Anda di halaman 1dari 13

Pemajakan atas Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dan Orang Asing

yang bekerja di Indonesia

Disusun Oleh :

Feby Meliana 1801035134

S1 Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Mulawarman

2021

PENDAHULUAN

1
1.1. Latar Belakang Masalah

Perdagangan internasional dapat memberikan manfaat ekonomi timbal balik antar dia
negara, mislnya pemerintah terhadap suatu produk atau komoditas dari luar negeri dapat
meningkatkan atau mengoptimalkan produktivitas, kesempatan kerja, dan penghasilan bruto
kedua negara.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan
menerima upah. Pada sisi lain seperti yang dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa untuk
menggambarkan masyarakat Indonesia tidak ada yang lebih bagus dan tepat selain dengan
mengatakan bahwa masyarakat itu sedang berubah secara cepat dan cukup mendasar.
Indonesia adalah masyarakat yang tengah mengalami transformasi struktural yaitu dari
masyarakat yang berbasis pertanian ke basisindustri. Perubahan tersebut mengalami
akselerasi, yaitu sejak penggunaan teknologi makin menjadi modus andalan untuk
menyelesaikan permasalahan.

Kebijakan dan program pemerintah mengenai penempatan Tenaga Kerja Indonesia


(TKI) ke luar negeri merupakan salah satu solusi untuk mengurangi tingkat pengangguran di
tanah air, dengan memanfaatkan kesempatan kerja di luar negeri, TKI tidak saja mendapatkan
penghasilan yang cukup besar, tetapi juga ikut menyumbang devisa bagi negara
Indonesia.Banyak TKI yang sudah berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang pada mulanya ingin
bekerja untuk membebaskan diri dan keluarganya dari jeratan kemiskinan mengalami
penganiayaan dan perkosaan oleh majikan dan tindakan tidak semena-mena oleh sebagian
perusahaan jasa tenaga kerja swasta (Hugo, 2002).

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, salah satu upaya yang dilakukan


pemerintah adalah menarik investasi Asing ke Indonesia. Selain membawa modal, keahlian
dan teknologi, investasi asing juga dapat menyerap tenaga kerja baik tenaga kerja lokal
maupun tenaga kerja asing atau yang kita kenal dengan ekspatriat.

Dari sudut pandang perpajakan, investasi asing tidak hanya meningkatkan penerimaan
negara dari Pajak Penghasilan Badan, namun peningkatan penerimaan negara juga dapat

2
berasal dari PPh Orang Pribadi, khususnya penghasilan ekspatriat yang umumnya jauh lebih
tinggi dari tenaga kerja lokal.Dalam perkembangan sekarang ini, maraknya Tenaga Kerja
Asing (TKA) khususnya yang berasal dari China yang masuk ke Indonesia menimbulkan
persoalan terkait aktivitas mereka selama berada di wilayah Indonesia.

Bahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly
menegaskan bahwa isu serbuan 10 juta TKA asal China tidak benar, karena jumlah TKA
asal China yang tercatat di Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker)
Republik Indonesia hanya berjumlah 21 ribu dari keseluruhan TKA di Indonesia yang
berada di kisaran angka 70 ribuan. Sedangkan terkait data yang tercatat di
Keimigrasian dimana terdapat 31 ribu TKA China, semua itu lantaran imigrasi turut
mencatat seluruh perlintasan para TKA China tersebut. Namun Kapolri Jenderal Tito
Karnavian mengatakan bahwa isu TKA tidak berizin asal China sudah selesai dan
sudah diklarifikasi oleh pihak kementerian dan instansi terkait sehingga tidak
perlu dikhawatirkan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Pemajakan atas Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dan
2. Orang Asing yang bekerja di Indonesia

1.3. Tujuan Pembahasan


1. Untuk mengetahui Pemajakan atas Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar
negeri dan
2. Orang Asing yang bekerja di Indonesia

PEMBAHASAN

3
2.1. Definisi Pemajakan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor PER-2/PJ/2009


mendefinisikan Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara
Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Pekerja Indonesia di Luar Negeri tersebut adalah Subjek
Pajak Luar Negeri.

Subjek Pajak Dalam Negeri adalah: orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Subjek Pajak Luar Negeri adalah:

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.

2.2. Dasar- dasar Hukum Pemajakan

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sttd Undang-Undang No. 16 Tahun 2009
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sttd UU No 36
Tahun 2008

4
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan
Kegiatan Orang Pribadi
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2009 Tentang Perlakuan Pajak
Penghasilan Bagi Pekerja Indonesia Di Luar Negeri

2.3. Objek Penghasilan

Penghasilan dari TKI dapat dikelompokkan menjadi:

a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan
d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah 

2.4. Hak Pemajakan TKI di Luar Negeri

 Hak atas kelebihan pembayaran pajak


 Hak ketika dilakukan pemeriksaan
 Hak mengajukan Keberatan, Banding, Gugatan dan Peninjauan Kembali
 Hak atas kerahasiaan data wajib pajak
 Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak
 Hak untuk menunda pelaporan SPT

2.5. Kewajiban TKI di Luar Negeri

 Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP


 Melakukan pencatatan penghasilan
 Menyimpan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan
 MelaporkanSPT Tahunan
2.6. Dasar Pengenaan Pajak TKI di luar negeri

5
 Secara umum Dasar Pengenaan Pajak TKI dengan statusnya sebagai SPDN atas
penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium adalah penghasilan neto sesuai dengan ketentuan PPh.
 Untuk menghitung pajak atas keseluruhan penghasilan yang diperoleh TKI, pajak
yang dipotong di luar negeri dapat menjadi pengurang atau kredit pajak dengan
penghitungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.
 Untuk Dasar Pengenaan Pajak TKI dengan statusnya sebagai SPLN yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia adalah penghasilan bruto sesuai dengan Pasal 26 UU PPh.

2.7. Pemajakan atas Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri

a. TKI Bekerja Di Luar Negeri Lebih Dari 183 Hari


Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-2/PJ/2009, pekerja Indonesia
yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga penghasilan yang diterima di luar
negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, maka ia tidak dikenai lagi pajak di
Indonesia. Namun bila pekerja Indonesia di luar negeri menerima penghasilan di
Indonesia maka atas penghasilan tersebut dikenai pajak penghasilan sesuai ketentuan
yang berlaku.
b. TKI Bekerja Di Luar Negeri Tidak Lebih Dari 183 Hari
Tenaga kerja Indonesia bekerja di luar negeri kurang dari 183 hari, maka
statusnya masih sebagai wajib pajak dalam negeri. Wajib pajak tersebut akan
dikenakan pajak menggunakan prinsip world wide income.

2.8. Contoh Kasus

a) Amir adalah Warga Negara Indonesia. Dia bekerja di Jepang lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan. Penghasilannya hanya bersumber dari pekerjaannya di
Jepang saja. Dari penghasilannya di Jepang, Amir juga sudah dikenakan dan dipotong
pajak di sana. Dari kasus tersebut, Amir sudah bukan lagi termasuk Subjek Pajak
Dalam Negeri,dengan begitu Amir sudah tidak dikenakan pajak penghasilan lagi di
Indonesia dan tidak lagi perlu melaporkan SPT Tahunannya.
b) Temon adalah Warga Negara Indonesia. Dia bekerja di Turki lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan. Dari penghasilannya di Turki, Temon juga sudah
dikenakan dan dipotong pajak di sana. Sedangkan di Indonesia Temon juga
6
memperoleh penghasilan dari ruko yang dia sewakan. Dari kasus tersebut, Temon
dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri. Temon tidak memiliki kewajiban
melaporkan SPT Tahunan PPh. Namun, atas penghasilan sewa ruko tersebut,
penyewa harus memotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari penghasilan sewa.
c) Pada tahun 2017, Tuan Suparjan (laki-laki, menikah, 3 anak) bekerja sebagai
konsultan konstruksi di Singapura selama 3 bulan. Penghasilan neto yang diterimanya
dari Singapura sebesar Rp50.000.000 dan telah dipotong pajaknya sebesar
Rp5.000.000. Selain itu, Tuan Suparjan juga bekerja sebagai pegawai tetap pada PT
Wijaya Konstruksi di Indonesia. Penghasilan neto yang diterimanya dari PT Wijaya
Konstruksi selama tahun 2017 sebesar Rp150.000.000 dan telah dipotong pajaknya
sebesar Rp6.700.000. Dalam kasus ini, Tuan Suparjan masih berstatus sebagai Wajib
Pajak Dalam Negeri karena beliau bekerja di luar negeri kurang dari 183 hari dalam
waktu 12 bulan. Berikut adalah :perhitungan pajak penghasilan yang harus dilaporkan
dalam SPT Tahunan Tuan Suparjan

PPh Terutang:    
5% x Rp50.000.000 = Rp  2.500.000  
15% x Rp78.000.000 = Rp11.700.000  
  Penghasilan Neto dari Singapura   Rp14.200.000
50.000.000
KreditPenghasilan
Pajak: Neto Dalam Negeri    
150.000.000
PPh Pasal 21 = Rp  6.700.000  
Penghasilan Neto 200.000.000
PPh Pasal 24    
PTKP (K/3) (72.000.000)
Rp  50.000.000   x Rp14.200.000 = Rp  3.550.000 (Rp10.250.000)
Penghasilan Kena Pajak
Rp200.000.000   128.000.000
 
     
PPh Kurang Dibayar   Rp   3.950.000
(harus disetor sendiri oleh Tuan Suparjan)    
Catatan

Dari penghitungan tersebut di atas kredit pajak luar negeri sesuai dengan UU PPh
Pasal 24 yang diperbolehkan adalah sebesar Rp3.950.000, bukan sebesar Rp5.000.000
sebagaimana yang telah dipotong di Singapura. Jumlah ini diperoleh dengan
membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh
yang terutang atau dibayar di luar negeri, kemudian dipilih jumlah yang terendah.

2.9. Pemajakan atas Orang Asing (Ekspatriat)

7
a) Orang Asing Berstatus Subjek Pajak Luar Negeri
Orang asing/ekspatriat akan dianggap sebagai subjek pajak di luar negeri meskipun
tidak bertempat tinggal di Indonesia, dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183
haridalam jangka waktu 12 bulan. Ekspatriat asing sebagai subjek pajak luar negeri
sekaligus menjadi wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan
yang bersumber di Indonesia.
Sesuai pasal 26 UU PPh, pemotongan yang dilakukan oleh pemotong pajak, yaitu
pihak yang melakukan pembayaran atas penghasilan tersebut (pemberi kerja), berupa
pajak penghasilan yang dipotong sebesar 20% dari jumlah bruto.
Adapun penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh 26 adalah sebagai berikut:
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan, sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
c. Royalty, sewa dan penghasilan lain, sehubungan dengan pengunaan harta
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan
e. Hadiah dan penghargaan
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
h. Keuntungan karena pembebasan utang

Pajak yang dipotong tersebut bersifat final. Ekspatriat dengan status wajib pajak luar
negeri tidak punya kewajiban memiliki NPWP dan tidak punya kewajiban
melaporkan SPT.

b) Orang Asing Berstatus Subjek Pajak Dalam Negeri


Orang asing akan dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri apabila bertempat
tinggal di Indonesia dan berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia. Kewajiban memiliki NPWP ini berlaku sama bagi
orang asing yang berstatus sebagai subjek pajak dalam negeri. Penghasilan yang
menjadi objek pajak tunduk pada ketentuan pasal 4 UU PPh, bahwa setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sumber penghasilan dikelompokkan
sebagai berikut:

8
a. Penghasialan dari pekerjaan dalam hubungan kerja seperti gaji, tunjangan,
honorium, dan sebagainya.
b. Penghasilan dari pekerjaan bebas seperti penghasilan dari praktik dokter,
notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.
c. Penghasilan dari uasaha dan kegiatan, yang terdiri atas usaha dagangan jasa,
industry serta lainnya seperti peternakan, pertanian, perikanan, dan
sebagainya.
d. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalty, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak
yang tidak dipergunakan untuk usaha.
e. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Untuk ekspatriat yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, maka
perhitungan penghasilannya bisa melalui dua pendekatan, yaitu dihitung dengan
menggunakan norma penghasilan netto atau dihitung dari pembukuan.

Norma penghasilan netto adalah suatu persentase tertentu yang sudah ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak, dan digunakan untuk menentukan penghasilan netto dari
wajib pajak. Penghasilan netto dihitung dengan mengalikan penghasilan bruto dan
persentase norma penghasilan netto tersebut. Wajib pajak yang boleh menggunakan
norma penghitungan adalah orang pribadi yang memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Peredaran bruto dalam 1 tahun tidak mencapai Rp. 4.800.000.000


2. Memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama
dari tahun buku.
3. Menyelenggarakan pencatatan.

Bagi wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan, apabila setelah pengurangan


penghasilan bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya, berturut-turut samapai dengan 5 tahun.

Beberapa jenis penghasilannya sesuai ketentuan UU PPh, dilakukan pemotongan atau


pemungutan PPh oleh pihak ketiga atau dilakukan pelunasan oleh wajib pajak sendiri,
baik yang bersifat final maupun tidak final, diantaranya ialah sebagai berikut:

1. PPh pasal 4 ayat (2) bersifat final

9
Penghasialn yang dikenakan PPh final antara lain:

a. Deviden dengan tarif 10% dari jumlah bruto.


b. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi, dan
surat utang negara dengan tariff 20% dari jumlah bruto bunga.
c. Penghasilan berupa hadiah undian, dengan tariff 25% dari jumlah bruto
hadiah.
d. Penghasilan dari transaksi saham di bursa efek dengan tarif 0,1% x nilai
transaksi, dan tambahan 0,5% untuk saham pendiri.
e. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
dengan tariff 5% dari nilai mana yang lebih tinggi antara harga jual dan nilai
jual objek pajak menurut data PBB.
f. Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, dengan tariff 10% dari
penghasilan bruto.
2. PPh pasal 22

PPh pasal 22 dikenakan anatara lain sebagai berikut:

a. Pembelian barang oleh bendaharawan dan BUMN/BUMD sebesar 1,5% dari


harga pembelian.
b. Pembelian bahan-bahan berupa hasil perhutanan, perkebuanan, pertanian, dan
perikanan, untuk keperluan industry dan ekspor dari pedagang pengumpul
sebesar 0,5% dan harga pembelian (tidak termasuk PPN)
3. PPh pasal 23

PPh pasal 23 dikenakan antara lain sebagai berikut:

a. Bunga, tarif 15% dari jumlah bruto.


b. Royalty, tarif 15% dari jumlah bruto.
c. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh
pasal 21, tarif 15% dari jumlah bruto.
d. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain, sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai PPh final pasal 4 (2), ariff 15% dari jumlah bruto.

10
e. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21, tarif 15% dari jumlah
bruto.

Pada akhir tahun pajak, ekspatriat yang berstatus sebagai wajib pajak dalam negeri,
harus menghitung PPh kurang bayar (PPh pasal 29) atau lebih bayar dan
menyampaikan SPT tahunan PPh orang pribadi. PPh kurang bayar atau lebih bayar
dihitung dengan mengurangi penghasilan kena pajak dan kredit pajak, baik yang
dipotong pihak lain maupun dibayar sendiri (PPh pasal 25).

2.10. Contoh Kasus :

Mr James sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan
PT Nusantara Abadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia
untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2016. Pada
tanggal 20 April 2016 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan)
bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2016.

Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status Mr James adalah tetap
sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut,
status Mr James berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam
negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2016. Selama bulan Januari sampai dengan
Maret 2016 atas penghasilan bruto Mr James telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal
26 oleh PT Nusantara Abadi.

Untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan Mr


James untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2016, Pajak Penghasilan Pasal 26
yang telah dipotong dan disetor PT Nusantara Abadi atas penghasilan Mr James
sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak Mr James sebagai
Wajib Pajak dalam negeri.

11
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban
subjektif dan objektif. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak
saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik
orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program
penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja
menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun
sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari
harapan.
Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras, dan upaya penanggulangan
kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada berbagai program penanggulangan

12
kemiskinan yang telah dijalankan selama ini. Berbagai upaya lain juga perlu dicoba,
dan salah satunya adalah pemanfaatan potensi uang yang dikirim oleh para tenaga
kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri (remitansi).

3.2. Saran
Demikian makalah yang saya buat guna untuk memenuhi tugas, pemakalah sadar
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu pemakalah
membutuhkan kritik dan saran yang mendukung guna untuk menujang makalah
pembuatan makalah yang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2018.V12.89-105

https://ortax.org/ortax/?mod=studi&page=show&id=132

https://futrinilasari17.blogspot.com/2015/05/pemajakan-atas-orang-asing-ekspatriat.html

https://www.pajak.go.id/id/tenaga-kerja-indonesia-di-luar-negeri

https://www.academia.edu/36364359/Makalah_TKI

13

Anda mungkin juga menyukai