Anda di halaman 1dari 10

ASPEK PERPAJAKAN TERHADAP

EKSPATRIAT

DISUSUN OLEH :

ANTONIA KRISTIN ZEBUA

EA2011032

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PANDANARAN SEMARANG

T.A 2023/2024
I. PENDAHULUAN
Orang asing (ekspatriat) akan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri jika tidak
bertempat tinggal di Indonesia, berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Karyawan asing sebagai subjek
pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima /atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Sesuai dengan pasal 26 UU PPh mekanisme
pemenuhan kewajiban perpajakannya melalui pemotongan yang dilakukan oleh pemotong
pajak yaitu pihak yang melakukan pembayaran atas penghasilan tersebut (pemberi kerja).
Orang asing (ekspatriat) akan dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri apabila bertempat
tinggal di Indonesia/berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Sebagai subjek pajak dalam negeri
akan dikenakan pajak secara world wide income. Penghasilan akan terutang PPh tarif pasal
17 dari basis netto.
II. PEMBAHASAN
2.1 Orang Asing dengan Status Subjek Pajak Luar Negeri
Orang asing (ekspatriat) akan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri jika tidak
bertempat tinggal di Indonesia, berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Karyawan asing sebagai subjek
pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Sesuai dengan pasal 26 UU PPh mekanisme
pemenuhan kewajiban perpajakannya melalui pemotongan yang dilakukan oleh pemotong
pajak yaitu pihak yang melakukan pembayaran atas penghasilan tersebut (pemberi kerja).
Pajak penghasilan yang dipotong sebesar 20% dari jumlah bruto.

Dalam hal karyawan asing tersebut mempunyai surat keterangan domisili (SKD) dari
negara mitra P3B maka dikenakan tarif sesuai P3B. Adapun penghasilan yang menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut :

a. Dividen;

b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan


pengembalian utang;

c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e. Hadiah dan penghargaan;

2.2 Orang Asing dengan Status Subjek Pajak Dalam Negeri


Orang asing/ekspatriat akan dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri apabila
bertempat

tinggal di Indonesia, berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
atau dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia.

Sebagai wajib pajak dalam negeri, penghasilan yang dikenakan PPh akan menganut
prinsip world wide income. Artinya, penghasilan baik dari dalam dan luar negeri dengan
nama dan dalam bentuk apa pun akan dikenakan pajak dan dilaporkan di Indonesia.
1. Penghasilan dari Pekerjaan Dalam Hubungan Kerja (Karyawan)
Apabila seorang ekspatriat bekerja sebagai karyawan di Indonesia dengan status subjek
pajak dalam negeri maka atas pembayaran barupa gaji tunjangan honorium dilakukan
pemotongan pajak oleh pemberi kerja atau pihak yang membayarkan berdasarkan ketentuan
Pasal 21 UU PPh penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 berupa berikut ini:

a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur.

b. Penghasilan uang diterima atau diperoleh penerima pension secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya

c. Pensiun berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak pegawai berhenti bekerja.

d. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan

e. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorium, komisi, fee, dan imbalan
sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan sehubungan jasa yang
dilakukan

f. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan
imbalan sejenis dengan nama apa pun.

g. Penghasilan berupa honorium atau imbalan yang bersifat tidak tidak teratur yang diterima
atau diperoleh naggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap pada perusahaan yang sama.

h. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain bersifat
tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai.

i. Penghasilan berupa penarikan dana pension oleh peserta program pension yang masih
berstatus sebagai pegawai, dari dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
2. Penghasilan dari Usaha atau Pekerjaan Bebas
Untuk ekspatriat yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas perhitungan
penghasilannya bisa melalui dua pendekatan, yaitu dihitung dengan menggunakan norma
penghasilan neto atau dihitung dari pembukuan.

Norma penghasilan neto adalah suatu presentase tertentu yang sudah ditentukan oleh
Direktur Jendral Pajak yang digunakan untuk menentukan penghasilan neto dari wajib pajak.
Jadi, penghasilan neto dihitung dengan mengalikan penghasilan bruto dengan presentase
norma penghasilan neto tersebut. Besarnya presentase norma telah ditentukan Direktur
Jendral Pajak. Wajib pajak yang boleh menggunakan norma perhitungan adalah wajib pajak
orang pribadi yang memenuhi syarat berikut :

a. Peredaran bruto dalam 2 tahun tidak mencapai Rp 4.800.000.000

b. Memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun

c. Meyelenggarakan pencatatan

Jika wajib pajak tersebut tidak menyampaikan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak
seperti tersebut di atas, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Dalam hal wajib
pajak menghitung pengasilan neto menggunakan pembukuan maka penghasilan neto
ditentukan dari data-data pembukuan, dengan terlebih dahulu memperhatikan ketentuan
perpajakan, misalnya perlakuan biaya yang dapat dikurangkan dan biaya ang tidak dapat
dikurangkan.

Dalam menghitung penghasilan neto secara fiscal, wajib pajak diperbolehkan


mengurangkan biaya-biaya sebagai berikut :

a. Biaya yang secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha

b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 tahun.

c. Iuran kepada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan

d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing

f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan dilakukan di Indonesia

g. Biaya beasiswa, magang, dan penelitian

h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat tertentu.

i. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah

j. Biaya pembangunan infrastruktur social yang ketentuannya diatur dengan peraturan


pemerintah

k. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah.

3. Penghasilan Lainnya
Beberapa jenis penghasilan lainnya sesuai dengan ketentuan UU PPh dilakukan
pemotongan atau pemungutan PPh oleh pihak ketiga atau dilakukan oleh wajib pajak sendiri,
baik yang bersifat final maupun tidak final.

Beberapa penghasilan yang dikenai PPh Final diantaranya adalah :

a. Dividen

b. Bunga tabungan dan deposito

c. Hadiah undian

d. Penjualan saham di bursa

e. Pengalihan dan persewaan tanah dan bangunan

Terdapat beberapa jenis penghasilan menjadi objek pemotongan dan pemungutan PPh
Pasal 23. Seperti bunga, royalti, sewa, dan jasa-jasa tertentu.

4. Perhitungan PPh Kurang atau Lebih Bayar


Pada akhir tahun pajak ekspatriat dengan status wajib pajak dalam negeri harus
menghitung PPh kurang bayar (PPH Pasal 29) atau lebih bayar dan menyampaikan SPT
tahunan orang pribadi. PPh kurang bayar atau lebih bayar dihitung dengan menggunakan
penghasilan kena pajak dengan kredit pajak baik yang dipotong pihak lain maupun dibayar
sendiri (PPh Pasal 25).

Contoh :

Mr.John seorang ekspatriat sudah 5 tahun tinggal di Indonesia. Penghasilan selama tahun
2015 sebagai berikut :

a. Penghasilan dari luar negeri (Negara asal) Rp 50.000.000 dengan pajak yang telah dibayar
diluar negeri Rp 2.500.000

b. Penghasilan dari dalam negeri (Indonesia) terdiri atas penghasilan dari usaha atau
pekerjaan bebas Rp 150.000.000 dan sebagai karyawan Rp 100.000.000 dengan dipotong
PPH pasal 21 Rp 5.995.000

c. Selain itu, Mr.John mempunyai kredit pajak berupa PPh yang dipotong pihak lain, yaitu
PPh pasal 22 sebesar Rp 5.000.000 dan PPh pasal 23 sebesar Rp 10.000.000

d. Angsuran PPh pasal 25 yang sudah dibayar sendiri oleh Mr.John sebesar Rp. 5.000.000

Penghasilan neto dari luar negeri 50.000.000

Penghasilan neto dari dalam negeri:

-Dari usaha atau pekerjaan bebas 150.000.000

-Sebagai karyawan 100.000.000

-PPh Pasal 25 __ 5.000.000___

-Jumlah kredit pajak 28.495.000

-PPh kurang bayar (Pasal 29) 7.505.000

Perhitungan PPh kurang/lebih bayar sbb :

Dari contoh diatas Mr. John pada akhir tahun pajak, harus membayar PPh kurang
dibayar sebesar Rp. 7.505.000 dan melapokan pemenuhan kewajiban perpajakannya dalam
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.
5. Penentuan Kembali Besarnya penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dari Pemberi Kerja yang Mmemiliki Hubungan Istimewa
dengan Perusahaan Lain Yang tidak Didirikan dan Tidak Betempat Kedudukan di
Indonesia
Pasal 18 ayat (3d) UU PPh mengatur bahwa besarnya penghasilan yang diperoleh
wajib pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa
dengan perusahaan lain yang didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat
ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan
yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tersebut.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam mengenakan pajak penghasilan kepada ekspatriat harus melihat terlebih kondisi
subjek pajaknya. Kondisi subjek pajak menentukan dalam jenis pemotongan PPh yang
dikenakan. Untuk ekspatriat yang berstatus sebagai subjek pajak luar negeri maka dikenakan
PPh Pasal 26, sedangkan untuk ekspatriat yang berstatus sebagai subjek pajak dalam negeri
maka dikenakan PPh sesuai ketentuan perpajakan domestik yaitu UU PPh sesuai jenis
penghasilan yang diterima. Atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

3.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai