Anda di halaman 1dari 11

RINGKASAN

PASAL 21 22 23 24

PASAL 21
Pengetian Pajak Penghasilan Pasal 21
PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan , jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan (Mardiasmo, 2018:
187
Menurut Diana Sari (2014:25) mendefinisikan PPh pasal 21 adalah Pajak penghasilan yang
harus dipotong oleh setiap pemberi kerja terhadap imbalan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, penghargaan, maaupun pembayaran lainnya, yang mereka bayar atau terutang kepada
orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan
orang pribadi tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 21 adalah pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima wajib pajak atas pekerjaan atau jasa dan kegiatan yang dilakukan.

Objek Pajak Penghasilan Pasal 21


Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah:

a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya, melewati
jangka waktu 2 tahun sejak pegawi berhenti bekerja.
d. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan;
e. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
Penghasilan sebagaimana tersebut di atas yang diterima atau diperoleh orang
pribadi subjek pajak dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh pasal
21. Sedangkan apabila diterima atau diperoleh orang pribadi subjek pajak luar negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh pasal 26 (Mardiasmo, 2018: 192-193).
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
Yang termasuk pemotong pajak PPh pasal 21 adalah:
a. Pemberi kerja, terdiri dari orang pribadi dan badan sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai
b. Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang
kas pada Pemerintah Pusat sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan.
c. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan
badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua.
d. Orang pribadi, yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan
yang membayar
e. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

Wajib Pajak Penghasilan Pasal 21


Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah pribadi yang merupakan:

a. Pegawai;
b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
termasuk ahli warisnya;
c. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan;
d. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan (Mardiasmo, 2018: 191).

Tidak Termasuk Wajib Pajak Penghasilan Pasal 21


Yang tidak termasuk dalam pengertian Penerimaan Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21:

a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
b. Pejabat perwakilan organisasi Internasional sebagaimana dimaksud dalam pasal
3 ayat (1) huruf c Undang-Undang pajak penghasilan, yang telah ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga Negaara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia (Mardiasmo, 2018: 192).

Penghasilan yang Dikecualikan dari Pengenaan PPh Pasal 21


Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah:

a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan


dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwal asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun
diberikan oleh wajib pajak atau pemerintah, yang diberikan wajib pajak yang
dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan pajak
penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau Iuran jaminan hari
tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara
sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja
d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima
oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keuangan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah

Tarif Pajak dan Penerapannya


1. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan kena pajak dari:
a. Pegawai tetap
PPh pasal 21 = (penghasilan netto - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh
= (penghasilan bruto - biaya jabatan - iuran pensiun dan iuran
THT/JHT yang dibayar sendiri - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh
b. Penerima pensiun berkala
PPh pasal 21 = (penghasilan netto - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh
= (penghasilan bruto - biaya pensiun - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh
c. Pegawai tidak tetap yang dibayar secara berkala
PPh pasal 21 = (penghasilan netto - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh

2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga
kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan
uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif
lapisan pertama pasal 17 UU PPh (5%) diterapkan atas:
a. Jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 450.000,00 atau
b. Jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah
penghasilan kumulatif dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp 450.000,00
Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp
10.200.000,00. PPh pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif pasal 17 UU PPh
atas jumlah penghasilan kena pajak yang disetahunkan

3. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas jumlah kumulatif dari:


a. Penghasilan kena pajak sebesar jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang
diterima atau diperoleh bukan pegawai (selain tenaga ahli), yang menerima
imbalan yang bersifat berkesinambungan yang memenuhi ketentuan:
1) Yang bersangkutan telah mempunyai NPWP
2) Hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh
pasal 21
3) Tidak memperoleh penghasilan lainnya
PPh pasal 21=(Penghasilan bruto - PTKP ) x tarif Ps 17 UU PPh
Apabila tidak memenuhi syarat tersebut, maka yang dijadikan dasar adalah
jumlah penghasilan bruto
PPh pasal 21 = Penghasilan bruto x tarif Ps 17 UU PPh
b. 50% dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris
PPh pasal 21 = (50% x Penghasilan bruto) x tarif Ps 17 UU PPh
c. Jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang
sama
PPh pasal 21 = Penghasilan bruto x tarif Ps 17 UU PPh

d. Jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau
imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai
PPh pasal 21 = Penghasilan bruto x tarif Ps 17 UU PPh
e. Jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program
pernsiun yang masih betstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan
PPh pasal 21 = Penghasilan bruto x tarif Ps 17 UU PPh

4. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas jumlah penghasilan bruto:


a. Untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat
berkesinambungan
b. Untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang
diterima oleh peserta kegiatan

5. Tarif PPh pasal 21 atas honorium atau imbalan lain dengan nama apapun yang
menjadi beban APBN atau APBD adalah sebagai berikut:
a. Sebesar 0% dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan I, Golongan II, anggota
TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan
pensiunannya;
b. Sebesar 5% dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama dan pensiunannya;
c. Sebesar 15% dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV,
anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan
Perwira Tinggi, dan pensiunannya (Mardiasmo, 2018: 195-197).

PASAL 22

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:

1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-


lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

Tarif PPh Pasal 22

1. Atas impor :
a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen)
dari nilai impor;
b. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
c. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5%
(satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final.
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5)
ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
a. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
b. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat
tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) ditetapkan sebesar 2,5 %
dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API
sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai
impor.
7. Atas Penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM.
8. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22

Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22

1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas
(SKB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai;
dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali,
dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya
paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-
benda pos.
Pemungut dan Objek PPh Pasal 22

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang
melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari
belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut
pada angka 4;
4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara
(PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank
BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN
maupun dari non APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri kertas,
industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar
minyak, gas, dan pelumas.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

PASAL 23

Pengertian PPh Pasal 23

PPh pasal 23 adalah Pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berasal dari modal, penyerahan
jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh. Pasal 21, yang dibayarkan
atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk Usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

Pemotong PPh Pasal 23


Pemotong PPh pasal 23 adalah Badan pemerintah, Subjek pajak badan dalam negeri,
Penyelenggara kegiatan, BUT, Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi
sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri tertentu: akuntan, arsitek, dokter, notaries, PPAT, kecuali
PPAT tersebut camat, pengacara dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas, usaha sewa.

Tarif dan Obyek PPh Pasal 23


Tarif dan objek pajak dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas: deviden, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21.
2. Sebesar 15% dari jumlah bruto (bersifat final) atas bumga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi.
3. Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas: sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan
tanah dan/ bangunan, imbalan sehubungan dengan jasa teknik, manajemen, konsultan hokum,
konsultan pajak dan jasa lain, selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.

Perkiraan Penghasilan Netto


Perkiraan penghasilan neto adalah perkiraan penghasilan yang digunakan sebagai dasar
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23. Penghasilan atas Sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilanlain sehubungan dengan
persewaan tanah dan bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus angkutan darat adalah
40%. Sedangkan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khususnya
angkutan darat adalah sebesar 20%.
Dibawah ini keputusan Direktorat Jenderal Pajak No.170/PI/2002 tanggal 28 Maret 2002
tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam pasal 23
ayat (1) huruf C UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No.17 tahun 2000.

Tarif PPh pasal 23 sebenarnya hanya satu yaitu 15% yang berbeda adalah dasar pengenaannya:
(1) 15% dari jumlah penghasilan bruto dan deviden, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang
dipotong PPh pasal 21, (2) 15% dari jumlah bruto atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi dan (3) 15% dari perkiraan penghasilan neto (lihat table diatas).
Bukan objek pajak: (1) penghasilan yang dibayar/ terutang kepada bank, (2) sewa yang
dibayarkan/ terutang sehubungan dengan leasing dengan hak opsi, (3) dividen/ bagian laba yang
diterima/ diperoleh PT sebagai wajib Pajak Dalam Negeri,koperasi, yayasan/ organisasi sejenis
yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia

PASAL 24

Pengertian Pajak Penghailan Pasal 24

PPh pasal 24 merupakan pajak yang terutang/dibayarkan Wajib Pajak Dalam Negeri
di luar negeri atas penghasilan yang diterima/ diperoleh dari luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap PPh yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam
negeri.Besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri tetapi tidak boleh melebihi perhitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-
undang ini

Ketentuan-ketentuan PPh pasal 24 menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor


640/KMK.04/1994

1. Wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas PKP yang berasal dari seluruh penghasilan
termasuk penghasilan yang diterima dari luar negeri.

2. Kerugian di luar negeri tidak dapat digabungkan dalam penghitungan Penghasilan Kena
Pajak.

3. Kerugian di dalam negeri dapat digabungkan dalam penghitungan Penghasilan Kena


Pajak.

4 Pajak atas penghasilan yang telah dibayarkan di luar negeri dapat dikreditkan terhadap
pajak penghasilan yang terutang di Indonesia.

5. Jumlah kredit pajak setinggi-tingginya sama dangan jumlah pajak yang dibayar di luar
negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak
yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, atau setinggi-tingginya sama dengan pajak
terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari
penghasilan luar negeri.

Cara Menentukan Sumber Penghasilan


Menurut Undang-undang nomor 17 tahun 2000 pasal 24 menyatakan bahwa dalam
menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan penentuan sumber penghasilan adalah
sebagai berikut :

1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lain adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham
atau sekuritas tersebut bertempat Kedudukan;

2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa bertempat
kedudukan atau berada.

3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak bergerak adalah negara
tempat harta tersebut terletak;

4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar/dibebani imbalan berternpat kedudukan atau berada.

5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat BUT tersebut menjalankan Kegiatan.

PPh Pasal 24 Yang Dapat Dikreditkan

Pajak penghasilan yang sudah dipotong di luar negeri dapat dikreditkan di dalam negerii
dengan ketentuan sebagai beriku::

Hanya pajak langsung dikerakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dari luar negeri,
Setinggi-tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak
boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri
terhadap penghasilan kena pajak (PKP) dikalikan dengan pajak terutang atas PKP, atau
setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas PKP dalam hal PKP lebih kecil dari
penghasilan luar negeri. Jika pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan
ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut
Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau
pengembalian itu dilakukan.

Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri
ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.

Indonesia menganut pengkreditan terbatas (Ordinary Credit Method),sehingga tidak


semua PPh yang terutang di luar negeri dapat dikreditkan terhadap seluruh penghasilan.
Besarnya kredii pajak yang boleh dikreditkan menurut metode ini adlah:

1. Setinggi-tingginya sarna dengan jumlah pajak yang dibayar di luar negen.


2. Jurnlah pada angka (1) tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan
antara penghasilan dari luar negeri dengan seluruh penghasilan kena pajak (PKP)
dikalikan dengan pajak terutang atas seluruh PKP.

3. Setinggi-tingginya sama dengan pajak terutang atas PKP dalam hal PKP lebih kecil dari
penghasilan di luar negeri.

Batas Makimum Kredit Pajak Luar Negeri Ata Penghailan (KPLN)

Jika penghasilan perusahaan lebih dari satu negara, maka penghitungan batas maksimum
kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara. Besarnya pajak yang boleh dikreditkan adalah
penjumlahan dari kredit maksimum yang boleh dikreditkan dari masing-masina negara.

Langkah pengerjaan:

1. Menghitung total penghasilan yang diperoleh.


2. Menghitung pajak terutang atas seluruh penghasilan.
3. Menghitung kredit pajak yang diperkenankan dengan tiga (3) perhitungan: (1) menghitung PPh
terutang di luar negeri. (2) menghitung PPh menurut perbandingan, (3) mercari nilai mana yang
Iebih rendah antara hitungan (1) dan (2) .
4. Menghitung kredit pajak atas analisis butir 3.

Kredit Pajak Luar Negeri Jika Ada Kerugian Di luar Negeri dan Dalam Negeri

Jika dari usaha-usaha di luar negeri ada satu atau lebih negara mengalami kerugian,
maka kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan pada total penghasilan, sehingga tidak
mempengaruhi total penghasilan yang didapat pada tahun yang bersangkutan.

Pengurangan atau pengembalian PPh Luar Negeri, jika terjadi pengurangan atau
pengembalian pajak terhadap penghasilan di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat
dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka
selisihnya dikreditkan pada PPh atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri pada
tahun dilakukannya pengurangan pengembalian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai