BAB I
PENGANTAR PEMOTONGAN DAN
PEMUNGUTAN PPh
PENDAHULUAN
Pada saat kita belajar PPh Orang Pribadi dan PPh Badan kita sedang menghitung jumlah pajak
kita sendiri untuk SPT PPh Orang Pribadi dan perusahaan kita untuk SPT PPh Badan ( Self Assessment
System). Pada kesempatan ini kita akan belajar PPh Pemotongan dan Pemungutan di mana kita
menghitung pajak orang lain dengan Withholding Tax System. Dalam sistem Withholding Tax, pihak
ketiga diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas
penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas Negara.
Di akhir tahun pajak, pajak yang telah dipotong atau dipungut dan telah disetorkan ke kas negara itu
akan menjadi pengurang pajak atau kredit pajak bagi pihak yang dipotong dengan melampirkan bukti
pemotongan atau pemungutan.
Apabila kita tidak memotong atau memungut PPh dengan benar, kitalah yang harus membayar
PPh yang kurang potong. Jadi kewajiban pembayaran PPh pihak ketiga telah beralih kepada pemotong
pajak.Disamping itu beragamnya jenis pajak yang harus dipotong memerlukan pemahaman yang cermat
atas setiap jenis pajak agar tidak terjadi salah penerapan. Contoh yang paling sering terjadi adalah salah
membedakan pasal yang harus diterapkan, mengira bersifat final padahal tidak final atau salah
menerapkan tarif. Walaupun terdapat jalan keluar seandainya kita salah potong yaitu dengan
permohonan pemindahbukuan, tetapi hal tersebut memakan banyak energi termasuk kepercayaan
rekan bisnis kita yang pajaknya salah dipotong.
Hal-hal diatas hendaknya memacu kita untuk memahami pasal-pasal yang terkait dengan PPh
Pemotongan dan Pemungutan atau lebih dikenal dengan istilah PPh Potput yaitu PPh pasal 21, PPh
Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Modul ini hadir untuk
membantu Anda mengatasi belantara pasal-pasal PPh Pemotongan dan Pemungutan dengan
pemahaman praktis tentang pasal-pasal tersebut dengan jelas dan dilengkapi dengan contoh-contohnya.
BAB II
PPh PASAL 21
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Objek Pajak, Bukan Objek Pajak, Subjek PPh Pasal 21
2. Memahami Pengurang, Pemotong Penghasilan PPh Pasal 21
3. Memahami Karyawan Berdasarkan PPh Pasal 21
PENDAHULUAN
PPh Pasal 21 merupakan Pajak yang dipotong dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi Dalam Negeri, yaitu
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, serta pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Pemotongan PPh Pasal 21 sangat bervariasi. Mulai dari penghasilan teratur yang di terima oleh
pegawai tetap, pegawai tidak tetap, pegawai harian, bonus, tunjangan cuti, uang rapat dan lain-lain.
Dalam Bab ini akan kami sajikan lengkap beserta contoh perhitungannya.
Ketentuan yang mengatur tentang tata cara pengenaan PPh Pasal 21 sampai saat ini adalah:
1. Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1983 S.T.D.T.D. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh)
2. PER 16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan,
Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.
3. PER 14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian Dan Penyampaian SuratPemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21Dan/Atau Pasal 26
4. PMK 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
5. PMK 152/PMK.011/2015 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan
Dari Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan
6. PER-1/PJ./2011 jo PER 21/PJ/2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan Dari
Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Oleh Pihak Lain
7. PMK-252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
8. PMK-250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap Atau Pensiunan
82
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
1. Penghasilan Teratur
a. Penghasilan yang diterima oleh pegawai tetap: gaji, tunjangan, honorarium
b. Penghasilan yang diterima oleh pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai: gaji,
tunjangan
c. Penghasilan yang diterima oleh pensiunan: uang pensiun
Termasuk kategori penghasilan teratur yang menjadi obyek PPh 21 adalah gaji, gaji kehormatan,
dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara,
Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait
dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-
anaknya.
Selain itu penghasilan teratur yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam
bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak
yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau yang dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
b. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
3. Upah
Penghasilan berupa upah contohnya upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah
borongan;
Penghasilan tersebut diatas bilamana diterima atau diperoleh Orang Pribadi Subjek Pajak Luar Negeri
(OP SPLN) merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26. Dalam hal dibayarkan dalam mata
uang asing maka perhitungan PPh pasal 21 /atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada
saat dibebankan sebagai biaya.
84
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
yang dibayar sendiri tidak boleh menjadi pengurang penghasilan dalam menghitung PPh 21
(Pasal 9 ayat 1 huruf d). Tujuannya agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda. Logika yang
digunakan adalah WP rugi di awal (saat menerima penghasilan berupa premi asuransi dibayar
pemberi kerja WP dipotong PPh 21 serta saat membayar sendiri premi asuransi tidak boleh
menjadi pengurang) tetapi untung di akhir (saat menerima klaim bebas pajak).
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Alasan :
Fiskus mengalihkan titik pengenaan pajak atas natura dan kenikmatan bukan pada pegawai yang
menerima tetapi kepada perusahaan yang memberikan natura dan kenikmatan tersebut. Oleh
karena itu pengeluaran berupa natura dan kenikmatan tidak boleh menjadi biaya perusahaan
(non deductable berdasarkan pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh). Karena bukan biaya maka bagi yang
menerima juga bukan penghasilan dan tidak dikenakan PPh 21. Badan-badan yang bukan Wajib
Pajak serta WP yang dikenakan PPh final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan
norma penghitungan khusus (deemed profit) tidak memperhitungkan biaya dalam perhitungan
pajaknya sehingga natura yang diberikan pihak-pihak tersebut merupakan penghasilan.
Contoh WP deemed profit : Perusahaan pelayaran dan atau penerbangan luar negeri PPhnya
adalah 2,64 % dari penghasilan bruto
Catatan :
Tidak semua natura tidak boleh menjadi biaya perusahaan. Pemberian natura dan kenikmatan
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan
bagi Pegawai yang menerimanya adalah (PMK 83/PMK.03/2009 jo. PER-51/PJ./2009):
Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan;
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang
kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut;
Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya.
Sedangkan pembelian HP untuk keperluan pekerjaan, biaya pulsa dan servis HP, pembelian,
perbaikan besar dan servis rutin atas sedan 50% nya dapat merupakan biaya. Pembelian,
perbaikan besar dan biaya servis rutin atas bus atau minibus untuk antar jemput pegawai dapat
dibebankan 100% sebagai biaya. Kenikmatan bagi pegawai berupa HP & antar jemput diatas
bukan penghasilan pegawai (KEP-220/PJ./2002).
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang
dibayar oleh pemberi kerja;
Alasan :
Kebalikan dari perlakuan PPh atas premi asuransi, perlakuan PPh atas iuran pensiun adalah WP
untung di awaltetapi rugi di akhir. WP untung di awal karena penghasilan berupa iuran pensiun
yang dibayar oleh pemberi kerja bukan objek 21 dan iuran pensiun yang dibayar sendiri boleh
menjadi pengurang penghasilan dalam menghitung PPh 21 (pasal 6 ayat 1 huruf c). WP rugi di
akhir karena saat menerima penghasilan berupa pensiun akan dipotong PPh.
c. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh Orang Pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah (PMK-252/PMK.03/2008).
Alasan :
Ketentuan tersebut merupakan fasilitas pajak dari pemerintah bagi penerimanya mengacu pada
Pasal 4 Ayat 3 huruf a nomor 1 Undang-undang PPh jo. PMK-252/PMK03/2008.
e. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sesuai Pasal 4 Ayat 3 huruf i UU PPh dan PMK-
246/PMK.03/2008 jo. PMK-154/PMK.03/2009.
86
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Subjek Pajak yang dipotong PPh Pasal 21 adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, baik
pegawai tetap atau tidak tetap, pensiunan dan sebagainya. Dengan demikian, pemotongan PPh Pasal 21
meliputi:
1. Pegawai Tetap
Yang dimaksud Pegawai Tetap berdasarkan PER-16/PJ/2016 adalah pegawai yang menerima
atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan
komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk
suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah
tertentu secara teratur.
Pegawai tetap ini secara pengenaannya bisa berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing
pegawai tetap, seperti:
1. Pegawai Tetap yang memang bekerja penuh (Januari-Desember)
2. Pegawai Tetap yang baru bekerja pada Tahun Berjalan (misal April-Desember)
3. Pegawai Tetap yang berhenti bekerja pada Tahun Berjalan (misal Januari-Agustus)
4. Pegawai Tetap yang mutasi/pindah perusahaan tapi masih sama perusahaannya (misal
dari Pusat ke Cabang, dari Cabang ke Pusat, atau bahkan antar Cabang)
5. Pegawai Tetap yang bekerja secara overtime/lembur
6. Pegawai Tetap yang mendapatkan Bonus/Tunjangan Hari Raya (THR)
7. Pegawai Tetap yang meninggal dunia
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan perhitungan PPh Pasal 21 bisa berbeda-beda.
3. Bukan Pegawai:
Yang dimaksud Penerima penghasilan Bukan Pegawai berdasarkan PER-16/PJ/2016 adalah
orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang
memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau
permintaan dari pemberi penghasilan.Diantara Bukan Pegawai adalah:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
c. Olahragawan;
d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
4. Anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap
pada perusahaan yang sama
5. Mantan Pegawai
7. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua, termasuk ahli warisnya
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada
Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar
negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
88
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
1. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga
ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan
untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan, serta
pegawai magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional
dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada
Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Tidak semua pihak yang membayarkan uang kepada karyawan atau non karyawan diberikan
kewenangan untuk memotong PPh Pasal 21/26. Pihak-pihak tersebut sesuai PMK -252/PMK.03/2008
Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-
Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau
pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pihak-pihak di atas dibebaskan dari kewajiban memotong PPh 21 karena mereka bukan Subjek Pajak
(Pasal 3 UU PPh) sesuai dengan kelaziman internasional. Karena tidak memotong PPh 21 maka warga
negara Indonesia yang menerima penghasilan dari kedutaan besar asing dan organisasi internasional
harus membayar sendiri pajaknya dengan cara mengangsur PPh pasal 25 dan melunasinya pada akhir
tahun dengan membayar PPh Pasal 29.
A. Biaya Jabatan
Biaya Jabatan diberikan untuk karyawan tetap yang masih aktif bekerja. Biaya jabatan ini
merupakan biaya yang tidak riil dan merupakan kebijaksanaan pemerintah karena setiap orang
yang bekerja mengeluarkan biaya untuk melaksanakan pekerjaan tersebut (biaya transport,
makan, dll). Telah diatur dalam PMK-250/PMK.03/2008 bahwa biaya jabatan adalah sebesar 5%
X Penghasilan Bruto dengan jumlah maksimal Rp 500.000,- /bulan atau Rp 6.000.000/tahun (jika
masa perolehan penghasilan dari Januari – Desember). Besarnya Biaya Jabatan ini tergantung
jumlah bulan bekerja.
Contoh Perhitungan Biaya Jabatan:
Tuan Lukman bekerja di PT. ABC dengan gaji Rp 4.000.000,- per bulan sejak 1 Maret 2017
sehingga total gaji setahun Rp 40.000.000,-. Berapa Biaya Jabatan dalam Tahun Pajak 2017?
Jawab :
Tuan Lukman hanya bekerja selama 10 bulan maka biaya jabatan yang diperkenankan sebagai
pengurang penghasilan bruto adalah sebesar Rp 2.000.000,- yaitu pilihan terkecil antara:
- 5 % X Rp 40.000.000,- = Rp 2.000.000,-
- 10 bln X Rp 500.000,- = Rp 5.000.000,-
Sehingga biaya jabatan yang diperkenankan hanya Rp 2.000.000,-
B. Biaya Pensiun
Biaya Pensiun : diberikan untuk pensiunan. Biaya pensiun ini merupakan biaya yang tidak riil
dan merupakan kebijaksanaan pemerintah.
Biaya pensiun perlakuannya sama dengan biaya jabatan tetapi hanya dikurangkan atas
pendapatan pensiun. Jumlah Biaya Pensiun maksimal 5% dari Penghasilan Bruto, atau sebesar Rp
200.000/bulan atau maksimal sebesar Rp 2.400.000/tahun (jika masa perolehan penghasilan dari
Januari–Desember).
Contoh Perhitungan Biaya Pensiun:
Tuan Rizki adalah pensiunan di Dana Pensiun PT. ABC dengan uang pensiun sebesar Rp
1.000.000,- per bulan. Berapa Biaya Pensiun yang dapat dikurangkan dari penerimaan pensiun
Tuan Badu setiap bulan?
Jawab:
Biaya Pensiun yang dapat menjadi pengurang penghasilan pensiun adalah sebesar Rp 50.000,-
yaitu pilihan terkecil antara:
- 5 % X Rp 1.000.000,- = Rp 50.000,-
- 1 bln X Rp 200.000,- = Rp 200.000,-
C. Iuran Pensiun
Iuran Pensiun yang dapat menjadi pengurang Penghasilan Kena Pajak adalah iuran pensiun yang
dibayarkan kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
(pasal 6 ayat 1 huruf c). Termasuk dalam pengertian iuran pensiun adalah iuran Jaminan Hari Tua
yang dibayar sendiri. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1993 jo PP No. 53 Tahun
2012 tentang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja bahwa iuran Jaminan Hari
Tua yang dibayar sendiri sebesar 2% dari gaji sebulan. Perlakuan PPh atas iuran pensiun adalah
WP untung di awaltetapi rugi di akhir. WP untung di awal karena iuran pensiun yang dibayar
sendiri boleh menjadi pengurang penghasilan dalam menghitung PPh 21.
90
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga (status WP bisa menjadi TK/.... atau
K/.... atau K/I/.... tergantungan jumlah tanggungan).
PTKP ditentukan oleh keadaaan per tanggal 1 Januari. Bila orang asing menjadi WP DN pada
tahun berjalan, maka PTKP-nya ditentukan pada keadaan awal bulan dia menjadi WP DN.
PTKP berdasarkan status karyawan, Tidak Kawin (TK) atau Kawin (K) sebagai berikut:
Status 2016 Sejak Th. 2015 Th. 2013 - 2014 Th. 2009 - 2012
TK / 0 Rp 54.000.000 Rp. 36.000.000 Rp. 24.300.000 Rp. 15.840.000
TK / 1 Rp 58.500.000 Rp. 39.000.000 Rp. 26.325.000 Rp. 17.160.000
TK / 2 Rp 63.000.000 Rp. 42.000.000 Rp. 28.350.000 Rp. 18.480.000
TK / 3 Rp 67.500.000 Rp. 45.000.000 Rp. 30.375.000 Rp. 19.800.000
K/0 Rp 58.500.000 Rp. 39.000.000 Rp. 26.325.000 Rp. 17.160.000
K/1 Rp 63.000.000 Rp. 42.000.000 Rp. 28.350.000 Rp. 18.480.000
K/2 Rp 67.500.000 Rp. 45.000.000 Rp. 30.375.000 Rp. 19.800.000
K/3 Rp 72.000.000 Rp. 48.000.000 Rp. 32.400.000 Rp. 21.120.000
Ketentuan PTKP untuk pegawai kriteria pegawai tidak tetap dan tenaga kerja lepas :
- Pegawai tidak tetap meliputi 2 golongan yaitu pegawai tidak tetap yang menerima upah rutin
bulanan serta pegawai yang menerima upah berupa upah harian, satuan dan borongan (tenaga
kerja lepas).
- PTKP untuk pegawai tidak tetap yang menerima upah rutin bulanan adalah sebesar PTKP
bulanan sesuai status keluarga, yaitu Rp 3.000.000 bagi yang berstatus TK/0, Rp 3.000.000 bagi
yang berstatus TK/1 dan seterusnya.
- Khusus untuk pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, satuan dan borongan, PTKP
harian berdasarkan PMK-152/PMK.010/2015 besarnya Rp 300.000 per hari.
Catatan :
- Bagi bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan secara berkesinambungan, antara lain (tidak terbatas pada) 12 golongan di atas,
PTKP bulanan sesuai status keluarga akan diberikan jika:
telah mempunyai NPWP;
hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21/26,
dan,
tidak memperoleh penghasilan lainnya.
Jika penghasilannya tidak berkesinambungan atau tidak ber-NPWP, maka mereka tidak berhak
PTKP apapun. Hal ini berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dan pasal 9 ayat (1) huruf c PER
16/PJ/2016
92
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
- Bagi bukan pegawai dengan kriteria sebagai peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, maka mereka tidak berhak
PTKP apapun, baik ber-NPWP maupun tidak. Hal ini berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf d PER
16/PJ/2016
Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2009 tanggal 16 Nopember 2009 menyatakan bahwa
penerima Pesangon, uang Tebusan Pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, penerima Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
sampai dengan Rp 50.000.000 dikenakan tarif 0%.
Kesimpulan :
Bila kita perhatikan, jenis pengurang penghasilan yang diberikan tergantung pada hubungan
kerja antara pegawai dan perusahaan. Semakin kuat hubungan kerjanya semakin banyak jenis
pengurang yang didapatkan. Contohnya pegawai tetap/penerima pensiun mendapatkan pengurang
berupa biaya jabatan/biaya pensiun dan PTKP, pegawai harian hanya mendapatkan pengurang berupa
PTKP sedangkan peserta kegiatan tidak mendapatkan pengurang apapun.
Sedangkan pengurang berupa iuran pensiun yang dibayar oleh pegawai diberikan bila pegawai
yang bersangkutan membayar sendiri iuran pensiun. Bila ia tidak membayar sendiri iuran pensiun maka
pengurang tersebut tidak ada.
94
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan
sebagai berikut:
Rp 0 - Rp. 50.000.000 = 0%
Rp 50.000.001 - Rp. 100.000.000 = 5%
Rp100.000.001 - Rp. 500.000.000 = 15 %
Rp 500.000.001ke atas = 25 %
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan
kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
Rp 0 - Rp. 50.000.000 = 0%
Rp > 50.000.000 = 5%
Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang
Pesangon dengan jumlah Rp 175.000.000,00.
Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa
kali pembayaran, misalnya :
a. Bulan Desember
= Rp 50.000.000,00
2017
b. Bulan April 2018 = Rp 125.000.000.00 (+)
_______________
Jumlah Rp 175.000.000,00
bruto
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :
5% x Rp 50.000.000.00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp75.000.000.00 = Rp 11.250.000,00 (+)
______________
Jumlah Rp 13.750.000,00
Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 150.000.000,00 adalah:
Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam
beberapa kali pembayaran, misalnya :
96
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Rp 500.000.001 ke atas = 30 %
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
Tarif pasal 17 di atas dikenakan atas jumlah kumulatif jika penerima penghasilan adalah :
1. Pegawai tetap
2. Penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan
3. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan
4. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain 12 golongan yang menerima penghasilan
berkesinambungan, baik ber-NPWP maupun tidak. Ada tidaknya NPWP bagi ke-12
golongan ini tidak berpengaruh terhadap pengenaan tarif pasal 17 atas jumlah kumulatif
atau non kumulatif, tetapi lebih berpengaruh kepada berhak tidaknya PTKP bulanan dan
pengenaan tarif 20% lebih tinggi jika tidak ber-NPWP. Dasar Pengenaan Pajak atas
penghasilan bagi Bukan Pegawai dengan kriteria ini adalah 50 % penghasilan bruto
5. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai
tetap pada perusahaan yang sama yang menerima atau memperoleh penghasilan bruto
berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur
6. Mantan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan bruto berupa jasa produksi,
tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur
7. Peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menerima
penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
C. Dikenakan Tarif Progresif pasal 17 atas jumlah setiap bayar (non kumulatif)
Tarif pasal 17 di atas dikenakan atas jumlah setiap kali pembayaran (non kumulatif) jika penerima
penghasilan adalah:
1. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain 12 golongan yang menerima penghasilan
tidakberkesinambungan, baik ber-NPWP maupun tidak. Dasar Pengenaan Pajak atas
penghasilan bagi Bukan Pegawai dengan kriteria ini adalah 50 % penghasilan bruto.
2. Bukan Pegawai dengan kriteria peserta kegiatan yang menerima penghasilan bruto untuk
setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah.
D. Dikenakan Tarif 20% lebih tinggi dari pasal 17 bagi pegawai yang tidak ber-NPWP
- Berdasarkan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh bagi Penerima Penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21 yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif
lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak
yang memiliki NPWP, sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar
120 % (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong
dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP
- Pemotongan PPh Pasal 21 yang lebih tinggi 20% tersebut hanya berlaku untuk
pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final
- PPh Pasal 21 yang telah dipotong lebih tinggi tersebut tetap dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan WP Orang Pribadi
- Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan
yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud
pada point pertama di atas, mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh
Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih
pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan
dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Kesimpulan:
Dari uraian tentang Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan tarif pajak di atas, dapat disimpulkan
bahwa Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan, antara lain12 golongan di atas mendapat fasilitas khusus berupa DPP 50% dari
penghasilan bruto dengan ketentuan jumlah tarifnya dikenakan atas jumlah kumulatif jika
penghasilannya berkesinambungan, sedangkan jika tidak berkesinambungan, tarifnya dikenakan atas
jumlah non kumulatif.
Selain itu Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain 12 golongan diatas (selain dokter) juga berhak atas fasilitas
pengurang berupa biaya material/barang atau biaya asisten. Fasilitas lain bagi mereka adalah pengurang
PTKP jika mereka ber-NPWP.
98
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
1. Pekerja Penerima Upah ( PNS, TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah Non
Pegawai Negeri )
Iuran jaminan Kesehatan sebesar 5 % dari gaji/upah per bulan, dimana 3 % dibayar
oleh Pemberi Kerja dan 2% dibayar oleh Pekerja.
Gaji atau upah yang dipakai sebesar dasar perhitungan iuran bagi PNS, TNI/POLRI
dan Pejabat Negara adalah gaji pokok dan tunjangan keluarga.
Gaji dan upah yang dipakai sebagai dasar perhitungan iuran untuk Pegawai
Pemerintah Non Pegawai Negeri adalah Penghasilan tetap dengan batas paling tinggi
sebesar dasar perhitungan 2 kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Status Kawin
anak 1.
Catatan :
Tunjangan Hari Tua (THT) dan Iuran Pensiun yang dibayar perusahaan, perlakuannya sama dengan
perlakuan Iuran JHT yang dibayar perusahaan (di atas)
Tunjangan Hari Tua (THT) dan Iuran Pensiun yang dibayar karyawan, perlakuannya sama dengan
perlakuan Iuran JHT yang dibayar karyawan (di atas)
1. karyawan yang baru bekerja di periode 1. pendatang dari Luar Negeri dalam periode berjalan
berjalan
2. karyawan yang berhenti bekerja di periode 2. karyawan yang berhenti karena meninggalkan Indonesia
berjalan selama-lamanya
3. karyawan yang berhenti karena meninggal dunia
100
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
menunjukkan jumlah NIHIL karena perhitungan PPh 21 akhir Agustus tersebut sudah
menggunakan dasar 12 bulan, sama seperti dasar perhitungan PPh 21 per bulan. Analog dengan
kasus tersebut adalah kasus WPOP DN yang meninggal dunia pada tahun berjalan.
Kasus penyetahunan lainnya adalah jika terdapat mutasi pada pemberi kerja yang sama. Alasan
penyetahunan dalam kasus ini lebih bersifat teknis dan tidak terkait aturan Undang-Undang. Tujuannya
adalah agar perhitungan PPh 21 di tempat kerja yang lama maupun di tempat kerja yang baru tidak
menghasilkan PPh 21 lebih bayar karena perhitungan PPh 21 pada saat pindah menggunakan dasar 12
bulan, sama seperti dasar perhitungan PPh 21 per bulan sebelum pindah.
102
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
BAB III
PETUNJUK UMUM PEMOTONGAN PPh
PASAL 21 DAN/ATAU
PPh PASAL 26
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala
2. Memahami Penghitungan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Teratur dan Tidak Teratur
kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal
21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi
kerja kepada pegawai
c) Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun,
iuran Jaminan Hari Tua, dan/atau Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh
pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan
Penyelenggara Program Jamsostek.
2. Tentukan penghasilan neto setahun
a) Jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12
b) Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai
Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah
bulan Januari, maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan
penghasilan neto setahun dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang
bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember.
c) Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17
UU PPh, yaitu sebesar Penghasilan neto setahun pada huruf a atau b di atas,
dikurangi dengan PTKP.
d) Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c,
selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke
kas negara, yaitu sebesar:
jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi dengan 12; atau
jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi banyaknya bulan yang menjadi faktor
pengali.
3. Jika gaji tidak 1 (satu) bulan
a) Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji
sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut
terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor
perkalian sebagai berikut:
Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4
Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26.
b) Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan dengan cara seperti
dalam angka 2 di atas (penghasilan neto setahun).
c) PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan
dalam huruf b dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung
berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 26.
4. Mendapatkan rapel
Jika kepada pegawai disamping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan gaji yang
berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas
rapel tersebut adalah sebagai berikut :
a) rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut (dalam hal ini 5
bulan);
104
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
b) hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya
kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21;
c) PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali
atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan;
d) PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih
antara jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c dikurangi jumlah pajak yang
telah dipotong sebagaimana disebut pada huruf b.
5. Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji yang didasarkan masa gaji kurang dari satu
bulan juga dibayar gaji lain mengenai masa yang lebih lama dari satu bulan (rapel) seperti
tersebut dalam angka 4, maka cara penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sesuai dengan
yang telah ditetapkan dalam angka 4 dengan memperhatikan ketentuan dalam angka 3.
a. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan
penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
b. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem,
jasa produksi, dan sebagainya.
c. selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh
Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan
sebagainya.
2. Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun,
namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari, maka PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
tidak teratur tersebut dihitung dengan cara sebagaimana pada butir 1 dengan
memperhatikan ketentuan mengenai Penghitungan PPh Pasal 21 Bulanan atas Penghasilan
Teratur.
C. PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 TERUTANG PADA BULAN DESEMBER ATAU MASA PAJAK
TERTENTU UNTUK PEGAWAI TETAP YANG BERHENTI BEKERJA SEBELUM BULAN
DESEMBER
1. Pemotong pajak harus melakukan penghitungan kembali besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang:
a. Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, baik penghasilan
yang teratur maupun yang tidak teratur.
b. PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan
tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah
sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan
tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan PPh Pasal 21 yang
telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan bulan
sebelumnya.
c. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan
sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh
penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam
tahun kalender yang bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti bekerja
pada pertengahan tahun, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut
dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja bersamaan dengan
pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21. Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal
21 untuk pegawai tetap yang bersangkutan, pemotong pajak dapat memper-
hitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan pegawai tetap lainnya
dalam masa pajak yag sama, sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang harus disetor oleh
pemotong pajak untuk masa pajak tersebut telah mempertimbangkan jumlah
kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 yang telah diberikan oleh pemotong pajak
kepada pegawai tetap yang bekerja.
2. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 huruf a adalah sebagai berikut:
106
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
a. Untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun,
namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan
Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan
yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur,
selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong pajak.
b. Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya baru dimulai
setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang
dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik
yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.
II. PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TIDAK TETAP ATAU TENAGA KERJA LEPAS
A. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang
Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian
atau Mingguan
1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau
diperoleh dalam sehari:
a. upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;
b. upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
c. upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan borongan.
2. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp
450.000,00, dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang
bersangkutan belum melebihi Rp 4.500.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus
dipotong
3. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp
450.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan
kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp 4.500.000,00, maka PPh Pasal 21 yang
harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian
setelah dikurangi Rp 450.000,00, dikalikan 5%.
4. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang
bersangkutan telah melebihi Rp 4.500.000,00 dan kurang dari Rp8.200.000,00, maka PPh
Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata
upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
5. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender
telah melebihi Rp 8.200.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12
B. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima
Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan:
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah
upah bruto yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong
adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.
III. PPh PASAL 21 BAGI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS/DEWAN KOMISARIS YANG TIDAK
MERANGKAP PEGAWAI TETAP, MANTAN PEGAWAI YANG MENERIMA JASA PRODUKSI,
TANTIEM, GRATIFIKASI, BONUS ATAU IMBALAN LAIN YANG BERSIFAT TIDAK TERATUR,
DAN PESERTA PROGRAM PENSIUN BERSTATUS PEGAWAI YANG MENARIK DANA
PENSIUN
1. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Anggota Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris Yang Tidak
Merangkap Sebagai Pegawai Tetap
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun
kalender.
2. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Mantan Pegawai Yang Menerima Penghasilan Berupa Jasa
Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus atau Imbalan Lain yang Bersifat Tidak Teratur
PPh Pasal 21 dihitung dengan cara menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun
kalender.
3. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Peserta Program Pensiun Yang Masih Berstatus Sebagai Pegawai
yang Menarik Dana Pensiun
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari
kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun kalender.
IV. PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI BUKAN PEGAWAI
A. Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai, atas imbalan
yang bersifat berkesinambungan
a. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan
kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh
penghasilan lainnya. PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat
(1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun
kalender yang bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
b. Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari
hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
serta memperoleh penghasilan lainnya. PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh
persen) dari jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.
B. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, atas Imbalan
yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas 50%
(lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.
108
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
D. Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam pointA dan B memberikan jasa
kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan
bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau
upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar
jumlah yang dibayarkan;
b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan
bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian
tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka
besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau
barang.
VI. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 BAGI ORANG PRIBADI YANG
BERSTATUS SEBAGAI SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI.
Dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah dari jumlah penghasilan bruto.
Dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), dalam hal orang pribadi yang menerima
penghasilan adalah subjek pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai P3B dengan
Indonesia.
sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak. Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% (dua puluh persen)
sebagaimana dimaksud dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya.
3. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang berupa honorarium atau imbalan lain dengan
nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah
yang membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut dan bersifat final dengan tarif:
a. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira
Pertama, dan pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lainbagi
Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
4. Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai
pimpinan dan/atau anggota pada lembaga yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, atas
penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya sebagai
pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tidak ditanggung oleh
Pemerintah.
5. Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI Anggota POLRI, dan Pensiunannya,
menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat
final di luar penghasilan tetap dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD,
penghasilan lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi
yang bersangkutan.
6. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah dan tambahan Pajak
Penghasilan Pasal 21 20% lebih tinggi dari yang tidak ber NPWP dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang telah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib pajak orang pribadi.
110
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
BAB IV
PERHITUNGAN PPh PASAL 21
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Beberapa Contoh Kasus PPh Pasal 21
2. Dapat menghitung PPh 21 dengan bebagai macam variasi kasus
setahun.
Ph. netto sebulan X
4 Penghasilan netto setahun 41.550.000 41.550.000 41.550.000 41.550.000
masa kerja
5 PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak): K/0 39.000.000 39.000.000 39.000.000 39.000.000
6 Penghasilan Kena Pajak (PKP) setahun 2.550.000 2.550.000 2.550.000 2.550.000
7 Pembulatan 2.550.000 2.550.000 2.550.000 2.550.000
8 PPh Pasal 21 terutang setahun
5% 50.000.000 0 s/d 50 jt 127.500 127.500 127.500 127.500
15% 200.000.000 > 50 jt s/d 250 jt - - - -
25% 250.000.000 > 250 jt s/d 500jt - - - -
30% sisanya > 500 jt - - - -
127.500 127.500 127.500 127.500
9 PPh Pasal 21 sebulan PPh 21 setahun / 12 10.625 10.625 10.625 10.625
Keterangan :
a. Pada perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap diatas, mengilustrasikan bahwa seorang
pegawai memperoleh penghasilan berupa gaji pokok saja sebagai komponen penghasilan yang
diperhitungkan PPh Pasal 21.
b. Dalam perhitungan PPh Pasal 21, terdapat nilai pengurang diantaranya "Biaya Jabatan". Biaya
jabatan ini timbul hanya pada perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap, yang dimaksud Biaya
Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai Pegawai Tetap tanpa
memandang mempunyai jabatan atau tidak. Nilai biaya jabatan adalah 5% dari jumlah
penghasilan bruto atau Rp. 500.000 untuk perhitungan PPh Pasal 21 sebulan atau Rp.
6.000.000 untuk perhitungan PPh Pasal 21 tahunan pada bulan Desember atau pada masa/
bulan terakhir pegawai bekerja.
c. Sebagai pengurang lainnya yaitu Iuran Pensiun yang dibayar sendiri oleh pegawai melalui
pemotongan langsung oleh pihak perusahaan. Hal ini dikarenakan Iuran Pensiun, JHT, THT
bukan merupakan penghasilan yang menjadi objek dalam perhitungan PPh Pasal 21 yang
dilakukan perusahaan. Iuran Pensiun, JHT, THT diperhitungkan PPh Pasal 21nya saat
diterima kelak saat pensiun atau saat tua nanti ( ketika tidak aktif bekerja lagi).
d. Skema perhitungan PPh pasal 21 diatas pada prinsipnya sama pada setiap bulannya
(perhatikan contoh perhitungan pada bulan Januari, Februari, dan seterusnya hingga bulan
November. Khusus perhitungan bulan Desember, gaji selama setahun dijumlahkan begitu
pula nilai pengurangnya (iuran pensiun yang dipotong dari gaji)
e. Untuk mencari nilai PPh Pasal 21 pada bulan terakhir ( Desember atau bulan terakhir
pegawai bekerja) yaitu dengan memperhitungkan PPh Pasal 21 setahun dikurangi dengan
PPh Pasal 21 yang telah dipotong dari bulan Januari s.d November.
112
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
f. Kewajiban pemberi kerja setelah berakhirnya tahun pajak atau pegawai berhenti bekerja yaitu
menerbitkan bukti potong PPh Pasal 21. Bukti Potong untuk pegawai swasta dengan
menggunakan formulir 1721-A1 sedangkan untuk pegawai negeri menggunakan formulir
1721-A2.
g. Data yang dituangkan pada Bukti Potong PPh Pasal 21 yaitu perhitungan bulan Desember
atau bulan terakhir pegawai bekerja.
I.1.2. Budi Karyanto sejak Januari sebagai pegawai PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh
gaji sebulan Rp 6.000.000.
Mulai bulan Maret PT Candra Kirana mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan, premi JKK dan
premi JKM dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji.
PT Candra Kirana menanggung iuran JHT setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi
Karyanto membayar iuran JHT sendiri sebesar 2% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra
Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran
pensiun untuk Budi Karyanto ke Dana Pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, setiap bulan sebesar Rp 100.000, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun
sendiri sebesar Rp 100.000.
Mulai bulan Juli Budi Karyanto mendapatkan tunjangan transport sebesar Rp. 400.000 dan
tunjangan makan Rp. 500.000.
Pada ilustrasi kasus ini Budi Karyanto pada bulan tertentu menerima pembayaran uang lembur
dengan nominal yang bervariasi.
Berikut ilustrasi penghitungan PPh Pasal 21 atas Budi Karyanto selama setahun (sesuai Per 16/PJ/2016).
114
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Keterangan :
a. Pada perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap diatas, mengilustrasikan bahwa seorang
pegawai memperoleh penghasilan berupa gaji, premi asuransi dan tunjangan serta uang
lembur sebagai komponen penghasilan yang diperhitungkan PPh Pasal 21. Penghasilan
yang diterima dari pemberi kerja yang tidak diperhitungkan antara lain tunjangan berupa
Iuran Pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT) dan Jaminan Hari Tua (JHT).
b. Skema perhitungan PPh pasal 21 diatas pada prinsipnya sama pada setiap bulannya
walaupun terjadi perbedaan jumlah penghasilan bruto. Untuk bulan Desember yaitu
dengan memperhitungkan semua komponen penghasilan selama setahun, begitu pula
nilai pengurangnya (iuran pensiun / JHT / THT yang dipotong dari gaji pegawai).
c. Untuk mencari nilai PPh Pasal 21 pada bulan terakhir ( Desember atau bulan terakhir
pegawai bekerja) yaitu dengan memperhitungkan PPh Pasal 21 setahun dikurangi
dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dari bulan Januari s.d November.
d. Data yang dituangkan pada Bukti Potong PPh Pasal 21 formulir 1721-A1 yaitu
perhitungan bulan Desember.
I.1.3 dr. Danang (menikah dan mempunyai 3 anak kandung) merupakan dokter spesialis
kandungan yang bekerja sebagai pegawai tetap di rumah sakit swasta Sehat Tentrem dengan
gaji tetap sebesar Rp 20.000.000.00. Jam praktik dr. Danang mulai pukul 8.00 s.d 12.00 selama
5 hari dalam seminggu. Untuk bulan Agustus 2017 dr. Danang menerima pembayaran dari
Rumah Sakit Sehat Tentrem berupa gaji sebesar Rp 20.000.000 dan menerima jasa medis
sebagai dokter yang bersumber dari pasien sebesar Rp 25.000.000, Dokter Danang membayar
iuran pensiun sebesar Rp 200.000.00 setiap bulannya. Penghitungan PPh Pasal 21 atas
penghasilari dr, Danang dari Rumah Sakit Tentrem pada bulan Agustus 2017 adalah:
PTKP (K/3)
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan tiga orang tanggungan Rp 13.500.000
(Rp 72.000.000)
Penghasilan Kena Pajak adalah Rp 159.600.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 109.600.000.00 = Rp 16.440.000
Rp 18.940.000
116
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
I.2.1 Marhentin Ika, belum menikah, pada tahun 2017 bekerja sebagai pegawai tetap pada
Perusahaan PT Mahagoni Gemilang menerima gaji yang dibayar mingguan sebesar
Rp1.500.000. Marhentin Ika hanya menerima penghasilan berupa gaji saja. Berikut
ilustrasi penghitungan PPh Pasal 21 mingguan pada setiap bulan.
Keterangan :
a. Pada perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap dibayar mingguan diatas,
mengilustrasikan bahwa seorang pegawai memperoleh penghasilan berupa gaji saja
yang nominalnya sama pada setiap minggunya.
b. Skema perhitungan PPh pasal 21 diatas pada prinsipnya sama pada setiap minggu pada
bulan yang lainnya walaupun terjadi perbedaan jumlah penghasilan bruto. Untuk
bulan Desember yaitu dengan memperhitungkan semua komponen penghasilan
selama setahun, begitu pula nilai pengurangnya (iuran pensiun / JHT / THT yang
dipotong dari gaji pegawai) jika ada.
c. Apabila terjadi kenaikan gaji pada pertengahan tahun maka yang akan terjadi nilai
PPh Pasal 21 selama setahun tidak sama besarnya. Untuk itu pada dasarnya ketika
mencari nilai PPh Pasal 21 pada bulan terakhir ( Desember atau bulan terakhir
pegawai bekerja) yaitu dengan memperhitungkan PPh Pasal 21 setahun dikurangi
dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dari bulan Januari s.d November. Maka nilai
PPh Pasal 21 yang dipotong setahun akan sesuai.
d. Data yang dituangkan pada Bukti Potong PPh Pasal 21 formulir 1721-A1 yaitu
perhitungan bulan Desember sama dengan yang dicontohkan pada ilustrasi pegawai
tetap dibayar bulanan.
I.2.2 Heri Herawan adalah Pegawai Tetap pada perusahaan PT Segara Hurip dengan
memperoleh gaji dengan pembayaran mingguan sebesar Rp 1.500.000. Heri Herawan
berstatus telah menikah dan mempunyai seorang anak. PT Segara Hurip masuk program
BPJS Ketenagakerjaan, premi JKK dan premi JKM dibayar oleh pemberi kerja dengan
jumlah masingmasing setiap bulan sebesar 1% dan 0,30% dari gaji. PT Segara Hurip
membayar iuran JHT setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji dan Heri Herawan membayar
iuran pensiun Rp 20.000.00 dan JHT sebesar 2% dari gaji. Perhitungan PPh Pasal 21
setiap minggunya pada saat pembayaran adalah:
Penghasilan Sebulan (4 Minggu x Rp 1.500.000) Rp 6.000.000
Premi JKK Rp. 40.000
Premi JKM Rp 12.000
Total Penghasilan Bruto Sebulan Rp. 6.052.000
Pengurang:
1. Biaya Jabatan (5% x Rp 6.052.000) Rp 302.600
2. Iuran Pensiun (Dibayar Karyawan) Rp 20.000
3. Iuran JHT (Dibayar Karyawan) Rp. 80.000
Rp 402.600
Penghasilan Netto Sebulan Rp 5.649.400
Penghasilan Netto Setahun (12 x Rp 5.649.400) Rp 67.792.800
PTKP
- untuk Wajib Pajak Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan seorang anak Rp 4.500.000
Rp 63.000.000
PKP Rp 4.792.800
PKP Dibulatkan s.d. ribuan ke bawah Rp 4.792.000
PPh Pasal 21 Terutang Setahun (5% x Rp 4.792.000) Rp 239.640
PPh Pasal 21 Sebulan (Rp 239.640 : 12) Rp. 19.970
PPh Pasal 21 Seminggu (Rp 19.970 : 4) Rp 4.992
I.2.3 Ari Bramantyo pada tahun 2017 bekerja sebagai pegawai tetap pada perusahaan PT
Indonusa dengan memperoleh gaji yang dibayar harian sebesar Rp 150.00. Ari Bramantyo
kawin dan mempunyai seorang anak. PT Indonusa masuk program BPJS
Ketenagakerjaan, premi JKK dan premi JKM dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
masing-masing setiap bulan sebesar 1% dan 0,30% dari gaji. PT Indonusa membayar
iuran JHT setiap bulan sebesar 3.70% dari gaji dan Ari Bramantyo membayar iuran
pensiun Rp 25.000 dan JHT sebesar 2% dari gaji.
Penghasilan sebulan (26 x Rp 250.000.00) Rp 6.500.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp 39.000
118
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Pengurangan
1. Biaya jabatan 5% x Rp 6.550.700,- = Rp 327.535
2. luran pensiun Rp 25.000
3. luran Jaminan Hari Tua Rp 78.000
(Rp 430.535)
Penghasilan neto sebulan Rp 6.120.165
Penghasitan neto setahun 12 x Rp 6.120.165 Rp 73.441.980
PTKP :
- untuk wajib pajak Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan seorang anak Rp 4.500.000
(Rp 63.000.000)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 10.441.980
Pembulatan Rp 10.441.000
PPh Pasal 21 setahun5% x Rp 10.441.000.00 = Rp 522.050
PPh Pasal 21 sebulanRp 522.050 : 12 = Rp 43.504
PPh Pasal 21 sehariRp 43.504 : 26 = Rp 1.673
I.3.1 Fajar Ari Wibowo pada bulan Januari tahun 2017 menerima gaji sebesar Rp. 5.750.000.
Pada bulan Juni 2017 menerima kenaikan gaji, menjadi Rp. 6.750.000 sebulan dan
berlaku surut sejak 1 Januari 2017. Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut
tersebut maka Fajar Ari Wibowo menerima rapel sejumlah Rp5.000.000 (kekurangan gaji
untuk masa Januari s.d. Mei 2017). Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas uang rapel
tersebut. terlebih dahulu dihitung kembali PPh Pasal 21 untuk masa Januari s.d. Mei
2017 atas dasar penghasilan setelah ada kenaikan gaji. Berikut ilustrasi penghitungan PPh
Pasal 21 terutang atas uang rapel tersebut.
I.4.1 Joko Qurnain (tidak kawin) bekerja pada PT Qolbu Jaya dengan memperoleh gaji sebesar
Rp 5.000.000 sebulan, Pada bulan Maret 2017 Joko Qurnain memperoleh bonus sebesar
Rp 5.000.000 sehingga pada bulan Maret 2017 Joko Qurnain memperoleh penghasilan
berupa gaji sebesar Rp 5.000.000 dan bonus sebesar Rp 5.000.000,- Setiap bulannya Joko
Qurnain membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 60.000.00
Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah:
1.4.2. Fajar Ari Wibowo (ber-NPWP) bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi sejak tahun 2010,
Pada tahun 2017 memperoleh gaji sebulan Rp 5.000.000 dan membayar luran pensiun
sebesar Rp 100.000. Fajar Ari Wibowo menikah tetapi belum mempunyai anak.
Penghasilan Fajar Ari Wibowo dari PT Jaya Abadi hanya dari gaji. Pada bulan Juli
menerima THR sebesar Rp 5.000.000 (sebulan gaji) .
Pada kasus ini kami menyajikan ilustrasi perhitungan PPh Pasal 21 selama setahun
dengan variasi pada bulan Juli ada penghasilan tidak teratur berupa THR. Secara prinsip
skema perhitungan sama dengan pemahaman perhitungan PPh Pasal 21 pada kasus
pegawai tetap menerima gaji saja. Yang menjadi perhatian adalah pada bulan dimana ada
penghasilan selain gaji yang berupa THR.
Ketentuan pada bulan Desember pada prinsipnya sama, hanya pada kasus ini mengakui
kembali nominal THR yang ikut diperhitungkan.
122
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Pada saat pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan tidak berhenti bekerja dari
perusahaan tempat dia bekerja, Pegawai yang bersangkutan masih tetap bekerja pada perusahaan
yang sama dan hanya berubah lokasinya saja, Dengan demikian dalam penghitungan PPh Pasal
21 tetap menggunakan dasar penghitungan selama setahun.
1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya
sebagai Subjek Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun kalender tetapi baru bekerja
pada pertengahan tahun.
Budiyanta bekerja pada PT Xiang Malam sebagai pegawai tetap sejak 1 September 2017.
Budiyanta menikah tetapi beium punya anak. Gaji sebulan adalah sebesar Rp 20.000.000
dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar Rp150.000. Budiyanta hanya
memperoleh penghasilan berupa gaji saja.
2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya
sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulal setelah permulaan tahun pajak, dan mulai
bekerja pada tahun berjalan.
David Raisita (K/3) mulai bekerja 1 September 2017. la bekerja di Indonesia s.d Agustus
2019. Selama Tahun 2017 menerima gaji per bulan Rp 20.000.000. David Raisita hanya
memperoleh penghasilan berupa gaji saja.
Penghitungan PPh Pasal 21 bulan September tahun 2017 untuk kasus Budiyanta dan David
Raisita disajikan dalam ilustrasi berikut dibawah ini.
124
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
1. Pegawai Yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja Pada Tahun
Berjalan
Arip Marwanto yang berstatus belum menikah adalah pegawai pada PT Mahakam
Utama di Yogyakarta - DIY. Sejak 1 Oktober 2017 yang bersangkutan berhenti bekerja
di PT Mahakam Utama. Gaji Arip Marwanto setiap bulan memperoleh sebesar Rp
15.000.000,- dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada Dana Pensiun
yang pendiriannya telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan sejumlah Rp l00.000
setiap bulan. Selama bekerja di PT Mahakam Utama Arip Marwanto hanya menerima
penghasilan berupa gaji saja.
2. Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan dan Sekaligus Kehilangan Kewajiban
Pajak Subjektif
Lewis Oshea (K/3) mulai bekerja Mei 2014 dan berhenti bekerja sejak 1 Juni 2017 dan
meninggalkan Indonesia ke negara asalnya (kehilangan kewajiban pajak subjektif).
Selama tahun 2017 menerima gaji perbulan sebesar Rp15.000.000.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk kasus Arip Marwanto dan Lewis Oshea disajikan dalam
ilustrasi berikut dibawah ini.
Catatan :
Cara penghitungan Lewis Oshea di atas berlaku juga bagi pegawai yang kehilangan
kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan karena meninggal dunia.
PTKP (K/1)
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan untuk 1 orang anak Rp 4.500.000
(Rp 63.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 201.000.000
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp151.000.000 Rp 22.650.000
Rp 25.150.000
PPh Pasal 21 bulan Januari: Rp 25.150.000 : 12 = Rp 2.095.833
I.8 PPh PASAL 21 SELURUH ATAU SEBAGIAN DITANGGUNG OLEH PEMBERI KERJA
Dalam hal PPh Pasa1 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, pajak yang ditanggung
pemberi kerja tersebut termasuk dalam pengertian kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) hurut b dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan.
Arip Mulyana adalah seorang pegawai dari PT Lautan Otomata dengan status menikah dan
mempunyai 3 orang anak. Dia menerima gaji Rp 7.500.000 sebulan dan PPh ditanggung oleh
pemberi kerja. Tiap bulan ia membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp150.000. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan
Juli 2017 dalam hal Arip Mulyana hanya menerima pembayaran gaji saja adalah:
PPh Pasal 21 sebesar Rp 53.750.00 ini ditanggung dan dibayar oleh pemberi kerja, Jumlah sebesar
Rp 53.750 tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto pemberi kerja dan bukan merupakan
penghasilan yang dikenakan pajak kepada Arip Mulyana.
Namun apabila pemberi kerja adalah Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersitat final atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit), maka kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi
kerja ditambahkan ke dalam penghasilan dari pegawai yang bersangkutan, dan penghitungan
pajaknya dilakukan sesuai contoh Nomor 1.9.
Dalam hal kepada pegawai diberikan tunjangan pajak. maka tunjangan pajak tersebut merupakan
penghasilan pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.
Contoh penghitungan:
Peri lrawan (status belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan) bekerja pada PT Kartika
Kawashima Pionirindo dengan memperoleh gaji sebesar Rp 7.500.000.00 sebulan. Kepada Peri
lrawan diberikan tunjangan pajak sebesar Rp50.000.00. Iuran pensiun yang dibayar oleh Peri
lrawan adalah sebesar Rp25.000.00 sebulan.
PPh Pasal 21 bulan September 2017 dalam hal Peri lrawan tidak menerima penghasilan dari PT
Kartika Kawashima Pionirindo selain gaji adalah:
I.10 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN
KENIKMATAN LA1NNYA YANG DIBERIKAN OLEH WAJIB PAJAK YANG PENGENAAN
PAJAK PENGHASILANNYA BERS1FAT FINAL ATAU BERDASARKAN NORMA
PENGHITUNGAN KHUSUS (DEEMED PROFIT)
Qalbun Junaidi adalah warga negara RI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang asing yang
pengenaan pajaknya menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit), pada bulan
Agustus 2017 memperoleh gaji sebesar Rp 6.500.000 sebulan beserta beras 50 kg dan gula 10 kg.
Qalbun Junaidi berstatus menikah dengan 1 orang anak. Nilai uang dari beras dan gula dihitung
berdasarkan harga pasar yaitu :
Harga beras : Rp10.000 per kg.
Harga gula : Rp 8.000 per kg.
Penghitungan PPh Pasal 21
Gaji sebulan Rp 6.500.000
Beras : 50 x Rp 10.000 Rp 500.000
Gula : 10 x Rp 8.000 Rp 80.000
Penghasilan bruto sebulan Rp 7.080.000
Pengurangan :
Biaya Jabatan5% x Rp7.080.000 (Rp 354.000)
Penghasilan neto sebulan Rp 6.726.000
Penghasilan neto setahun12 x Rp6.726.000 Rp 80.712.000
128
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
PTKP (K/1)
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan untuk 1 orang anak Rp 4.500.000
(Rp 63.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 17.712.000
PPh Pasal 21 setahun adalah5% x Rp 17.712.000 = Rp 885.600
PPh Pasal 21 bulan AgustusRp885.600 : 12 = Rp 73.800
I.11 PERHITUNGAN PPM PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP YANG BARU MEMILIKI NPWP
PADA TAHUN BERJALAN
Wahyu Santosa. status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada PT
Fajar Sejahtera dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar Rp5.500.000, dan
yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp200.000. Wahyu
Santosa Baru memiliki NPWP pada bulan Juni 2017 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP
kepada PT Fajar Sejahtera untuk digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 bulan Juni.
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari - Mei 2017
adalah sebagai berikut:
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus dipotong untuk bulan Juni 2017. setelah
yang bersangkutan memiliki NPWP dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada pemberi
kerja, dengan catatan gaji dan tunjangan untuk bulan Juni 2017 tidak berubah, adalah sebagai
berikut:
Apabila Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada akhir November 2017 dan menyerahkan
fotokopi kartu NPWP sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk buian Desember 2017, dengan
asumsi penghasilan setiap bulan besarnya sama dan tidak ada penghasilan lain selain penghasilan
tetap dan teratur setiap bulan tersebut, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada
bulan Desember 2017 adalah sebagai berikut:
Karena jumlah yang diperhitungkan lebih besar daripada jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk
bulan Desember 2017, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk bulan tersebut
adalah Nihil. Jumlah sebesar Rp 31.500 dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 untuk bulan-
bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya. Karena jumlah tersebut sudah
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan berikutnya, jumlah tersebut
tidak termasuk dalam kredit pajak yang dapat diperhitungkan oleh pegawai tetap dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2017, dimana Wahyu Santosa baru memiliki
NPWP pada akhir bulan November 2017 sebelum pemotongan PPh Pasal 21 bulan Desember
2017 adalah sebagai berikut:
Karena jumlah sebesar Rp31.500 sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang bulan
berikutnya oleh Pemotong PPh Pasal 21, maka jumlah yang dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi pegawai yang
bersangkutan sebesar Rp 315.000.
I.12 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 YANG HARUS DIPOTONG PADA MASA PAJAK TERAKHIR
130
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
b. Bulan Terakhir Memperoleh Gaji atau Penghasilan Tetap dan Teratur karena yang
Bersangkutan Berhenti Bekerja.
Jaka Lelana. status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada
PT Lazuardi Internusa dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar
Rp6.000.000, dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana
Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar
Rp250.000. Mulai bulan Juli 2017 Jaka Lelana memperoleh kenaikan penghasilan tetap
setiap bulan menjadi sebesar Rp8.000.000.
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari-Juni 2017
adalah sebagai berikut
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Juli-November
2017 adalah sebagai berikut :
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2017:
2 Penghitungan PPh Pasal 21 Yang Harus Dipotong pada Bulan Terakhir Pegawai Tetap
Memperoleh Penghasilan Tetap dan Teratur Karena Yang Bersangkutan Berhenti Bekerja
sebelum Bulan Desember.
contoh: Lihat Contoh 1.6.2. Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan
II.1 Penghitungan PPh Pasal 21 Pada Tahun Pertama Dibayarkannya Uang Pensiun Secara
Bulanan
Contoh
Hari Irawan. berstatus kawin dengan 2 (dua) orang anak yang masih menjadi
tanggungan, bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Nusa lndah Gemilang dengan
gaji sebulan sebesar Rp 15.000.000_ Hari Irawan setiap bulan membayar iuran
pensiun sebesar Rp 300.000 ke Dana Pensiun Artha Mandiri yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku di PT
Nusa Indah Gemilang terhitung mulai 1 Juli 2017, Hari irawan akan memasuki masa
pensiun.
132
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Pengurangan
1. Biaya jabatan: 5% x Rp9.000.000 =Rp 750.000
2. Iuran pensiun Rp 300.000
(Rp 1.050.000)
Penghasilan Neto sebulan Rp 13.950.000
Penghasilan Neto 6 bulan (masa bekerja Januari s.d. Juni 2017)
Rp 13.950.000 X 6 = Rp 83.700.000
PTKP (K/2)
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan untuk 2 orang anak Rp 9.000.000
(Rp 67.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 16.200.000
PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp 16.200.000 Rp 810.000
PPh Pasal 21 terutang sebulan : Rp 810.000 : 6 Rp 135.000
Pada saat Hari Irawan berhenti bekerja dan memasuki masa pensiun, maka pemberi
kerja memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721 Al) dengan data sebagai
berikut :
Gaji selama 6 bulan :6 x Rp15.000.000 Rp 90.000.000
Pengurangan :
1. Biaya jabatan :5% x Rp 90.000.000 = Rp 4.500.000
2. Iuran pensiun : 6 x Rp300.000 = Rp 1.800.000
(Rp 6.300.000)
Penghasilan Neto selama 6 bulan Rp 83.700.000
PTKP
- untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
- tambahan untuk 2 orang anak Rp 9.000.000
(Rp 67.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 16.200.000
PPh Pasal 21 terutang(5% x Rp 16.200.000) Rp 810.000.00
PPh Pasal 21 telah dipotong(6 x Rp 135.000) (Rp 810.000.00)
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Apabila pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulan didasarkan pada penghasilan yang
disetahunkan, karena pada saat perhitungan belum diketahui secara pasti saat
pensiun atau berhenti bekerja, maka pada saat penghitungan PPh Pasai 21 terutang
untuk masa terakhir (saat pensiun atau berhenti bekerja), akan terjadi kelebihan
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang bersangkutan, yang harus
dikembalikan oleh pemotong pajak kepada pegawai yang bersangkutan.
II.1.2 Penghitungan PPM Pasal 21 oleh Dana Pensiun yang Membayarkan Uang Pensiun
Bulanan.
kerja sampai dengan pensiun dan perkiraan uang pensiun yang akan diterima dalam
tahun kalender yang bersangkutan. Agar Dana Pensiun dapat melakukan
pemotongan PPh Pasal 21 seperti itu, maka penerima pensiun harus segera
menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721 A-2) dari pemberi
kerja sebelumnya.
Penghitungan kembali PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun Artha Mandiri untuk
dicantumkan dalam Form 1721 A1:
134
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
II.2 Penghitungan PPh Pasai 21 Atas Pembayaran Uang Pensiun Secara Bulanan Pada Tahun
Kedua dan Seterusnya.
Dengan menggunakan contoh sebelumnya, penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun
bulanan mulai Januari 2017 (tahun kedua yang bersangkutan pensiun) adalah sebagai
berikut :
Pada hari ke-11 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 4.500.000, maka
PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang
sebenamya.
Sehingga pada had ke-11, upah bersih yang diterima Nurcahyo sebesar: Rp 450.000 –
Rp 165.000 = Rp 285.000
Misalkan Nurcahyo bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong pada hari ke-12 adalah sebagai berikut :
Sehingga pada hari ke-12, Nurcahyo menerima upah bersih sebesar: Rp 450.000 – Rp
10.000 = Rp 435.000
III.1.2 Nanang Hermawan (belum menikah) pada bulan Maret 2017 bekerja pada
perusahaan PT Tani Jaya, menerima upah sebesar Rp 750.000.00 per hari.
Pada hari ke-7 dalam bulan kalender yang bersangkutan, Nanang Hermawan telah
menerima penghasilan sebesar Rp 5.250.000.00. sehingga telah melebihi Rp
4.500.000. Dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan Nanang Hermawan pada
bulan Maret 2017 dihitung sebagai berikut:
Jumlah sebesar Rp 32.500 ini dipotongkan dari upah harian sebesar Rp 750.000
sehingga upah yang diterima Nanang Hermawan pada had kerja ke-7 adalah:
Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan,
jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah:
Upah sehari Rp 750.000
PTKP
- untuk WP sendiri (Rp 54.000.000 : 360) (Rp 150.000 )
Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000
PPh Pasa1 21 terutang adalah 5% x Rp. 600.000 = Rp 30.000
Rizal Fahmi (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV
pada suatu perusahaan elektronika. Upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan
yang diselesaikan yaitu Rp 100.000 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Da1am
waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 36 buah TV dengan upah Rp
2.400.000.00
136
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Contoh Penghitungan
Mawan mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp 1.400.000.
pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.
Upah borongan sehari : Rp1.400.000 : 2 = Rp 700.000
Upah sehari diatas Rp 450.000
Rp 700.000 – Rp 450.000 Rp 250.000
Upah borongan terutang pajak:
2 x Rp250.000 Rp 500.000
PPh Pasal 21 = 5% x Rp500.000 = Rp 25.000
Bagus Hermanto bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2017 Bagus Hermanto hanya bekerja 20 hari
kerja dan upah sehari adalah Rp 450.000. Bagus Hermanto menikah tetapi belum memiliki
anak.
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah Januari 2017 = 20 x Rp 450.000 = Rp 9.000.000
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp 5.000.000 = Rp 108.000.000
PTKP (K/0) adalah sebesar
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000
(Rp 58.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp 49.500.000
IV.1 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan kepada mantan pegawai.
Victoria Endah bekerja pada PT Fajar Wisesa. Pada tanggal 1 Januari 2018 telah berhenti
bekerja pada PT Fajar Wisesa karena pensiun. Pada bulan Maret 2018 Victoria Endah
menerima jasa produksi tahun 2017 dari PT Fajar Wisesa sebesar Rp 60.000.000.00.
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp50.000.000.00 Rp 2.500.000
15% x Rp10.000.000 Rp 1.500.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 4.000.000
Apabila dalam tahun kalander yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada mantan
pegawai lebih dan 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang
berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh alas
jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan
yang telah diterima sebelumnya.
IV.2 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap.
Aulia Rais adalah seorang komisaris di PT Media Primatama, yang bukan sebagai pegawai
tetap. Dalam tahun 2017, yaitu bulan Desember 2017 menerima honorarium sebesar Rp
60.000.000
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp10.000.000 = Rp 1.500.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 4.000.000.00
Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada yang
bersangkutan lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang
berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh alas
jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan
yang telah diterima sebelumnya.
IV.3 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 penarikan dana pensiun oieh peserta program pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai.
138
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Kemudian pada bulan Juni 2017 ia menarik lagi dana sebesar Rp 15.000.000. Kemudian
bulan Oktober 2017 untuk keperluan lainnya ia nnenarik lagi dana sebesar Rp25.000.000.
V.1.a Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah sakit dan/
atau klinik dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang
melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian bahwa
atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak
rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit clan sisanya sebesar 80% dari
jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar, Sp.JP pada setiap
akhir bulan. Selain praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dr. Abdul Gopar,
Sp.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik pribadinya. dr. Abdul Gopar, Sp.JP
telah memiliki NPWP dan pada tahun 2017, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari
praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat adalah
sebagai berikut:
Oktober 44.000.000
November 43.000.000
Desember 40.000.000.00
Jumlah 524.000.000.00
Penghitungan PPh Pasai 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2017:
Catatan:
Apabila dr. Abdul Gopar Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang
adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.
V.1.bContoh perhitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada petugas dinas
luar asuransi (bukan sebagai pegawai perusahaan asuransi)
Neneng Hasanah adarah petugas dinas luar asuransi dari PT. Tabarru Ufa, Suami
Neneng Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mempunyai NPWP, dan
yang bersangkutan bekerja pada PT. Kersamanah. Neneng Hasanah telah
menyampaikan fotokopi kartu NIPWP suami, fotokopi Surat nikah dan fotokopi
kartu keluarga kepada pemotong pajak. Neneng Hasanah hanya memperoleh
penghasilan dari kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, dan telah
menyampaikan surest pemyatean yang menerangkan hal tersebut kepada PT
Tabarru Life. Pada tahun 2017, penghasilan yang diterima oleh Neneng Hasanah
sebagai petugas dines luar asuransi dari PT. Tabarru Life adalah sebagai berikut:
140
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Komis i Agen
Bulan
(Rupiah)
Januari 38.000.000
Februari 40.000.000
Maret 42.000.000
April 44.000.000
Mei 45.000.000
Juni 48.000.000
Juli 50.000.000
Agustus 52.000.000
September 55.000.000
Oktober 56.000.000
Nopember 58.000.000
Desember 60.000.000
Jum lah 5 8 8 .0 0 0 .0 0 0
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2016
adalah:
Penghasilan 50% dari PTKP Penghasilan Penghasilan Tarif Pasal 17 PPh Pasal 21
Bruto Penghasilan (Rupiah) Kena Pajak Kena Pajak ayat (1) terutang
Bulan
(Rupiah) Bruto (Rupiah) Kumulatif Huruf a (Rupiah)
(Rupiah) UU PPh
(1) (2) (3) =50%X(2) (4) (5) (6) (7) (8)
Januari 38.000.000 19.000.000 3.000.000 16.000.000 16.000.000 5% 800.000.000
Februari 40.000.000 20.000.000 3.000.000 17.000.000 33.000.000 5% 850.000.000
17.000.000 50.000.000 5% 850.000.000
Maret 42.000.000 21.000.000 3.000.000
1.000.000 51.000.000 15% 150.000.000
April 44.000.000 22.000.000 3.000.000 19.000.000 70.000.000 15% 2.850.000.000
Mei 45.000.000 22.500.000 3.000.000 19.500.000 89.000.000 15% 2.925.000.000
Juni 48.000.000 24.000.000 3.000.000 21.000.000 110.000.000 15% 3.150.000.000
Juli 50.000.000 25.000.000 3.000.000 22.000.000 132.500.000 15% 3.300.000.000
Agustus 52.000.000 26.000.000 3.000.000 23.000.000 155.500.000 15% 3.450.000.000
September 55.000.000 27.500.000 3.000.000 24.500.000 180.000.000 15% 3.675.000.000
Oktober 56.000.000 28.000.000 3.000.000 25.000.000 205.000.000 15% 3.750.000.000
Nopember 58.000.000 29.000.000 3.000.000 26.000.000 231.000.000 15% 3.900.000.000
Desember 60.000.000 30.000.000 3.000.000 19.000.000 250.000.000 15% 2.850.000.000
8.000.000 258.000.000 25% 2.000.000.000
Jumlah 588.000.000 294.000.000 34.500.000.000
Dalam hal Neneng Hasanah tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami,
fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Neneng Hasanah sendiri tidak
memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh di
atas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh
Pasal 21 yang terutang adalah sebesar 120% dan PPh Pasal 21 yang seharusnya
terutang dari yang memiliki NPWP sebagaimana penghitungan berikut ini:
Dasar
Dasar
Penghasilan Pemotongan Tarif Pasal 17 Tarif tidak PPh Pasal 21
Pemotongan
Bulan Bruto PPh Pasal 21 ayat (1) huruf a Memiliki terutang
PPh Pasal 21
(Rupiah) Kumulatif UU PPh NPWP (Rupiah)
(Rupiah)
(Rupiah)
(1) (2) (3)=50%X(2) (4) (5) (6) (7)=(3)X(5)X(5)
Januari 38.000.000 19.000.000 19.000.000 5% 120% 1.140.000
Februari 40.000.000 20.000.000 39.000.000 5% 120% 1.200.000
50.000.000 5% 120% 660.000
Maret 42.000.000 21.000.000
60.000.000 15% 120% 1.800.000
April 44.000.000 22.000.000 82.000.000 15% 120% 3.960.000
Mei 45.000.000 22.500.000 104.500.000 15% 120% 4.050.000
Juni 48.000.000 24.000.000 128.500.000 15% 120% 4.320.000
Juli 50.000.000 25.000.000 153.500.000 15% 120% 4.500.000
Agustus 52.000.000 26.000.000 179.500.000 15% 120% 4.680.000
September 55.000.000 27.500.000 207.000.000 15% 120% 4.950.000
Oktober 56.000.000 28.000.000 235.000.000 15% 120% 5.040.000
250.000.000 15% 120% 2.700.000
Nopember 58.000.000 29.000.000
264.000.000 25% 120% 4.200.000
Desember 60.000.000 30.000.000 294.000.000 25% 120% 9.000.000
Jumlah 588.000.000 294.000.000 52.200.000
Dalam hal suami Neneng Hasanah atau Neneng Hasanah sendiri telah memiliki NPWP,
tetapi Neneng Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai petugas
dinas luar asuransi. maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh di
atas, namun tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan atau
suaminya telah memiliki NPWP,
Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang menjadi sebesar: 120% x 5% x 50% Rp5.000.000.00 = Rp150.000
142
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Arip Nugraha melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan
Rp10.000.000. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 4orang pekerja dengan membayarkan
upah harian masing-masing sebesar Rp 375.000. Upah harian yang dibayarkan untuk 4
orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000. selain itu. Aril) Nugraha membeli
sparepart AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp1.000.000.
PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima
Arip Nugraha adalah sebesar:
5% x 50% x Rp4.500.000 = Rp112.500
Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
120% x 5% x 50% x Rp4.500.000 = Rp135.000
Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
120% x 5% x 50% x Rp10.000.000.00 = Rp300.000
Catatan :
Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong PPh
Pasal 21 oleh Arip Nugraha.
PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Grand Prix Gold tersebut adalah:
5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp150.000.000 = Rp 22.500.000
Rp 25.000.000
a. Dalam hal pegawai dengan status Wajib Pajak Iuar negeri memperoleh gaji sebagian atau
seluruhnya dalam mata uang asing sebelum PPh dihitung terlebih dahulu harus dikonversi
dalam mata uang rupiah.
b. PPh Pasal 26 yang terutang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan bruto, dan tidak
boleh diperhitungkan pengurangan-pengurangan seperti biaya jabatan dan PTKP.
Contoh:
Russel Frederiksen adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari, Dia
berstatus menikah dan mempunyai 2 orang anak. la memperoleh gaji pada bulan Maret 2016
sebesar US$2,500 sebulan. Kurs Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah Rp11.500.00
untuk US$ 1.00.
Catatan:
Apabila penerima penghasilan tidak
mempunyai NPWP, maka besarnya
tarif pemotongan PPh 21 dikenakan
lebih tinggi 20% dari tarif normal.
BAB V
BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN DAN
PENYAMPAIAN SPT MASA DAN BUKTI POTONG PPh
PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
(Berlaku per 1 Januari 2014)
144
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
PENDAHULUAN
Mulai masa Pajak bulan Januari 2014, SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26
Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26 telah berubah.
Perubahan tersebut di atur dalam Per No 14/PJ/Tahun 2013.
DalamPeraturanDirekturJenderalPajaktersebutyangdimaksuddengan:
1. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut dengan KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak
tempat Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 terdaftar.
2. Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan
KP2KP adalah Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang berada dalam
wilayah KPP.
3. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang selanjutnya disebut dengan Pemotong adalah
Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang
mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai
subjek pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, dari Pemotong sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk
penerima pensiun.
5. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai
subjek pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, dari Pemotong sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk
penerima pensiun.
7. e-SPT adalah data SPT Pemotong dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Pemotong PPh
dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
8. Media elektronik adalah sarana penyimpanan data elektronik yang dapat digunakan untuk
memindahkan data dari suatu komputer ke komputer lainnya, antara lain Flash Disk dan
Compact Disc (CD).
9. e-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan secara on-line yang real time
melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau Penyedia Jasa Aplikasi atau
Application ServiceProvider(ASP).
B. e-SPT.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT wajib digunakan oleh Pemotong
yang:
a. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau
tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang
jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
b. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh
sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20
(dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
c. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya
lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
d. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya lebih dari 20
(duapuluh) dokumen dalam 1(satu) masa pajak.
Pemotong yang telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-
SPT tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam
bentuk formulir kertas (hardcopy) untuk masa-masa pajak berikutnya.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dapat disampaikan oleh Pemotong dengan cara:
a. langsung ke KPP atau KP2KP;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP;
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP; atau
d. e-filing yang tata cara penyampaiannya diatur dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
146
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang disampaikan oleh Pemotong meliputi SPT Masa PPh
Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang berbentuk:
a. formulir kertas (hard copy); dan
b. e-SPT yang disampaikan dalam media elektronik.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) tidak perlu
dilampiri dengan:
a. Formulir 1721-I dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap, Penerima
Pensiun, Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil,
Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan
Pensiunannya;
b. Formulir 1721-II dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan Pasal 26
dengan menggunakan Formulir 1721-VI;
c. Formulir 1721-III dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan menggunakan
Formulir 1721-VII;
d. Formulir 1721-IV dalam hal tidak ada penyetoran dan pemindahbukuan PPh Pasal 21 dan
Pasal 26 dengan menggunakan SSP dan Bukti Pbk;
e. Formulir 1721-V dalam hal Pemotong wajib menyampaikan SPT Tahunan;
f. Formulir 1721-VI;
g. Formulir 1721-VII;
h. Formulir 1721-A1;
i. Formulir 1721-A2;
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT harus disampaikan dengan disertai Induk
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).
Untuk lebih jelasnya terkait dengan SPT Masa PPh Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26 yang berlaku mulai
masa pajak bulan Januari 2014 berikut ini akan kami sajikan panduan tentang bentuk, isi dan tata cara
pengisian dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26 (Hasil sosialisasi oleh Direktorat
Jenderal Pajak).
Gaji Pokok /
No N ama Pegawai L/P Status J abatan N PW P
bulan ( Rp)
1 PURWO SATRIO L K/2 Direktur 01.824.255.2-411.000 15.000.000
2 ANGGORO L K/3 Manajer 07.539.900.6-001.000 9.000.000
3 HARFAN L TK/0 Pegawai 36.227.426.8.411.000 5.000.000
2.2 Program BPJS Ketenagakerjaan (iuran berdasarkan gaji pokok per bulan)
3. Ins truks i
3.1 Buat perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan selama tahun 2016 !
3.2 Isikan hasil perhitungan tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Januari !
3.1 Buat perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setahun !
3.2 Isikan hasil perhitungan tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Desember !
148
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
150
No BULAN (Ph. Atas Gaji)
Ph Bruto Dipotong Ph Bruto Dipotong Ph Bruto Dipotong Ph Bruto Dipotong
1 Januari (atas Gaji) 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
2 Februari 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
3 Maret 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
4 April 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Jumlah setahun (Jan-Des) 233.142.000 21.781.300 139.885.200 7.558.750 77.714.000 1.831.400 450.741.200 31.171.450
Jumlah Januari s.d. November 214.963.500 20.153.692 128.978.100 7.041.354 71.654.500 1.698.575 415.596.100 28.893.621
12 Desember 18.178.500 1.627.608 10.907.100 517.396 6.059.500 132.825 35.145.100 2.277.829
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
area staples
A. IDENTITAS PEMOTONG
B. OBJEK PAJAK
JUMLAH
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN JUMLAH PAJAK
No PENERIMA PENGHASILAN PAJAK
PENERIMA
PENGHASILAN BRUTO (Rp) DIPOTONG (Rp)
4. BUKAN PEGAWAI
12. STP PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 (HANYA POKOK PAJAK) B.01 -
15. PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR (ANGKA 11 KOLOM 6 - ANGKA 14) B.05 2.277.829
LANJUTKAN PENGISIAN PADA ANGKA 16 & 17 APABILA SPT PEMBETULAN DAN/ATAU PADA ANGKA 18 APABILA PPh LEBIH DISETOR
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR PADA SPT YANG DIBETULKAN
16. B.06
(PINDAHAN DARI BAGIAN B ANGKA 15 DARI SPT Y ANG DIBETULKAN)
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR KARENA PEMBETULAN
17. B.07
(ANGKA 15 - ANGKA 16)
18. KELEBIHAN SETOR PADA ANGKA 15 ATAU ANGKA 17 AKAN DIKOMPENSASIKAN KE MASA PAJAK (mm - yyyy) B.08 -
HALAMAN 1
area staples
D. LAMPIRAN
2. 6. Formulir 1721 - V
FORMULIR 1721 - I LEMBAR
D.03 (Untuk Satu Tahun Pajak) D.04 D.11
4. TANGGAL : E.05
20 - 02 - 2016 (dd - mm - yyyy)
152
DAFTAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU a
TUNJANGAN HARI TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA SERTA BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA TENTARA NASIONAL
FORMULIR 1721-I r
INDONESIA, ANGGOTA POLISI REPUBLIK INDONESIA, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA
e
Lembar ke-1:untuk KPP
X SATU MASA PAJAK
a
KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PAJAK : Lembar ke-2:untuk Pemotong
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK [m m - yyyy] H.01 01 - 2016 SATU TAHUN PAJAK NPWP PEMOTONG : H.02 01.061.574.8 - 411 . 000
s
t
A. PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA MELEBIHI PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
a
BUKTI PEMOTONGAN MASA KODE p
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN
NO NPWP NAMA PPh DIPOTONG (Rp) PEROLEHAN NEGARA
PAJAK BRUTO (Rp) l
NOMOR TANGGAL (dd - mm - yyyy) PENGHASILAN DOMISILI
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
e
s
1. 01.824.255.2-411.000 PURWO SATRIO 21-100-01 18.178.500 1.627.608
2. 07.539.900.6-001.000 ANGGORO 21-100-01 10.907.100 517.396
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
C. TOTAL (JUMLAH A + B)
153
35.145.100 2.277.829
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
area staples
MASA PAJAK :
[mm - yyyy] H.01 01 - 2016 NPWP PEMOTONG : H.02 01.061.574.8 - 411 . 000
KODE JENIS
KODE AKUN TGL SSP/BUKTI Pbk
No SETORAN NTPN/NOMOR BUKTI Pbk JUMLAH PPh DISETOR KET.
PAJAK (KAP) (KJS) [dd - mm - yyyy)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
154
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
area staples
MASA PEROLEHAN
KEMENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN [m m - m m ]
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NOMOR : H.01 1 . 1 - 12 . 16 - 0000001 H.02 01 - 12
NPWP
PEMOTONG : H.03
01.061.574.8 - 411 . 000
NAMA
PEMOTONG : H.04 PT. PRIMADONA INDONESIA
1. NPWP : 01.824.255.2 411 000 6. STATUS /JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP
A.01
2. NIK/NO. K/ 2 TK / HB /
PASPOR : A.02 3306151503750000 A.07 A.08 A.09
PENGHASILAN BRUTO :
area staples
MASA PEROLEHAN
KEMENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN [m m - m m ]
NPWP
:
01.061.574.8 - 411 . 000
PEMOTONG H.03
NAMA
PEMOTONG : H.04 PT. PRIMADONA INDONESIA
1. NPWP : 07.539.900.6 - 001 . 000 6. STATUS /JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP
A.01
2. NIK/NO. 3174092904710007 K/ 3 TK / HB /
PASPOR : A.02 A.07 A.08 A.09
PENGHASILAN BRUTO :
156
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
area staples
MASA PEROLEHAN
KEMENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN [m m - m m ]
NPWP
: 01.061.574.8 - 411 . 000
PEMOTONG H.03
NAMA
PEMOTONG : H.04 PT. PRIMADONA INDONESIA
2. NIK/NO. 3674031612770005 K/ TK /
0 HB /
PASPOR : A.02 A.07 A.08 A.09
PENGHASILAN BRUTO :
area staples
A. IDENTITAS PEMOTONG
B. OBJEK PAJAK
JUMLAH
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN JUMLAH PAJAK
No PENERIMA PENGHASILAN PAJAK
PENERIMA
PENGHASILAN BRUTO (Rp) DIPOTONG (Rp)
4. BUKAN PEGAWAI
12. STP PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 (HANYA POKOK PAJAK) B.01 -
15. PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR (ANGKA 11 KOLOM 6 - ANGKA 14) B.05 2.277.829
LANJUTKAN PENGISIAN PADA ANGKA 16 & 17 APABILA SPT PEMBETULAN DAN/ATAU PADA ANGKA 18 APABILA PPh LEBIH DISETOR
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR PADA SPT YANG DIBETULKAN
16. (PINDAHAN DARI BAGIAN B ANGKA 15 DARI SPT Y ANG DIBETULKAN)
B.06
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR KARENA PEMBETULAN
17. B.07
(ANGKA 15 - ANGKA 16)
18. KELEBIHAN SETOR PADA ANGKA 15 ATAU ANGKA 17 AKAN DIKOMPENSASIKAN KE MASA PAJAK (mm - yyyy) B.08 -
HALAMAN 1
158
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
area staples
D. LAMPIRAN
2. 6. Formulir 1721 - V
FORMULIR 1721 - I LEMBAR
D.03 (Untuk Satu Tahun Pajak) D.04 D.11
4. TANGGAL : E.05
20 - 01 - 2017 (dd - mm - yyyy)
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
JUMLAH A (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D ANGKA 20) 35.145.100 2.277.829
160
PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA
B.
DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA TIDAK MELEBIHI PTKP
:
B.01 ORANG -
C. TOTAL (JUMLAH A + B) 35.145.100 2.277.829
DAFTAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU a
TUNJANGAN HARI TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA SERTA BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA TENTARA NASIONAL
FORMULIR 1721-I r
INDONESIA, ANGGOTA POLISI REPUBLIK INDONESIA, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA
e
Lembar ke-1:untuk KPP
SATU MASA PAJAK
a
KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PAJAK : Lembar ke-2:untuk Pemotong
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK [m m - yyyy] H.01 12 - 2016 X SATU TAHUN PAJAK NPWP PEMOTONG : H.02 01.061.574.8 - 411 . 000
s
t
A. PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA MELEBIHI PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
a
BUKTI PEMOTONGAN MASA KODE p
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN
NO NPWP NAMA PPh DIPOTONG (Rp) PEROLEHAN NEGARA
PAJAK BRUTO (Rp) l
NOMOR TANGGAL (dd - mm - yyyy) PENGHASILAN DOMISILI
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
e
s
1. 01.824.255.2-411.000 PURWO SATRIO 1.1.12.14.0000001 31/12/2014 21-100-01 18.178.500 1.627.608 0112
2. 07.539.900.6-001.000 ANGGORO 1.1.12.14.0000002 31/12/2014 21-100-01 10.907.100 517.396 0112
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
161
C. TOTAL (JUMLAH A + B) 35.145.100 2.277.829
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
area staples
MASA PAJAK :
[mm - yyyy] H.01 12 - 2016 NPWP PEMOTONG : H.02 01.061.574.8 - 411 . 000
KODE JENIS
KODE AKUN TGL SSP/BUKTI Pbk
No SETORAN NTPN/NOMOR BUKTI Pbk JUMLAH PPh DISETOR KET.
PAJAK (KAP) (KJS) [dd - mm - yyyy)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
162
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
BAB VI
PPh PASAL 22
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. MemahamiPemotong dan Pemungut PPh Pasal 22
2. Memahami Objek PPh Pasal 22
3. Memahami Tarif dan Sifat PPh Pasal 22
PENDAHULUAN
Salah satu bentuk pemungutan pajak yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) adalah pemungutan
PPh Pasal 22. Berbeda dengan PPh Pasal 21 yang wajib dilakukan oleh semua WP, pemungutan PPh
Pasal 22 hanya dilakukan oleh WP-WP tertentu dan atas 7 (tujuh) hal yaitu impor barang, pembelian
barang dalam negeri, penjualan hasil produksi tertentu di dalam negeri, penjualan (BBM, gas, pelumas),
penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri, pembelian kepada pedagang pengumpuldan penjualan
barang sangat mewah.
Sebagaian besar pengusaha sering berhubungan dengan WP tertentu tersebut sehingga pemahaman
yang baik tentang PPh pasal 22 diperlukan terutama untuk memprediksi jumlah kas yang akan
diterima/dibayarkan pada saat bertransaksi dengan WP-WP tertentu tersebut. Siapakah WP tertentu
tersebut? Kita akan bahas di bawah ini.
164
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan
bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i. Badan Usaha industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan bahan berupa hasil
kehutanan,perkebunan,pertanian ,perternakan dan perikanan yang belum melalui proses
industri manufaktur untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
j. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha
pertambangan;
k. Badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan di dalam negri
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance
and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor. Apabila dalam melakukan
impor, importir menggunakan nilai dolar atau mata uang asing lainnya, Nilai Impor dihitung
menggunakan Kurs Menteri Keuangan. PPh Pasal 22 impor bersifat TIDAK FINAL dan dapat menjadi
kredit pajak.
Contoh Kasus:
Wajib Pajak melakukan Impor dengan nilai Cost US$ 1.000, Insurance US$ 50, Freight US$ 200, Bea
Masuk 20 % dengan Nilai Kurs KMK = Rp 10.000 per dolar. Berapakah PPh Pasal 22 yang harus dibayar
oleh importir tersebut?
Jawab:
Cost US$ 1.000 X Rp 10.000 = Rp 10.000.000
Insurance US$ 50 X Rp 10.000 = Rp 500.000
Freight US$ 200 X Rp 10.000 = Rp 2.000.000 (+)
Nilai CIF = Rp 12.500.000
Bea Masuk (20 %) = Rp 2.500.000 (+)
Nilai Impor = Rp 14.500.000
PPh 22 (2,5 % x Rp 14.500.000) = Rp 362.500
Catatan : Selain pembayaran PPh pasal 22 impor dan Bea Masuk, WP wajib juga membayar
PPN Impor sebesar 10 % x Nilai Impor.
Pada contoh kasus di atas, PPh Pasal 22 impor sebesar Rp 362.500 dapat dibayarkan dengan 2
cara:
1. Disetor sendiri oleh importir
PPh Pasal 22 impor dapat disetor sendiri dengan menggunakan SSP atas nama dan
ditandatangani oleh importir yang bersangkutan bersamaan dengan pembayaran Bea
Masuk. Apabila pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 impor
harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). SSP
lembar ke-1 berlaku sebagai bukti setor PPh Pasal 22 impor.
2. Dipungut oleh Kantor Pelayanan Bea Cukai dan Bank Devisa
PPh Pasal 22 impor dapat dibayarkan kepada Bendaharawan Kantor Pelayanan Bea Cukai
(KPBC). KPBC akan memberikan bukti pemungutan PPh Pasal 22 impor kepada importir
dan wajib menyetorkannya ke Kas Negara paling lambat 1 hari setelah penerimaan
pembayaran secara kolektif. Paling lambat 7 hari setelah batas waktu penyetoran
Bendaharawan KPBC wajib membuat laporan mingguan pemungutan PPh Pasal 22 impor.
Tidak semua transaksi impor barang luar negeri dipungut PPh Pasal 22, sesuai yang tercantum
dalam PMK-146/PMK.011/2013 jo. PMK-175/PMK.011/2013 jo PMK-16/PMK.010/2016 jo PMK-
34/PMK.010/2017 Jo. PMK-110/PMK.010/2018 transaksi-transaksi di bawah ini dikecualikan dari
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 termasuk beberapa transaksi impor barang luar negeri :
a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai:
1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;
2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia
dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai
atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang
bertugas di Indonesia;
166
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
3. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau
untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam
itu yang terbuka untuk umum;
5. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8. barang pindahan;
9. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman
sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan kepabeanan;
10. barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk
kepentingan umum;
11. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan
bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan
dan keamanan negara;
13. vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
14. buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran
agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;
15. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan,
kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadangnya, serta
alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa
Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
16. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadangnya, serta peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa
perawatan dan reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha penyelenggara
sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian
umum, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha
penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara
prasarana perkeretaapian umum yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian yang akan
digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan
usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;
18. peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau
Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara
Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor
oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia atau pihak yang ditunjuk oleh
Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia; dan/atau;
19. barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya dilakukan oleh
Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
20. barang untuk kegiatan usaha panas bumi.
c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.
d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor
kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan
perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:
1. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut bendaharawan yang jumlahnya paling banyak
Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) tidak termasuk pajak pertambahan nilai dan bukan
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah dari suatu tranksaksi yang nilai sebenarnya
lebih dari Rp 2.000.000(dua juta rupiah)
2. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak BUMN/BUMD yang jumlahnya paling
banyak Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-
pecah;
3. pembayaran untuk:
a) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
b) pemakaian air dan listrik;
4. pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan dari
kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari :
a) kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;
atau;
b) kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak
kerja sama atau;
c) Trading arms kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak
kerja sama.
5. pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja
sama pengusahaan sumber daya panas bumi;
6. pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau
ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) huruf i, yang jumlahnya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dalam satu masa pajak
7. pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf j yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan/atau
bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e.
f. Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor
168
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
170
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Tarif PPh Pasal 22 atas pembelian barang dalam negeri oleh WP-WP tertentu pada point
1-4 di atas adalah 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (tidak termasuk PPN) dan
bersifat TIDAK FINAL.
Tarif PPh Pasal 22 atas pembelian yang dilakukan oleh Industri dan Eksportir yang
bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan atas pembelian bahan-
bahan untuk keperluan industri atau ekspor adalah 0,25 % dari harga pembelian.
Contoh Kasus 1:
PT. REKANAN TRUCKINDO (PKP) menjual truk khusus pengangkut sampah kepada Bendaharawan
Dinas Kebersihan Pemda Jakarta Barat senilai Rp 100.000.000,- tidak termasuk PPN. Bagaimanakah
aspek PPh Pasal 22 dalam kasus penjualan truk tersebut?
Pembahasan:
Harga truk tanpa PPN Rp 100.000.000,-
PPN (10 %) Rp 10.000.000,-(+)
Harga jual termasuk PPN Rp 110.000.000,-
PPN dipungut oleh bendaharawan
(10/110 X Rp 110.000.000) Rp 10.000.000,-(-)
Dasar Pengenaan PPh Pasal 22 Rp 100.000.000,-
PPh Pasal 22 (1,5 % X Rp 100.000.000,-) (Rp 1.500.000,-)
Diterima PT. REKANAN TRUCKINDO Rp 98.500.000,-
Bendaharawan Dinas Kebersihan Pemda Jakarta Barat wajib menyetorkan PPh Pasal 22 yang dipungut
tersebut ke Bank Persepsi paling lambat hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). SSP tersebut ditandatangani oleh bendaharawan tetapi nama
dan NPWP-nya tertulis atas nama PT. REKANAN TRUCKINDO serta tanpa membuat Bukti Potong
PPh Pasal 22 Khusus. SSP lembar ke-1 berlaku sebagai bukti potong bagi PT. REKANAN
TRUCKINDO sedangkan SSP lembar ke-5 (jika dibuat 5 rangkap) berlaku sebagai arsip pemotong.
Semua pemotongan yang telah dilaksanakan dalam satu masa pajak dilaporkan dalam SPT Masa PPh
Pasal 22 Bendaharawan paling lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir.
Contoh Kasus 2:
Data dari KPP menyatakan adanya kredit pajak PT. SUPPLIER yang berasal dari pemungutan PPh
Pasal 22 atas penjualan komputer ke Departemen Perhubungan sebesar Rp 50.000.000,-. Berapakah
omzet PT. SUPPLIER dari penjualan komputer ke Departemen Perhubungan?
Jawab:
Cara pemeriksaan PPh Pasal 22 adalah dengan mencari omzetnya:
Ph. Bruto = 100 %
PPh Pasal 22 = 1,5 %
Penghasilan Neto = 98,5 %
1,5 % X = Rp 50.000.000
X = Rp 50.000.000 / 1,5%
X = Rp 3.333.333.333
Departemen Perhubungan wajib menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut
sebagaimana kasus 1 di atas. Departemen Perhubungan tidak memberikan bukti potong khusus
namun berupa SSP lembar ke-1.
Contoh Kasus 3:
PT. DAYA MINA SAMUDERA adalah produsen pengalengan ikan untuk tujuan ekspor. PT. DAYA
MINA SAMUDERA membeli ikan tuna dari pedagang pengumpul sebesar Rp 100.000.000,-.
Berapakah PPh pasal 22 yang harus dipungut ?
Jawab:
PPh Pasal 22 yang harus dipungut dihitung sebagai berikut:
Harga pembelian (tidak terutang PPN) = Rp 100.000.000,-
PPh Pasal 22 (1,5%) = Rp 1.500.000,-(-)
Jumlah dibayarkan ke Pedagang Pengumpul = Rp 98.500.000,-
Pemungutan PPh Pasal 22 sebesar Rp 1.500.000,- langsung dilakukan pada saat pembayaran. PT.
DAYA MINA SAMUDERA wajib menyetorkan PPh Pasal 22 yang dipungut di atas bersama dengan
pungutan PPh Pasal 22 sejenis secara kolektif yang telah dilakukan pada satu masa pajak ke Bank
Persepsi paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP. SSP tersebut dibuat
atas nama, NPWP, dan ditandatangani oleh PT. DAYA MINA SAMUDERA. PT. DAYA MINA
SAMUDERA memberikan bukti potong khusus kepada Pedagang Pengumpul (bagi Pedagang
Pengumpul, PPh Pasal 22 yang dipungut dengan bukti SSP dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada
akhir tahun). Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya PT. DAYA MINA SAMUDERA wajib
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 dengan dilampiri semua bukti potong dan lembar ke-3 SSP.
Aturan khusus tarif PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Produsen (Pertamina)atau
importirbahan bakar minyak (BBM), bahan bakar gas dan pelumas sebagai berikut:
172
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Contoh Kasus 4:
PT. COIL CENTRE membeli baja ke PT. Krakatau Steel sebesar Rp 100.000.000,-
1. Berapa PPh Pasal 22 yang dipungut PT. Krakatau Steel?
2. Berapakah jumlah total yang harus dibayarkan PT. COIL CENTRE?
3. Bagaimana perlakuan PPh yang dipungut oleh PT. Krakatau Steel bagi PT. COIL CENTRE?
4. Bagaimana cara penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 oleh PT. Krakatau Steel?
Jawab:
1. PPh 22 atas pembelian baja ke PT. Krakatau Steel
= 0,3% X Rp 100.000.000,- = Rp. 300.000,-
2. Jumlah total yang harus dibayar PT. COIL CENTRE:
Harga Pembelian (DPP PPN) = Rp 100.000.000,-
PPN 10 % = Rp 10.000.000,-
PPh Pasal 22 produk baja = Rp 300.000,-
Jumlah = Rp 110.300.000,-
3. PPh yang di pungut PT. Krakatau Steel di akhir tahun dapat dikreditkan oleh PT. COIL
CENTRE
4. PT. Krakatau Steel memungut dan menyetor PPh Pasal 22 atas nama PT. COIL CENTRE
ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan
menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 sebanyak 3 lembar:
· Lembar pertama untuk pembeli;
· Lembar ke dua untuk lampiran laporan bulanan ke KPP;
· Lembar ke tiga untuk arsip pemungut.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir, PT. Krakatau Steel
wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 penjualan produk baja dengan dilampiri
Bukti Pemungutan dan SSP lembar ke-3.
Contoh Kasus 5:
PT. MIGAS PERDANA adalah distributor bensin dan memiliki beberapa SPBU. Menjelang
kampanye pemilu, PT. MIGAS PERDANA berencana menambah volume pembelian bensin
sebesar 10.000 liter per hari. Misal harga bensin dari Pertamina Rp 3.750,- per liter (tidak
termasuk PPN), berapakah tambahan dana per hari untuk merealisasikan rencana tersebut?
Jawab:
Harga pembelian bensin (10.000 lt X Rp. 3.750,-) Rp 37.500.000,-
PPh Pasal 22 Premium SPBU Swasta
( 0,3 % X Rp 37.500.000,-) Rp 112.500,-
Jumlah Rp 37.612.500,-
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil bahan bakar minyak, gas dan pelumas terutang dan
dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order).
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas, dan
penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, wajib
disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
Tarif PPh Pasal 22 atas penjualan barang sangat mewah di atas adalah sebesar 5% dari harga jual
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan
PPnBM). Pemotongan PPh Pasal 22 ini bersifat tidak final (dapat dikreditkan pada SPT Tahunan
bagi pihak pembeli).
Catatan: pihak penjual yang ditunjuk sebagai pemungut adalah penjual yang berbentuk badan.
Jika Orang Pribadi maka tidak berhak memungut PPh Pasal 22.
f. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 10.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah, oleh BUMN dan Badan Usaha Tertentu lainnya yang di tunjuk sebagai
pemungut
g. pembayaran untuk:
a) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
b) pemakaian air dan listrik;
h. pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan dari kegiatan usaha
hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari :
a) kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau;
b) kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;
i. Pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan
sumber daya panas bumi;
j. pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau ekspor
oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf i, yang
jumlahnya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
k. pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi pemegang
izin usaha pertambangan yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang
dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh Badan Usaha Milik Negara.
l. impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan
ekspor.
m. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS).
n. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor,
yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf
c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.
o. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang memproduksi emas batangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf k kepada Bank Indonesia.
p. Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa Pengguna Anggaran, pejabat
penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran, atau
bendahara pengeluaran)
Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum BULOG).
Catatan:
1. Pengecualian PPh Pasal 22 untuk Impor barang (point a) dan impor emas batangan (point l) dinyatakan
dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
2. Pengecualian PPh pasal 22 di atas dilakukan secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB) kecuali
transaksi imporbarang (point a) dan impor emas batangan (point l) harus dengan SKB. Selain transaksi di
atas, Wajib Pajak dapat juga dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 bila telah mendapatkan SKB
Pemungutan dan Pemotongan PPh.
TARIF DAN SIFAT PPh PASAL 22
Catatan:
1. Sejak 1 Januari 2009, Industri Rokok tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas
penjualan rokok di dalam negeri
2. Sejak bulan Februari 2013, BUMN tertentu dan Bank Milik Negara (tertentu) kembali
ditunjuk sebagai pemungut Pasal 22
3. Besarnya pungutan bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan 100%
lebih tinggi dari tarif normal
176
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
BAB VII
PPh PASAL 23
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. MemahamiPemotong dan Pemungut PPh Pasal 23
2. Memahami Objek PPh Pasal 23
3. Memahami Klasifikasi Tarif untuk PPh 23
PENDAHULUAN
PPh Pasal 23 adalah pajak yang harus dipungut oleh Wajib Pajak (WP) yang mengeluarkan biaya
untuk pembayaran jasa dan passive income seperti bunga, dividen, royalti dan hadiah (BDRH). Hal ini
berbeda dengan PPh pasal 22 yang terkait dengan pembelian atau penjualan barang. Selain itu, PPh
Pasal 23 harus dipungut oleh semua WP Badan dan WP OP yang menyelenggarakan pembukuan serta
WP OP yang ditunjuk sebagai pemungut. Oleh karenanya cakupan PPh Pasal 23 lebih luas
dibandingkan PPh Pasal 22 yang hanya diwajibkan terhadap WP Badan tertentu saja.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa PPh Pasal 23 lebih sering dihadapi oleh WP. Hampir
semua WP mengeluarkan biaya pemeliharaan, biaya sewa (baik bangunan maupun non bangunan),
biaya komisi dan biaya jasa lain yang sering lalai tidak dipotong pajak ataupun lawan transaksi tidak
mau dipotong pajak. Mengingat kewajiban pembayaran pajak lawan transaksi kita telah beralih menjadi
kewajiban kita untuk memotong pajak maka kita dituntut untuk memahami masalah pemotongan PPh
Pasal 23 dengan tuntas.
Dalam penunjukan pemotongan PPh Pasal 23 tidak ada WP OP ditunjuk sebagai Pemotong PPh Pasal 23.
Akan tetapi bukan berarti setiap WP OP yang melakukan pembayaran sewa, jasa, bunga, dividen, royalti,
dan hadiah tidak perlu memotong PPh Pasal 23.
178
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Pada umumnya, WP OP tidak ditunjuk sebagai Pemotong PPh Pasal 23 kecuali WP OP yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak. Berikut kutipan PPh Pasal 23 Ayat 3:
“Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”
Catatan: Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri,
dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 10% dari Bruto dan bersifat final PPh Pasal 4 (2) (PP No.
19 tahun 2009).
2. BUNGA
Perlakuan pajak atas pembayaran bunga ada 3 macam:
a. Dipotong PPh Pasal 23 Tidak Final
Pembayaran bunga yang dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dan tidak final adalah
pembayaran:
1. Bunga antar pinjaman dari badan ke badan, badan ke Orang Pribadi atau
sebaliknya,
2. Bunga obligasi yang tidak dijual di bursa efek.
Contoh:
Dalam pemeriksaan pajak tahun pajak 2017 yang dilaksanakan Desember 2017,
diketahui terdapat pembayaran bunga atas pinjaman dari perusahaan afiliasi sebesar
Rp 500.000.000,- yang tidak dipotong pajak oleh Wajib Pajak. Berapakah PPh pasal
23 yang masih harus dibayar?
Jawab:
PPh 23 Terutang (15% X Rp 500.000.000,-) Rp 75.000.000,-
Sanksi Pasal 13 Ayat 2 UU KUP
(@ 2% X Rp 75.000.000,- X 12 bulan) Rp 18.000.000,-
PPh yang masih harus dibayar Rp 93.000.000,-
Contoh:
PT. ABC (lesse) menutup kontrak leasing atas mesin. Dalam kontrak SGU tercantum
klausul pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir
180
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
periode SGU. Pembayaran per bulan Rp 8.000.000,- terdiri dari pelunasan pokok hutang
leasing sebesar Rp. 5.555.555,- dan bunga Rp. 2.444.445,-. Apakah PT ABC wajib
memotong PPh 23 atas pembayaran bunga sebesar Rp. 2.444.445,- ?
Jawab:
Leasing di atas termasuk kategori leasing dengan hak opsi. Oleh karena itu PT ABC TIDAK
boleh memotong PPh 23 atas pembayaran bunga dalam angsuran leasing sesuai keterangan
butir 2 di atas.
3. ROYALTI
Imbalan berupa royalti adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan:
a. Hak atas harta tidak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang atau
rahasia perusahaan;
b. Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan
c. Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri.
(Penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPh)
Atas pembayaran royalti kepada WP Dalam Negeri harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar
15%.
Contoh:
PT. PENERBIT membayarkan royalti kepada Tn. Budiman (ber NPWP) atas penerbitan
buku-buku tulisannya senilai Rp 50.000.000,- Berapakah PPh Pasal 23 yang harus dipotong
PT. PENERBIT?
Jawab:
PT. PENERBIT wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% X Rp 50.000.000 = Rp
7.500.000,-.
4. HADIAH
Terdapat 3 (tiga) jenis hadiah. Masing-masing jenis hadiah memiliki tarif pemotongan
sebagai berikut:
a. Hadiah Undian
Dikenakan PPh sebesar 25% dari Penghasilan Bruto dan bersifat Final, diatur dalam
PP No. 132 Tahun 2000.
b. Hadiah Perlombaan, Penghargaan dan Hadiah sehubungan dengan
pekerjaan/pemberian jasa:
- Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi DN maka dikenakan PPh Pasal 21 dengan
tarif Pasal 17 dari penghasilan bruto.
- Bagi Wajib Pajak Badan/BUT dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
penghasilan bruto.
- Bagi Wajib Pajak LN selain BUT dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari
penghasilan bruto dan bersifat final atau berdasarkan P3B (Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda).
c. Hadiah yang bukan merupakan Objek Pajak
Hadiah yang bukan merupakan Objek Pajak dikelompokkan dalam dua jenis:
Contoh:
PT. BENDI RAYA mengadakan sayembara merancang logo perusahaan dengan
hadiah Rp 50.000.000,- Berapakah PPh Pasal 23 yang harus dipotong jika
pemenangnya adalah Tuan Lukman? Bagaimana jika pemenangnya Konsultan
Desain Amir & Partner? Bagaimana cara penyetoran dan pelaporannya?
Jawab:
Jika pemenangnya Tuan Lukman tidak dipotong PPh Pasal 23 melainkan dikenakan
PPh Pasal 21 (Teknis pemotongan PPh Pasal 21 atas hadiah sudah dibahas dalam
modul PPh Pasal 21 sebelumnya).
Jika pemenangnya Konsultan Desain Amir & Partner (WP Badan) atas hadiah
tersebut akan dikenakan PPh Pasal 23 dan harus dipotong = 15% X Rp 50.000.000,-
= Rp 7.500.000,-
PT. BENDI RAYA menyetorkan ke Bank paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
dan melaporkannya ke KPP paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Jumlah Bruto
Sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UU PPh No. 36 Tahun 2009 jo. SE-53/PJ./2009 disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam
182
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
a. pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja
kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna
jasa;
b. pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material;
c. pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada
pihak ketiga;
d. pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar
jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
Jumlah bruto sebagaimana dimaksud tidak berlaku:
a. atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau
b. dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa yang telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final
Berikut ini penjelasan beserta contoh pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa dan jasa:
3. JASA MANAJEMEN
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan
atau pengelolaan manajemen
4. JASA KONSULTASI
Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional
dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau
perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli
tersebut dalam pelaksanaannya
184
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
j. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
a) Jasa pengeboran;
b) Jasa penebasan;
c) Jasa pengupasan dan pengeboran;
d) Jasa penambangan;
e) Jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali Jasa angkutan umum;
f) Jasa pengolahan bahan galian;
g) Jasa reklamasi tambang;
186
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Contoh
1. Kasus 1
Dalam laporan rugi laba PT. ANDA terdapat pos sebagai berikut:
1. Biaya pemeliharaan me sin (diperbaiki sendiri) Rp. 100.000.000,-
2. Biaya komisi penjualan Rp. 25.000.000,-
3. Biaya rental mobil Rp. 10.000.000,-
4. Biaya pembuatan program Sistem Informasi Rp. 50.000.000,-
5. Biaya jasa catering Rp. 100.000.000,-
Semua biaya di atas ternyata belum Anda potong PPh Pasal 23. Berapakah PPh Pasal 23 yang harus
dikenakan, bila PT. ANDA tidak memotong PPh Pasal 23 dan pada saat pemeriksaan kesalahan
tersebut ditemukan oleh Pemeriksa? (asumsi pemeriksaan dilakukan setelah 2 tahun )
Jawab:
1. PPh 23 atas pemeliharaan mesin Rp. NIHIL
(mesin diperbaiki sendiri dan tidak ada pihak ketiga. Berarti semua pengeluaran
adalah untuk material/sparepart )
2. PPh 23 atas komisi penjualan(2% X Rp 25.000.000) Rp 500.000,-
3. PPh 23 atas rental mobil (2% X Rp 10.000.000,-) Rp 200.000,-
4. PPh 23 atas pembuatan program( 2% X Rp 50.000.000,-) Rp 1.000.000,-
5. PPh 23 atas jasa catering (2% X Rp 100.000.000,-) Rp 2.000.000,-
2. PT Tenaga Power merupakan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. PT Tenaga Power mendapat
kontrak dari PT Bank Untung Terus untuk menyediakan petugas customer service sebanyak 20
orang dengan mendapat imbalan jasa sebesar Rp20.000.000. Petugas customer service tersebut
selanjutnya menjadi pegawai PT Bank Untung Terus. Atas pembayaran yang dilakukan PT Bank
Untung Terus kepada PT Tenaga Power dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Bank Untung Terus sebesar:
2% x Rp20.000.000 = Rp400.000.
PT Aman Secure merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja untuk keamanan (satpam). PT
Aman Secure mendapat kontrak penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Maju
Sejahtera. Tenaga kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Secure. Dalam
Kontrak disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh PT Aman Secure dengan
rincian tagihan berupa gaji untuk 20 orang satpam per bulan sebesar Rp40.000.000 dan imbalan
atas jasa penyediaan satpam per bulan sebesar Rp4.000.000.
Pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa penyedia tenaga kerja tersebut adalah sebagai berikut:
a. Atas pembayaran yang dilakukan PT Maju Sejahtera kepada PT Aman Secure untuk jasa
penyediaan satpam dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Maju Sejahtera setiap pembayaran per
bulan sebesar:
2% x Rp4.000.000 = Rp80.000
b. Dalam hal tidak ada bukti pendukung, seperti daftar pembayaran gaji dan kontrak kerja
atas rincian tagihan di atas, maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23
adalah sebesar Rp44.000.000 sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Maju
Sejahtera atas pembayaran kepada PT Aman Secure adalah sebesar:
2% x Rp44.000.000 = Rp880.000
3. PT Jumbo (pihak pertama) melakukan kontrak dengan PT Iklan Promo selaku perusahaan agen
periklanan (pihak kedua) untuk membuat iklan sekaligus memasang iklan pada PT Perusahaan
Media (pihak ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp255.000.000. Rincian
tagihan PT Iklan Promo kepada PT Jumbo terdiri dari:
4. PT Karet Rubber mengikat kontrak dengan PT Mode Pakaian untuk pembuatan seragam kantor PT
Karet Rubber berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Karet Rubber.
Dalam kontrak disepakati bahwa PT Karet Rubber akan menyediakan bahan baku utama berupa
kain dan PT Mode Pakaian akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas
kontrak tersebut adalah sebesar Rp100.000.000 tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Mode
Pakaian mengeluarkan biaya sebesar Rp20.000.000 untuk bahan tambahan yang dibayarkan kepada
CV Palugada.
5. PT Cermat meminta CV Selera Sedap yang bergerak di bidang pengadaan katering untuk
menyediakan makanan dalam rangka perkenalan produk untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang
disepakati untuk pengadaan katering tersebut adalah Rp 30.000.000. Dasar pemotongan untuk jasa
katering tersebut adalah seluruh tagihan dari CV Selera Sedap yaitu sebesar Rp30.000.000. Atas
pembayaran yang dilakukan PT Cermat kepada CV Selera Sedap dipotong PPh Pasal 23 oleh PT
Cermat sebesar:
2% x Rp30.000.000 = Rp600.000
6. CV Bayar Tunai merupakan perusahaan yang menyediakan jasa perantara transaksi online melalui
website luar negeri seperti ebay dan amazon. Yayasan Welas Asih membuat kontrak dengan CV
Bayar Tunai untuk melakukan pembelian online 100 buku pelajaran umum yang dibebaskan dari
pemungutan PPh Pasal 22 impor melalui website amazon dengan total harga pembelian US$5.000.
Atas pembelian tersebut, CV Bayar Tunai meminta imbalan sebagai perantara sebesar Rp5.000.000.
Tagihan yang dibuat oleh CV Bayar Tunai kepada Yayasan Welas Asih terdiri atas harga buku
sebesar US$5.000 yang disertai dengan bukti pembayaran kepada amazon dan imbalan jasa
perantara sebesar Rp5.000.000. Atas pembayaran yang dilakukan Yayasan Welas Asih kepada CV
Bayar Tunai dipotong PPh Pasal 23 oleh Yayasan Welas Asih sebesar:
2% x Rp5.000.000 = Rp100.000.
7. PT Artis Besar merupakan perusahaan di bidang manajemen artis. PT Artis Besar mendapatkan
kontrak dari PT Televisi Nasional untuk menyediakan 2 artis di bawah manajemen artis PT Artis
Besar untuk mengisi acara ulang tahun PT Televisi Nasional dengan nilai kontrak total sebesar
Rp550.000.000. Rincian nilai kontrak tersebut meliputi honor artis sebesar Rp500.000.000 dan jasa
keagenan artis sebesar Rp50.000.000.
Atas pembayaran yang dilakukan PT Televisi Nasional kepada PT Artis Besar dipotong PPh Pasal
23 atas jasa keagenan oleh PT Televisi Nasional sebesar:
2% x Rp50.000.000 = Rp1.000.000.
Selain pemotongan PPh Pasal 23 tersebut, PT Televisi Nasional mempunyai kewajiban untuk
melakukan memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran honor kepada artis.
190
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
- Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal
23 atas nama J.O. qq anggota (NPWP Anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian
masing-masing;
- Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 disampaikan untuk para anggota.
Catatan:
Apabila penerima penghasilan tidak mempunyai NPWP, maka
besarnya tarif pemotongan PPh 23 dikenakan lebih tinggi 100%
dari tarif normal.
BAB VIII
PPh PASAL 26
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Jenis-jenis Pendapatan Bagi WP Luar Negeri
2. Memahami Pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT)
3. Memahami Pengertian Time Test BUT
4. Memahami Pengertian Prinsip Pemungutan PPh Pasal 26
5. Memahami Cara Memotongan PPh Pasal 26
6. Memahami Pengertian Sifat Pemotongan PPh Pasal 26
7. Memahami Pengertian PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak BUT (Branch Profit Tax)
8. Memahami Pengertian PPh Pasal 26 atas Transaksi Tertentu
PENDAHULUAN
Kita sudah pernah sedikit mengenal PPh Pasal 26 sebagai pajak yang dipungut atas Wajib Pajak
Luar Negeri (WPLN). Tetapi tidak semua pembayaran kepada WPLN harus dipotong PPh Pasal 26.
Pemotongan PPh pasal 26 harus memperhatikan ada tidaknya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B/Tax Treaty). Tax Treaty tersebut memiliki kesamaan prinsip yang bisa kita jadikan acuan untuk
menentukan dipotong tidaknya PPh Pasal 26 serta berapa tarifnya.
Tax Treaty/P3B merupakan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak . Sesuai dengan
peraturan Per-61/PJ./2009 jo. Per-24/PJ./2010 Jo Per-10/PJ./2017. Pemotong/Pemungut Pajak harus
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam
hal :
a. Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia,
b. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi;
dan
c. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang
pencegahan penyalahgunaan P3B.
Prinsip pemotongan PPh Pasal 26 tergantung pada jenis-jenis pembayaran pendapatan ke luar
negeri serta ada tidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT) WPLN di Indonesia. Oleh karena itu untuk
memudahkan pemahaman PPh Pasal 26 terlebih dahulu kita belajar membedakan jenis-jenis
pembayaran pendapatan ke luar negeri dan memahami konsep BUT.
192
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Contoh:
F4 Ltd. Taiwan, mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti F4 Ltd merupakan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. F4 Ltd dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut.
BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Orang asing dapat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan Bentuk Usaha
Tetap yang dapat berupa:
a. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
b. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
c. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Contoh :
Mr. A berada di Singapura tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa kantor cabang maka Mr.
A dapat diartikan sebagai BUT Orang pribadi yang menjalankan usaha di Indonesia tetapi tidak
bertempat tinggal di Indonesia.
194
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Catatan:
Prinsip di atas pada umumnya berlaku dalam Tax Treaty Indonesia. Tetapi dalam kasus tertentu
dapat saja terjadi pengecualian. Lebih detail dapat dilihat dalam masing-masing Tax Treaty.
Contoh: Pembayaran sewa tanah atau bangunan kepada WPLN dipungut PPh di negara tanah
dan bangunan terletak dengan tarif penuh.
Contoh Kasus 1:
PT. ANDA membayarkan komisi atas jasa marketing yang dilakukan oleh SIAM Ltd di Thailand sebesar
Rp 100.000.000,- Seluruh jasa marketing dilakukan di Thailand dan SIAM Ltd tidak pernah ke
Indonesia untuk melaksanakan jasanya. Berapakah PPh Pasal 26 terutang?
Jawab:
Ada SKD:
Jika SIAM Ltd dapat menunjukkan SKD maka pembayaran komisi dari PT ANDA bebas PPh pasal 26
sesuai prinsip pemungutan PPh 26 diatas.
PPh Pasal 26 tersebut harus disetor ke bank Persepsi paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan
dilaporkan dengan menggunakan SPT MASA PPh Pasal 23/26 paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya dengan dilampiri:
1. SSP Lembar ke-3
2. Daftar Bukti Potong PPh Pasal 26
3. Lembar ke-2 Bukti Potong PPh Pasal 26
Dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri tidak bersedia dibebani PPh Pasal 26 maka Pemotong Pajak dapat
membebankan PPh Pasal 26 sebagai biaya perusahaan, sepanjang PPh Pasal 26 tersebut ditambahkan
sebagai dasar perhitungan untuk pemotongan PPh Pasal 26.
Penghitungan PPh Pasal 26 yang ditanggung pemotong dilakukan dengan meng-gross up pembayaran
penghasilan ke luar negeri dengan rumus sebagai berikut:
20% X 100/80 X Biaya yang terutang atau dibayarkan ke luar negeri
Catatan : Tarif 20% digunakan jika tidak ada Tax Treaty. Jika ada Tax Treaty maka tarif 20% diganti
tarif sesuai Tax Treaty.
Contoh Kasus 2:
PT. DEBITUR memiliki pinjaman dari NV. CREDITUUR di Belanda dan akan membayarkan bunga
pinjaman sebesar Rp 90.000.000,-. NV. CREDITUUR tidak bersedia dibebani PPh Pasal 26. Tarif sesuai
Tax Treaty Indonesia-Belanda untuk pembayaran bunga adalah 10% dan NV. CREDITUUR dapat
menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari Competent Authority Kerajaan Belanda. Agar PT.
DEBITUR dapat membebankan PPh Pasal 26 sebagai biaya perusahaan, berapakah PPh Pasal 26 yang
harus dipungut?
Jawab:
Penghitungan PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman secara gross up adalah sebesar:
10 % X 100/90 X Rp. 90.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
PPh Pasal 26 sebesar Rp. 10.000.000,- tersebut dapat dibebankan sebagai biaya PT. DEBITUR sehingga
total biaya bunga pinjaman ke NV. CREDITUUR adalah Rp. 100.000.000 termasuk pajak. (S-
86/PJ.313/1995 tanggal 10 Juli 1995).
a. Pembayaran kepada Kantor Pusat BUT atas kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan oleh BUT di Indonesia
Contoh Kasus 3:
PT. XYZ memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa konsultasi kepada MODEL Inc di Prancis.
Ternyata MODEL Inc memiliki BUT di Indonesia yang memiliki usaha sejenis maka PPh Pasal 26
tersebut menjadi tidak final dan dapat dikreditkan oleh BUT MODEL Inc.
Catatan:
Pembayaran jasa konsultasi kepada MODEL, Inc di Prancis ikut diperhitungkan sebagai
penghasilan BUT MODEL, Inc Indonesia
b. Pembayaran kepada Kantor Pusat BUT atas kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di
Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud.
Contoh Kasus 4:
PT. ABC memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran royalti kepada ALTA MODA Co. Ltd di Italy
untuk menggunakan merknya. Ternyata ALTA MODA Co. Ltd memiliki BUT di Indonesia dan
memberikan jasa manajemen ke BUT-nya berupa konsultasi pemasaran produknya.
196
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Pembayaran royalti kepada ALTA MODA Co. Ltd di Italy ikut diperhitungkan sebagai
penghasilan BUT-nya di Indonesia dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh PT ABC menjadi tidak
final dan dapat dikreditkan oleh BUT ALTA MODA Co. Ltd.
c. Pembayaran atas penghasilan yang diterima WP Luar Negeri yang berubah status menjadi WP
Dalam Negeri.
Contoh Kasus 5:
MUANG, Ltd adalah pemegang saham PT. CHIANGMAI. Pada bulan Januari 2017 PT.
CHIANGMAI membayar deviden kepada MUANG, Ltd sebesar Rp. 100.000.000,-. PPh Pasal 26
yang dipotong PT. CHIANGMAI sebesar 15% (sesuai Tax Treaty Indonesia – Thailand) sejumlah
Rp. 15.000.000,- dan bersifat FINAL. Pada bulan Februari 2017 MUANG Ltd mendirikan cabang
di Indonesia (BUT). PPh Pasal 26 yang telah dipotong menjadi TIDAK FINAL dant dapat menjadi
kredit pajak BUT MUANG Ltd.
PPh PASAL 26 ATAS LABA SETELAH PAJAK BUT (BRANCH PROFIT TAX)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha
Tetap ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud di atas.
Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud di atas diberikan apabila
seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha
Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak
berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai
berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Selain persyaratan a dan b di atas , Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh
melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak
berwujud, paling sedikitdalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi
aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, tidak lagi dipenuhi, atas
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang
terkait, dikenai Pajak Penghasilan terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang
bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena
Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia, wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun
Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
198
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena
Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia (penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri) wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial. Saat berproduksi komersial
sebagaimana dimaksud adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi
barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan
barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
Keputusan tentang saat berproduksi komersial ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil
penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk
Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial.
Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam
negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia,
besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan adalah sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak yang berlaku.
Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah Penghasilan
Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi
dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.
DASAR KETENTUAN
Ketentuan yang mengatur tentang tata cara pengenaan PPh Pasal 26 sampai saat ini (beberapa saja yang
dituliskan) adalah:
1. Pasal 26 UU No. 7 Tahun 1983 S.T.D.T.D. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh)
2. PMK-14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap
3. PER-62/PJ./2009 jo. PER-25/PJ./2010 jo PER-10/PJ./2017 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
4. KMK-434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Atas Penghasilan
Berupa Keuntungan Dari Penjualan Saham
5. KMK-624/KMK.04/1994 jo. SE-23/PJ.43/1995 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
Atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi Dan Premi Reasuransi Yang Dibayar Kepada
Perusahaan Asuransi Di Luar Negeri
200
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
BAB IX
PPh PASAL 4 AYAT 2
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu memahami Pengenaan PPh Final atas :
1. Bunga Deposito dan Tabungan
2. Hadiah Undian
3. Sewa Tanah dan/atau Bangunan
4. Pengalihan Hak atas Tanah dan bangunan
5. Revaluasi Aktiva Tetap
6. Penjualan Saham di Bursa Efek
7. Bunga koperasi
8. Bunga dan Diskonto Obligasi yang Dijual di Bursa Efek
9. Penjualan Saham Milik Perusahaan Modal Ventura
10. Jasa Konstruksi
PENDAHULUAN
PPh Pasal 4 Ayat (2) adalah pajak yang diatur khusus dengan Peraturan Pemerintah. Dalam UU
No. 36 Tahun 2008 disebutkan penghasilan yang dapat dikenai pajak yang bersifat final, diantaranya:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dengan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
nagara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan
di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan ventura;
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Dilihat dari jenis transaksi yang diatur, PPh Pasal 4 ayat (2) sifatnya sama dengan PPh Pasal 23.
Keduanya dikenakan atas passive income dan pembayaran jasa. Perbedaan mendasar antara keduanya
adalah sifat final pada PPh Pasal 4 ayat (2) dan tidak final pada PPh Pasal 23.
A. BUNGA DEPOSITO/TABUNGAN
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final ( PP 131 2000 jo PP 123 2015)
Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud adalah bunga
yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui
bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia. Dengan memperhatikan perkembangan moneter, Menteri Keuangan dapat
menetapkan pengenaan Pajak Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia selain
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan di atas.
Pengenaan PPh ini tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh
penghasilannya dalam 1 (satu) tahun Pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat
Bank lndonesia adalah sebagai berikut:
a. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
b. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak
luar negeri.
c. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya bersumber
dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 1
(satu) bulan;
2. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka
waktu 3 (tiga) bulan;
3. Tarif 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka
waktu 6 (enam) bulan; dan
4. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu lebih
dari 6 (enam) bulan.
D. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa
Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka
waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga)
bulan; dan
3. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam)
bulan atau lebih dari 6 (enam) bulan.
202
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-
pecah;
b. bunga data diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia;
c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat
sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk
dihuni sendiri.
B. HADIAH UNDIAN
Penghasilan atas hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% dari penghasilan bruto dan bersifat
final (PP No. 132 tahun 2000). Hadiah selain undian (perlombaan, penghargaan dan lain-lain)
dikenakan PPh Pasal 23 jika diterima oleh Badan dan dikenakan PPh Pasal 21 jika diterima oleh
Orang Pribadi.
Orang Pribadi yang bertindak sebagai penyewa tanah dan/atau bangunan, bukan sebagai
pemotong pajak kecuali Orang Pribadi yang ditunjuk berdasarkan KEP-50/PJ./1996, yaitu:
a. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT
tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan;
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut wajib memotong Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
Contoh Kasus:
Notaris Suherman, S.H telah mendapat surat penunjukan sebagai pemotong Pajak. Dalam tahun
2017 menyewa gedung untuk kantor senilai Rp 50.000.000,- Berapakah PPh yang harus
dipotong?
Bagaimana cara penyetoran dan pelaporannya ?
Jawab:
PPh yang harus dipotong sebesar 10% X Rp 50.000.000,- = Rp 5.000.000,- Notaris Suherman, S.H
harus menyetorkannya dengan SSP dengan nama dan NPWP Notaris Suherman, S.H paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Notaris Suherman, S.H membuat Bukti Pemotongan PPh Final sewa tanah dan atau bangunan
sebanyak 3 lembar (untuk penerima pembayaran, KPP, dan arsip Notaris Suherman, S.H).
Pelaporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dengan menyerahkan:
1. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)
2. SSP lembar ke-3
3. Daftar Bukti Potong
4. Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong tidak dapat dikreditkan karena pemotongannya bersifat final.
Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud adalah nilai yang tertinggi antara nilai
berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, kecuali:
a. dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan
pejabat yang bersangkutan;
b. dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908
Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang
tersebut.
Rumah Sederhana sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan
Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Rumah Susun Sederhana sebagaimana dimaksud di atas adalah bangunan bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang
dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah
dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah sebagaimana
disebut di atas
c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
b. Aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah
memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun
maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10% (sepuluh
persen).
G. BUNGA KOPERASI
Pajak penghasilan atas bunga koperasi di atur dalam PP No 15 tahun 2009. Bunga simpanan
anggota koperasi wajib dipotong PPh final pada saat pembayaran dengan tarif :
- 0% untuk penghasilan bunga simpanan sampai dengan 240.000 per bulan
- 10% dari jumlah bruto bunga simpanan lebih dari 240.000 per bulan
206
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
J. JASA KONSTRUKSI
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PP
No 51 Tahun 2008 jo PP 40 Tahun 2009)
Berdasarkan PP NO. 51 tahun 2008 tarif atas jasa konstruksi atas pelaksanaan, perencanaan atau
pengawan ditentukan berdasarkan kualifikasi usahanya, apakah memiliki kualifikasi usaha atau tidak
memiliki kualifikasi usaha. Tetapi pada PP 40 Tahun 2009, mengatur bahwa tarif pajak atas konstruksi
hanya dibedakan atas pelaksanaan, perencanaan dan pengawasan atas usaha jasa konstri tersebut.
Berikut adalah tarif pajak atas usaha jasa konstruksi sebelum tahun 2009 :
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi berdasarkan setelah Tahun 2009 adalahsebagai
berikut:
a. 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan
konstruksi;
b. 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi; atau
c. 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan
konstruksi.
Sebelumnya tarif atas jasa konstruksi diatur dalam PP No. 51 Tahun 2008 adalah sebagai
berikut :
208
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
f. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
g. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha;
h. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
i. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
j. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan tersebut tidak
termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final,
dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-
Undang PPh atau sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Terkait dengan Pajak Penghasilan atas jasa konsntruksi di atur sebagai berikut:
1. Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai
Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah
dipotong atau disetor sendiri, selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
2. Dalam hal Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas
Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan
yang bersifat final, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut
dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih.
3. Piutang yang tidak dapat ditagih merupakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh.
4. Dalam hal piutang yang, nyata-nyata tidak dapat ditagih, dapat ditagih kembali, tetap
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
5. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh.
6. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa Konstruksi
dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh.
7. Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk dalam
perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
8. Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.
1. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
2. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau
pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal,
dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan
atau bentuk fisik lain.
3. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli
yangprofesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam
bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
4. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli
yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan
kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk
fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi
layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering,
procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design
and build).
5. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli
yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan
pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
6. Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang memerlukan
layanan jasa konstruksi.
7. Penyedia Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana
konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
8. Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara
keseluruhan.
Catatan:
210
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
BAB X
PPh PASAL 15
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami Pengertian Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
2. Memahami Pengertian Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri
3. Memahami Pengertian Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
4. Memahami Pengertian Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
PENDAHULUAN
PPh Pasal 15 adalah PPh yang dihitung dengan norma penghitungan khusus untuk Wajib Pajak
tertentu. Penghitungan Pajak WP Tertentu tersebut tidak mengikuti ketentuan seperti biasa yaitu tarif
pasal 17 dikalikan Penghasilan Kena Pajak tetapi pajaknya dihitung dengan tarif efektif tertentu dari
penghasilan bruto.
Penghasilan Bruto WP Pelayaran dan atau Penerbangan LN adalah semua nilai pengganti dari
pengangkutan orang dan atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia
dan atau dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. Penghasilan tersebut tidak termasuk
penggantian yang diterima atau diperoleh dari pengangkutan orang dan atau barang dari pelabuhan di
luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.
Contoh Kasus 1:
PT. AL-NUSA mencarter pesawat PAN ASIA Airlines, sebuah maskapai penerbangan internasional
untuk mengangkut barang. Ongkos carter sebesar Rp. 100.000.000,-. Bagaimana pemotongan pajaknya?
Jawab:
PT. AL-NUSA memotong PPh pasal 15 sebesar 2,64% X Rp. 100.000.000,- sama dengan Rp. 2.640.000,-
pada saat membayar ongkos carter.
Bentuk formulir Bukti Potong dan SPT Masa Pasal 15 dapat dilihat dalam lampiran PER-53/PJ./2009 jo
PER-01/PJ/2015 jo PER-14/PJ/2015. Apabila customer PAN ASIA Airlines tidak memotong PPh maka
PAN ASIA Airlines wajib menyetor sendiri dengan SSP Final paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
dan melaporkannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
212
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Contoh:
PT. AL-NUSA mencarter pesawat PAN RAJAWALI LINES, sebuah maskapai penerbangan nasional
untuk mengangkut barang. Ongkos carter sebesar Rp 100.000.000. Bagaimana pemotongan pajaknya?
Jawab:
PT. AL-NUSA memotong PPh pasal 15 sebesar 1,8 % X Rp 100.000.000,- sama dengan Rp. 1.800.000,-
pada saat membayar ongkos carter.
Cara penyetoran dan pelaporannya sama seperti contoh kasus 1 tetapi PPh Pasal 15 bagi perusahaan
penerbangan dalam negeri hanya khusus untuk jasa charter.
PERUSAHAAN PELAYARAN DALAM NEGERI
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 jo SE-32/PJ.43/1998, norma
perhitungan khusus penghasilan neto atas pelayaran dalam negeri adalah 4% dari penghasilan bruto.
Besarnya tarif efektif yang berlaku adalah 1,2% FINAL dari penghasilan bruto dengan perhitungan :
Norma penghasilan neto =4%
Tarif PPh (maksimal) = 30 %
Jumlah PPh pasal 15 (6% x 30%) = 1,2 %
Penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri yang dikenakan PPh meliputi seluruh penghasilan dari
pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari:
· Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia
· Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia
· Pelabuhan dari luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia
· Pelabuhan dari luar Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia
Contoh:
PT. AL-NUSA mencarter kapal PAN DAENG LINES, sebuah maskapai pelayaran nasional untuk mengangkut
barang. Ongkos carter sebesar Rp. 100.000.000,-. Bagaimana pemotongan pajaknya?
Jawab:
PT. AL-NUSA memotong PPh Pasal 15 sebesar 1,2 % x Rp. 100.000.000,- sama dengan Rp 1.200.000,- pada
saat membayar ongkos carter.
Cara penyetoran dan pelaporannya sama seperti contoh kasus 1.
Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia adalah 1% dari Nilai Ekspor Bruto.
Tarif efektif yang berlaku adalah 0,44% FINAL dari Nilai Ekspor Bruto. Perhitungan tarif efektif:
Norma penghasilan neto = 1%
Tarif PPh (maksimal) = 30%
Jumlah PPh pasal 17 (1% x 30%) = 0,3%
Laba setelah PPh pasal 17 (1 – 0,3%) = 0,7%
Tarif PPh pasal 26 (4) (maksimal) = 20%
Jumlah PPh pasal 26 (4) (0,7% x 20%) = 0,14%
Tarif efektif (0,3% + 0,14%) = 0,44%
Nilai ekspor bruto adalah semua nilai penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh WPLN
yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau
badan di Indonesia.
Contoh:
ALZHEIMER Gmbh adalah produsen mesin presisi. Untuk meningkatkan penjualan ekspor mesin presisi di
Indonesia ALZHEIMER Gmbh mendirikan Kantor Perwakilan Dagang. BUT Kantor Perwakilan Dagang
telah terdaftar di KPP Badora. Selama bulan Januari tahun 2017 nilai ekspor bruto ALZHEIMER Gmbh
sebesar Rp 1.000.000.000,-. Berapakah PPh Pasal 15 yang harus disetor? Bagaimana cara penyetorannya?
Jawab:
PPh Pasal 15 bulan Januari 2017 ALZHEIMER Gmbh dihitung sebesar:
= 0,44 % X Rp 1.000.000.000,-.
= Rp 4.400.000,-
PPh Pasal 15 tersebut disetorkan ke bank persepsi dengan SSP Final paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya dan dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
214
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
BAB XI
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami prosesSKB PPh 21, 22, PPh 22 Impor dan 23
2. Memahami prosesSKB atas bunga yang diterima oleh Dana Pensiun
PENDAHULUAN
Kita telah mengetahui 2 sifat pemotongan PPh yaitu Final dan Tidak Final. Bagi WP yang dipotong PPh
tidak final, pemotongan PPh merupakan pembayaran pajak dimuka. Itu berarti terdapat sejumlah kas
yang tertanam tanpa menghasilkan return. Apabila pada akhir tahun WP benar-benar kurang bayar
maka pajak dibayar dimuka tersebut akan bermanfaat. Tetapi jika pada akhir tahun WP mengalami
kerugian maka pajak dibayar dimuka akan menyebabkan PPh Lebih Transport beban pajak menjadi
tidak efisien.
Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan Pemungutan PPh merupakan salah satu fasilitas pajak
yang disediakan bagi pemerintah. SKB ini hanya diberikan hanya untuk pemotongan PPh yang bersifat
tidak final. Walaupun demikian Wajib Pajak yang jeli, benar-benar beriktikad baik serta memenuhi
syarat untuk diberikan SKB dapat memanfaatkan fasilitas ini untuk mengefisienkan kewajiban
pajaknya.
Prosedur pemberian SKB PPh Pemotongan/Pemungutan dibedakan antara pemberian SKB selain PPh
Pasal 22 Impor, SKB PPh Pasal 22 impor dan SKB atas bunga yang diterima oleh Dana Pensiun.
Ketentuan tersebut diatur dalam Per-32/PJ/2013untuk SKB selain PPh Pasal 22 Impor dan Per
1/PJ/2013 untuk SKB bunga yang diterima oleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
216
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas
diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan
kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
a. menunjukkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1);
b. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkanPeraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau
pemungut berupa Surat Setoran Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas:
1. impor;
2. pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
3. pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri
otomotif dan industri farmasi;
4. pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri;
c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan
nilai transaksi pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 Undang-Undang KUP.
Fotokopi Surat Keterangan Bebas yang akan dilegalisasi diajukan dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. satu lembar untuk Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban
Surat Pemberitahuan Tahunan;
b. satu lembar untuk diserahkan Wajib Pajak kepada Wajib Pajak pemotong dan/atau
pemungut;
c. satu lembar untuk diserahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong
dan/atau pemungut terdaftar
Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja sejak
permohonan legalisasi diterima lengkap diberikan apabila persyaratan pengajuannya terpenuhi.
apapun dari SBI dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Pengecualian pemotongan Pajak
Penghasilan tersebut diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak Penghasilan
atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI (SKB) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan
Pajak tempat dana pensiun terdaftar sebagai Wajib Pajak. Atas bunga yang diterima atau diperoleh
dana pensiun harus dimasukkan ke dalam rekening dana pensiun yang bersangkutan.
Permohonan SKB diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat dana
pensiun terdaftar sebagai Wajib Pajak dan harus ditandatangani oleh pengurus yang berkompeten dari dana
pensiun yang bersangkutan dengan menggunakan Formulir Permohonan SKB sesuai dengan Per 01/PJ/2013
dilampiri:
a. fotokopi Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengesahan Pendirian Dana Pensiun;
b. fotokopi Neraca;
c. fotokopi Laporan Sisa Hasil Usaha (Laporan Laba Rugi);
d. fotokopi Laporan Arus Kas dan Bank;
e. fotokopi Laporan Investasi; dan
f. daftar sertifikat/bilyet/buku deposito, tabungan, dan SBI.
Dalam hal permohonan SKB ditandatangani oleh selain pengurus yang berkompeten dari dana pensiun yang
bersangkutan, maka harus dilengkapi dengan Surat Kuasa Khusus yang dibubuhi meterai cukup. Pengurus
yang berkompeten dari dana pensiun adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum dan
tata cara perpajakan.
Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam mata uang
rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada
atau diterbitkan oleh bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah.
218
Pph Pasal 21,22,23,26,15 dan 4(2)
Nomor :
............................
...............
Hal : Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh bagi
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
KepadaYth.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
.........................................
Berkenaan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor........................ tentang Tata Cara
Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai
Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu, dengani ni:
NamaWajibPajak : .........................................................................................
NPWP : ,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Alamat : .........................................................................................
Mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau
Pemungutan PPh Pasal ..................................................... 1) karena memenuhi kriteria sebagai
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
Untuk kelengkapan permohonan SKB, bersama ini kami sampaikan Surat Pernyataan Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.2)
.........., ...................20......
3)
Pemohon,
(......................................)
1) diisi sesuai dengan jenis pajak (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor atau Pasal 23)
2) syarat khusus untuk Wajib Pajak yang baru terdaftar dalam Tahun Pajak yang sama dengan
Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas.
3) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak
SURAT PERNYATAAN WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU BERDASARKAN
PERATURANPEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2018
Nama : ................................................................................
NPWP : ,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Alamat : ................................................................................
Nama : ................................................................................2)
NPWP : ,,,,,,,,,,,,,,,,,,3)
Alamat : ................................................................................4)
Dengan ini menyatakan dengans esungguhnya bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau
diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Apabila dikemudian hari ditemukan bahwa pernyataan ini tidak benar,saya bersedia diberikan sanksi
sesuai ketentuan yang berlaku.
.........., .................20.......
Yang membuat pernyataan,5)
Meterai
Rp6.000,-
(......................................)
NOMOR : ...............................
TANGGAL : ...............................
Dibebaskan dari pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21/22/231) , karena memenuhi kriteria sebagai
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2018.
Surat Keterangan Bebas ini berlaku sejak diterbitkan sampai dengan tanggal.................................... 2)
....................20.......
a.n.Direktur Jenderal Pajak
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..........................................
(........................................)
NIP.
DIGUNAKANSAAT PENGAJUANPERMOHONANLEGALISASISKB
Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang
tela
139