rp25.000.000.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:


a. atas penarikan dana sebesar Rp20.000.000 pada bulan April 2017 terutang PPh Pasal 21
sebesar 5% x Rp20.000.000 = Rp1.000.000.
b. atas penarikan dana sebesar Rp15.000.000 pada bulan Juni 2017 terutang PPh Pasal 21
sebesar 5% x Rp15.000.000 = Rp750.000
c. atas penarikan dana sebesar Rp25.000.000 pada bulan Oktober 2017 terutang PPh Pasal
21 sebesar:
5% x Rp25.000.000 = Rp 1.250.000

PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 2.250.000

V PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN


PEGAWAI.
V.1 CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA
OLEH BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG BERSIFAT
BERKESINAMBUNGAN

V.1.a Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah sakit dan/
atau klinik dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang
melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian bahwa
atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak
rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit clan sisanya sebesar 80% dari
jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar, Sp.JP pada setiap
akhir bulan. Selain praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dr. Abdul Gopar,
Sp.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik pribadinya. dr. Abdul Gopar, Sp.JP
telah memiliki NPWP dan pada tahun 2017, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari
praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat adalah
sebagai berikut:

Jasa Dokter yang dibayar Pasien (100%)


Bulan
(Rupiah)
Januari 45.000.000
Februari 49.000.000.00
Maret 47.000.000
April 40.000.000
Mei 44.000.000
Juni 52.000.004
Juli 40.000.000.00
Agustus 35.000.000
September 45.0000

ATC – Tax Specialist 139


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Oktober 44.000.000
November 43.000.000
Desember 40.000.000.00
Jumlah 524.000.000.00

Penghitungan PPh Pasai 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2017:

Jasa Dokter yang Dasar Dasar Pemotongan PPh Pasal 21


Tarif Pasal
Bulan dibayar Pasien Pemotongan PPh PPh Pasal 21 terutang
17 a
(Rupiah) Pasal 21 (Rupiah) Kumulatif (Rupiah) (Rupiah)

(1) (2) (3)=50%x(2) (4) (5) (6)=(3)x(5)


Januari 45.000.000 22.500.000 22.500.000 5% 1.125.000
Februari 49.000.000 24.500.000 47.000.000 5% 1.225.000
3.000.000 50.000.000 5% 150.000
Maret 47.000.000 ------ --------- ---- -------
20.500.000 70.500.000 15% 3.075.000
April 40.000.000 20.000.000 90.500.000 15% 3.000.000
Mei 44.000.000 22.000.000 112.500.000 15% 3.300.000
Juni 52.000.000 26.000.000 138.500.000 15% 3.900.000
Juli 40.000.000 20.000.000 158.500.000 15% 3.000.000
Agustus 35.000.000 17.500.000 176.000.000 15% 2.625.000
September 45.000.000 22.500.000 198.500.000 15% 3.375.000
Oktober 44.000.000 22.000.000 220.500.000 15% 3.300.000
November 43.000.000 21.500.000 242.000.000 15% 3.225.000
8.000.000 250.000.000 15% 1.200.000
Desember 40.000.000 -------- ------- ---- -------
12.000.000 262.000.000 25% 3.000.000
Jumlah 524.000.000 262.000.000 35.500.000

Catatan:
Apabila dr. Abdul Gopar Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang
adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.

V.1.bContoh perhitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada petugas dinas
luar asuransi (bukan sebagai pegawai perusahaan asuransi)

Neneng Hasanah adarah petugas dinas luar asuransi dari PT. Tabarru Ufa, Suami
Neneng Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mempunyai NPWP, dan
yang bersangkutan bekerja pada PT. Kersamanah. Neneng Hasanah telah
menyampaikan fotokopi kartu NIPWP suami, fotokopi Surat nikah dan fotokopi
kartu keluarga kepada pemotong pajak. Neneng Hasanah hanya memperoleh
penghasilan dari kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, dan telah
menyampaikan surest pemyatean yang menerangkan hal tersebut kepada PT
Tabarru Life. Pada tahun 2017, penghasilan yang diterima oleh Neneng Hasanah
sebagai petugas dines luar asuransi dari PT. Tabarru Life adalah sebagai berikut:

140
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Komis i Agen
Bulan
(Rupiah)
Januari 38.000.000
Februari 40.000.000
Maret 42.000.000
April 44.000.000
Mei 45.000.000
Juni 48.000.000
Juli 50.000.000
Agustus 52.000.000
September 55.000.000
Oktober 56.000.000
Nopember 58.000.000
Desember 60.000.000

Jum lah 5 8 8 .0 0 0 .0 0 0

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2016
adalah:

Penghasilan 50% dari PTKP Penghasilan Penghasilan Tarif Pasal 17 PPh Pasal 21
Bruto Penghasilan (Rupiah) Kena Pajak Kena Pajak ayat (1) terutang
Bulan
(Rupiah) Bruto (Rupiah) Kumulatif Huruf a (Rupiah)
(Rupiah) UU PPh
(1) (2) (3) =50%X(2) (4) (5) (6) (7) (8)
Januari 38.000.000 19.000.000 3.000.000 16.000.000 16.000.000 5% 800.000.000
Februari 40.000.000 20.000.000 3.000.000 17.000.000 33.000.000 5% 850.000.000
17.000.000 50.000.000 5% 850.000.000
Maret 42.000.000 21.000.000 3.000.000
1.000.000 51.000.000 15% 150.000.000
April 44.000.000 22.000.000 3.000.000 19.000.000 70.000.000 15% 2.850.000.000
Mei 45.000.000 22.500.000 3.000.000 19.500.000 89.000.000 15% 2.925.000.000
Juni 48.000.000 24.000.000 3.000.000 21.000.000 110.000.000 15% 3.150.000.000
Juli 50.000.000 25.000.000 3.000.000 22.000.000 132.500.000 15% 3.300.000.000
Agustus 52.000.000 26.000.000 3.000.000 23.000.000 155.500.000 15% 3.450.000.000
September 55.000.000 27.500.000 3.000.000 24.500.000 180.000.000 15% 3.675.000.000
Oktober 56.000.000 28.000.000 3.000.000 25.000.000 205.000.000 15% 3.750.000.000
Nopember 58.000.000 29.000.000 3.000.000 26.000.000 231.000.000 15% 3.900.000.000
Desember 60.000.000 30.000.000 3.000.000 19.000.000 250.000.000 15% 2.850.000.000
8.000.000 258.000.000 25% 2.000.000.000
Jumlah 588.000.000 294.000.000 34.500.000.000

Dalam hal Neneng Hasanah tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami,
fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Neneng Hasanah sendiri tidak
memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh di
atas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh
Pasal 21 yang terutang adalah sebesar 120% dan PPh Pasal 21 yang seharusnya
terutang dari yang memiliki NPWP sebagaimana penghitungan berikut ini:

ATC – Tax Specialist 141


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Dasar
Dasar
Penghasilan Pemotongan Tarif Pasal 17 Tarif tidak PPh Pasal 21
Pemotongan
Bulan Bruto PPh Pasal 21 ayat (1) huruf a Memiliki terutang
PPh Pasal 21
(Rupiah) Kumulatif UU PPh NPWP (Rupiah)
(Rupiah)
(Rupiah)
(1) (2) (3)=50%X(2) (4) (5) (6) (7)=(3)X(5)X(5)
Januari 38.000.000 19.000.000 19.000.000 5% 120% 1.140.000
Februari 40.000.000 20.000.000 39.000.000 5% 120% 1.200.000
50.000.000 5% 120% 660.000
Maret 42.000.000 21.000.000
60.000.000 15% 120% 1.800.000
April 44.000.000 22.000.000 82.000.000 15% 120% 3.960.000
Mei 45.000.000 22.500.000 104.500.000 15% 120% 4.050.000
Juni 48.000.000 24.000.000 128.500.000 15% 120% 4.320.000
Juli 50.000.000 25.000.000 153.500.000 15% 120% 4.500.000
Agustus 52.000.000 26.000.000 179.500.000 15% 120% 4.680.000
September 55.000.000 27.500.000 207.000.000 15% 120% 4.950.000
Oktober 56.000.000 28.000.000 235.000.000 15% 120% 5.040.000
250.000.000 15% 120% 2.700.000
Nopember 58.000.000 29.000.000
264.000.000 25% 120% 4.200.000
Desember 60.000.000 30.000.000 294.000.000 25% 120% 9.000.000
Jumlah 588.000.000 294.000.000 52.200.000

Dalam hal suami Neneng Hasanah atau Neneng Hasanah sendiri telah memiliki NPWP,
tetapi Neneng Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai petugas
dinas luar asuransi. maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh di
atas, namun tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan atau
suaminya telah memiliki NPWP,

V.2 CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA


OLEH BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK BERSIFAT
BERKES1NAMBUNGAN
Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia dengan
fee sebesar Rp5.000.000.

Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:


5% x 50% Rp5.000.000 = Rp125.000

Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang menjadi sebesar: 120% x 5% x 50% Rp5.000.000.00 = Rp150.000

V.3 CONTOH PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN


YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI, SEHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN
JASA YANG DALAM PEMBERIAN JASANYA MEMPEKERJAKAN ORANG LAIN
SEBAGAI PEGAWAINYA DAN/ATAU MELAKUKAN PENYERAHAN
MATERIAL/BAHAN

142
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Arip Nugraha melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan
Rp10.000.000. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 4orang pekerja dengan membayarkan
upah harian masing-masing sebesar Rp 375.000. Upah harian yang dibayarkan untuk 4
orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000. selain itu. Aril) Nugraha membeli
sparepart AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp1.000.000.

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:


a. Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Arip Nugraha,
dapat diketahui bagian imbalan, bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan
kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh Arip Nugraha dan biaya untuk
membeli spare part AC, maka jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh
Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan
kepada Arip Nugraha adalah sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga
kerja harian yang dipekerjakan Arip Nugraha dan biaya spare part AC. sebagaimana
dalam contoh adalah sebesar:

Rpl0.000.000 – Rp4.500.000 - Rp1.000.000 = Rp4.500.000.00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima
Arip Nugraha adalah sebesar:
5% x 50% x Rp4.500.000 = Rp112.500

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
120% x 5% x 50% x Rp4.500.000 = Rp135.000

b. Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi berdasarkan perjanjian


yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Arip Nugraha mengenai upah
yang harus dikeluarkan Arip Nugraha atau pembelian materialibahan, PPh Pasal 21
yang harus dipotong PT Wahana Jaya adalah jumlah sebesar
5% x 50% x Rp10.000.000 = Rp250.000

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
120% x 5% x 50% x Rp10.000.000.00 = Rp300.000

Catatan :
Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong PPh
Pasal 21 oleh Arip Nugraha.

VI PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA


PESERTA KEGIATAN.

Contoh Penghitungan PPh Pasal 21


Sony Amaros adalah seorang atlet bulutangkis professional Indonesia yang bertempat tinggal di
Jakarta. la menjuarai turnamen Indonesia Grand Prix Gold dan memperoleh hadiah sebesar
Rp200.000.000.

PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Grand Prix Gold tersebut adalah:

ATC – Tax Specialist 143


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp150.000.000 = Rp 22.500.000
Rp 25.000.000

VII PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI DENGAN


STATUS WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG MEMPEROLEH GAJI SEBAGIAN ATAU
SELURUHNYA DALAM MATA UANG ASING

a. Dalam hal pegawai dengan status Wajib Pajak Iuar negeri memperoleh gaji sebagian atau
seluruhnya dalam mata uang asing sebelum PPh dihitung terlebih dahulu harus dikonversi
dalam mata uang rupiah.
b. PPh Pasal 26 yang terutang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan bruto, dan tidak
boleh diperhitungkan pengurangan-pengurangan seperti biaya jabatan dan PTKP.

Contoh:
Russel Frederiksen adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari, Dia
berstatus menikah dan mempunyai 2 orang anak. la memperoleh gaji pada bulan Maret 2016
sebesar US$2,500 sebulan. Kurs Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah Rp11.500.00
untuk US$ 1.00.

Penghitungan PPh Pasal 26:


Penghasilan bruto berupa gaji sebulan adalah:
US$2,500 x Rp11.500 = Rp 28.750.000
PPh Pasal 26 terutang adalah:
20% x Rp28.750.000 = Rp 5.750.000

Catatan:
Apabila penerima penghasilan tidak
mempunyai NPWP, maka besarnya
tarif pemotongan PPh 21 dikenakan
lebih tinggi 20% dari tarif normal.

BAB V
BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN DAN
PENYAMPAIAN SPT MASA DAN BUKTI POTONG PPh
PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
(Berlaku per 1 Januari 2014)
144
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

PENDAHULUAN
Mulai masa Pajak bulan Januari 2014, SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26
Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26 telah berubah.
Perubahan tersebut di atur dalam Per No 14/PJ/Tahun 2013.

DalamPeraturanDirekturJenderalPajaktersebutyangdimaksuddengan:

1. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut dengan KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak
tempat Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 terdaftar.

2. Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan
KP2KP adalah Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang berada dalam
wilayah KPP.

3. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang selanjutnya disebut dengan Pemotong adalah
Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang
mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

4. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai
subjek pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, dari Pemotong sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk
penerima pensiun.

5. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai
subjek pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, dari Pemotong sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk
penerima pensiun.

6. Penerima Penghasilan adalah Penerima Penghasilan yang meliputi Penerima Penghasilan


yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.

7. e-SPT adalah data SPT Pemotong dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Pemotong PPh
dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

8. Media elektronik adalah sarana penyimpanan data elektronik yang dapat digunakan untuk
memindahkan data dari suatu komputer ke komputer lainnya, antara lain Flash Disk dan
Compact Disc (CD).

9. e-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan secara on-line yang real time
melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau Penyedia Jasa Aplikasi atau
Application ServiceProvider(ASP).

ATC – Tax Specialist 145


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal26 dapat berbentuk:


A. Formulir kertas (hard copy)
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 baik dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) maupun e-
SPT dapat digunakan oleh Pemotong yang:
- melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau
tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang
jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
- melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 bagi bukan pegawai dan
pegawai tidak tetap, dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh)
dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
- melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak
lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
- melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya tidak lebih dari
20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.

B. e-SPT.

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT wajib digunakan oleh Pemotong
yang:
a. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau
tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang
jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
b. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh
sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20
(dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
c. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya
lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
d. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya lebih dari 20
(duapuluh) dokumen dalam 1(satu) masa pajak.
Pemotong yang telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-
SPT tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam
bentuk formulir kertas (hardcopy) untuk masa-masa pajak berikutnya.

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dapat disampaikan oleh Pemotong dengan cara:
a. langsung ke KPP atau KP2KP;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP;
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP; atau
d. e-filing yang tata cara penyampaiannya diatur dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
146
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang disampaikan oleh Pemotong meliputi SPT Masa PPh
Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang berbentuk:
a. formulir kertas (hard copy); dan
b. e-SPT yang disampaikan dalam media elektronik.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) tidak perlu
dilampiri dengan:
a. Formulir 1721-I dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap, Penerima
Pensiun, Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil,
Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan
Pensiunannya;
b. Formulir 1721-II dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan Pasal 26
dengan menggunakan Formulir 1721-VI;
c. Formulir 1721-III dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan menggunakan
Formulir 1721-VII;
d. Formulir 1721-IV dalam hal tidak ada penyetoran dan pemindahbukuan PPh Pasal 21 dan
Pasal 26 dengan menggunakan SSP dan Bukti Pbk;
e. Formulir 1721-V dalam hal Pemotong wajib menyampaikan SPT Tahunan;
f. Formulir 1721-VI;
g. Formulir 1721-VII;
h. Formulir 1721-A1;
i. Formulir 1721-A2;
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT harus disampaikan dengan disertai Induk
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).

Untuk lebih jelasnya terkait dengan SPT Masa PPh Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26 yang berlaku mulai
masa pajak bulan Januari 2014 berikut ini akan kami sajikan panduan tentang bentuk, isi dan tata cara
pengisian dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26 (Hasil sosialisasi oleh Direktorat
Jenderal Pajak).

ATC – Tax Specialist 147


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

ST U DI KASU S PEN GISIAN SPT MASA PPh PASAL 21/26


( s es uai PER - 14/PJ /2013)

1. Data Pemotong Pajak


Nama : PT. Primadona Indonesia
NPWP : 01.061.574.8.411.000
Alamat : Jl. Siaga Raya No 22 Bintaro, Jakarta
Telepon : 021-7356444
Jenis Usaha : Penerbitan & Percetakan
Nama Pimpinan : Purwo Satrio

2. Data Pegawai tetap


2.1 Daftar Gaji Pokok

Gaji Pokok /
No N ama Pegawai L/P Status J abatan N PW P
bulan ( Rp)
1 PURWO SATRIO L K/2 Direktur 01.824.255.2-411.000 15.000.000
2 ANGGORO L K/3 Manajer 07.539.900.6-001.000 9.000.000
3 HARFAN L TK/0 Pegawai 36.227.426.8.411.000 5.000.000

2.2 Program BPJS Ketenagakerjaan (iuran berdasarkan gaji pokok per bulan)

No Program T arif Keterangan


1 Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 0.89% Ditanggung perusahaan
2 Jaminan Kemetian (JKM) 0,3% Ditanggung perusahaan
3 Jaminan Hari Tua (JHT) 3,7% Ditanggung perusahaan
4 Jaminan Hari Tua (JHT) 2% Ditanggung karyawan

2.3 Tunjangan & THR


- Perusahaan memberikan tunjangan transport sebesar 20% dari gaji pokok.
- Bulan Agustus 2016, karyawan mendapatkan THR satu kali gaji pokok.

2.4 Data Kependudukan

No N ama Pegawai N IK Alamat

1 PURWO SATRIO 3306151503750000 JL. KENANGA N0. 12 JAKARTA


2 ANGGORO 3174092904710007 JL. KAMBOJA N0. 20 JAKARTA
3 HARFAN 3674031612770005 JL. KEMUNING N0. 22 JAKARTA

3. Ins truks i
3.1 Buat perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan selama tahun 2016 !
3.2 Isikan hasil perhitungan tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Januari !
3.1 Buat perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setahun !
3.2 Isikan hasil perhitungan tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Desember !

148
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

PERHIT U N GAN PEMO T O N GAN PPh PS. 21 BAGI PEGAW AI T ET AP


Purwo Satrio Anggoro Harfan
No U RAIAN Panduan ( L) ( L) ( L)
K/2 K/3 T K/0

A Perhitungan PPh Pas al 21 atas gaji bulanan


1 Penghasilan Bruto Sebulan :
a Gaji Pokok 15.000.000 9.000.000 5.000.000
b Tunjangan transport : 20% x Gaji Pokok 3.000.000 1.800.000 1.000.000
c Premi JKK : 0,89% x Gaji Pokok 133.500 80.100 44.500
d Premi JKM : 0,3 % x Gaji Pokok 45.000 27.000 15.000
e J umlah A1a s /d A1d 18. 178. 500 10. 907. 100 6. 059. 500
2 Pengurang :
a Biaya Jabatan (maksimal 500.000 / bulan) 5% X A1e 500.000 500.000 302.975
b Iuran JHT : 2% x Gaji Pokok 300.000 180.000 100.000
c Jumlah A2a+A2b 800.000 680.000 402.975
3 Penghasilan Netto Sebulan A1e-A2c 17.378.500 10.227.100 5.656.525
4 Penghasilan Netto Setahun A3 X 12 208.542.000 122.725.200 67.878.300
5 PTKP 45.000.000 48.000.000 36.000.000

6 Penghasilan Kena Pajak (dibulatkan ribuan) A4-A5 163.542.000 74.725.000 31.878.000


7 PPh ps. 21 setahun tarif Ps. 17 19.531.300 6.208.750 1.593.900

8 PPh ps . 21 s ebulan A7/12 1. 627. 608 517. 396 132. 825

B Perhitungan PPh Pas al 21 Gaji & T HR


1 Penghasilan Bruto Setahun:
a Gaji Pokok Gaji Pokok X 12 180.000.000 108.000.000 60.000.000
b Tunjangan transport : 20% x Gaji Pokok 36.000.000 21.600.000 12.000.000
c Premi JKK : 0,89% x Gaji Pokok 1.602.000 961.200 534.000
d Premi JKM : 0,3 % x Gaji Pokok 540.000 324.000 180.000
e T HR 15. 000. 000 9. 000. 000 5. 000. 000
f J umlah B1a s /d B1e 233. 142. 000 139. 885. 200 77. 714. 000
2 Pengurangan :
a Biaya Jabatan (maksimal 6.000.000 / tahun) 5% X A1e 6.000.000 6.000.000 3.885.700
b Iuran JHT : 2% x Gaji Pkk 3.600.000 2.160.000 1.200.000
c Jumlah B2a+B2b 9.600.000 8.160.000 5.085.700
3 Penghasilan Netto Setahun B1f - B2f 223.542.000 131.725.200 72.628.300
4 PTKP 45.000.000 48.000.000 36.000.000
5 Penghasilan Kena Pajak (dibulatkan ribuan) B3-B4 178.542.000 83.725.000 36.628.000
6 PPh Ps . 21 s etahun atas Gaji & T HR tarif Ps . 17 21. 781. 300 7. 558. 750 1. 831. 400

C PPh Pas al 21 atas T HR


1 PPh Ps. 21 atas Gaji & THR = B6 21.781.300 7.558.750 1.831.400
2 PPh Ps. 21 atas Gaji = A7 19.531.300 6.208.750 1.593.900
3 PPh Ps . 21 atas T HR s aja C1-C2 2. 250. 000 1. 350. 000 237. 500

ATC – Tax Specialist 149


REKAP PEN GHASILAN BRU T O & PPh PASAL 21 YAN G T ELAH DIPOT ON G T AHU N 2016

Purwo Satrio Anggoro Harfan Jumlah PPh Ps. 21

150
No BULAN (Ph. Atas Gaji)
Ph Bruto Dipotong Ph Bruto Dipotong Ph Bruto Dipotong Ph Bruto Dipotong

1 Januari (atas Gaji) 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
2 Februari 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
3 Maret 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
4 April 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

5 Mei 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829


6 Juni 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
7 Juli 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
8 Agustus 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
Agustus (atas THR) 15.000.000 2.250.000 9.000.000 1.350.000 5.000.000 237.500 29.000.000 3.837.500
9 September 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
10 Oktober 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
11 Nopember 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
Jumlah Januari s.d. November 214.963.500 20.153.692 128.978.100 7.041.354 71.654.500 1.698.575 415.596.100 28.893.621

Jumlah setahun (Jan-Des) 233.142.000 21.781.300 139.885.200 7.558.750 77.714.000 1.831.400 450.741.200 31.171.450
Jumlah Januari s.d. November 214.963.500 20.153.692 128.978.100 7.041.354 71.654.500 1.698.575 415.596.100 28.893.621
12 Desember 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

area staples

SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) MASA


PAJAK PENGHASILAN FORMULIR 1721
PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
KEMENTERIAN KEUANGAN RI Formulir ini digunakan untuk melaporkan area barcode
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Pasal 26
Bacalah petunjuk pengisian sebelum m engisi form ulir ini
MASA PAJAK : JUMLAH LEMBAR SPT
SPT SPT TERMASUK LAMPIRAN:
[mm - yyyy] H.01 01 - 2016 H.02 x NORMAL
H.03
PEMBETULAN KE-
H.04 (DIISI OLEH PETUGAS)
H.05 H.06

A. IDENTITAS PEMOTONG

1. NPWP : A.01 01.061.574.8 - 411 . 000 01.061.574.8.056.000


2. NAMA : A.02 PT. PRIMADONA INDONESIA
3. ALAMAT : A.03 JL. SIAGA RAYA NO. 22 BINTARO, JAKARTA

4. NO. TELEPON : A.04 021-7356444 5. EMAIL : A.05 -

B. OBJEK PAJAK
JUMLAH
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN JUMLAH PAJAK
No PENERIMA PENGHASILAN PAJAK
PENERIMA
PENGHASILAN BRUTO (Rp) DIPOTONG (Rp)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. PEGAWAI TETAP 21-100-01 3 35.145.100 2.277.829


2. PENERIMA PENSIUN BERKALA 21-100-02

3. PEGAWAI TIDAK TETAP ATAU TENAGA KERJA LEPAS 21-100-03

4. BUKAN PEGAWAI

4a. DISTRIBUTOR MULTILEVEL MARKETING (MLM) 21-100-04

4b. PETUGAS DINAS LUAR ASURANSI 21-100-05

4c. PENJAJA BARANG DAGANGAN 21-100-06

4d. TENAGA AHLI 21-100-07

BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA IMBALAN YANG


4e. BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN 21-100-08
BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA IMBALAN YANG
4f. TIDAK BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN 21-100-09

ANGGOTA DEWAN KOMISARIS ATAU DEWAN PENGAWAS


5. 21-100-10
Y ANG TIDAK MERANGKAP SEBAGAI PEGAWAI TETAP
MANTAN PEGAWAI Y ANG MENERIMA JASA PRODUKSI,
6. 21-100-11
TANTIEM, BONUS ATAU IMBALAN LAIN

7. PEGAWAI Y ANG MELAKUKAN PENARIKAN DANA PENSIUN 21-100-12

8. PESERTA KEGIATAN 21-100-13

PENERIMA PENGHASILAN Y ANG DIPOTONG PPh PASAL 21


9. 21-100-99
TIDAK FINAL LAINNY A
PEGAWAI/PEMBERI JASA/PESERTA KEGIATAN/PENERIMA
10. 27-100-99
PENSIUN BERKALA SEBAGAI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI

11. JUMLAH (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D.10) 3 35.145.100 2.277.829


PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR JUMLAH (Rp)

12. STP PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 (HANYA POKOK PAJAK) B.01 -

KELEBIHAN PENYETORAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 DARI :


13. MASA PAJAK:
B.02 B.03
-
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 TAHUN KALENDER (yyyy)

14. JUMLAH (ANGKA 12 + ANGKA 13) B.04 -

15. PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR (ANGKA 11 KOLOM 6 - ANGKA 14) B.05 2.277.829
LANJUTKAN PENGISIAN PADA ANGKA 16 & 17 APABILA SPT PEMBETULAN DAN/ATAU PADA ANGKA 18 APABILA PPh LEBIH DISETOR

PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR PADA SPT YANG DIBETULKAN
16. B.06
(PINDAHAN DARI BAGIAN B ANGKA 15 DARI SPT Y ANG DIBETULKAN)

PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR KARENA PEMBETULAN
17. B.07
(ANGKA 15 - ANGKA 16)

18. KELEBIHAN SETOR PADA ANGKA 15 ATAU ANGKA 17 AKAN DIKOMPENSASIKAN KE MASA PAJAK (mm - yyyy) B.08 -

HALAMAN 1

ATC – Tax Specialist 151


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

area staples

NPWP PEMOTONG : B.09 01.061.574.8 - 411 . 000 FORMULIR 1721

C. OBJEK PAJAK FINAL


JUMLAH
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN JUMLAH PAJAK
NO PENERIMA PENGHASILAN PENERIMA
PAJAK BRUTO (Rp) DIPOTONG (Rp)
PENGHASILAN

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

PENERIMA UANG PESANGON YANG DIBAYARKAN


1. 21-401-01
SEKALIGUS
PENERIMA UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA
2. ATAU JAMINAN HARI TUA DAN PEMBAY ARAN SEJENIS Y ANG 21-401-02
DIBAY ARKAN SEKALIGUS

PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA


TNI/POLRI DAN PENSIUNAN Y ANG MENERIMA HONORARIUM
3. DAN IMBALAN LAIN Y ANG DIBEBANKAN KEPADA KEUANGAN
21-402-01
NEGARA/DAERAH

PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL


4. 21-499-99
21 FINAL LAINNYA

5. JUMLAH BAGIAN C (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D. 5)

D. LAMPIRAN

x 1. FORMULIR 1721 - I 5. Formulir 1721 - IV


D.01 (Untuk Satu Masa Pajak) D.02
1 LEMBAR
D.09 D.10
LEMBAR

2. 6. Formulir 1721 - V
FORMULIR 1721 - I LEMBAR
D.03 (Untuk Satu Tahun Pajak) D.04 D.11

3. FORMULIR 1721 - II x 7. SURAT SETORAN PAJAK (SSP) DAN/ATAU


D.05 D.06
LEMBAR
D.12 BUKTI PEMINDAHBUKUAN (Pbk) D.13
1 LEMBAR

4. FORMULIR 1721 - III 8. SURAT KUASA KHUSUS


LEMBAR
D.07 D.08 D.14

E. PERNYATAAN DAN TANDA TANGAN PEMOTONG


Dengan menyadari sepenuhnya atas segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, saya menyatakan
bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

1. x E.01 PEMOTONG E.02 KUASA 6. TANDA TANGAN :

2. NPWP : E.03 01.824.255.2 - 411 . 000


3. NAMA : PURWO SATRIO
purwosatrio
E.04

4. TANGGAL : E.05
20 - 02 - 2016 (dd - mm - yyyy)

5. TEMPAT : E.06 JAKARTA

152
DAFTAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU a
TUNJANGAN HARI TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA SERTA BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA TENTARA NASIONAL
FORMULIR 1721-I r
INDONESIA, ANGGOTA POLISI REPUBLIK INDONESIA, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA
e
Lembar ke-1:untuk KPP
X SATU MASA PAJAK
a
KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PAJAK : Lembar ke-2:untuk Pemotong
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK [m m - yyyy] H.01 01 - 2016 SATU TAHUN PAJAK NPWP PEMOTONG : H.02 01.061.574.8 - 411 . 000
s
t
A. PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA MELEBIHI PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
a
BUKTI PEMOTONGAN MASA KODE p
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN
NO NPWP NAMA PPh DIPOTONG (Rp) PEROLEHAN NEGARA
PAJAK BRUTO (Rp) l
NOMOR TANGGAL (dd - mm - yyyy) PENGHASILAN DOMISILI

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
e
s
1. 01.824.255.2-411.000 PURWO SATRIO 21-100-01 18.178.500 1.627.608
2. 07.539.900.6-001.000 ANGGORO 21-100-01 10.907.100 517.396

ATC – Tax Specialist


3. 36.227.426.8.411.000 HARFAN 21-100-01 6.059.500 132.825
4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

JUMLAH A (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D ANGKA 20) 35.145.100 2.277.829


PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA
B. : -
DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA TIDAK MELEBIHI PTKP B.01 ORANG
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

C. TOTAL (JUMLAH A + B)

153
35.145.100 2.277.829
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

area staples

DAFTAR SURAT SETORAN PAJAK (SSP)


DAN/ATAU BUKTI PEMINDAHBUKUAN (Pbk)
FORMULIR 1721 - IV
UNTUK PEMOTONGAN PAJAK
Lembar ke-1 : untuk KPP
PENGHASILAN PASAL 21 Lembar ke-2 : untuk Pemotong
DAN/ATAU PASAL 26
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

MASA PAJAK :

[mm - yyyy] H.01 01 - 2016 NPWP PEMOTONG : H.02 01.061.574.8 - 411 . 000
KODE JENIS
KODE AKUN TGL SSP/BUKTI Pbk
No SETORAN NTPN/NOMOR BUKTI Pbk JUMLAH PPh DISETOR KET.
PAJAK (KAP) (KJS) [dd - mm - yyyy)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. 411121 100 10/02/2014 0305140701060501 2.277.829 0


2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

JUMLAH (PENJUMLAHAN BAGIAN ANGKA 1 S.D ANGKA 13) 2.277.829


KETERANGAN :
KOLOM (7) DIISI DENGAN ANGKA :
0 : UNTUK SSP
1 : UNTUK SSP PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH
2 : UNTUK BUKTI Pbk

154
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

area staples

BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN


PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP ATAU
PENERIMA PENSIUN ATAU TUNJANGAN HARI FORMULIR 1721 - A1
TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA Lembar ke-1 : untuk Penerima Penghasilan
Lembar ke-2 : untuk Pemotong

MASA PEROLEHAN
KEMENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN [m m - m m ]
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NOMOR : H.01 1 . 1 - 12 . 16 - 0000001 H.02 01 - 12

NPWP
PEMOTONG : H.03
01.061.574.8 - 411 . 000
NAMA
PEMOTONG : H.04 PT. PRIMADONA INDONESIA

A. IDENTITAS PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG

1. NPWP : 01.824.255.2 411 000 6. STATUS /JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP
A.01

2. NIK/NO. K/ 2 TK / HB /
PASPOR : A.02 3306151503750000 A.07 A.08 A.09

3. NAMA : A.03 PURWO SATRIO 7. NAMA JABATAN : A.10 DIREKTUR


4. ALAMAT : A.04 JL. KENANGA N0. 12 JAKARTA 8. KARYAWAN ASING : A.11 YA

9. KODE NEGARA DOMISILI : A.12

5. JENIS KELAMIN : A.05 X LAKI-LAKI A.06 PEREMPUAN

B. RINCIAN PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21


URAIAN JUMLAH (Rp)

KODE OBJEK PAJAK : X 21-100-01 21-100-02

PENGHASILAN BRUTO :

1. GAJI/PENSIUN ATAU THT/JHT 180.000.000


2. TUNJANGAN PPh -
3. TUNJANGAN LAINNYA, UANG LEMBUR DAN SEBAGAINYA 36.000.000
4. HONORARIUM DAN IMBALAN LAIN SEJENISNYA -
5. PREMI ASURANSI YANG DIBAYAR PEMBERI KERJA 2.142.000
6. PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN LAINNY A Y ANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21
-
7. TANTIEM, BONUS, GRATIFIKASI, JASA PRODUKSI DAN THR 15.000.000
8. JUMLAH PENGHASILAN BRUTO (1 S.D.7) 233.142.000
PENGURANGAN :

9. BIAYA JABATAN/ BIAYA PENSIUN 6.000.000


10. IURAN PENSIUN ATAU IURAN THT/JHT 3.600.000
11. JUMLAH PENGURANGAN (9 S.D 10) 9.600.000
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 :

12. JUMLAH PENGHASILAN NETO (8-11) 223.542.000


13. PENGHASILAN NETO MASA SEBELUMNYA -
14. JUMLAH PENGHASILAN NETO UNTUK PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 (SETAHUN/DISETAHUNKAN) 223.542.000
15. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) 45.000.000
16. PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN (14 - 15) 178.542.000
17. PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN 21.781.300
18. PPh PASAL 21 YANG TELAH DIPOTONG MASA SEBELUMNYA -
19. PPh PASAL 21 TERUTANG 21.781.300
20. PPh PASAL 21 DAN PPh PASAL 26 YANG TELAH DIPOTONG DAN DILUNASI 21.781.300
C. IDENTITAS PEMOTONG

1. NPWP : C.01 01.824.255.2 - 411 . 000 3. TANGGAL & TANDA TANGAN

2. NAMA : C.02 PURWO SATRIO C.03 31 - 12 - 2016 purwosatrio


[dd - m m - yyyy]

ATC – Tax Specialist 155


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

area staples

BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN


PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP ATAU
PENERIMA PENSIUN ATAU TUNJANGAN HARI FORMULIR 1721 - A1
TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA Lembar ke-1 : untuk Penerima Penghasilan
Lembar ke-2 : untuk Pemotong

MASA PEROLEHAN
KEMENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN [m m - m m ]

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NOMOR : H.01 1 . 1 - 12 . 16 - 0000002 H.02 01 - 12

NPWP
:
01.061.574.8 - 411 . 000
PEMOTONG H.03

NAMA
PEMOTONG : H.04 PT. PRIMADONA INDONESIA

A. IDENTITAS PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG

1. NPWP : 07.539.900.6 - 001 . 000 6. STATUS /JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP
A.01

2. NIK/NO. 3174092904710007 K/ 3 TK / HB /
PASPOR : A.02 A.07 A.08 A.09

3. NAMA : A.03 ANGGORO 7. NAMA JABATAN : A.10 MANAJER


4. ALAMAT : A.04 JL. KEMUNING N0. 22 JAKARTA 8. KARYAWAN ASING : A.11 YA

9. KODE NEGARA DOMISILI : A.12

5. JENIS KELAMIN : A.05 X LAKI-LAKI A.06 PEREMPUAN

B. RINCIAN PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21


URAIAN JUMLAH (Rp)

KODE OBJEK PAJAK : X 21-100-01 21-100-02

PENGHASILAN BRUTO :

1. GAJI/PENSIUN ATAU THT/JHT 108.000.000


2. TUNJANGAN PPh -
3. TUNJANGAN LAINNYA, UANG LEMBUR DAN SEBAGAINYA 21.600.000
4. HONORARIUM DAN IMBALAN LAIN SEJENISNYA -
5. PREMI ASURANSI YANG DIBAYAR PEMBERI KERJA 1.285.200
6. PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN LAINNY A Y ANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21
-
7. TANTIEM, BONUS, GRATIFIKASI, JASA PRODUKSI DAN THR 9.000.000
8. JUMLAH PENGHASILAN BRUTO (1 S.D.7) 139.885.200
PENGURANGAN :

9. BIAYA JABATAN/ BIAYA PENSIUN 6.000.000


10. IURAN PENSIUN ATAU IURAN THT/JHT 2.160.000
11. JUMLAH PENGURANGAN (9 S.D 10) 8.160.000
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 :

12. JUMLAH PENGHASILAN NETO (8-11) 131.725.200


13. PENGHASILAN NETO MASA SEBELUMNYA -
14. JUMLAH PENGHASILAN NETO UNTUK PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 (SETAHUN/DISETAHUNKAN) 131.725.200
15. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) 48.000.000
16. PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN (14 - 15) 83.725.000
17. PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN 7.558.750
18. PPh PASAL 21 YANG TELAH DIPOTONG MASA SEBELUMNYA -
19. PPh PASAL 21 TERUTANG 7.558.750
20. PPh PASAL 21 DAN PPh PASAL 26 YANG TELAH DIPOTONG DAN DILUNASI 7.558.750
C. IDENTITAS PEMOTONG

1. NPWP : C.01 01.824.255.2 - 411 . 000 3. TANGGAL & TANDA TANGAN

2. NAMA : C.02 PURWO SATRIO C.03 31 - 12 - 2016 purwosatrio


[dd - m m - yyyy]

156
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

area staples

BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN


PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP ATAU
PENERIMA PENSIUN ATAU TUNJANGAN HARI FORMULIR 1721 - A1
TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA Lembar ke-1 : untuk Penerima Penghasilan
Lembar ke-2 : untuk Pemotong

MASA PEROLEHAN
KEMENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN [m m - m m ]

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NOMOR : H.01 1 . 1 - 12 . 16 - 0000003 H.02 01 - 12

NPWP
: 01.061.574.8 - 411 . 000
PEMOTONG H.03

NAMA
PEMOTONG : H.04 PT. PRIMADONA INDONESIA

A. IDENTITAS PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG

1. NPWP : 36.227.426.8. - 411 . 0 6. STATUS /JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP


A.01

2. NIK/NO. 3674031612770005 K/ TK /
0 HB /
PASPOR : A.02 A.07 A.08 A.09

3. NAMA : A.03 HARFAN 7. NAMA JABATAN : A.10 PEGAWAI


4. ALAMAT : A.04 JL. KEMUNING N0. 22 JAKARTA 8. KARYAWAN ASING : A.11 YA

9. KODE NEGARA DOMISILI : A.12

5. JENIS KELAMIN : A.05 X LAKI-LAKI A.06 PEREMPUAN

B. RINCIAN PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21


URAIAN JUMLAH (Rp)

KODE OBJEK PAJAK : X 21-100-01 21-100-02

PENGHASILAN BRUTO :

1. GAJI/PENSIUN ATAU THT/JHT 60.000.000


2. TUNJANGAN PPh -
3. TUNJANGAN LAINNYA, UANG LEMBUR DAN SEBAGAINYA 12.000.000
4. HONORARIUM DAN IMBALAN LAIN SEJENISNYA -
5. PREMI ASURANSI YANG DIBAYAR PEMBERI KERJA 714.000
6. PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN LAINNY A Y ANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21
-
7. TANTIEM, BONUS, GRATIFIKASI, JASA PRODUKSI DAN THR -
8. JUMLAH PENGHASILAN BRUTO (1 S.D.7) 72.714.000
PENGURANGAN :

9. BIAYA JABATAN/ BIAYA PENSIUN 3.635.700


10. IURAN PENSIUN ATAU IURAN THT/JHT 1.200.000
11. JUMLAH PENGURANGAN (9 S.D 10) 4.835.700
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 :

12. JUMLAH PENGHASILAN NETO (8-11) 67.878.300


13. PENGHASILAN NETO MASA SEBELUMNYA -
14. JUMLAH PENGHASILAN NETO UNTUK PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 (SETAHUN/DISETAHUNKAN) 67.878.300
15. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) 24.300.000
16. PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN (14 - 15) 43.578.000
17. PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN 2.178.900
18. PPh PASAL 21 YANG TELAH DIPOTONG MASA SEBELUMNYA -
19. PPh PASAL 21 TERUTANG 2.178.900
20. PPh PASAL 21 DAN PPh PASAL 26 YANG TELAH DIPOTONG DAN DILUNASI 2.178.900
C. IDENTITAS PEMOTONG

1. NPWP : C.01 01.824.255.2 - 411 . 000 3. TANGGAL & TANDA TANGAN

2. NAMA : C.02 PURWO SATRIO C.03 31 - 12 - 2016 purwosatrio


[dd - m m - yyyy]

ATC – Tax Specialist 157


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

area staples

SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) MASA


PAJAK PENGHASILAN FORMULIR 1721
PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
KEMENTERIAN KEUANGAN RI Formulir ini digunakan untuk melaporkan area barcode
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Pasal 26
Bacalah petunjuk pengisian sebelum m engisi form ulir ini
MASA PAJAK : JUMLAH LEMBAR SPT
SPT SPT TERMASUK LAMPIRAN:
[mm - yyyy] H.01 12 - 2016 H.02 x NORMAL
H.03
PEMBETULAN KE-
H.04 (DIISI OLEH PETUGAS)
H.05 H.06

A. IDENTITAS PEMOTONG

1. NPWP : A.01 01.061.574.8 - 411 . 000 01.061.574.8.056.000


2. NAMA : A.02 PT. PRIMADONA INDONESIA
3. ALAMAT : A.03 JL. SIAGA RAYA NO. 22 BINTARO, JAKARTA

4. NO. TELEPON : A.04 021-7356444 5. EMAIL : A.05 -

B. OBJEK PAJAK
JUMLAH
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN JUMLAH PAJAK
No PENERIMA PENGHASILAN PAJAK
PENERIMA
PENGHASILAN BRUTO (Rp) DIPOTONG (Rp)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. PEGAWAI TETAP 21-100-01 3 35.145.100 2.277.829


2. PENERIMA PENSIUN BERKALA 21-100-02

3. PEGAWAI TIDAK TETAP ATAU TENAGA KERJA LEPAS 21-100-03

4. BUKAN PEGAWAI

4a. DISTRIBUTOR MULTILEVEL MARKETING (MLM) 21-100-04

4b. PETUGAS DINAS LUAR ASURANSI 21-100-05

4c. PENJAJA BARANG DAGANGAN 21-100-06

4d. TENAGA AHLI 21-100-07

BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA IMBALAN YANG


4e. BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN 21-100-08

BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA IMBALAN YANG


4f. TIDAK BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN 21-100-09

ANGGOTA DEWAN KOMISARIS ATAU DEWAN PENGAWAS


5. 21-100-10
Y ANG TIDAK MERANGKAP SEBAGAI PEGAWAI TETAP
MANTAN PEGAWAI Y ANG MENERIMA JASA PRODUKSI,
6. 21-100-11
TANTIEM, BONUS ATAU IMBALAN LAIN

7. PEGAWAI Y ANG MELAKUKAN PENARIKAN DANA PENSIUN 21-100-12

8. PESERTA KEGIATAN 21-100-13

PENERIMA PENGHASILAN Y ANG DIPOTONG PPh PASAL 21


9. 21-100-99
TIDAK FINAL LAINNY A
PEGAWAI/PEMBERI JASA/PESERTA KEGIATAN/PENERIMA
10. 27-100-99
PENSIUN BERKALA SEBAGAI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI

11. JUMLAH (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D.10) 3 35.145.100 2.277.829


PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR JUMLAH (Rp)

12. STP PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 (HANYA POKOK PAJAK) B.01 -

KELEBIHAN PENYETORAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 DARI :


13. MASA PAJAK:
B.02 B.03
-
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 TAHUN KALENDER (yyyy)

14. JUMLAH (ANGKA 12 + ANGKA 13) B.04 -

15. PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR (ANGKA 11 KOLOM 6 - ANGKA 14) B.05 2.277.829
LANJUTKAN PENGISIAN PADA ANGKA 16 & 17 APABILA SPT PEMBETULAN DAN/ATAU PADA ANGKA 18 APABILA PPh LEBIH DISETOR

PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR PADA SPT YANG DIBETULKAN
16. (PINDAHAN DARI BAGIAN B ANGKA 15 DARI SPT Y ANG DIBETULKAN)
B.06

PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR KARENA PEMBETULAN
17. B.07
(ANGKA 15 - ANGKA 16)

18. KELEBIHAN SETOR PADA ANGKA 15 ATAU ANGKA 17 AKAN DIKOMPENSASIKAN KE MASA PAJAK (mm - yyyy) B.08 -

HALAMAN 1

158
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

area staples

NPWP PEMOTONG : B.09 01.061.574.8 - 411 . 000 FORMULIR 1721

C. OBJEK PAJAK FINAL


JUMLAH
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN JUMLAH PAJAK
NO PENERIMA PENGHASILAN PENERIMA
PAJAK BRUTO (Rp) DIPOTONG (Rp)
PENGHASILAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

PENERIMA UANG PESANGON YANG DIBAYARKAN


1. 21-401-01
SEKALIGUS
PENERIMA UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA
2. ATAU JAMINAN HARI TUA DAN PEMBAY ARAN SEJENIS Y ANG 21-401-02
DIBAY ARKAN SEKALIGUS

PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA


TNI/POLRI DAN PENSIUNAN Y ANG MENERIMA HONORARIUM
3. DAN IMBALAN LAIN Y ANG DIBEBANKAN KEPADA KEUANGAN
21-402-01
NEGARA/DAERAH

PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL


4. 21-499-99
21 FINAL LAINNYA

5. JUMLAH BAGIAN C (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D. 5)

D. LAMPIRAN

x 1. FORMULIR 1721 - I 5. Formulir 1721 - IV


D.01 (Untuk Satu Masa Pajak) D.02
1 LEMBAR
D.09 D.10
LEMBAR

2. 6. Formulir 1721 - V
FORMULIR 1721 - I LEMBAR
D.03 (Untuk Satu Tahun Pajak) D.04 D.11

3. FORMULIR 1721 - II x 7. SURAT SETORAN PAJAK (SSP) DAN/ATAU


D.05 D.06
LEMBAR
D.12 BUKTI PEMINDAHBUKUAN (Pbk) D.13
1 LEMBAR

4. FORMULIR 1721 - III 8. SURAT KUASA KHUSUS


LEMBAR
D.07 D.08 D.14

E. PERNYATAAN DAN TANDA TANGAN PEMOTONG


Dengan menyadari sepenuhnya atas segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, saya menyatakan
bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

1. x E.01 PEMOTONG E.02 KUASA 6. TANDA TANGAN :

2. NPWP : E.03 01.824.255.2 - 411 . 000


3. NAMA : PURWO SATRIO
purwosatrio
E.04

4. TANGGAL : E.05
20 - 01 - 2017 (dd - mm - yyyy)

5. TEMPAT : E.06 JAKARTA

ATC – Tax Specialist 159


DAFTAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU a
TUNJANGAN HARI TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA SERTA BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA TENTARA NASIONAL
FORMULIR 1721-I r
INDONESIA, ANGGOTA POLISI REPUBLIK INDONESIA, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA
e
Lembar ke-1:untuk KPP
X SATU MASA PAJAK
a
KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PAJAK : Lembar ke-2:untuk Pemotong
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK [m m - yyyy] H.01 12 - 2016 SATU TAHUN PAJAK NPWP PEMOTONG : H.02 01.061.574.8 - 411 . 000
s
t
A. PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA MELEBIHI PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
a
BUKTI PEMOTONGAN MASA KODE p
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN
NO NPWP NAMA PPh DIPOTONG (Rp) PEROLEHAN NEGARA
NOMOR TANGGAL (dd - mm - yyyy) PAJAK BRUTO (Rp)
PENGHASILAN DOMISILI l
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
e
s
1. 01.824.255.2-411.000 PURWO SATRIO 21-100-01 18.178.500 1.627.608
2. 07.539.900.6-001.000 ANGGORO 21-100-01 10.907.100 517.396
3. 36.227.426.8.411.000 HARFAN 21-100-01 6.059.500 132.825
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
JUMLAH A (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D ANGKA 20) 35.145.100 2.277.829

160
PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA
B.
DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA TIDAK MELEBIHI PTKP
:
B.01 ORANG -
C. TOTAL (JUMLAH A + B) 35.145.100 2.277.829
DAFTAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU a
TUNJANGAN HARI TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA SERTA BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA TENTARA NASIONAL
FORMULIR 1721-I r
INDONESIA, ANGGOTA POLISI REPUBLIK INDONESIA, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA
e
Lembar ke-1:untuk KPP
SATU MASA PAJAK
a
KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PAJAK : Lembar ke-2:untuk Pemotong
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK [m m - yyyy] H.01 12 - 2016 X SATU TAHUN PAJAK NPWP PEMOTONG : H.02 01.061.574.8 - 411 . 000
s
t
A. PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA MELEBIHI PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
a
BUKTI PEMOTONGAN MASA KODE p
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN
NO NPWP NAMA PPh DIPOTONG (Rp) PEROLEHAN NEGARA
PAJAK BRUTO (Rp) l
NOMOR TANGGAL (dd - mm - yyyy) PENGHASILAN DOMISILI

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
e
s
1. 01.824.255.2-411.000 PURWO SATRIO 1.1.12.14.0000001 31/12/2014 21-100-01 18.178.500 1.627.608 0112
2. 07.539.900.6-001.000 ANGGORO 1.1.12.14.0000002 31/12/2014 21-100-01 10.907.100 517.396 0112

ATC – Tax Specialist


3. 36.227.426.8.411.000 HARFAN 1.1.12.14.0000003 31/12/2014 21-100-01 6.059.500 132.825 0112
4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

JUMLAH A (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D ANGKA 20) 35.145.100 2.277.829


PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA
B. : -
DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA TIDAK MELEBIHI PTKP B.01 ORANG
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

161
C. TOTAL (JUMLAH A + B) 35.145.100 2.277.829
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

area staples

DAFTAR SURAT SETORAN PAJAK (SSP)


DAN/ATAU BUKTI PEMINDAHBUKUAN (Pbk)
FORMULIR 1721 - IV
UNTUK PEMOTONGAN PAJAK
Lembar ke-1 : untuk KPP
PENGHASILAN PASAL 21 Lembar ke-2 : untuk Pemotong
DAN/ATAU PASAL 26
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

MASA PAJAK :

[mm - yyyy] H.01 12 - 2016 NPWP PEMOTONG : H.02 01.061.574.8 - 411 . 000
KODE JENIS
KODE AKUN TGL SSP/BUKTI Pbk
No SETORAN NTPN/NOMOR BUKTI Pbk JUMLAH PPh DISETOR KET.
PAJAK (KAP) (KJS) [dd - mm - yyyy)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. 411121 100 10/02/2014 0406140801070301 2.277.829 0


2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

JUMLAH (PENJUMLAHAN BAGIAN ANGKA 1 S.D ANGKA 13) 2.277.829


KETERANGAN :
KOLOM (7) DIISI DENGAN ANGKA :
0 : UNTUK SSP
1 : UNTUK SSP PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH
2 : UNTUK BUKTI Pbk

162
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

BAB VI
PPh PASAL 22

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. MemahamiPemotong dan Pemungut PPh Pasal 22
2. Memahami Objek PPh Pasal 22
3. Memahami Tarif dan Sifat PPh Pasal 22

PENDAHULUAN
Salah satu bentuk pemungutan pajak yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) adalah pemungutan
PPh Pasal 22. Berbeda dengan PPh Pasal 21 yang wajib dilakukan oleh semua WP, pemungutan PPh
Pasal 22 hanya dilakukan oleh WP-WP tertentu dan atas 7 (tujuh) hal yaitu impor barang, pembelian
barang dalam negeri, penjualan hasil produksi tertentu di dalam negeri, penjualan (BBM, gas, pelumas),
penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri, pembelian kepada pedagang pengumpuldan penjualan
barang sangat mewah.
Sebagaian besar pengusaha sering berhubungan dengan WP tertentu tersebut sehingga pemahaman
yang baik tentang PPh pasal 22 diperlukan terutama untuk memprediksi jumlah kas yang akan
diterima/dibayarkan pada saat bertransaksi dengan WP-WP tertentu tersebut. Siapakah WP tertentu
tersebut? Kita akan bahas di bawah ini.

DASAR KETENTUAN PPh Pasal 22


Ketentuan yang mengatur tentang tata cara pengenaan PPh 22 sampai saat ini (beberapa saja yang
dituliskan) adalah:
1. Pasal 22 UU No. 7 Tahun 1983 S.T.D.T.D. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh)
2. PMK-154/PMK.03/2010 jo PMK 224/PMK.011/2012 jo. PMK-146/PMK.011/2013 jo.PMK-
175/PMK.011/2013jo PMK 107/PMK.010/2015 jo PMK-16/PMK.010/2016 Jo PMK-
34/PMK.010/2017 jo PMK 110/PMK.010/2018 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau
Kegiatan Usaha Di Bidang Lain
3. PMK-253/PMK.03/2008 jo PMK/90/PMK/2015 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai
Pemungut Pajak Penghasilan Dari Pembeli Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat
Mewah

ATC – Tax Specialist 163


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

4. PER-57/PJ/2010 jo PER-15/PJ/2011 jo PER-31/PJ/2015tentang Tata Cara Dan Prosedur


Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan
Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain

PEMOTONG/PEMUNGUT PPh PASAL 22


Berdasarkan Pasal 22 UU PPh jo. PMK-107/PMK.010/2015 jo PMK-16/PMK.010/2016 Jo PMK-
34/PMK.010/2017 Jo PMK-110/PMK.010/2018
pihak-pihak yang ditunjuk sebagai Pemungut PPh Pasal 22 adalah:
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1. impor barang; dan
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang
dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya;
b. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan
dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi
delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. Badan usaha tertentu meliputi:
1. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan;
2. Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah
berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui
pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
3. Badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara,
meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk kujang, PT
Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT
Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa,
PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton
Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak
Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Petikemas Surabaya, PT Indonesia
Comnets Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI
Syariah,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya;
f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di
dalam negeri;

164
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan
bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i. Badan Usaha industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan bahan berupa hasil
kehutanan,perkebunan,pertanian ,perternakan dan perikanan yang belum melalui proses
industri manufaktur untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
j. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha
pertambangan;
k. Badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan di dalam negri

OBJEK PPh PASAL 22


Objek PPh Pasal 22 diklasifikasikan dalam 7 hal, yaitu:
A. Impor barang luar negeri
B. Pembelian barang dalam negeri
C. Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas
D. Penjualan hasil produksi tertentu di dalam negeri kepada distributor
E. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri
F. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor
G. Pembelian barang yang tergolong sangat mewah

A. IMPOR BARANG LUAR NEGERI


Setiap Wajib Pajak yang melakukan impor akan dikenai PPh Pasal 22 impor dengan tarif:
1. 10 % x Nilai Impor untuk barang tertentu (Parfum, pakaian, karpet, logam mulia dan lain lain)
Jenis barang tertentu = Lampiran I PMK 34/PMK.010/2017
2. 7,5 % x Nilai Impor barang tertentu lainnya (Peralatan rumah tangga, alat elektronik, produk
garmen dan lain lain)
Jenis barang tertentu lainnya = Lampiran II PMK 34/PMK.010/2017
3. 2,5 % x Nilai Impor bagi importir yang menggunakan Angka Pengenal Impor (Non API) selain
barang tertentu dan tertentu lainnya dalam poin 1 dan 2
4. 7,5 % x Nilai Impor bagi importir tanpa Angka Pengenal Impor (Non API) selain barang tertentu
dan tertentu lainnya dalam poin 1 dan 2
5. 7,5 % x Nilai Lelang bagi pemenang Hasil Lelang Impor yang Tidak Dikuasai
6. 0,5 % xNilai Impor, kusus impor kedelai, gandum, dan tepung terigu, bagi importeryang memiliki
Angka Pengenal Impor (API)

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance
and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor. Apabila dalam melakukan
impor, importir menggunakan nilai dolar atau mata uang asing lainnya, Nilai Impor dihitung
menggunakan Kurs Menteri Keuangan. PPh Pasal 22 impor bersifat TIDAK FINAL dan dapat menjadi
kredit pajak.

ATC – Tax Specialist 165


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Contoh Kasus:
Wajib Pajak melakukan Impor dengan nilai Cost US$ 1.000, Insurance US$ 50, Freight US$ 200, Bea
Masuk 20 % dengan Nilai Kurs KMK = Rp 10.000 per dolar. Berapakah PPh Pasal 22 yang harus dibayar
oleh importir tersebut?
Jawab:
Cost US$ 1.000 X Rp 10.000 = Rp 10.000.000
Insurance US$ 50 X Rp 10.000 = Rp 500.000
Freight US$ 200 X Rp 10.000 = Rp 2.000.000 (+)
Nilai CIF = Rp 12.500.000
Bea Masuk (20 %) = Rp 2.500.000 (+)
Nilai Impor = Rp 14.500.000
PPh 22 (2,5 % x Rp 14.500.000) = Rp 362.500

Catatan : Selain pembayaran PPh pasal 22 impor dan Bea Masuk, WP wajib juga membayar
PPN Impor sebesar 10 % x Nilai Impor.

Pada contoh kasus di atas, PPh Pasal 22 impor sebesar Rp 362.500 dapat dibayarkan dengan 2
cara:
1. Disetor sendiri oleh importir
PPh Pasal 22 impor dapat disetor sendiri dengan menggunakan SSP atas nama dan
ditandatangani oleh importir yang bersangkutan bersamaan dengan pembayaran Bea
Masuk. Apabila pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 impor
harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). SSP
lembar ke-1 berlaku sebagai bukti setor PPh Pasal 22 impor.
2. Dipungut oleh Kantor Pelayanan Bea Cukai dan Bank Devisa
PPh Pasal 22 impor dapat dibayarkan kepada Bendaharawan Kantor Pelayanan Bea Cukai
(KPBC). KPBC akan memberikan bukti pemungutan PPh Pasal 22 impor kepada importir
dan wajib menyetorkannya ke Kas Negara paling lambat 1 hari setelah penerimaan
pembayaran secara kolektif. Paling lambat 7 hari setelah batas waktu penyetoran
Bendaharawan KPBC wajib membuat laporan mingguan pemungutan PPh Pasal 22 impor.

Tidak semua transaksi impor barang luar negeri dipungut PPh Pasal 22, sesuai yang tercantum
dalam PMK-146/PMK.011/2013 jo. PMK-175/PMK.011/2013 jo PMK-16/PMK.010/2016 jo PMK-
34/PMK.010/2017 Jo. PMK-110/PMK.010/2018 transaksi-transaksi di bawah ini dikecualikan dari
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 termasuk beberapa transaksi impor barang luar negeri :
a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai:
1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;
2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia
dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai
atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang
bertugas di Indonesia;

166
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

3. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau
untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam
itu yang terbuka untuk umum;
5. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8. barang pindahan;
9. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman
sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan kepabeanan;
10. barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk
kepentingan umum;
11. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan
bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan
dan keamanan negara;
13. vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
14. buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran
agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;
15. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan,
kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadangnya, serta
alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa
Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
16. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadangnya, serta peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa
perawatan dan reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha penyelenggara
sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian
umum, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha
penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara
prasarana perkeretaapian umum yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian yang akan
digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan
usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;
18. peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau
Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara
Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor
oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia atau pihak yang ditunjuk oleh
Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia; dan/atau;

ATC – Tax Specialist 167


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

19. barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya dilakukan oleh
Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
20. barang untuk kegiatan usaha panas bumi.
c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.
d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor
kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan
perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:
1. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut bendaharawan yang jumlahnya paling banyak
Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) tidak termasuk pajak pertambahan nilai dan bukan
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah dari suatu tranksaksi yang nilai sebenarnya
lebih dari Rp 2.000.000(dua juta rupiah)
2. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak BUMN/BUMD yang jumlahnya paling
banyak Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-
pecah;
3. pembayaran untuk:
a) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
b) pemakaian air dan listrik;
4. pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan dari
kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari :
a) kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;
atau;
b) kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak
kerja sama atau;
c) Trading arms kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak
kerja sama.
5. pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja
sama pengusahaan sumber daya panas bumi;
6. pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau
ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) huruf i, yang jumlahnya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dalam satu masa pajak
7. pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf j yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan/atau
bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e.
f. Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor

168
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

g. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan


Operasional Sekolah (BOS).
h. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, Agen
Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan
ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya,
i. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang memproduksi emas batangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf k kepada Bank Indonesia
j. Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa Pengguna Anggaran,
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran, atau bendahara pengeluaran),
k. Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum
BULOG).
l. Pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersedian pangan dan stabilisasi
harga pangan oleh perusahaan umum badan urusan logistik (Perum BULOG ) atau badan
usaha milik Negara lain yang mendapatkan penugasan sesuai ketentuan peraturan
perundangngan undangan.

ATC – Tax Specialist 169


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

B. PEMBELIAN BARANG DALAM NEGERI


Pembelian barang dalam negeri yang dipungut PPh pasal 22 adalah pembelian barang dalam
negeri oleh :
1. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-
lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang(> Rp
2.000.000)
2. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP)(> Rp 2.000.000)
3. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS)(> Rp 2.000.000)
4. Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan, yang meliputi:
Badan usaha tertentu meliputi:
a. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan;
b. Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah
berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui
pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
c. Badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara,
meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk kujang, PT
Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT
Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa,
PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton
Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak
Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Petikemas Surabaya, PT Indonesia
Comnets Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI
Syariah,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan
untuk keperluan kegiatan usahanya (> Rp 10.000.000)
5. Industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan berupa hasil
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses
industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya;
6. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi
pemegang izin usaha pertambangan;
7. Badan usaha yang memproduksi emas batangan, termasuk badan usaha yang memproduksi
emas batangan melalui pihak ketiga, atas penjualan emas batangan di dalam negeri.

170
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Tarif PPh Pasal 22 atas pembelian barang dalam negeri oleh WP-WP tertentu pada point
1-4 di atas adalah 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (tidak termasuk PPN) dan
bersifat TIDAK FINAL.
Tarif PPh Pasal 22 atas pembelian yang dilakukan oleh Industri dan Eksportir yang
bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan atas pembelian bahan-
bahan untuk keperluan industri atau ekspor adalah 0,25 % dari harga pembelian.

Contoh Kasus 1:
PT. REKANAN TRUCKINDO (PKP) menjual truk khusus pengangkut sampah kepada Bendaharawan
Dinas Kebersihan Pemda Jakarta Barat senilai Rp 100.000.000,- tidak termasuk PPN. Bagaimanakah
aspek PPh Pasal 22 dalam kasus penjualan truk tersebut?
Pembahasan:
Harga truk tanpa PPN Rp 100.000.000,-
PPN (10 %) Rp 10.000.000,-(+)
Harga jual termasuk PPN Rp 110.000.000,-
PPN dipungut oleh bendaharawan
(10/110 X Rp 110.000.000) Rp 10.000.000,-(-)
Dasar Pengenaan PPh Pasal 22 Rp 100.000.000,-
PPh Pasal 22 (1,5 % X Rp 100.000.000,-) (Rp 1.500.000,-)
Diterima PT. REKANAN TRUCKINDO Rp 98.500.000,-

Bendaharawan Dinas Kebersihan Pemda Jakarta Barat wajib menyetorkan PPh Pasal 22 yang dipungut
tersebut ke Bank Persepsi paling lambat hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). SSP tersebut ditandatangani oleh bendaharawan tetapi nama
dan NPWP-nya tertulis atas nama PT. REKANAN TRUCKINDO serta tanpa membuat Bukti Potong
PPh Pasal 22 Khusus. SSP lembar ke-1 berlaku sebagai bukti potong bagi PT. REKANAN
TRUCKINDO sedangkan SSP lembar ke-5 (jika dibuat 5 rangkap) berlaku sebagai arsip pemotong.
Semua pemotongan yang telah dilaksanakan dalam satu masa pajak dilaporkan dalam SPT Masa PPh
Pasal 22 Bendaharawan paling lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir.

Contoh Kasus 2:
Data dari KPP menyatakan adanya kredit pajak PT. SUPPLIER yang berasal dari pemungutan PPh
Pasal 22 atas penjualan komputer ke Departemen Perhubungan sebesar Rp 50.000.000,-. Berapakah
omzet PT. SUPPLIER dari penjualan komputer ke Departemen Perhubungan?
Jawab:
Cara pemeriksaan PPh Pasal 22 adalah dengan mencari omzetnya:
Ph. Bruto = 100 %
PPh Pasal 22 = 1,5 %
Penghasilan Neto = 98,5 %
1,5 % X = Rp 50.000.000
X = Rp 50.000.000 / 1,5%
X = Rp 3.333.333.333

Departemen Perhubungan wajib menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut
sebagaimana kasus 1 di atas. Departemen Perhubungan tidak memberikan bukti potong khusus
namun berupa SSP lembar ke-1.

ATC – Tax Specialist 171


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Contoh Kasus 3:
PT. DAYA MINA SAMUDERA adalah produsen pengalengan ikan untuk tujuan ekspor. PT. DAYA
MINA SAMUDERA membeli ikan tuna dari pedagang pengumpul sebesar Rp 100.000.000,-.
Berapakah PPh pasal 22 yang harus dipungut ?
Jawab:
PPh Pasal 22 yang harus dipungut dihitung sebagai berikut:
Harga pembelian (tidak terutang PPN) = Rp 100.000.000,-
PPh Pasal 22 (1,5%) = Rp 1.500.000,-(-)
Jumlah dibayarkan ke Pedagang Pengumpul = Rp 98.500.000,-

Pemungutan PPh Pasal 22 sebesar Rp 1.500.000,- langsung dilakukan pada saat pembayaran. PT.
DAYA MINA SAMUDERA wajib menyetorkan PPh Pasal 22 yang dipungut di atas bersama dengan
pungutan PPh Pasal 22 sejenis secara kolektif yang telah dilakukan pada satu masa pajak ke Bank
Persepsi paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP. SSP tersebut dibuat
atas nama, NPWP, dan ditandatangani oleh PT. DAYA MINA SAMUDERA. PT. DAYA MINA
SAMUDERA memberikan bukti potong khusus kepada Pedagang Pengumpul (bagi Pedagang
Pengumpul, PPh Pasal 22 yang dipungut dengan bukti SSP dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada
akhir tahun). Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya PT. DAYA MINA SAMUDERA wajib
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 dengan dilampiri semua bukti potong dan lembar ke-3 SSP.

C. PENJUALAN KENDARAAN BERMOTOR


Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor sebesar 0,45%
dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

D. PENJUALAN HASIL PRODUKSI TERTENTU DI DALAM NEGERI


Penjualan hasil produksi tertentu harus dipungut PPh pasal 22 oleh pabrikan/industri dengan
ketentuan sebagai berikut: (PMK-154/PMK.03/2010 jo. PMK-224/PMK.011/2012 jo. PMK-
146/PMK.011/2013 jo.175/PMK.011/2013 jo PMK-16/PMK.010/2016 jo PMK-34/PMK.010/2017
Jo PMK 110/PMK.010/2018)

No Uraian DPP Sifat


1 Industri Semen 0,25% dari DPP PPN Tidak Final
2 Industri Kertas 0,1% dari DPP PPN Tidak Final
3 Industri Baja 0,30% dari DPP PPN Tidak Final
4 Industri Otomotif 0,45% dari DPP PPN Tidak Final
5 Industri Farmasi/Obat 0,3% dari DPP PPN Tidak Final
5 BBM, Gas, & Pelumas Diatur sendiri Final

Aturan khusus tarif PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Produsen (Pertamina)atau
importirbahan bakar minyak (BBM), bahan bakar gas dan pelumas sebagai berikut:

Jenis Produk SPBU Pertamina SPBU Non Pertamina Selain SPBU


BBM (Premium, Solar, 0,25% dari penjualan 0,3% dari penjualan 0,3% dari penjualan
Premix/Super TT dan
Minyak Tanah)

172
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Bahan Bakar Gas 0,3% dari penjualan


Pelumas 0,3% dari penjualan
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas
kepada:
a. penyalur/agen bersifat final;
b. selain penyalur/agen bersifat tidak final.
Pemungutan PPh Pasal 22 produk-produk diatas dilakukan pada saat penjualan. Khusus untuk
penjualan oleh Pertamina dan badan usaha lain bidang BBM jenis premix, super TT, dan gas PPh
pasal 22 terutang pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order). Tata
cara pemungutan dan penyetoran digambarkan dalam kasus di bawah ini.

Contoh Kasus 4:
PT. COIL CENTRE membeli baja ke PT. Krakatau Steel sebesar Rp 100.000.000,-
1. Berapa PPh Pasal 22 yang dipungut PT. Krakatau Steel?
2. Berapakah jumlah total yang harus dibayarkan PT. COIL CENTRE?
3. Bagaimana perlakuan PPh yang dipungut oleh PT. Krakatau Steel bagi PT. COIL CENTRE?
4. Bagaimana cara penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 oleh PT. Krakatau Steel?
Jawab:
1. PPh 22 atas pembelian baja ke PT. Krakatau Steel
= 0,3% X Rp 100.000.000,- = Rp. 300.000,-
2. Jumlah total yang harus dibayar PT. COIL CENTRE:
Harga Pembelian (DPP PPN) = Rp 100.000.000,-
PPN 10 % = Rp 10.000.000,-
PPh Pasal 22 produk baja = Rp 300.000,-
Jumlah = Rp 110.300.000,-
3. PPh yang di pungut PT. Krakatau Steel di akhir tahun dapat dikreditkan oleh PT. COIL
CENTRE
4. PT. Krakatau Steel memungut dan menyetor PPh Pasal 22 atas nama PT. COIL CENTRE
ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan
menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 sebanyak 3 lembar:
· Lembar pertama untuk pembeli;
· Lembar ke dua untuk lampiran laporan bulanan ke KPP;
· Lembar ke tiga untuk arsip pemungut.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir, PT. Krakatau Steel
wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 penjualan produk baja dengan dilampiri
Bukti Pemungutan dan SSP lembar ke-3.

Contoh Kasus 5:
PT. MIGAS PERDANA adalah distributor bensin dan memiliki beberapa SPBU. Menjelang
kampanye pemilu, PT. MIGAS PERDANA berencana menambah volume pembelian bensin
sebesar 10.000 liter per hari. Misal harga bensin dari Pertamina Rp 3.750,- per liter (tidak
termasuk PPN), berapakah tambahan dana per hari untuk merealisasikan rencana tersebut?
Jawab:
Harga pembelian bensin (10.000 lt X Rp. 3.750,-) Rp 37.500.000,-
PPh Pasal 22 Premium SPBU Swasta
( 0,3 % X Rp 37.500.000,-) Rp 112.500,-

ATC – Tax Specialist 173


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Jumlah Rp 37.612.500,-
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil bahan bakar minyak, gas dan pelumas terutang dan
dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order).
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas, dan
penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, wajib
disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

E. PENJUALAN BARANG YANG TERGOLONG SANGAT MEWAH


Ketentuan ini pemungutan atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah ini
merupakan objek pajak yang terbaru. Pemungutan ini baru diatur dalam perubahan UU PPh
Tahun 2008 (UU No. 36 Tahun 2008) jo. PMK-253/PMK.03/2008jo PMK/90/PMK/2015. Dalam
ketentuan, yang dimaksud dengan barang yang tergolong sangat mewah adalah:
a. pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi;
b. kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya;
c. rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp5.000.000.000
(lima miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi);
d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150m2 (seratus lima puluh
meter persegi);
e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep,
sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus, dan sejenisnya, dengan harga jual
lebih dari Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000cc;
dan/atau
f. kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari Rp300.000.000 (tiga ratus juta
rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc.

Tarif PPh Pasal 22 atas penjualan barang sangat mewah di atas adalah sebesar 5% dari harga jual
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan
PPnBM). Pemotongan PPh Pasal 22 ini bersifat tidak final (dapat dikreditkan pada SPT Tahunan
bagi pihak pembeli).

Catatan: pihak penjual yang ditunjuk sebagai pemungut adalah penjual yang berbentuk badan.
Jika Orang Pribadi maka tidak berhak memungut PPh Pasal 22.

DIKECUALIKAN DARI PEMUNGUTAN PPh PASAL 22


Ternyata tidak semua transaksi pembelian barang dalam negeri oleh WP yang ditunjuk dipungut PPh Pasal
22. Transaksi-transaksi di bawah ini dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22:
a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
tidak terutang Pajak Penghasilan.
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai
c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.
d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali
dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan,
pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.
e. Pembayaran oleh Bendaharawan yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan
tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah
174
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

f. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 10.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah, oleh BUMN dan Badan Usaha Tertentu lainnya yang di tunjuk sebagai
pemungut
g. pembayaran untuk:
a) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
b) pemakaian air dan listrik;
h. pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan dari kegiatan usaha
hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari :
a) kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau;
b) kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;
i. Pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan
sumber daya panas bumi;
j. pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau ekspor
oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf i, yang
jumlahnya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
k. pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi pemegang
izin usaha pertambangan yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang
dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh Badan Usaha Milik Negara.
l. impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan
ekspor.
m. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS).
n. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor,
yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf
c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.
o. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang memproduksi emas batangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf k kepada Bank Indonesia.
p. Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa Pengguna Anggaran, pejabat
penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran, atau
bendahara pengeluaran)
Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum BULOG).
Catatan:
1. Pengecualian PPh Pasal 22 untuk Impor barang (point a) dan impor emas batangan (point l) dinyatakan
dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
2. Pengecualian PPh pasal 22 di atas dilakukan secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB) kecuali
transaksi imporbarang (point a) dan impor emas batangan (point l) harus dengan SKB. Selain transaksi di
atas, Wajib Pajak dapat juga dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 bila telah mendapatkan SKB
Pemungutan dan Pemotongan PPh.
TARIF DAN SIFAT PPh PASAL 22

ATC – Tax Specialist 175


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Kegiatan Tarif Sifat

Impor Barang Tidak Final


- Impor Barang Tertentu 10%
- Impor Barang Tertentu Lainnya 7,5%
- Impor Barang Lelang yang tidak dikuasai 7,5%
- Importir – API 2,5%
- Importir - non API 7,5%
- kusus impor kedelai, gandum, dan tepung 0,5%
terigu (API)

Pembayaran atas pembelian barang 1,5% Tidak Final

Penjualan barang produksi Tidak Final


- Industri Semen 0,25%
- Industri Rokok 0,15%
- Industri Kertas 0,10%
- Industri Baja 0,30%
- Industri Otomotif 0,45%
- Industri Farmasi 0,30%

Penjualan barang produksi oleh Pertamina PTM – Non


dan Badan Usaha lain yang bergerak dalam PTM Khusus
bidang BBM dan Gas Premium 0,25% - 0,3% penyerahan
Solar 0,25% - 0,3% kepada
Premix/Super TT 0,25% - 0,3% penyalur/agen
Minyak Tanah 0,3% - 0 bersifat FINAL
Gas LPG 0,3% - 0
Pelumas 0,3% - 0

Penjualan kendaraan bermotor di dalam 0,45% Tidak Final


negeri oleh ATPM, Agen Pemegang Merek
APM, dan importir umum kendaraan
bermotor

Penjualan emas batangan oleh produsen 0,45% Tidak Final


emas batangan, sebesar 0,45% (nol koma
empat puluh lima persen) dari harga jual
emas batangan

Pembelian bahan untuk keperluan industri 0,25% Tidak Final


atau ekspor

Catatan:
1. Sejak 1 Januari 2009, Industri Rokok tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas
penjualan rokok di dalam negeri
2. Sejak bulan Februari 2013, BUMN tertentu dan Bank Milik Negara (tertentu) kembali
ditunjuk sebagai pemungut Pasal 22
3. Besarnya pungutan bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan 100%
lebih tinggi dari tarif normal

176
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

ATC – Tax Specialist 177


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

BAB VII
PPh PASAL 23

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. MemahamiPemotong dan Pemungut PPh Pasal 23
2. Memahami Objek PPh Pasal 23
3. Memahami Klasifikasi Tarif untuk PPh 23

PENDAHULUAN
PPh Pasal 23 adalah pajak yang harus dipungut oleh Wajib Pajak (WP) yang mengeluarkan biaya
untuk pembayaran jasa dan passive income seperti bunga, dividen, royalti dan hadiah (BDRH). Hal ini
berbeda dengan PPh pasal 22 yang terkait dengan pembelian atau penjualan barang. Selain itu, PPh
Pasal 23 harus dipungut oleh semua WP Badan dan WP OP yang menyelenggarakan pembukuan serta
WP OP yang ditunjuk sebagai pemungut. Oleh karenanya cakupan PPh Pasal 23 lebih luas
dibandingkan PPh Pasal 22 yang hanya diwajibkan terhadap WP Badan tertentu saja.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa PPh Pasal 23 lebih sering dihadapi oleh WP. Hampir
semua WP mengeluarkan biaya pemeliharaan, biaya sewa (baik bangunan maupun non bangunan),
biaya komisi dan biaya jasa lain yang sering lalai tidak dipotong pajak ataupun lawan transaksi tidak
mau dipotong pajak. Mengingat kewajiban pembayaran pajak lawan transaksi kita telah beralih menjadi
kewajiban kita untuk memotong pajak maka kita dituntut untuk memahami masalah pemotongan PPh
Pasal 23 dengan tuntas.

PEMOTONG PPh PASAL 23


A. Wajib Pajak di bawah ini wajib memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran-pembayaran yang
menjadi objek PPh Pasal 23:
1. Badan Pemerintah,
2. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri,
3. Penyelenggara Kegiatan,
4. Bentuk Usaha Tetap, dan
5. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya,
6. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
B. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
1. WP dalam negeri;
2. BUT

Dalam penunjukan pemotongan PPh Pasal 23 tidak ada WP OP ditunjuk sebagai Pemotong PPh Pasal 23.
Akan tetapi bukan berarti setiap WP OP yang melakukan pembayaran sewa, jasa, bunga, dividen, royalti,
dan hadiah tidak perlu memotong PPh Pasal 23.

178
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Pada umumnya, WP OP tidak ditunjuk sebagai Pemotong PPh Pasal 23 kecuali WP OP yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak. Berikut kutipan PPh Pasal 23 Ayat 3:

“Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”

Selanjutnya KEP-50/PJ.1994 menyebutkan:


Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 UU PPh yang selanjutnya disebut sebagai Pemotong PPh Pasal 23, adalah :
a. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut
adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
WP OP Dalam Negeri tertentu sebagaimana dimaksud pun, hanya wajib memotong PPh Pasal 23 hanya atas
pembayaran berupa sewa. Atas pembayaran selain sewa, tidak dibolehkan melakukan pemotongan PPh Pasal
23.

OBJEK PPh PASAL 23


Obyek PPh Pasal 23 meliputi beberapa jenis pembayaran. Untuk mempermudahnya kita dapat
mengklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu dikenakan tarif 15 % dari penghasilan bruto dan 2% dari
penghasilan bruto.
A. DIKENAKAN TARIF 15 % DARI PENGHASILAN BRUTO
1. DIVIDEN
Dividen yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah dividen yang diterima oleh Perseroan,
Yayasan, CV, Firma, dan kongsi (Subjek Pajak Dalam Negeri) dengan tarif pengen aan 15
% dari jumlah bruto dividen yang diterima/dibayarkan.
Namun tidak semua pembayaran dividen dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 (bukan
objek pajak). Dividen yang diterima oleh PT sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, Koperasi,
BUMN/BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia bukan Objek Pajak dan tidak dipotong PPh Pasal 23 dengan
syarat:
- Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
- Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.
Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka penghasilan tersebut
merupakan Objek Pajak dan harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (UU No. 36 Tahun
2008 Pasal 4 Ayat 3 huruf f).
Selain itu pembayaran dengan tujuan pembagian laba juga dikenakan PPh Pasal 23 atas
dividen, kecuali:
a. Pembayaran bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi (Pasal 4 ayat 3 huruf i UU PPh).
b. Pembayaran Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya (Pasal 23 ayat (4) huruf f UU PPh).

ATC – Tax Specialist 179


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Catatan: Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri,
dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 10% dari Bruto dan bersifat final PPh Pasal 4 (2) (PP No.
19 tahun 2009).

2. BUNGA
Perlakuan pajak atas pembayaran bunga ada 3 macam:
a. Dipotong PPh Pasal 23 Tidak Final
Pembayaran bunga yang dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dan tidak final adalah
pembayaran:
1. Bunga antar pinjaman dari badan ke badan, badan ke Orang Pribadi atau
sebaliknya,
2. Bunga obligasi yang tidak dijual di bursa efek.

Contoh:
Dalam pemeriksaan pajak tahun pajak 2017 yang dilaksanakan Desember 2017,
diketahui terdapat pembayaran bunga atas pinjaman dari perusahaan afiliasi sebesar
Rp 500.000.000,- yang tidak dipotong pajak oleh Wajib Pajak. Berapakah PPh pasal
23 yang masih harus dibayar?
Jawab:
PPh 23 Terutang (15% X Rp 500.000.000,-) Rp 75.000.000,-
Sanksi Pasal 13 Ayat 2 UU KUP
(@ 2% X Rp 75.000.000,- X 12 bulan) Rp 18.000.000,-
PPh yang masih harus dibayar Rp 93.000.000,-

b. Bunga Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23


1. Dipotong PPh Final (Pembahasan di Bab VII PPh Pasal 4 (2))
Pembayaran bunga yang dipotong PPh Final ada 2 jenis yaitu bunga yang
dibayarkan oleh bank dan bunga yang dibayarkan oleh koperasi.
1. Bunga yang dibayarkan oleh Bank
2. Bunga Simpanan Koperasi

c. Bunga yang bukan merupakan Objek Pajak Potongan PPh


Pembayaran bunga dibawah ini tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 yaitu:
1. Bunga yang diterima oleh Bank (dalam hal ini merupakan objek PPh Pasal 25
bagi Bank berdasarkan PP No.131 Tahun 2000)
2. Bunga yang terkait dengan Sewa Guna Usaha dengan hak opsi, hal ini
didasarkan atas Pasal 23 ayat (4) huruf b UU PPh
3. Bunga yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dana atau pembiayaan.
Walaupun tidak dipotong PPh 23 pada saat menerimanya tetapi WP yang menerima
pendapatan bunga tetap harus memperhitungkan PPh-nya pada akhir tahun dalam SPT
Tahunan.

Contoh:
PT. ABC (lesse) menutup kontrak leasing atas mesin. Dalam kontrak SGU tercantum
klausul pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir

180
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

periode SGU. Pembayaran per bulan Rp 8.000.000,- terdiri dari pelunasan pokok hutang
leasing sebesar Rp. 5.555.555,- dan bunga Rp. 2.444.445,-. Apakah PT ABC wajib
memotong PPh 23 atas pembayaran bunga sebesar Rp. 2.444.445,- ?

Jawab:
Leasing di atas termasuk kategori leasing dengan hak opsi. Oleh karena itu PT ABC TIDAK
boleh memotong PPh 23 atas pembayaran bunga dalam angsuran leasing sesuai keterangan
butir 2 di atas.

3. ROYALTI
Imbalan berupa royalti adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan:
a. Hak atas harta tidak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang atau
rahasia perusahaan;
b. Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan
c. Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri.
(Penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPh)
Atas pembayaran royalti kepada WP Dalam Negeri harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar
15%.
Contoh:
PT. PENERBIT membayarkan royalti kepada Tn. Budiman (ber NPWP) atas penerbitan
buku-buku tulisannya senilai Rp 50.000.000,- Berapakah PPh Pasal 23 yang harus dipotong
PT. PENERBIT?
Jawab:
PT. PENERBIT wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% X Rp 50.000.000 = Rp
7.500.000,-.

4. HADIAH
Terdapat 3 (tiga) jenis hadiah. Masing-masing jenis hadiah memiliki tarif pemotongan
sebagai berikut:
a. Hadiah Undian
Dikenakan PPh sebesar 25% dari Penghasilan Bruto dan bersifat Final, diatur dalam
PP No. 132 Tahun 2000.
b. Hadiah Perlombaan, Penghargaan dan Hadiah sehubungan dengan
pekerjaan/pemberian jasa:
- Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi DN maka dikenakan PPh Pasal 21 dengan
tarif Pasal 17 dari penghasilan bruto.
- Bagi Wajib Pajak Badan/BUT dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
penghasilan bruto.
- Bagi Wajib Pajak LN selain BUT dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari
penghasilan bruto dan bersifat final atau berdasarkan P3B (Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda).
c. Hadiah yang bukan merupakan Objek Pajak
Hadiah yang bukan merupakan Objek Pajak dikelompokkan dalam dua jenis:

ATC – Tax Specialist 181


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

- Diberikan kepada semua pembeli/konsumen akhir tanpa diundi


- Hadiah diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang
atau jasa
Ketentuan tentang hadiah diatur lebih lanjut dalam KEP-395/PJ.2001 tanggal 13
Juni 2001 jo. SE-19/PJ.43/2001 tanggal 25 Juni 2001. Perhatikan 2 contoh kasus
berikut ini.

Contoh:
PT. BENDI RAYA mengadakan sayembara merancang logo perusahaan dengan
hadiah Rp 50.000.000,- Berapakah PPh Pasal 23 yang harus dipotong jika
pemenangnya adalah Tuan Lukman? Bagaimana jika pemenangnya Konsultan
Desain Amir & Partner? Bagaimana cara penyetoran dan pelaporannya?
Jawab:
Jika pemenangnya Tuan Lukman tidak dipotong PPh Pasal 23 melainkan dikenakan
PPh Pasal 21 (Teknis pemotongan PPh Pasal 21 atas hadiah sudah dibahas dalam
modul PPh Pasal 21 sebelumnya).
Jika pemenangnya Konsultan Desain Amir & Partner (WP Badan) atas hadiah
tersebut akan dikenakan PPh Pasal 23 dan harus dipotong = 15% X Rp 50.000.000,-
= Rp 7.500.000,-
PT. BENDI RAYA menyetorkan ke Bank paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
dan melaporkannya ke KPP paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

B. DIKENAKAN TARIF 2% DARI PENGHASILAN BRUTO


Sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UU PPh No. 36 Tahun 2009 jo. SE-35/PJ./2010 disebutkan bahwa
atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah,
subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan, sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto,
yaitu atas:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh; dan
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manaiemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana tersebut di atas
merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk
memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian
tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak
selama jangka waktu yang telah disepakati (ketentuan tersebut bisa juga dianggap sebagai ciri-ciri
sewa).

Jumlah Bruto
Sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UU PPh No. 36 Tahun 2009 jo. SE-53/PJ./2009 disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam
182
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
a. pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja
kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna
jasa;
b. pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material;
c. pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada
pihak ketiga;
d. pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar
jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
Jumlah bruto sebagaimana dimaksud tidak berlaku:
a. atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau
b. dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa yang telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final

Berikut ini penjelasan beserta contoh pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa dan jasa:

1. SEWA SELAIN TANAH DAN BANGUNAN


Contoh Kasus:
PT. WANARA menyewa mesin kepada PT. DEWI pada tahun 2017 sebesarRp 100.000.000.
Berapakah PPh yang harus dipungut oleh PT. WANARA dan bagaimana penyetoran serta
pelaporannya?
Jawab:
PT. WANARA memungut PPh Pasal 23 dengan perhitungan:
PPh Pasal 23 = 2% X Rp 100.000.000
= Rp 2.000.000,-
PPh Pasal 23 sebesar Rp 2.000.000,- harus disetorkan ke bank dengan SSP atas nama PT.
WANARA paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan harus menyampaikan pelaporan SPT
Masa PPh Pasal 23/26 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya ke KPP dengan dilampiri:
1. SSP lembar ke-3 (atas nama NPWP PT. WANARA)
2. Bukti Potong PPh Pasal 23 (atas nama NPWP PT. Dewi)
3. Daftar Bukti Potong PPh Pasal 23/26

2. JASA TEKNIK (SE-35/PJ./2010)


Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan
dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat
meliputi:
a. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau
pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
b. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian
informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan
sebagainya;

ATC – Tax Specialist 183


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

c. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti


pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah
ditentukan oleh pengguna jasa.

3. JASA MANAJEMEN
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan
atau pengelolaan manajemen

4. JASA KONSULTASI
Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional
dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau
perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli
tersebut dalam pelaksanaannya

5. JENIS JASA LAIN YANG DIKENAKAN TARIF PPh 23 SEBESAR 2% (PMK-141/PMK.03/2015)


a. Jasa penilai (appraisal);
b. Jasa aktuaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa hukum;
e. Jasa arsitektur;
f. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
g. Jasa perancang (design);
h. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali
yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
i. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
a) Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara
tepat di antara pipa selubung dan lubang sumur;
b) Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen
untuk maksud-maksud:
1. Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;
2. Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
3. Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal; dan
4. Penutupan sumur.
c) Jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-
bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam
rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa.
d) Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya
tembus formasi dan menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material
penyumbat yang tidak diinginkan;
e) Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara
pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya
tembus sangat kecil;
f) Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang
dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang
telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan
kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke
dalam cairan buatan dalam sumur;
g) Jasa uji kandung lapisan (drill steam testing), penyelesaian sementara suatu sumur
baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;

184
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

h) Jasa reparasi pompa reda (reda repair);


i) Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;
j) Jasa penggantian peralatan/material;
k) Jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;
l) Jasa mud engineering;
m) Jasa well logging dan perforating;
n) Jasa stimulasi dan secondary decovery;
o) Jasa well testing dan wire line service;
p) Jasa alat control navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
q) Jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;
r) Jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;
s) Jasa directional drilling dan surveys;
t) Jasa exploratory drilling;
u) Jasa location stacking/positioning;
v) Jasa penelitian pendahuluan;
w) Jasa pembebasan lahan;
x) Jasa penyiapan lahan pengeboran seperti pembukaan lahan, pembuatan sumur air,
penggalian lubang cadangan, dan lain-lain;
y) Jasa pemasangan peralatan rig;
z) Jasa pembuatan lubang utama dan pembukaan lubang rig;
aa) Jasa pengeboran lubang utama dengan mesin bor kecil;
ab) Jasa penggalian lubang tambahan;
ac) Jasa penanganan penempatan sumur dan akses transportasi;
ad) Jasa penanganan arus pelayanan (service line) dan komunikasi;
ae) Jasa pengelolaan air (water system);
af) Jasa penanganan rigging up dan/atau rigging down;
ag) Jasa pengadaan sumber daya manusia dan sumber daya lain seperti peralatan (tools),
perlengkapan (equipment) dan kelengkapan lain;
ah) Jasa penyelaman dan/atau pengelasan;
ai) Jasa proses completion untuk membuat sumur siap digunakan;
aj) Jasa pump fees;
ak) Jasa pencabutan peralatan bor;
al) Jasa pengujian kadar minyak;
am) Jasa pengurusan legalitas usaha;
an) Jasa sehubungan dengan lelang;
ao) Jasa seismic reflection studies;
ap) Jasa survey geomagnetic, gravity, dan survey lainnya; dan
aq) Jasa lainnya yang sejenis yang terkait di bidang pengeboran, produksi dan/atau
penutupan pertambangan minyak dan gas bumi (migas).

j. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
a) Jasa pengeboran;
b) Jasa penebasan;
c) Jasa pengupasan dan pengeboran;
d) Jasa penambangan;
e) Jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali Jasa angkutan umum;
f) Jasa pengolahan bahan galian;
g) Jasa reklamasi tambang;

ATC – Tax Specialist 185


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

h) Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi, dan


penggalian/pemindahan tanah;
i) Jasa mobilisasi dan/atau demobilisasi;
j) Jasa pengurusan legalitas usaha;
k) Jasa peminjaman dana;
l) Jasa pembebasan lahan;
m) Jasa stockpiling; dan
n) Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.

k. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;


a). Bidang aeronautika, termasuk:
1. Jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara, dan jasa lain
sehubungan dengan pendaratan pesawat udara;
2. Jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge);
3. Jasa pelayanan penerbangan;
4. Jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses
pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan
pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat
udara di darat; dan
5. Jasa penunjang lain di bidang aeronautika.
b). Bidang non-aeronautika, termasuk:.
1. Jasa katering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat; dan
2. Jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika.

l. Jasa penebangan hutan;


m. Jasa pengolahan limbah;
n. Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
o. Jasa perantara dan/atau keagenan;
p. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
q. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI);
r. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
s. Jasa mixing film;
t. Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
u. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
v. Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website;
w. Jasa internet termasuk sambungannya;
x. Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
y. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel,
selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
z. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV
kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya
di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
aa. Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut dan udara;

186
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

ab. Jasa maklon;


ac. Jasa penyelidikan dan keamanan;
ad. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
ae. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
af. Jasa pembasmian hama;
ag. Jasa kebersihan atau cleaning service;
ah. Jasa sedot septic tank;
ai. Jasa pemeliharaan kolam;
aj. Jasa katering atau tata boga;
ak. Jasa freight forwarding;
al. Jasa logistik;
am. Jasa pengurusan dokumen;
an. Jasa pengepakan;
ao. Jasa loading dan unloading;
ap. Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau insitusi
pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
aq. Jasa pengelolaan parkir;
ar. Jasa penyondiran tanah;
as. Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
at. Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;
au. Jasa pemeliharaan tanaman;
av. Jasa pemanenan;
aw. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/atau perhutanan;
ax. Jasa dekorasi;
ay. Jasa pencetakan/penerbitan;
az. Jasa penerjemahan;
ba. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
bb. Jasa pelayanan kepelabuhanan;
bc. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
bd. Jasa pengelolaan penitipan anak;
be. Jasa pelatihan dan/atau kursus;
bf. Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
bg. Jasa sertifikasi;
bh. Jasa survey;
bi. Jasa tester, dan
bj. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Contoh
1. Kasus 1

Dalam laporan rugi laba PT. ANDA terdapat pos sebagai berikut:
1. Biaya pemeliharaan me sin (diperbaiki sendiri) Rp. 100.000.000,-
2. Biaya komisi penjualan Rp. 25.000.000,-
3. Biaya rental mobil Rp. 10.000.000,-
4. Biaya pembuatan program Sistem Informasi Rp. 50.000.000,-
5. Biaya jasa catering Rp. 100.000.000,-

ATC – Tax Specialist 187


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Semua biaya di atas ternyata belum Anda potong PPh Pasal 23. Berapakah PPh Pasal 23 yang harus
dikenakan, bila PT. ANDA tidak memotong PPh Pasal 23 dan pada saat pemeriksaan kesalahan
tersebut ditemukan oleh Pemeriksa? (asumsi pemeriksaan dilakukan setelah 2 tahun )
Jawab:
1. PPh 23 atas pemeliharaan mesin Rp. NIHIL
(mesin diperbaiki sendiri dan tidak ada pihak ketiga. Berarti semua pengeluaran
adalah untuk material/sparepart )
2. PPh 23 atas komisi penjualan(2% X Rp 25.000.000) Rp 500.000,-
3. PPh 23 atas rental mobil (2% X Rp 10.000.000,-) Rp 200.000,-
4. PPh 23 atas pembuatan program( 2% X Rp 50.000.000,-) Rp 1.000.000,-
5. PPh 23 atas jasa catering (2% X Rp 100.000.000,-) Rp 2.000.000,-

PPh Kurang Bayar Rp 3.700.000,-


Sanksi Pasal 13 ayat (2) (2% X 24 bulan X Rp 3.700.000) Rp 1.776.000,-
PPh yang masih harus dibayar Rp 5.476.000,-

2. PT Tenaga Power merupakan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. PT Tenaga Power mendapat
kontrak dari PT Bank Untung Terus untuk menyediakan petugas customer service sebanyak 20
orang dengan mendapat imbalan jasa sebesar Rp20.000.000. Petugas customer service tersebut
selanjutnya menjadi pegawai PT Bank Untung Terus. Atas pembayaran yang dilakukan PT Bank
Untung Terus kepada PT Tenaga Power dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Bank Untung Terus sebesar:

2% x Rp20.000.000 = Rp400.000.
PT Aman Secure merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja untuk keamanan (satpam). PT
Aman Secure mendapat kontrak penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Maju
Sejahtera. Tenaga kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Secure. Dalam
Kontrak disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh PT Aman Secure dengan
rincian tagihan berupa gaji untuk 20 orang satpam per bulan sebesar Rp40.000.000 dan imbalan
atas jasa penyediaan satpam per bulan sebesar Rp4.000.000.
Pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa penyedia tenaga kerja tersebut adalah sebagai berikut:
a. Atas pembayaran yang dilakukan PT Maju Sejahtera kepada PT Aman Secure untuk jasa
penyediaan satpam dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Maju Sejahtera setiap pembayaran per
bulan sebesar:
2% x Rp4.000.000 = Rp80.000
b. Dalam hal tidak ada bukti pendukung, seperti daftar pembayaran gaji dan kontrak kerja
atas rincian tagihan di atas, maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23
adalah sebesar Rp44.000.000 sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Maju
Sejahtera atas pembayaran kepada PT Aman Secure adalah sebesar:
2% x Rp44.000.000 = Rp880.000

3. PT Jumbo (pihak pertama) melakukan kontrak dengan PT Iklan Promo selaku perusahaan agen
periklanan (pihak kedua) untuk membuat iklan sekaligus memasang iklan pada PT Perusahaan
Media (pihak ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp255.000.000. Rincian
tagihan PT Iklan Promo kepada PT Jumbo terdiri dari:

- jasa pembuatan materi iklan sebesar Rp100.000.000;


- fee agen Rp5.000.000; dan
188
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

- biaya pemasangan iklan Rp150.000.000.


Atas biaya pemasangan iklan tersebut, PT Perusahaan Media menagih kepada PT Iklan Promo
sebesar Rp150.000.000 yang kemudian akan dilakukan reimbursement (penggantian) oleh PT
Jumbo kepada PT Iklan Promo.
Pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi di atas adalah sebagai berikut:
a. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Iklan Promo atas pembayaran jasa
pemasangan iklan kepada PT Perusahaan Media adalah sebesar :
2% x Rp 150.000.000,- = Rp3.000.000.
b. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Jumbo atas pembayaran jasa pembuatan
materi iklan dan jasa keagenan kepada PT Iklan Promo adalah:
1) Untuk jasa pembuatan materi iklan sebesar:
2% x Rp100.000.000 = Rp2.000.000; dan
2) untuk jasa keagenan sebesar:
2% x Rp5.000.000 = Rp100.000.
c. Dalam hal tidak ada faktur tagihan atau bukti pembayaran dari PT Iklan Promo kepada PT
Perusahaan Media atas rincian tagihan di atas, maka jumlah bruto sebagai dasar
pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT Jumbo kepada PT Iklan Promo adalah sebesar
Rp255.000.000, sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Jumbo atas
pembayaran kepada PT Iklan Promo adalah sebesar:
2% x Rp255.000.000 = Rp5.100.000

4. PT Karet Rubber mengikat kontrak dengan PT Mode Pakaian untuk pembuatan seragam kantor PT
Karet Rubber berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Karet Rubber.
Dalam kontrak disepakati bahwa PT Karet Rubber akan menyediakan bahan baku utama berupa
kain dan PT Mode Pakaian akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas
kontrak tersebut adalah sebesar Rp100.000.000 tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Mode
Pakaian mengeluarkan biaya sebesar Rp20.000.000 untuk bahan tambahan yang dibayarkan kepada
CV Palugada.

Pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi di atas adalah sebagai berikut:


a. Atas pembayaran yang dilakukan PT Karet Rubber kepada PT Mode Pakaian dipotong PPh
Pasal 23 atas jasa maklon oleh PT Karet Rubber sebesar:
2% x Rp.100.000.000 = Rp2.000.000
b. Dalam hal tidak ada faktur pembelian kepada CV Palugada atas rincian tagihan biaya
bahan tambahan, maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah
sebesar Rp120.000.000 sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Karet Rubber
atas pembayaran kepada PT Mode Pakaian adalah sebesar:
2% x Rp 120.000.000 = Rp2.400.000

5. PT Cermat meminta CV Selera Sedap yang bergerak di bidang pengadaan katering untuk
menyediakan makanan dalam rangka perkenalan produk untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang
disepakati untuk pengadaan katering tersebut adalah Rp 30.000.000. Dasar pemotongan untuk jasa
katering tersebut adalah seluruh tagihan dari CV Selera Sedap yaitu sebesar Rp30.000.000. Atas
pembayaran yang dilakukan PT Cermat kepada CV Selera Sedap dipotong PPh Pasal 23 oleh PT
Cermat sebesar:

2% x Rp30.000.000 = Rp600.000

ATC – Tax Specialist 189


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

6. CV Bayar Tunai merupakan perusahaan yang menyediakan jasa perantara transaksi online melalui
website luar negeri seperti ebay dan amazon. Yayasan Welas Asih membuat kontrak dengan CV
Bayar Tunai untuk melakukan pembelian online 100 buku pelajaran umum yang dibebaskan dari
pemungutan PPh Pasal 22 impor melalui website amazon dengan total harga pembelian US$5.000.
Atas pembelian tersebut, CV Bayar Tunai meminta imbalan sebagai perantara sebesar Rp5.000.000.
Tagihan yang dibuat oleh CV Bayar Tunai kepada Yayasan Welas Asih terdiri atas harga buku
sebesar US$5.000 yang disertai dengan bukti pembayaran kepada amazon dan imbalan jasa
perantara sebesar Rp5.000.000. Atas pembayaran yang dilakukan Yayasan Welas Asih kepada CV
Bayar Tunai dipotong PPh Pasal 23 oleh Yayasan Welas Asih sebesar:

2% x Rp5.000.000 = Rp100.000.

7. PT Artis Besar merupakan perusahaan di bidang manajemen artis. PT Artis Besar mendapatkan
kontrak dari PT Televisi Nasional untuk menyediakan 2 artis di bawah manajemen artis PT Artis
Besar untuk mengisi acara ulang tahun PT Televisi Nasional dengan nilai kontrak total sebesar
Rp550.000.000. Rincian nilai kontrak tersebut meliputi honor artis sebesar Rp500.000.000 dan jasa
keagenan artis sebesar Rp50.000.000.

Atas pembayaran yang dilakukan PT Televisi Nasional kepada PT Artis Besar dipotong PPh Pasal
23 atas jasa keagenan oleh PT Televisi Nasional sebesar:
2% x Rp50.000.000 = Rp1.000.000.
Selain pemotongan PPh Pasal 23 tersebut, PT Televisi Nasional mempunyai kewajiban untuk
melakukan memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran honor kepada artis.

PEMECAHAN BUKTI POTONG PPh PASAL 23


Dalam suatu Kerja Sama Operasi (Joint Operation) semua transaksi yang berhubungan dengan
proyek tersebut adalah atas nama/tanggung jawab masing-masing anggota J.O. sedangkan J.O. hanya
bertindak sebagai koordinator. Kontrak kerja ditandatangani antara pemilik projek dengan J.O.,
sehingga penagihan atas prestasi kerja diajukan oleh J.O. dan pembayaran oleh pemilik projek juga
kepada J.O.
Hasil yang diterima J.O. kemudian akan didistribusikan kepada anggota J.O. sesuai dengan
prestasi kerja masing-masing. Bagaimana perlakuan PPh Pasal 23 bagi Pemotong (Pemilik Projek)
maupun pihak yang dipotong (masing-masing anggota J.O.) mengingat JO tidak memiliki kewajiban
PPh Badan?
Dalam SE-44/PJ./1994 tanggal 24 Oktober 1994 tentang Pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal
23, antara lain diatur bahwa pengkreditan pemotongan PPh Pasal 23 sejalan dengan pengkreditan para
anggota J.O., maka Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut harus dipecah untuk masing-masing
anggota dengan cara sebagai berikut:
a. Apabila telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas nama J.O., maka J.O. mengajukan
permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana
J.O. terdaftar/berkedudukan dengan dilampiri foto copy dokumen pendirian J.O.
b. Apabila belum dilakukan pemotongan PPh Pasal 23, maka:
- J.O. mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada pemberi
hasil dengan dilampiri foto copy dokumen pendirian J.O;

190
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

- Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal
23 atas nama J.O. qq anggota (NPWP Anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian
masing-masing;
- Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 disampaikan untuk para anggota.

DASAR KETENTUAN PPh PASAL 23


Ketentuan yang mengatur tentang tata cara pengenaan PPh Pasal 23 sampai saat ini (beberapa saja yang
dituliskan) adalah:
1. Pasal 23 UU No. 7 Tahun 1983 S.T.D.T.D. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh)
2. PMK-141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1)
Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
3. KEP-50/PJ./1994 tentang Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu Sebagai
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23
4. PER-15/PJ/2014 Tentang Penggunaan Stempel Tanda Tangan Pada Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Atas Pembayaran Dividen Kepada Para Pemegang Saham
5. PER-33/PJ./2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dari
Hasil Karya Sinematografi
6. PP 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
7. PER-11/PJ/2015 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan
8. SE-35/PJ./2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan
Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23
Ayat (1) Huruf C Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

Catatan:
Apabila penerima penghasilan tidak mempunyai NPWP, maka
besarnya tarif pemotongan PPh 23 dikenakan lebih tinggi 100%
dari tarif normal.

ATC – Tax Specialist 191


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

BAB VIII
PPh PASAL 26
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Jenis-jenis Pendapatan Bagi WP Luar Negeri
2. Memahami Pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT)
3. Memahami Pengertian Time Test BUT
4. Memahami Pengertian Prinsip Pemungutan PPh Pasal 26
5. Memahami Cara Memotongan PPh Pasal 26
6. Memahami Pengertian Sifat Pemotongan PPh Pasal 26
7. Memahami Pengertian PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak BUT (Branch Profit Tax)
8. Memahami Pengertian PPh Pasal 26 atas Transaksi Tertentu

PENDAHULUAN
Kita sudah pernah sedikit mengenal PPh Pasal 26 sebagai pajak yang dipungut atas Wajib Pajak
Luar Negeri (WPLN). Tetapi tidak semua pembayaran kepada WPLN harus dipotong PPh Pasal 26.
Pemotongan PPh pasal 26 harus memperhatikan ada tidaknya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B/Tax Treaty). Tax Treaty tersebut memiliki kesamaan prinsip yang bisa kita jadikan acuan untuk
menentukan dipotong tidaknya PPh Pasal 26 serta berapa tarifnya.
Tax Treaty/P3B merupakan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak . Sesuai dengan
peraturan Per-61/PJ./2009 jo. Per-24/PJ./2010 Jo Per-10/PJ./2017. Pemotong/Pemungut Pajak harus
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam
hal :
a. Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia,
b. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi;
dan
c. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang
pencegahan penyalahgunaan P3B.
Prinsip pemotongan PPh Pasal 26 tergantung pada jenis-jenis pembayaran pendapatan ke luar
negeri serta ada tidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT) WPLN di Indonesia. Oleh karena itu untuk
memudahkan pemahaman PPh Pasal 26 terlebih dahulu kita belajar membedakan jenis-jenis
pembayaran pendapatan ke luar negeri dan memahami konsep BUT.

192
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

JENIS-JENIS PENDAPATAN BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI (WPLN)


WPLN dapat menerima pembayaran pendapatan dari Indonesia berupa:
1. Penghasilan usaha atau pekerjaan bebas, misalnya: laba usaha, honorarium, gaji, komisi dan
sejenisnya,
2. Penghasilan modal yaitu dividen, bunga, dan royalti.

BENTUK USAHA TETAP


Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa :
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
b. kantor perwakilan;
c. gedung kantor;
d. pabrik;
e. bengkel;
f. gudang;
g. ruang untuk promosi dan penjualan;
h. pertambangan dan penggalian sumber alam;
i. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
j. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
k. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
l. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
m. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
n. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia; dan
o. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Contoh:
F4 Ltd. Taiwan, mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti F4 Ltd merupakan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. F4 Ltd dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut.
BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Orang asing dapat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan Bentuk Usaha
Tetap yang dapat berupa:
a. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
b. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;

ATC – Tax Specialist 193


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

c. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Contoh :
Mr. A berada di Singapura tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa kantor cabang maka Mr.
A dapat diartikan sebagai BUT Orang pribadi yang menjalankan usaha di Indonesia tetapi tidak
bertempat tinggal di Indonesia.

TIME TEST BUT


Dari penjelasan tentang definisi BUT di atas kelihatan bahwa UU PPh Indonesia sangat mudah
mengenakan pajak terhadap perusahaan asing di Indonesia. Contohnya definisi BUT yang menyatakan
bahwa projek konstruksi, instalasi, atau projek perakitan dianggap BUT, tanpa memandang batas waktu.
Jadi walaupun proyek tersebut hanya berlangsung 1 hari maka kontraktor projek tersebut sudah
dianggap BUT dan harus melaksanakan semua kewajiban pajak sebagaimana halnya suatu WP Badan
Dalam Negeri. Padahal kontraktor asing tersebut juga sudah dipajaki di negaranya masing-masing.
Akibatnya timbul pengenaan pajak berganda.
Agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda, terutama untuk WP Luar Negeri yang jangka waktu
usahanya berlangsung sebentar maka digunakan metode batas waktu (time test) untuk menentukan
apakah suatu WP LN berhak dipajaki di Indonesia atau hanya membayar pajak di negaranya masing-
masing. Time testnya diatur dalam Tax Treaty masing-masing.
Contoh:
Tax Treaty antara Indonesia dengan Thailand menyatakan bahwa Time Test untuk penentuan BUT jasa
konstruksi maupun jasa lainnya adalah 183 hari. Jadi jika WP LN dari Thailand memberikan jasa di
Indonesia kurang dari 183 hari, maka tidak dikenakan pajak di Indonesia. Demikian pula sebaliknya.

PRINSIP PEMUNGUTAN PPh PASAL 26:


Prinsip pemotongan PPh Pasal 26 tergantung pada jenis-jenis pembayaran pendapatan ke luar
negeri serta ada tidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Prinsip pemotongan PPh Pasal 26
sebagai berikut:
 Jika antara Indonesia dan negara asing tidak ada Tax Treaty maka dikenakan PPh Pasal 26 sebesar
20% atas semua pembayaran ke luar negeri baik pembayaran penghasilan usaha/pekerjaan
maupun pembayaran penghasilan modal.
 Jika antara Indonesia dan negara asing terdapat Tax Treaty maka pembayaran penghasilan
usaha/pekerjaan bebas ke luar negeri bebas PPh Pasal 26 jika:
a. Seluruh pekerjaan dilakukan di luar negeri. Jika ada sebagian kecil saja yang dilakukan di
Indonesia maka harus dipotong PPh pasal 26
b. Pekerjaan dilakukan di Indonesia tetapi tidak melebihi batas waktu tertentu (time test),
kecuali jika pembayaran dilakukan ke Jerman, Luxemburg, Swiss, Venezuela dan Pakistan.
Jangka waktu time test ditentukan sesuai masing-masing Tax treaty.
 Jika antara Indonesia dan negara asing terdapat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax
Treaty) maka pembayaran penghasilan modal ke luar negeri dipungut PPh Pasal 26 sesuai tarif
Tax Treatykecuali jika penerima pembayaran memiliki BUT. Jika ada BUT maka dipungut PPh
Pasal 23 karena dianggap WP Dalam Negeri. Walaupun pembayarannya ditransfer langsung ke
LN tetapi tetap harus dipotong PPh Pasal 23.

194
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Catatan:
Prinsip di atas pada umumnya berlaku dalam Tax Treaty Indonesia. Tetapi dalam kasus tertentu
dapat saja terjadi pengecualian. Lebih detail dapat dilihat dalam masing-masing Tax Treaty.
Contoh: Pembayaran sewa tanah atau bangunan kepada WPLN dipungut PPh di negara tanah
dan bangunan terletak dengan tarif penuh.

CARA MEMOTONG PPh PASAL 26


Pemotongan Pasal 26 didasarkan atas ada tidaknya Surat Keterangan Domisili (SKD). Jika WPLN
dapat menunjukkan SKD maka PPh pasal 26 dipotong sesuai prinsip diatas (Tax Treaty). Jika tidak ada
SKD maka atas semua pembayaran penghasilan usaha/pekerjaan maupun penghasilan modal ke luar
negeri dikenakan PPh 26 sebesar 20 % .
SKD dimaksud di atas adalah surat yang diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya
yang sah atau pejabat Kantor Pajak tempat WPLN terdaftar yang menyatakan WPLN yang
bersangkutan benar-benar berkedudukan di negara tersebut. Bentuk SKD bebas sesuai kelaziman di
negara masing-masing. SKD berlaku selama 1 tahun dan harus diperbaharui (renew) kecuali bagi WP
Bank. Bagi WP Bank SKD berlaku selama bank tersebut memiliki alamat yang sama dengan alamat yang
tercantum dalam SKD.
Dalam hal SKD akan digunakan untuk lebih dari satu pembayar penghasilan, maka WPLN dapat
menyampaikan foto copy SKD yang telah dilegalisir oleh Kepala KPP tempat salah satu pembayar
penghasilan terdaftar kepada pembayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut
wajib menyimpan asli SKD.

Contoh Kasus 1:
PT. ANDA membayarkan komisi atas jasa marketing yang dilakukan oleh SIAM Ltd di Thailand sebesar
Rp 100.000.000,- Seluruh jasa marketing dilakukan di Thailand dan SIAM Ltd tidak pernah ke
Indonesia untuk melaksanakan jasanya. Berapakah PPh Pasal 26 terutang?
Jawab:
Ada SKD:
Jika SIAM Ltd dapat menunjukkan SKD maka pembayaran komisi dari PT ANDA bebas PPh pasal 26
sesuai prinsip pemungutan PPh 26 diatas.

Tidak ada SKD:


Jika SIAM Ltd tidak dapat menunjukkan SKD maka PT. ANDA wajib memotong PPh Pasal 26 dengan
tarif 20% sesuai prinsip pemungutan PPh Pasal 26 di atas. Jumlah PPh Pasal 26 yang wajib disetor oleh
PT. ANDA sebesar:
20 % X Rp 100.000.000,- = Rp 20.000.000,-

PPh Pasal 26 tersebut harus disetor ke bank Persepsi paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan
dilaporkan dengan menggunakan SPT MASA PPh Pasal 23/26 paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya dengan dilampiri:
1. SSP Lembar ke-3
2. Daftar Bukti Potong PPh Pasal 26
3. Lembar ke-2 Bukti Potong PPh Pasal 26

ATC – Tax Specialist 195


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri tidak bersedia dibebani PPh Pasal 26 maka Pemotong Pajak dapat
membebankan PPh Pasal 26 sebagai biaya perusahaan, sepanjang PPh Pasal 26 tersebut ditambahkan
sebagai dasar perhitungan untuk pemotongan PPh Pasal 26.

Penghitungan PPh Pasal 26 yang ditanggung pemotong dilakukan dengan meng-gross up pembayaran
penghasilan ke luar negeri dengan rumus sebagai berikut:
20% X 100/80 X Biaya yang terutang atau dibayarkan ke luar negeri
Catatan : Tarif 20% digunakan jika tidak ada Tax Treaty. Jika ada Tax Treaty maka tarif 20% diganti
tarif sesuai Tax Treaty.
Contoh Kasus 2:
PT. DEBITUR memiliki pinjaman dari NV. CREDITUUR di Belanda dan akan membayarkan bunga
pinjaman sebesar Rp 90.000.000,-. NV. CREDITUUR tidak bersedia dibebani PPh Pasal 26. Tarif sesuai
Tax Treaty Indonesia-Belanda untuk pembayaran bunga adalah 10% dan NV. CREDITUUR dapat
menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari Competent Authority Kerajaan Belanda. Agar PT.
DEBITUR dapat membebankan PPh Pasal 26 sebagai biaya perusahaan, berapakah PPh Pasal 26 yang
harus dipungut?
Jawab:
Penghitungan PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman secara gross up adalah sebesar:
10 % X 100/90 X Rp. 90.000.000,- = Rp. 10.000.000,-

PPh Pasal 26 sebesar Rp. 10.000.000,- tersebut dapat dibebankan sebagai biaya PT. DEBITUR sehingga
total biaya bunga pinjaman ke NV. CREDITUUR adalah Rp. 100.000.000 termasuk pajak. (S-
86/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995).

SIFAT PEMOTONGAN PPh PASAL 26


Pada dasarnya PPh pasal 26 bersifat Final kecuali PPh Pasal 26 yang dipotong atas:

a. Pembayaran kepada Kantor Pusat BUT atas kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan oleh BUT di Indonesia
Contoh Kasus 3:
PT. XYZ memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa konsultasi kepada MODEL Inc di Prancis.
Ternyata MODEL Inc memiliki BUT di Indonesia yang memiliki usaha sejenis maka PPh Pasal 26
tersebut menjadi tidak final dan dapat dikreditkan oleh BUT MODEL Inc.
Catatan:
Pembayaran jasa konsultasi kepada MODEL, Inc di Prancis ikut diperhitungkan sebagai
penghasilan BUT MODEL, Inc Indonesia

b. Pembayaran kepada Kantor Pusat BUT atas kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di
Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud.
Contoh Kasus 4:
PT. ABC memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran royalti kepada ALTA MODA Co. Ltd di Italy
untuk menggunakan merknya. Ternyata ALTA MODA Co. Ltd memiliki BUT di Indonesia dan
memberikan jasa manajemen ke BUT-nya berupa konsultasi pemasaran produknya.

196
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Pembayaran royalti kepada ALTA MODA Co. Ltd di Italy ikut diperhitungkan sebagai
penghasilan BUT-nya di Indonesia dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh PT ABC menjadi tidak
final dan dapat dikreditkan oleh BUT ALTA MODA Co. Ltd.

c. Pembayaran atas penghasilan yang diterima WP Luar Negeri yang berubah status menjadi WP
Dalam Negeri.
Contoh Kasus 5:
MUANG, Ltd adalah pemegang saham PT. CHIANGMAI. Pada bulan Januari 2017 PT.
CHIANGMAI membayar deviden kepada MUANG, Ltd sebesar Rp. 100.000.000,-. PPh Pasal 26
yang dipotong PT. CHIANGMAI sebesar 15% (sesuai Tax Treaty Indonesia – Thailand) sejumlah
Rp. 15.000.000,- dan bersifat FINAL. Pada bulan Februari 2017 MUANG Ltd mendirikan cabang
di Indonesia (BUT). PPh Pasal 26 yang telah dipotong menjadi TIDAK FINAL dant dapat menjadi
kredit pajak BUT MUANG Ltd.

PPh PASAL 26 ATAS LABA SETELAH PAJAK BUT (BRANCH PROFIT TAX)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha
Tetap ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud di atas.
Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud di atas diberikan apabila
seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha
Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak
berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai
berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

ATC – Tax Specialist 197


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN YANG BARU DIDIRIKAN DAN BERKEDUDUKAN DI


INDONESIA SEBAGAI PENDIRI ATAU PESERTA PENDIRI
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, selain memenuhi syarat a
dan b di atas, juga harus memenuhi syarat:
a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan
kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut
didirikan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud
berproduksi komersial.

PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN YANG SUDAH DIDIRIKAN DAN BERKEDUDUKAN


DI INDONESIA SEBAGAI PEMEGANG SAHAM
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud, selain
persyaratan sebagaimana dimaksud pada a dan b di atas, juga harus memenuhi syarat:
a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha
aktif di Indonesia; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. pembelian aktiva tetap “pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk
menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia “; atau
b. investasi berupa aktiva tidak berwujud “investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk
Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia “,

Selain persyaratan a dan b di atas , Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh
melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak
berwujud, paling sedikitdalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi
aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.

Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, tidak lagi dipenuhi, atas
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang
terkait, dikenai Pajak Penghasilan terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang
bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.

Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena
Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia, wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun
Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.

198
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud wajib menyampaikanpemberitahuan


secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.

Pemberitahuan paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:


a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap
dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan
realisasi penanaman kembali.

Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena
Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia (penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri) wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial. Saat berproduksi komersial
sebagaimana dimaksud adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi
barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan
barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.

Keputusan tentang saat berproduksi komersial ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil
penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk
Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial.

Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud dilakukan berdasarkan keadaan


sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh Wajib
Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan. Apabilajangka waktu 6 (enam) bulan telah lewat dan
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat
berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.

Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam
negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia,
besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan adalah sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak yang berlaku.

Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah Penghasilan
Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi
dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Contoh Kasus (Jika Dikenakan PPh Berdasar Pasal 26 Ayat 4 UU PPh):


Laba BUT Taiwan Rp. 100.000.000,-
PPh pasal 17 Rp. 12.500.000,-
Laba setelah PPh Rp. 87.500.000,-

ATC – Tax Specialist 199


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

PPh Pasal 26 ayat (4) (5% x Rp. 87.500.000,-) Rp. 4.375.000,-


Jika laba setelah PPh sebesar Rp. 87.500.000,- ditanamkan kembali di Indonesia sesuai ketentuan diatas
maka atas laba setelah PPh tidak dipotong PPh Pasal 26 ayat (4)
PPh PASAL 26 ATAS TRANSAKSI TERTENTU:
Khusus transaksi penjualan saham terhadap Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT dan pembayaran
premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di Luar negeri dipotong
PPh Pasal 26 dengan tarif khusus.
a. Penjualan saham terhadap Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT dikenakan tarif sebesar 20% dari
perkiraan neto, persentase perkiraan neto adalah sebesar 25% dari harga jual, sehingga besarnya
PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% X 25% atau 5% dari harga jual. (KMK-434/KMK.04/1999)
Contoh Kasus:
PT. TaxSys Indonesia (PMA) sahamnya dimiliki oleh Alpa Ltd dan Beta Gmbh. Jika Alpa Ltd
menjual kepemilikan atas saham PT. TaxSys Indonesia kepada Beta Gmbh, bagaimanakah
perlakuan pajaknya?
Jawaban:
Atas transaksi tersebut perlakuan PPh Pasal 26 sebesar 5% tergantung tempat kedudukan
pembeli dan penjual. Jika +Alpa Ltd (penjual) berkedudukan di Singapura dan Beta Gmbh
berkedudukan di Jerman maka yang memotong PPh Pasal 26 adalah PT. TaxSys Indonesia.
Jika Alpa Ltd (penjual) berkedudukukan di Indonesia dan Beta Gmbh berkedudukan di Jerman
maka yang memotong PPh Pasal 26 adalah Alpa Ltd.
b. Premi asuransi dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di Luar negeri
dikenakan tarif sebesar 20% dengan perkiraan penghasilan neto:
- 50 % dari premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri
- 10% dari premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri berkedudukan di
Indonesia
- 5% dari premi yang dibayarkan reasuransi berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan
di luar negeri
Tarif efektif = 20% X Perkiraan Penghasilan Neto X Penghasilan Bruto.
(KMK-624/KMK.04/1994 serta SE-23/PJ./1995)
Contoh Kasus 7:
PT. Primus Consultindo mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi luar negeri
dengan membayar jumlah premi asuransi selama tahun 2011 sebesar Rp 1 Milyar, maka besarnya
PPh Pasal 26 yang dipungut oleh PT. Mulia adalah 20% X 50% X Rp 1 Milyar = Rp 100.000.00

DASAR KETENTUAN
Ketentuan yang mengatur tentang tata cara pengenaan PPh Pasal 26 sampai saat ini (beberapa saja yang
dituliskan) adalah:
1. Pasal 26 UU No. 7 Tahun 1983 S.T.D.T.D. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh)
2. PMK-14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap
3. PER-62/PJ./2009 jo. PER-25/PJ./2010 jo PER-10/PJ./2017 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
4. KMK-434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Atas Penghasilan
Berupa Keuntungan Dari Penjualan Saham
5. KMK-624/KMK.04/1994 jo. SE-23/PJ.43/1995 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
Atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi Dan Premi Reasuransi Yang Dibayar Kepada
Perusahaan Asuransi Di Luar Negeri
200
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

BAB IX
PPh PASAL 4 AYAT 2
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu memahami Pengenaan PPh Final atas :
1. Bunga Deposito dan Tabungan
2. Hadiah Undian
3. Sewa Tanah dan/atau Bangunan
4. Pengalihan Hak atas Tanah dan bangunan
5. Revaluasi Aktiva Tetap
6. Penjualan Saham di Bursa Efek
7. Bunga koperasi
8. Bunga dan Diskonto Obligasi yang Dijual di Bursa Efek
9. Penjualan Saham Milik Perusahaan Modal Ventura
10. Jasa Konstruksi

PENDAHULUAN
PPh Pasal 4 Ayat (2) adalah pajak yang diatur khusus dengan Peraturan Pemerintah. Dalam UU
No. 36 Tahun 2008 disebutkan penghasilan yang dapat dikenai pajak yang bersifat final, diantaranya:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dengan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
nagara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan
di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan ventura;
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Dilihat dari jenis transaksi yang diatur, PPh Pasal 4 ayat (2) sifatnya sama dengan PPh Pasal 23.
Keduanya dikenakan atas passive income dan pembayaran jasa. Perbedaan mendasar antara keduanya
adalah sifat final pada PPh Pasal 4 ayat (2) dan tidak final pada PPh Pasal 23.

A. BUNGA DEPOSITO/TABUNGAN

ATC – Tax Specialist 201


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final ( PP 131 2000 jo PP 123 2015)
Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud adalah bunga
yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui
bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia. Dengan memperhatikan perkembangan moneter, Menteri Keuangan dapat
menetapkan pengenaan Pajak Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia selain
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan di atas.
Pengenaan PPh ini tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh
penghasilannya dalam 1 (satu) tahun Pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat
Bank lndonesia adalah sebagai berikut:
a. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
b. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak
luar negeri.
c. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya bersumber
dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 1
(satu) bulan;
2. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka
waktu 3 (tiga) bulan;
3. Tarif 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka
waktu 6 (enam) bulan; dan
4. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu lebih
dari 6 (enam) bulan.

D. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa
Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka
waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga)
bulan; dan
3. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam)
bulan atau lebih dari 6 (enam) bulan.

Pemotongan pajak tidak dilakukan terhadap:


a. bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sepanjang
jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank lndonesia tersebut tidak melebihi Rp

202
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-
pecah;
b. bunga data diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia;
c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat
sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk
dihuni sendiri.

B. HADIAH UNDIAN
Penghasilan atas hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% dari penghasilan bruto dan bersifat
final (PP No. 132 tahun 2000). Hadiah selain undian (perlombaan, penghargaan dan lain-lain)
dikenakan PPh Pasal 23 jika diterima oleh Badan dan dikenakan PPh Pasal 21 jika diterima oleh
Orang Pribadi.

C. SEWA TANAH DAN/ATAU BANGUNAN


PPh atas sewa tanah dan/atau bangunan diatur dalam PP 29 Th. 1996 jo. PP 5 Th. 2002 Jo.PP 34
Th 2017 dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Atas penghasilan sewa tanah dan/atau bangunan yang diterima oleh WP Orang Pribadi
atau WP Badan dikenakan tarif PPh sebesar 10% (sepuluh persen) dari Nilai Bruto
Persewaan dan bersifat final
b. PPh tersebut wajib dipotong oleh penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai
Pemotong Pajak
c. Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka PPh terutang wajib dibayar
sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan
d. Nilai Bruto Penyewaan Tanah dan/atau bangunan termasuk biaya perawatan, biaya
pemeliharaan, biaya keamanan/fasilitas lain dan service charge, baik perjanjiannya dipisah
maupun disatukan dengan perjanjian sewa menyewa.

Orang Pribadi yang bertindak sebagai penyewa tanah dan/atau bangunan, bukan sebagai
pemotong pajak kecuali Orang Pribadi yang ditunjuk berdasarkan KEP-50/PJ./1996, yaitu:
a. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT
tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan;
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut wajib memotong Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

Contoh Kasus:

ATC – Tax Specialist 203


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Notaris Suherman, S.H telah mendapat surat penunjukan sebagai pemotong Pajak. Dalam tahun
2017 menyewa gedung untuk kantor senilai Rp 50.000.000,- Berapakah PPh yang harus
dipotong?
Bagaimana cara penyetoran dan pelaporannya ?
Jawab:
PPh yang harus dipotong sebesar 10% X Rp 50.000.000,- = Rp 5.000.000,- Notaris Suherman, S.H
harus menyetorkannya dengan SSP dengan nama dan NPWP Notaris Suherman, S.H paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Notaris Suherman, S.H membuat Bukti Pemotongan PPh Final sewa tanah dan atau bangunan
sebanyak 3 lembar (untuk penerima pembayaran, KPP, dan arsip Notaris Suherman, S.H).
Pelaporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dengan menyerahkan:
1. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)
2. SSP lembar ke-3
3. Daftar Bukti Potong
4. Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong tidak dapat dikreditkan karena pemotongannya bersifat final.

D. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN


Berdasarkan Peraturan Pemerintah 48 Tahun 1994 jo. PP 27 Tahun 1996 jo. PP 79 Tahun 1999 jo.
PP 71 tahun 2008 jo PP 34 tahun 2016, atas perlakuan PPHTB (Pajak Pengalihan Atas Tanah dan
Bangunan) adalah sebagai berikut:
 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud adalah :
a. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan
hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain
pemerintah;
b. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang
disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan
khusus;
c. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus.
 Besarnya Pajak Penghasilan sebesar 2,5% (Dua setengah persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak
Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan. Kemudian 0%
(nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah,
badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau
badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
204
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

 Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud adalah nilai yang tertinggi antara nilai
berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, kecuali:
a. dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan
pejabat yang bersangkutan;
b. dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908
Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang
tersebut.
 Rumah Sederhana sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan
Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Rumah Susun Sederhana sebagaimana dimaksud di atas adalah bangunan bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang
dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah
dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
 Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah sebagaimana
disebut di atas
c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

E. REVALUASI AKTIVA TETAP


Penerapan PPh atas revaluasi aktiva tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-undang PPh Pasal
19 dan PMK 79/PMK.03/2008 perusahaan melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:
a. Aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah memperoleh persetujuan
penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru.

ATC – Tax Specialist 205


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

b. Aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah
memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun
maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10% (sepuluh
persen).

F. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK


PPh atas hasil penjualan saham di bursa efek dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Saham Pendiri
- Diterapkan tarif 0.1% dari nilai saham pada saat transaksi penjualan ditambah 0.5%
dari nilai saham pada saat Initial Public Offering (Penawaran umum perdana), dalam
hal saham diperdagangkan di bursa setelah 1 Januari 1997·
- Diterapkan tarif 0.1% dari nilai saham pada saat transaksi penjualan ditambah 0.5%
dari nilai saham per 30 Desember 1996, dalam hal saham diperdagangkan di bursa
sebelum 31 Desember 1996
b. Bukan Saham Pendiri
Diterapkan tarif sebesar 0.1% dari nilai saham pad a saat transaksi penjualan dibursa efek

G. BUNGA KOPERASI
Pajak penghasilan atas bunga koperasi di atur dalam PP No 15 tahun 2009. Bunga simpanan
anggota koperasi wajib dipotong PPh final pada saat pembayaran dengan tarif :
- 0% untuk penghasilan bunga simpanan sampai dengan 240.000 per bulan
- 10% dari jumlah bruto bunga simpanan lebih dari 240.000 per bulan

H. BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK


PPh atas bunga dan diskonto obligasi yang dijual di Bursa Efekdiatur dalam PP No 16 Tahun 2009
jo PP 100 Tahun 2013. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan. Sedangkan bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau
diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto. Ketentuan mengenai
obligasi adalah sebagai berikut:
a. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi
dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
b. Ketentuan diatas huruf (a) tidak berlaku dalam hal penerima penghasilan berupa Bunga
Obligasi adalah:
- Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal
4 ayat (3) huruf h
- Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.
c. Penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada huruf (b) bagian kedua, dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umumsesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

206
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang


Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
d. Tarif PPh atas bunga dari obligasi dengan kupon adalah:
- 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
- 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap,dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
e. Tarif PPh atas diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:
- 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
- 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap, dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan
Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan;
f. Tarif PPh atas diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
- 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
- 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi; dan
g. Tarif PPh atas bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh
Wajib Pajak reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebesar:
- Dihapus
- 5% (lima persen) untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020; dan
- 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2021 dan seterusnya.
h. Pemotongan Pajak Penghasilan Bunga Obligasi dilakukan oleh:
- penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga
dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh
tempo Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga
pada saat jatuh tempo Obligasi; dan/atau
- perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli,
atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat transaksi.

I. PENJUALAN SAHAM MILIK PERUSAHAAN MODAL VENTURA


Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan Pajak Penghasilan bersifat
final.
Perusahaan pasangan usaha yang dimaksud diatur dengan PP 4 Tahun 1995, yaitu yang
memenuhi syarat sebagai berikut :
 Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam sektor-
sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan ;
 Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
 Besarnya Pajak Penghasilan adalah 0.1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham
atau pengalihan penyertaan modal.
Ketentuan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 250/KMK.04/1995 Jo Keputusan
Mentri Keuangan No

ATC – Tax Specialist 207


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

 Perusahaan yang penghasilannya setahun tidak melebihi Rp. 50.000.000.000.


 Penyertaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha
dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut menjual saham di bursa efek dan
untuk jangka waktu tidak melebihi 10 tahun dan penghasilan berupa bagian laba yang
diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari penyertaan modal pada perusahaan
pasangan usahanya bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan.
 Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi maka atas penghasilan berupa bagian laba yang
diterima oleh perusahaan modal ventura merupakan Objek Pajak, kecuali dalam rangka
penyertaan saham dan memperoleh dividen sesuai Pasal 4 ayat 3 huruf Undang-undang
Pajak Penghasilan.
 Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang
merupakan Objek PPh dan Penghasilan yang bukan merupakan Objek PPh.

J. JASA KONSTRUKSI
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PP
No 51 Tahun 2008 jo PP 40 Tahun 2009)

Berdasarkan PP NO. 51 tahun 2008 tarif atas jasa konstruksi atas pelaksanaan, perencanaan atau
pengawan ditentukan berdasarkan kualifikasi usahanya, apakah memiliki kualifikasi usaha atau tidak
memiliki kualifikasi usaha. Tetapi pada PP 40 Tahun 2009, mengatur bahwa tarif pajak atas konstruksi
hanya dibedakan atas pelaksanaan, perencanaan dan pengawasan atas usaha jasa konstri tersebut.
Berikut adalah tarif pajak atas usaha jasa konstruksi sebelum tahun 2009 :
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi berdasarkan setelah Tahun 2009 adalahsebagai
berikut:
a. 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan
konstruksi;
b. 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi; atau
c. 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan
konstruksi.

Sebelumnya tarif atas jasa konstruksi diatur dalam PP No. 51 Tahun 2008 adalah sebagai
berikut :
208
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

f. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
g. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha;
h. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
i. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
j. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan tersebut tidak
termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final,
dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-
Undang PPh atau sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Penyetoran Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi di atur sebagai berikut:


a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan
pemotong pajak; atau
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong
pajak.
Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah:
a. jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak
Penghasilan atas jasa konstruksi atau
b. jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif
Pajak Penghasilan jasa konstruksi dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia
Jasa.
Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran merupakan bagian dari Nilai Kontrak
Jasa Konstruksi.

Terkait dengan Pajak Penghasilan atas jasa konsntruksi di atur sebagai berikut:
1. Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai
Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah
dipotong atau disetor sendiri, selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
2. Dalam hal Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas
Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan
yang bersifat final, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut
dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih.
3. Piutang yang tidak dapat ditagih merupakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh.
4. Dalam hal piutang yang, nyata-nyata tidak dapat ditagih, dapat ditagih kembali, tetap
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

ATC – Tax Specialist 209


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

5. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh.
6. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa Konstruksi
dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh.
7. Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk dalam
perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
8. Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.

Berikut ini pengertian istilah-istilah dalam jasa konstruksi:

1. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
2. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau
pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal,
dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan
atau bentuk fisik lain.
3. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli
yangprofesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam
bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
4. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli
yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan
kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk
fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi
layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering,
procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design
and build).
5. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli
yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan
pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
6. Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang memerlukan
layanan jasa konstruksi.
7. Penyedia Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana
konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
8. Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara
keseluruhan.

Catatan:

210
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Apabila penerima penghasilan tidak mempunyai NPWP, maka


besarnya pemotongan PPh Final Pasal 4(2) yang dikenakan adalah
tarif normal tanpa ada kenaikan tarif yang lebih tinggi.

BAB X
PPh PASAL 15
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Pengertian Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
2. Memahami Pengertian Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri
3. Memahami Pengertian Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
4. Memahami Pengertian Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia

PENDAHULUAN

ATC – Tax Specialist 211


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

PPh Pasal 15 adalah PPh yang dihitung dengan norma penghitungan khusus untuk Wajib Pajak
tertentu. Penghitungan Pajak WP Tertentu tersebut tidak mengikuti ketentuan seperti biasa yaitu tarif
pasal 17 dikalikan Penghasilan Kena Pajak tetapi pajaknya dihitung dengan tarif efektif tertentu dari
penghasilan bruto.

PERUSAHAAN PELAYARAN DAN ATAU PENERBANGAN LUAR NEGERI


WP Pelayaran dan atau Penerbangan LN adalah WP Pelayaran dan atau Penerbangan yang bertempat
kedudukan di luar negeri yang melakukan usaha melalui BUT.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 jo SE-32/PJ.4/1996, norma
perhitungan khusus penghasilan neto atas pelayaran dan atau penerbangan luar negeri adalah 6% dari
penghasilan bruto. Besarnya tarif efektif yang berlaku adalah 2,64% FINAL dari penghasilan bruto
dengan perhitungan :
Norma penghasilan netto = 6%
Tarif PPh (maksimal) = 30 %
Jumlah PPh pasal 15 (6% x 30%) = 1,8 %
Laba setelah PPh pasal 15 (6% – 1,8%) = 4,2 %
Tarif PPh pasal 26 (4) (maksimal) = 20 %
Jumlah PPh pasal 26 (4) (4,2% x 20%) = 0,84%
Tarif efektif (1,8% + 0,84%) = 2,64%

Penghasilan Bruto WP Pelayaran dan atau Penerbangan LN adalah semua nilai pengganti dari
pengangkutan orang dan atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia
dan atau dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. Penghasilan tersebut tidak termasuk
penggantian yang diterima atau diperoleh dari pengangkutan orang dan atau barang dari pelabuhan di
luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.

Contoh Kasus 1:
PT. AL-NUSA mencarter pesawat PAN ASIA Airlines, sebuah maskapai penerbangan internasional
untuk mengangkut barang. Ongkos carter sebesar Rp. 100.000.000,-. Bagaimana pemotongan pajaknya?

Jawab:
PT. AL-NUSA memotong PPh pasal 15 sebesar 2,64% X Rp. 100.000.000,- sama dengan Rp. 2.640.000,-
pada saat membayar ongkos carter.

Cara penyetoran dan pelaporan:


PT. AL-NUSA membuat Bukti Pemotongan Pajak rangkap 3 untuk PAN ASIA Airlines, KPP (lampiran
SPT Masa) serta arsip. PT. AL-NUSA menyetorkannya dengan SSP ke bank persepsi paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya ke KPP dengan SPT Masa paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya dengan melampirkan SSP Lembar ke 3 dan Bukti Pemotongan PPh pasal 15.

Bentuk formulir Bukti Potong dan SPT Masa Pasal 15 dapat dilihat dalam lampiran PER-53/PJ./2009 jo
PER-01/PJ/2015 jo PER-14/PJ/2015. Apabila customer PAN ASIA Airlines tidak memotong PPh maka
PAN ASIA Airlines wajib menyetor sendiri dengan SSP Final paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
dan melaporkannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

PERUSAHAAN PENERBANGAN DALAM NEGERI

212
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 475/KMK.04/1996 jo SE-35/PJ.4/1996, norma


perhitungan khusus penghasilan neto atas pelayaran dalam negeri adalah 6% dari penghasilan bruto.
Besarnya tarif efektif yang berlaku adalah 1,8% TIDAK FINAL dari penghasilan bruto dengan
perhitungan :
Norma penghasilan neto =4%
Tarif PPh (maksimal) = 30 %
Jumlah PPh pasal 15 (6% x 30%) = 1,8 %
Penghasilan perusahaan penerbangan dalam negeri yang dikenakan PPh meliputi seluruh penghasilan
dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuahan di luar negeri berdasarkan perjanjian
charter.

Contoh:
PT. AL-NUSA mencarter pesawat PAN RAJAWALI LINES, sebuah maskapai penerbangan nasional
untuk mengangkut barang. Ongkos carter sebesar Rp 100.000.000. Bagaimana pemotongan pajaknya?

Jawab:
PT. AL-NUSA memotong PPh pasal 15 sebesar 1,8 % X Rp 100.000.000,- sama dengan Rp. 1.800.000,-
pada saat membayar ongkos carter.
Cara penyetoran dan pelaporannya sama seperti contoh kasus 1 tetapi PPh Pasal 15 bagi perusahaan
penerbangan dalam negeri hanya khusus untuk jasa charter.
PERUSAHAAN PELAYARAN DALAM NEGERI
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 jo SE-32/PJ.43/1998, norma
perhitungan khusus penghasilan neto atas pelayaran dalam negeri adalah 4% dari penghasilan bruto.
Besarnya tarif efektif yang berlaku adalah 1,2% FINAL dari penghasilan bruto dengan perhitungan :
Norma penghasilan neto =4%
Tarif PPh (maksimal) = 30 %
Jumlah PPh pasal 15 (6% x 30%) = 1,2 %

Penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri yang dikenakan PPh meliputi seluruh penghasilan dari
pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari:
· Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia
· Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia
· Pelabuhan dari luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia
· Pelabuhan dari luar Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia
Contoh:
PT. AL-NUSA mencarter kapal PAN DAENG LINES, sebuah maskapai pelayaran nasional untuk mengangkut
barang. Ongkos carter sebesar Rp. 100.000.000,-. Bagaimana pemotongan pajaknya?
Jawab:
PT. AL-NUSA memotong PPh Pasal 15 sebesar 1,2 % x Rp. 100.000.000,- sama dengan Rp 1.200.000,- pada
saat membayar ongkos carter.
Cara penyetoran dan pelaporannya sama seperti contoh kasus 1.

WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI


INDONESIA
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 jo. KEP-667/PJ./2001 tanggal 28
Februari 2002 (perubahan terakhir) tentang Norma Perhitungan Khusus Penghasilan Neto Atas Wajib Pajak

ATC – Tax Specialist 213


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia adalah 1% dari Nilai Ekspor Bruto.
Tarif efektif yang berlaku adalah 0,44% FINAL dari Nilai Ekspor Bruto. Perhitungan tarif efektif:
Norma penghasilan neto = 1%
Tarif PPh (maksimal) = 30%
Jumlah PPh pasal 17 (1% x 30%) = 0,3%
Laba setelah PPh pasal 17 (1 – 0,3%) = 0,7%
Tarif PPh pasal 26 (4) (maksimal) = 20%
Jumlah PPh pasal 26 (4) (0,7% x 20%) = 0,14%
Tarif efektif (0,3% + 0,14%) = 0,44%
Nilai ekspor bruto adalah semua nilai penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh WPLN
yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau
badan di Indonesia.
Contoh:
ALZHEIMER Gmbh adalah produsen mesin presisi. Untuk meningkatkan penjualan ekspor mesin presisi di
Indonesia ALZHEIMER Gmbh mendirikan Kantor Perwakilan Dagang. BUT Kantor Perwakilan Dagang
telah terdaftar di KPP Badora. Selama bulan Januari tahun 2017 nilai ekspor bruto ALZHEIMER Gmbh
sebesar Rp 1.000.000.000,-. Berapakah PPh Pasal 15 yang harus disetor? Bagaimana cara penyetorannya?
Jawab:
PPh Pasal 15 bulan Januari 2017 ALZHEIMER Gmbh dihitung sebesar:
= 0,44 % X Rp 1.000.000.000,-.
= Rp 4.400.000,-
PPh Pasal 15 tersebut disetorkan ke bank persepsi dengan SSP Final paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya dan dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

214
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

BAB XI

SURAT KETERANGAN BEBAS (SKB)


PEMOTONGAN DAN PEMUNGUTAN PPh

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami prosesSKB PPh 21, 22, PPh 22 Impor dan 23
2. Memahami prosesSKB atas bunga yang diterima oleh Dana Pensiun

PENDAHULUAN
Kita telah mengetahui 2 sifat pemotongan PPh yaitu Final dan Tidak Final. Bagi WP yang dipotong PPh
tidak final, pemotongan PPh merupakan pembayaran pajak dimuka. Itu berarti terdapat sejumlah kas
yang tertanam tanpa menghasilkan return. Apabila pada akhir tahun WP benar-benar kurang bayar
maka pajak dibayar dimuka tersebut akan bermanfaat. Tetapi jika pada akhir tahun WP mengalami
kerugian maka pajak dibayar dimuka akan menyebabkan PPh Lebih Transport beban pajak menjadi
tidak efisien.

Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan Pemungutan PPh merupakan salah satu fasilitas pajak
yang disediakan bagi pemerintah. SKB ini hanya diberikan hanya untuk pemotongan PPh yang bersifat
tidak final. Walaupun demikian Wajib Pajak yang jeli, benar-benar beriktikad baik serta memenuhi
syarat untuk diberikan SKB dapat memanfaatkan fasilitas ini untuk mengefisienkan kewajiban
pajaknya.

Prosedur pemberian SKB PPh Pemotongan/Pemungutan dibedakan antara pemberian SKB selain PPh
Pasal 22 Impor, SKB PPh Pasal 22 impor dan SKB atas bunga yang diterima oleh Dana Pensiun.
Ketentuan tersebut diatur dalam Per-32/PJ/2013untuk SKB selain PPh Pasal 22 Impor dan Per
1/PJ/2013 untuk SKB bunga yang diterima oleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.

SURAT KETERANGAN BEBAS PAJAK PENGHASILAN


1. SKB PASAL 21, PASAL 22, PASAL 22 IMPOR, dan/atau PASAL 23
Terdapat 4 kriteria Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan
dan atau pemungutan PPh oleh pihak lain. Kriterianya adalah :

ATC – Tax Specialist 215


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak


sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada
Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas
b. menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak
yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk
dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah
peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan
Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak
saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
c. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja,
Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung
sejenis lainnya.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 Undang-Undang KUP.

2. PROSEDUR PEMBERIAN SKB


1. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh diajukan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan syarat
telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
terakhir sebelum tahun diajukan permohonan kecuali untuk Wajib Pajak yang baru
berdiri.
2. Permohonan diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23 dengan menggunakan formulir yang
sudah ditentukan dalam Per-1/PJ/2013.
3. Permohonan SKB harus dilampiri penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan
terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan.
Atas permohonan SKB PPh, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan
dengan menerbitkan:
a. Surat Keterangan Bebas; atau
b. surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap.
Apabila dalam jangka waktu 5 hari Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum memberikan
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima. Jika permohonan Wajib Pajak dianggap
diterima Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam
jangka waktu 2 (dua) hari kerja. Surat Keterangan Bebas berlaku sampai dengan berakhirnya
tahun pajak yang bersangkutan.

Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan


Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan
Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan

216
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas
diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan
kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
a. menunjukkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1);
b. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkanPeraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau
pemungut berupa Surat Setoran Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas:
1. impor;
2. pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
3. pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri
otomotif dan industri farmasi;
4. pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri;

c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan
nilai transaksi pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 Undang-Undang KUP.
Fotokopi Surat Keterangan Bebas yang akan dilegalisasi diajukan dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. satu lembar untuk Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban
Surat Pemberitahuan Tahunan;
b. satu lembar untuk diserahkan Wajib Pajak kepada Wajib Pajak pemotong dan/atau
pemungut;
c. satu lembar untuk diserahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong
dan/atau pemungut terdaftar

Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja sejak
permohonan legalisasi diterima lengkap diberikan apabila persyaratan pengajuannya terpenuhi.

B. SKB PPh atas BUNGA YANG DITERIMA OLEH DANA PENSIUN.


Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan, sepanjang dananya diperoleh dari sumber
pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun dan perubahannya. Dipersamakan dengan penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan adalah penghasilan berupa imbalan atau penghasilan sejenis lainnya dengan nama dan dalam
bentuk apapun dari deposito dan tabungan. Dipersamakan dengan penghasilan berupa diskonto SBI
adalah penghasilan berupa imbalan atau penghasilan sejenis lainnya dengan nama dan dalam bentuk

ATC – Tax Specialist 217


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

apapun dari SBI dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Pengecualian pemotongan Pajak
Penghasilan tersebut diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak Penghasilan
atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI (SKB) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan
Pajak tempat dana pensiun terdaftar sebagai Wajib Pajak. Atas bunga yang diterima atau diperoleh
dana pensiun harus dimasukkan ke dalam rekening dana pensiun yang bersangkutan.
Permohonan SKB diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat dana
pensiun terdaftar sebagai Wajib Pajak dan harus ditandatangani oleh pengurus yang berkompeten dari dana
pensiun yang bersangkutan dengan menggunakan Formulir Permohonan SKB sesuai dengan Per 01/PJ/2013
dilampiri:
a. fotokopi Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengesahan Pendirian Dana Pensiun;
b. fotokopi Neraca;
c. fotokopi Laporan Sisa Hasil Usaha (Laporan Laba Rugi);
d. fotokopi Laporan Arus Kas dan Bank;
e. fotokopi Laporan Investasi; dan
f. daftar sertifikat/bilyet/buku deposito, tabungan, dan SBI.
Dalam hal permohonan SKB ditandatangani oleh selain pengurus yang berkompeten dari dana pensiun yang
bersangkutan, maka harus dilengkapi dengan Surat Kuasa Khusus yang dibubuhi meterai cukup. Pengurus
yang berkompeten dari dana pensiun adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum dan
tata cara perpajakan.

Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam mata uang
rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada
atau diterbitkan oleh bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah.

Tabungan adalah simpanan pada bank di Indonesia yang melaksanakan


kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan
menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing bank.

218
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

Contoh Surat Permohonan SKB.

Nomor :
............................
...............
Hal : Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh bagi
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

KepadaYth.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
.........................................

Berkenaan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor........................ tentang Tata Cara
Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai
Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu, dengani ni:

NamaWajibPajak : .........................................................................................
NPWP : ,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Alamat : .........................................................................................

Mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau
Pemungutan PPh Pasal ..................................................... 1) karena memenuhi kriteria sebagai
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.

Untuk kelengkapan permohonan SKB, bersama ini kami sampaikan Surat Pernyataan Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.2)

Demikian permohonan ini kami sampaikan.

.........., ...................20......
3)
Pemohon,

(......................................)

1) diisi sesuai dengan jenis pajak (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor atau Pasal 23)
2) syarat khusus untuk Wajib Pajak yang baru terdaftar dalam Tahun Pajak yang sama dengan
Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas.
3) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak

ATC - Tax Specialist 137


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

SURAT PERNYATAAN WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU BERDASARKAN
PERATURANPEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2018

Yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : ................................................................................
NPWP : ,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Alamat : ................................................................................

Bertindak selaku1) WajibPajak Pengurus Kuasa

Nama : ................................................................................2)
NPWP : ,,,,,,,,,,,,,,,,,,3)
Alamat : ................................................................................4)

Dengan ini menyatakan dengans esungguhnya bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau
diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Apabila dikemudian hari ditemukan bahwa pernyataan ini tidak benar,saya bersedia diberikan sanksi
sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

.........., .................20.......
Yang membuat pernyataan,5)

Meterai
Rp6.000,-

(......................................)

1) Beritanda X pada yang sesuai


2) Diisi dengan nama Wajib Pajak dalam hal yang mengajukan Surat Permohonan adalah Wakil atau Kuasa
dari Wajib Pajak
3) Diisi dengan NPWP Wajib Pajak dalam hal yang mengajukan Surat Permohonan adalah Wakil atau Kuasa
dari Wajib Pajak
4) Diisi dengan alamat Wajib Pajak dalam hal yang mengajukan Surat Permohonan adalah Wakil atau Kuasa
dari Wajib Pajak
5) Ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak

IBI Kosgoro – KKP ADnP 138


Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Lembar Ke-1 :


UntukWajibPajak
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Lembar Ke-2 :
UntukPemotong/Pemungut
KANTOR WILAYAH DJP ……………………………………….. Lembar Ke-3 : Arsip KPP
KANTOR PELAYAN PAJAK ……………………………………

SURAT KETERANGANBEBAS PEMOTONGANDAN/ATAUPEMUNGUTAN PPhPASAL 21/ PASAL 22/ PASAL


231)
BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PPh
BERDASARKAN PP NOMOR 23 TAHUN 2018

NOMOR : ...............................
TANGGAL : ...............................

Kepala Kantor Pelayanan Pajak ........................................................................


Menerangkan bahwa orang pribadi/badan1) tersebut dibawah ini:

Nama Wajib Pajak : ................................................................................


NPWP : ,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Alamat : ................................................................................

Dibebaskan dari pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21/22/231) , karena memenuhi kriteria sebagai
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2018.

Surat Keterangan Bebas ini berlaku sejak diterbitkan sampai dengan tanggal.................................... 2)

....................20.......
a.n.Direktur Jenderal Pajak
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..........................................

(........................................)
NIP.

DIGUNAKANSAAT PENGAJUANPERMOHONANLEGALISASISKB

Identitas Wajib Pajak Pemotong dan/atau Pemungut: 3) a.n.Kepala Kantor


Nama : ...................................... Kepala Seksi Pelayanan
NPWP : ......................................
Nilaitransaksi : ......................................
(.................................)
Jenistransaksi : ...................................... 4) NIP.

1) Coret yang tidak perlu


2) Diisi dengan tanggal akhir Tahun Pajak bersangkutan
3) Diisi dengan identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut dan nilai transaksi, pada saat
pengajuan permohonan legalisasi Surat Keterangan Bebas
4) Diisi dengan jenis penghasilan, misalnya penghasilan dari penjualan barang kepada bendahara,
penyerahan jasa reparasi AC kepada pemotong

Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang
tela

139

Anda mungkin juga menyukai