Anda di halaman 1dari 18

6

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Pajak


Pada saat ini penerimaan negara paling sentral adalah pajak. Sumbangan

pajak bagi anggaran pemerintah begitu besar sehingga pajak memiliki peran yang

begitu penting. Pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara

untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara. Ada beberapa definisi pajak yang

diungkapkan oleh para ahli, diantaranya : Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro,

S.H didalam buku Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak (2016:3)


Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.

Sedangkan definisi pajak menurut S.I Djajadiningrat didalam buku Indra Efendi

Rangkuti, dkk (2016:2)


Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas
negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut
peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak
ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara
kesejahteraan secara umum.

Dan definisi pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani didalam buku Dr. St. Dwiarso

Utomo, SE., M.Kom., Akt (2011:2)


Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(undang-undang) dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang
langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran - pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.

2.2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


2.2.1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
a. Menurut Supramono (2009: 125)
7

“Pajak pertambahan nilai merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di

dalam negeri (daerah pabean), baik konsumsi Barang Kena Pajak (BKP)

maupun Jasa Kena Pajak (JKP).”


b. Menurut Waluyo (2011: 9)
“Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas

konsumsi di dalam negeri (di dalam daerah pabean), baik konsumsi barang

maupun konsumsi jasa.”


c. Menurut Dr. St. Dwiarso Utomo, S.E., M.Kom., Akt (2011: 163)
“Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan

nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.”

2.2.2. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


2.2.2.1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
Undang-undang No. 8 Tahun 1983 mengatur tentang daerah pabean,

barang berwujud dan Barang Kena Pajak (BKP). Penyerahan Barang Kena Pajak

(BKP) dalam peraturan tentang PPN ini adalah penyerahan Barang Kena Pajak

(BKP) karena suatu perjanjian, pengalihan Barang Kena Pajak (BKP) karena suatu

perjanjian sewa beli (leasing) dan pengalihan hasil produksi dalam keadaan

bergerak.
Sedangkan yang dimaksud penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) meliputi

pemberian Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan

atau untuk kepentingan sendiri. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan

sebesar 10% dan tarif atas ekspor Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak

(JKP) sebesar 0% dengan ketentuan dapat diubah serendah-rendahnya menjadi 5%

dan setinggi-tingginya 15%.


Undang-undang ini mulai berlaku sejak 1 Januari 1984 bersamaan dengan

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan Indonesia serta Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak


8

Penghasilan. Namun dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini baru

disahkan pada 1 April 1985.

2.2.2.2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994

Sepuluh tahun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 Tahun

1983, lahirlah Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994. Beberapa poin penting dari

kebijakan ini adalah penjelasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai pajak tidak

langsung yang dihitung oleh penjual tetapi dibayar oleh orang lain (pembeli).

Selanjutnya, dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini menjelaskan

adanya sistem Multi Stage Tax sebagai pajak yang dikenakan secara bertingkat,

pada rantai produksi dan distribusi.

Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) sejak dari pabrik, pedagang besar sampai pengecer dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai (PPN). Peraturan ini juga mengatur mengenai indirect

subtraction/invoice method yaitu cara menghitung pajak dengan metode tidak

langsung terhadap pajak atas konsumsi dalam negeri sebagai pajak yang dikenakan

secara pasti terhadap barang konsumsi di Indonesia.

Undang-undang No. 11 Tahun 1994 ini juga membahas mengenai

consumption type VAT (jenis konsumsi PPN) sebagai pajak yang dipungut atas nilai

tambah, penerapan non cummulative tax yaitu sistem pengenaan pajak pada

barang/jasa yang telah dikenakan terhadap barang/jasa yang telah dikenakan pajak

daerah. Penerapan tarif tunggal 10% diberlakukan untuk pungutan Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak objektif sebagai pajak yang dikenakan atas

barang/jasa tanpa melihat orang/badan yang melakukan transaksi.


9

2.2.2.3. Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009

Undang-undang No. 42 tahun 2009 adalah perubahan ketiga atas undang-

undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan kata lain, peraturan ini merupakan

dasar hukum terbaru yang mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Undang-undang yang menjadi dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini

membahas sejumlah perubahan dari undang-undang sebelumnya seperti mengenai

status Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai pihak yang wajib menyetor dan

melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah (PPnBM) yang terutang, hingga kewajiban pengusaha kecil yang sudah

memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Berdasarkan peraturan ini, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas

penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) didalam daerah pabean yang dilakukan oleh

pengusaha, impor Barang Kena Pajak (BKP), penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP)

dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan Barang Kena

Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar daerah pabean didalam daerah pabean,

ekspor Barang Kena Pajak (BKP) berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP),

ekspor Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak

(PKP) dan ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Undang-undang No.42 tahun 2009 juga mengatur bahwa Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dibatalkan

(sebagian / atau seluruhnya) dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) terutang yang terjadi dalam masa pajak terjadinya pembatalan.

2.2.2.4. Dasar Hukum PPN: Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan


10

Peraturan mengenai pemungutan, penyetoran dan pelaporan Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) diatur melalui PMK No. 197/PMK.03/2013 yang juga

mengatur Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai pihak yang wajib melaporkan

pajaknya karena jumlah penjualan barang dan jasa yang sudah melebihi

Rp 4.800.000.000/tahun. Pelaporan dilakukan pada akhir bulan berikutnya setelah

jumlah penjualan berhasil melebihi Rp 4.800.000.000/tahun.

2.2.2.5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.81 Tahun 2015

Peraturan ini mengenai impor dan/atau penyerahan barang kena pajak

tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan

Nilai (PPN). Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 81 Tahun 2015 pasal 1 ayat

(2) tentang Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impornya

dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Peraturan Pemerintah RI

No. 81 Tahun 2015 pasal 2 ayat (2) tentang Barang Kena Pajak tertentu yang

bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai menyatakan bahwa barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha

dibidang kelautan dan perikanan, baik penangkapan maupun budidaya dibebaskan

dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

2.2.3. Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


2.2.3.1. Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Pihak-pihak yang mempunyai kewajiban memungut, menyetor, dan

melaporkan PPN terdiri atas:


1. Pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang kena

pajak/jasa kena pajak didalam daerah pabean dan melakukan ekspor barang

kena pajak berwujud/barang kena pajak tidak berwujud atau jasa kena pajak.
11

Berdasarkan undang-undang No. 42 Tahun 2009 pengusaha dikatakan sebagai

Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila jumlah peredaran dan/atau penerimaan

bruto perusahaan melebihi Rp 4.800.000.000 per tahun.


2. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena

pajak (PKP) dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010.

Pengusaha kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena

Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan jumlah peredaran bruto

dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 dalam setahun.

Pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

(PKP), selanjutnya wajib melaksanakan kewajiban sebagaimana halnya

Pengusaha Kena Pajak (PKP).


3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak

berwujud dan/atau jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean
4. Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah, yang terdiri atas kantor

pembendaharaan negara, bendahara pemerintah pusat dan daerah, termasuk

bendahara proyek.

2.2.3.2. Objek Pajak Pertambahan Nilai


Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) selalu mengalami perubahan

seiring dengan diberlakukannya undang-undang baru. Undang-undang No. 42

Tahun 2009 yang berlaku mulai 1 April 2010.


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) didalam daerah pabean yang dilakukan

oleh pengusaha.
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak.
b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak tidak

berwujud.
c. Penyerahan dilakukan didalam daerah pabean.
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor Barang Kena Pajak (BKP).
12

Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak (BKP).

Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Pajak Bea dan Cukai.

Berbeda dengan penyerahan barang kena pajak pada huruf a diatas, siapa pun

yang memasukkan barang kena pajak ke dalam daerah pabean, tanpa

memperhatikan apakah yang dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau

pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.


3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) didalam daerah pabean yang dilakukan oleh

pengusaha.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:
a. Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak (JKP)
b. Penyerahan dilakukan didalam daerah pabean
c. Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar daerah pabean

didalam daerah pabean.


Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan

impor Barang Kena Pajak (BKP), maka atas Barang Kena Pajak (BKP) tidak

berwujud yang berasal dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan oleh siapa

pun didalam daerah pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Contoh: Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak

menggunakan merek yang dimiliki pengusaha B yang berkedudukan di

Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh pengusaha A didalam daerah

pabean, maka terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).


5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam daerah

pabean.
Jasa yang berasal dari luar daerah pabean dimanfaatkan oleh siapa pun di

dalam daerah pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Misalnya,

Pengusaha Kena Pajak (PKP) C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak


13

(JKP) dari pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan

Jasa Kena Pajak (JKP) tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
6. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Berbeda dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana

dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor

barang kena pajak berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi

Pengusaha Kena Pajak (PKP).


7. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak.
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor barang kena pajak berwujud,

pengusaha yang melakukan ekspor barang kena pajak tidak berwujud hanya

pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Yang

termasuk dalam kategori barang kena pajak berwujud antara lain.


a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan,

kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau

proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan

intelektual/industrial, atau hak serupa lainnya.


b. Penggunaan hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial,

atau ilmiah.
c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,

atau komersial.
8. Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Termasuk dalam pengertian ekspor jasa kena pajak adalah penyerahan jasa

kena pajak dari dalam daerah pabean ke luar daerah pabean oleh pengusaha

kena pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor barang kena pajak

berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk

dari pemesan di luar daerah pabean.

2.2.4. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak


2.2.4.1. Barang Kena Pajak (BKP)
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 pasal 1 angka (3) Barang Kena Pajak

(BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
14

barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang

dikenakan pajak berdasarkan undang-undang.

2.2.4.2. Jasa Kena Pajak (JKP)


Menurut Undang-undang No. 42 Tahun 2009 pasal 1 angka (6) Jasa Kena

Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau

perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau memberi

kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk

menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas

petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang PPN dan

PPnBM.

2.2.5. Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenai Pajak


2.2.4.1. Jenis Barang yang Tidak Dikenai Pajak
Berdasarkan Undang – undang No. 42 Tahun 2009 jenis barang yang tidak

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :

a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari

sumbernya, meliputi :

1. Minyak mentah (crude oil)

2. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi

langsung oleh masyarakat.

3. Panas bumi.

4. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu

permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit,

granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat,

opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk,

tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras,

yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.


15

5. Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara.

6. Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak

serta bijih bauksit.

b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,

meliputi:

1. Beras

2. Gabah

3. Jagung

4. Sagu

5. Kedelai

6. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.

7. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses

disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak

dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,

dan/atau direbus.

8. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,

diasinkan, atau dikemas.

9. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan

maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya,

dan/atau dikemas atau tidak dikemas.

10. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah

melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading,

dan/atau dikemas atau tidak dikemas.


16

11. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan,

dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang

dicacah.

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,

warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang

dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang

diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.


d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

2.2.4.2. Jenis Jasa yang Tidak Dikenai Pajak


Berdasarkan Undang – undang No. 42 Tahun 2009 jenis jasa yang tidak

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :

a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis, meliputi:

1. Jasa dokter umum,dokter spesialis, dan dokter gigi.

2. Jasa dokter hewan.

3. Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi dan ahli fisioterapi.

4. Jasa kebidanan dan dukun bayi.

5. Jasa paramedis dan perawat.

6. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan,

dan sanatorium.

7. Jasa psikolog dan psikiater.

8. Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.

b. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:

1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.

2. Jasa pemadam kebakaran.

3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.


17

4. Jasa lembaga rehabilitasi.

5. Jasa penyedia rumah duka atau jasa pemakaman termasuk krematorium.

6. Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.

c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko, meliputi jasa pengiriman

surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain

pengganti perangko tempel.

d. Jasa keuangan, meliputi:

1. Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka,

sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan

dengan itu.

2. Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada

pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun

dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.

3. Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,

berupa:

a) Sewa guna usaha dengan hak opsi.

b) Anjak piutang.

c) Usaha kartu kredit.

d) Pembiayaan konsumen.

4. Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah

dan fidusia.

5. Jasa penjaminan.

e. Jasa asuransi, yaitu jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian,

asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada
18

pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen

asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.

f. Jasa di bidang keagamaan, meliputi:

1. Jasa pelayanan rumah ibadah.

2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.

3. Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan.

4. Jasa lainnya di bidang keagamaan

g. Jasa di bidang pendidikan,meliputi:

1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan

pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan

kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan

profesional.

2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus.

h. Jasa di bidang kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan

oleh pekerja seni yang telah dikenakan pajak tontonan.

i. Jasa di bidang penyiaran meliputi jasa penyiaran radio dan televisi baik yang

dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta yang bukan bersifat iklan

dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri

yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar

negeri.

k. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:

1. Jasa tenaga kerja.


19

2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja

tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.

3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja

l. Jasa di bidang perhotelan, meliputi:

1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,

motel losmen, hostel serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan

untuk tamu yang menginap.

2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan hotel, rumah

penginapan, motel, losmen dan hotel

m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan

pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh

instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB),

pemberian izin usaha perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP) dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

n. Jasa penyediaan tempat parkir yaitu jasa penyediaan tempat parkir yang

dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna

tempat parkir dengan dipungut bayaran.

o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin yang

diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.

p. Jasa penerimaan uang dengan wesel pos.

q. Jasa boga atau catering.

2.2.6. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Tarif PPN menurut pasal 7 undang-undang No. 42 Tahun 2009 adalah:
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) dikenakan atas:
20

a. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) berwujud


b. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud
c. Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP)
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi

paling sedikit 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)

yang perubahan tarifnya diatur dengan peraturan pemerintah, dengan tetap

memakai prinsip tarif tunggal.

2.2.7. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)


Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah harga jual atau penggantian

atau nilai impor atau nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan keputusan

menteri keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang

terutang. Adapun dasar pengenaan pajak yang dipakai untuk menghitung pajak

yang terutang yaitu:


1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau

seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),

tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut menurut Undang-

undang No. 42 Tahun 2009 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur

pajak.

2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau

seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan jasa kena pajak, ekspor

jasa kena pajak, atau ekspor barang kena pajak tidak berwujud, tetapi tidak

termasuk pajak pertambahan nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN

dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak, atau nilai berupa

uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena

pemanfaatan jasa kena pajak dan/atau oleh penerima manfaat barang kena pajak
21

tidak berwujud karena pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar

daerah pabean di dalam daerah pabean.

3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk

ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai

untuk impor barang kena pajak, tidak termasuk pajak pertambahan nilai yang

dipungut menurut Undang-undang PPN. Nilai impor yang menjadi dasar

pengenaan pajak adalah harga patokan impor atau Cost (harga faktur),

Insurance (biaya asuransi antar daerah pabean) and Freight (biaya angkut atau

pengapalan antar daerah pabean) atau disingkat CIF.


4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau

yang seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai ekspor tercantum dalam dokumen

tertentu yang dapat dijadikan sebagai faktur pajak untuk ekspor yaitu

Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), tidak ada penghitungan PPN karena tarif

PPN untuk barang ekspor adalah 0% (nol persen).


5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan

Pajak (DPP). Nilai lain sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri

Keuangan N0. 75/PMK.03/2010 pasal 1 tentang nilai lain sebagai Dasar

Pengenaan Pajak (DPP) ditetapkan sebagai berikut:


a. Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena

Pajak (JKP) adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.
b. Untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa

Kena Pajak (JKP) adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba

kotor.
c. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan

harga jual rata-rata.


d. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film.
22

e. Untuk Barang Kena Pajak (BKP) berupa persediaan dan/atau asset yang

menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa

pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.


f. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.

g. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dari pusat ke cabang atau

sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) antar cabang

adalah harga perolehan atau harga pokok penjualan.

h. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada pedagang perantara

atau melalui juru lelang adalah harga lelang.


i. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari

jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.


j. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%

(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

2.2.8. Faktur Pajak dan E-Faktur


2.2.8.1. Pengertian Faktur Pajak
Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha

Kena Pajak ( PKP ) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak ( BKP ) atau

penyerahan Jasa Kena Pajak ( JKP ) atau bukti pungutan pajak karena impor BKP

yang digunakan oleh Dirjen Bea dan Cukai. Faktur pajak mempunyai fungsi

sebagai berikut:
1. Sebagai bukti pungut PPN yang dibuat oleh PKP atau Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai, baik karena penyerahan BKP maupun impor BKP.


2. Sebagai bukti pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh pembeli BKP atau

penerima JKP kepada PKP atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
3. Sebagai sarana pengawasan administrasi terhadap kewajiban perpajakan.

2.2.8.2. Pengertian E-Faktur


E-faktur pajak adalah faktur pajak yang dibuat melalui

aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan atau

disediakan oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP).


23

Pemberlakuan e-faktur dimaksudkan untuk memberikan kemudahan,

kenyamanan, dan keamanan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam

melaksanakan kewajiban perpajakan khususnya pembuatan faktur pajak.


Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang diwajibkan membuat faktur pajak

berbentuk elektronik ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pemberlakuan e-Faktur dilakukan secara bertahap sejak 1 Juli 2014 kepada

Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu.


Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak

(KPP) Jawa dan Bali wajib menggunakan e-faktur per 1 Juli 2015. Sedangkan

pemberlakukan e-faktur secara nasional secara serentak dimulai pada 1 Juli

2016. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang telah wajib e-faktur namun tidak

menggunakannya, secara hukum dianggap tidak membuat faktur pajak sehingga

akan dikenakan sanksi pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


2.2.8.3. Dasar Hukum Pembuatan E-Faktur
Dasar hukum pembuatan e-Faktur sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Barang dan Jasa dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM).
2. PMK-151/PMK.03/2013 tentang tata cara pembuatan dan tata cara

pembetulan atau penggantian faktur pajak.


3. PER-17/PJ/2014 tentang perubahan kedua atas PER-24/PJ/2012 tentang

bentuk, ukuran, prosedur pemberitahuan dalam rangka pembuatan, tata cara

pengisian keterangan, pembetulan atau penggantian, dan pembatalan faktur

pajak.
4. PER-16/PJ/2014 tentang tata cara pembuatan dan pelaporan faktur pajak

berbentuk elektronik.

Anda mungkin juga menyukai