Anda di halaman 1dari 30

AKUNTANSI PPN DAN PPnBM

Sejarah Singkat PPN dan PPnBM


Tanggal 13 Februari 1950 : Undang-Undang Darurat
No.12 Tahun 1950 (Pajak Penjualan)
Tanggal 1 Oktober 1951 : Undang-Undang Darurat
No.19 Lembaran Negara No.94 Tahun 1951
Tanggal 1 April 1985 : Berlakunya PPN dan PPnBM
Tahun 2009 : Undang-Undang No.42 Tahun 2009
Perubahan atas UU PPN dan PPnBM
Tanggal 1 April 2010 : Berlakunya atas perubahan UU
PPN dan PPnBM
Objek Pajak
Objek Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di Daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha:
Penyerahan barang yang kena pajak harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP.
b. Barnag tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak
berwujud.
c. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
2. Impor Barang Kena Pajak
Pajak yang dipungut pada saat impor Barang Kena
Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan
BKP pada butir 1 di atas, siapa pun yang memasukkan
BKP ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan
apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atas
pekerjaannya atau tidak tetap dikenai pajak.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah
Pabean oleh pengusaha:
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak
b. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
c. Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena
Pajak dimaksud meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang
seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi
belum dikukuhkan.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang
sama dengan impor Barang Kena Pajak, maka atas BKP tidak
berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang
dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga
dikenai PPN.
Contoh: Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta
memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki
Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas
pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam
Daerah Pabean, maka terhutang Pajak Pertambahan Nilai.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean;
Terhadap jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean
yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam daerah
Daerah Pabean dikenai PPN. Misalnya, Pengusaha
Kena Pajak (PKP) C di Surabaya memanfaatkan Jasa
Kena Pajak berupa maket gedung desain kantor dari
Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas
pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut, terutang PPN.
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
Berbeda bila dibandingkan dengan pengusaha yang melakukan kegiatan
seperti pada angka 1 dan/atau angka 3, terhadap pengusaha yang
melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang
telah dikukuhkan menjadi PKP (Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang PPN
dan PPnBM).
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
Termasuk dalam kategori BKP Tidak Berwujud antara lain:
a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan,
kesenian atau hanya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula
atau proses rahasia, merek dagang atau bentuk hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan
industrial, komersial atau ilmiah;
Selengkapnya telah dimuat dalam penjelasan Pasal 4 UU PPN dan
PPnBM
8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan
Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar
Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan dan melakukan ekspor BKP Berwujud
atas dasar pesanan atau permintaan dan atas petunjuk
dari pemesan di luar Daerah Pabean.
Batas kegiatan dari jenis JKP yang atas ekspornya
dikenai PPN diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Barang Kena Pajak
BKP adalah barang berwujud yang menurut sifat dan
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang
tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang
dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan PPnBM.
Dari uraian tersebut bahwa BKP dipersyaratkan:
1. Barang berwujud atau barang tidak berwujud
(Merek Dagang, Hak Paten, Hak Cipta dan lain-lain)
2. Dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
Dalam Pasal 4A UU PPN yang memberikan peluang pengaturan tentang
jenis-jenis barang yang tidak dikenakan PPN adalah:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumber jenisnya seperti minyak mentah (crude oil),
gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah, dan bijih emas.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
rakyat banyak seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam
baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung, dan sejenisnya. Tidak dikenakannya inilah untuk
menghindarkan pajak berganda karena telah ditetapkan sebagai
objek pajak daerah.
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Jasa Kena Pajak
JKP adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan
surat perikatan atau perbuatan hukum yang
menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau
kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk
jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak
berdasarkan UU PPN dan PPnBM.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Terhadap penyerahan BKP di samping dikenakan PPN sebagaimana
telah disebut dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPN dan PPnBM dikenai
juga Pajak Penjualan dan Barang Mewah (PPnBM).
Beberapa karakteristik yang perlu dipahami dalam PPnBM adalah:
1. Pengenaan terhadap PPnBM ini hanya satu kali yaitu pada
waktu penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha
yang menghasilkan atau pada waktu impor. BKP yang tergolong
mewah.
2. PPnBM tidak dapat dilakukan pengkreditan dengan PPN.
Namun demikian, apabila eksportir mengekspor BKP yang
tergolong mewah, maka PPnBM yang telah dibayar pada saat
perolehan dapat direstitusi.
Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Sebagai Objek PPnBM adalah:
1. Penyerahan BKP yang tergolong mewah yang
dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan
Barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya, dan
2. Impor BKP yang tergolong mewah.
Tarif Pajak
Tarif PPN
1. Tarif PPN sebesar 10%.
2. Tarif PPN atas ekspor BKP sebesar 0%.
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5%
(lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).
Tarif PPnBM
3. Tarif PPnBM adalah serendah-rendahnya 10% dan paling tinggi
200%.
4. Atas ekspor BKP yang Tergolong Mewah dikenai pajak dengan
tarif 0%.
Dasar Pengenaan Pajak
1. Harga jual
2. Penggantian
3. Nilai ekspor
4. Nilai impor
Cara Menghitung Pajak
Cara PPN yang Terutang = Tarif PPN x Dasar Pengenaan
menghitung PPN
Pajak

PPN dan PPnBM menjadi Bagian dari Harga


PPN atau PPnBM Terutang = 1/110 x Dasar Pengenaan Pajak
Atau
= 1/130 x Dasar Pengenaan Pajak
Penghitungan PPN dan PPnBM dalam Satu
Transaksi
Contoh:
PT Yulanda adalah sebagai importir melakukan impor
Air Conditioner (AC) sebanyak 2.000 unit dari Jepang
dengan harga impor (CIF) US$500 per unit, atas impor
AC terutang Bea Masuk 50%. Kurs berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Rp.12.000 per US$1.
Perhitungan PPN dan PPnBM sebagai berikut:
Harga impor (CIF) : 2.000 x $500 x Rp.12.000 = Rp.12.000.000.000
Bea Masuk 50% x Rp.12.000.000.000 = Rp. 6.000.000.000
Nilai Impor = Rp.18.000.000.000
PPN Terutang 10% x Rp.18.000.000.000 = Rp. 1.800.000.000
PPnBM 20% x Rp.18.000.000.000 = Rp. 3.600.000.000
Jumlah yang harus dibayar importir = Rp.23.400.000.000
Pencatatan Harga Perolehan & Penyerahan
BKP
Dalam UU PPN disebutkan bahwa Pengusaha Kena Pajak
(PKP) diwajibkan mencatat semua jumlah harga perolehan
dan penyerahan BKP / JKP dalam pembukuan perusahaan.
Besarnya PPN :
Dapat dikreditkan
Tidak dapat dikreditkan
Pencatatan retur barang :
 Retur Penjualan : Di catat dalam buku penjualan, dalam hal
ini mengurangi jumlah penjualan dan Pajak Keluaran.
 Retur Pembelian : Di catat dalam buku pembelian, hal ini
mengurangi jumlah pembelian dan Pajak Masukan.
Saat PPN terutang :
Pada prinsipnya PPN di pungut berdasarkan 2 prinsip :
1. Prinsip Akrual :Sesuai pasal 11 ayat (1) UU PPN, PPN terutang pada saat
penyerahan barang, jasa / impor barang.
2. Prinsip Kas : Sesuai pasal 11 ayat (2) UU PPN, PPN terutang pada
saat penerimaan pembayaran.
Ada 2 cara pembukuan PPN dalam akuntansi :
1. Metode Faktur : PPN terhutang di catat pada saat faktur dikeluarkan
F.P di buat pada saat pembayaran / pada saat penyerahan. Biasanya
digunakan oleh PKP yang telah dikukuhkan.
2. Metode kas : PPN di catat pada saat penerimaan pembayaran.
Pencatatan tidak tergantung pada pembuatan faktur. Biasanya
digunakan oleh perusahaan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP.
Kewajiban Bagi Pengguna Norma
Penghitungan Penghasilan Neto
Berikut ini beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh pengguna norma penghitungan penghasilan neto.
Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto wajib memberitahukan mengenai
penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal
tahun pajak yang bersangkutan.
Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan diatas
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/Pajak Masukan Yang
Tidak Dapat Dikreditkan
Dalam perhitungan PPN sangat penting bagi Pengusaha
Kena Pajak untuk mengetahui bahwa PPN atas barang
kena pajak dan atau jasa kena pajak yang telah
dibayarkan pada saat perolehan barang kena pajak dan
atau jasa kena pajak tidak semua dapat dikreditkan
sebagai Pajak Masukan.
Jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Pembelian/
Perolehan Aktiva, Pembelian Barang Kena Pajak (PKP)
dan Jasa Kena Pajak (JKP) dan Pengeluaran Untuk Biaya
Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP)  Yang Tidak Dapat
Dikreditkan Sebagai Pajak Masukan antara lain :
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan dan pemeliharaan
kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM atau tidak
mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang nomor 42 Tahun 2009
tentang PPN dan PPnBM.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan
ketetapan pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan
pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak
selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena
Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) Undang-
Undang nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, tidak dapat
dikreditkan pada untuk Masa Pajak lebih dari 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi telah dibebankan
sebagai biaya atau ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan
tidak boleh dikreditkan sebagai pajak masukan.
Akuntansi Pajak
Dalam akuntansi komersial tidak mengatur terendiri perilaku
akuntansi khusus untuk PPN dan PPnBM, PSAK hanya
mengakur Akuntansi Pajak Penghasilan.
Namun demikian baik dalam melakukan pencatatan yang
harus dipersiapkan antara lain sebagai berikut:
Akun Pajak Masukan
Untuk mencatat besarnya Pajak Masukan yang dibayar
atau dipungut atas terjadinya transaksi pembelian.
Akun Pajak Keluaran
Untuk mencatat Pajak Keluaran yang dipungut atau
disetorkan ke Kas negara atas transaksi.
Transaksi Pembelian dan Penjualan secara tunai
Transaksi perolehan BKP dan/atau JKP
Data pembelian BKP yang diterima langsung Faktur Pajaknya:
Harga BKP 100.000.000
Rabat 10% 10.000.000
90.000.000
Potongan Tunai 3% 2.700.000
Harga Setelah Potongan 87.300.000
PPN 10% 8.730.000
Jumlah Pembayaran Tunai 96.030.000
Ayat Jurnal yang dibuat.
Pihak Pembeli
Tgl Akun Debit Kredit
Pembelian 87.300.000
Pajak Masukan 8.730.000
Kas dan Bank 96.030.000

Pihak Penjual
Tgl Akun Debit Kredit
Kas dan Bank 96.030.000
Penjualan 87.300.000
Pajak Keluaran 8.730.000
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai