Anda di halaman 1dari 18

1. Kapan seharusnya mendaftar sebagai PKP?

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha
Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha
Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Syarat Pengusaha wajib menjadi PKP yaitu apabila memiliki pendapatan bruto (omset)
dalam 1 tahun buku mencapai Rp. 4,800,000,000 (empat milyar delapan ratus juta rupiah).
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan :
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
memungut pajak yang terutang;
menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak
Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta
menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
melaporkan pemungutan, penyetoran dan penghitungan pajaknya paling lambat akhir
bulan berikutnya (SPT Masa PPN).
Bagi yang belum memenuhi kriteria tersebut di atas namun membutuhkan pengukuhan
sebagai PKP, Anda dapat membuat pengajuan PKP kepada KPP atau KP2KP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
Syarat pengajuan PKP sebenarnya tidak terlalu rumit, namun kebanyakan Pengusaha
gagal memperoleh PKP karena pengajuan ditolak. Alasan penolakan pada umumnya terkendala
karena dalam rangka penerbitan PKP, KPP

akan terlebih dahulu melakukan survey dan

verifikasi ke alamat domisili/kegiatan usaha Pengusaha. Survey yang tidak ditangani dengan baik
akan menyebabkan keraguan petugas lapangan atas keabsahan dan kelayakan perusahaan.

Penolakan juga bisa terjadi karena tidak memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
misalnya Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang dikecualikan/bukan objek
PPN.
Sebelum melakukan kunjungan umumnya petugas akan menelepon terlebih dahulu
menginformasikan jadwal survey. Oleh sebab itu, pastikan nomor telepon / HP yang Anda
cantumkan selalu aktif selama masa pengajuan. Tiap KPP juga memiliki metode survey masingmasing. Pada beberapa KPP, survey dilakukan dengan cara tanya

jawab kepada

pemilik/perwakilan perusahaan. Namun di KPP yang berbeda petugas lapangan dapat juga
memberikan formulir yang harus diisi oleh pemilik perusahaan. Pertanyaan biasanya mencakup
bidang usaha dan standar akuntansi yang digunakan pada perusahaan.
Untuk mendapatkan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Wajib Pajak cukup mengisi dan
menandatangani Formulir Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, selanjutnya melengkapi dengan
dokumen yang disyaratkan. Nah, tata cara pengisian formulir ini yang dibagi menjadi 2 cara,
yaitu mengisi formulir Pengukuhan PKP dengan elektronik melalui Aplikasi e-Registration yang
tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak di www.pajak.go.id dan mengisi formulir
Pengukuhan PKP secara tertulis (manual seperti biasa). Pengajuan permohonan pengukuhan PKP
melalui Aplikasi e-Registration ini hampir sama dengan Pendaftaran NPWP online melalui
Aplikasi e-Registration.
Pengiriman dokumen yang disyaratkan dapat dilakukan dengan cara mengunggah
(upload)

salinan

digital

(softcopy)

dokumen

melalui

Aplikasi

e-Registration

atau

mengirimkannya dengan menggunakan Surat Pengiriman Dokumen yang telah ditandatangani.


Apabila dokumen yang disyaratkan belum diterima KPP dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari kerja setelah penyampaian permohonan pengukuhan secara elektronik, permohonan
tersebut dianggap tidak diajukan.
Ada 2 hal yang menjadi pertimbangan mengapa kita memilih menjadi PKP, yaitu:
1. Sekarang ini perusahaan cenderung bertransaksi dengan pihak yang sudah PKP (baik
dalam tender maupun penunjukan langsung), hal ini disebabkan karena perusahaan takut
dikenakan tangguing renteng.

2. Atas setiap PPN Masukan dari pembelian barang modal maupun pembelian BKP dan
pemanfaatan JKP yang terkait dengan usaha sebagai pengurang PPN yang terutang (PKPM).
3. Pengendalian atas faktur pajak keluaran maupun faktur pajak masukan agar
memenuhi syarat formil dan materil
Sedikit tentang Syarat Formal Dan Material Faktur Pajak PPN. Faktur Pajak merupakan
salah satu dokumen yang sangat penting dan PPN ini. Faktur Pajak adalah bukti pemungutan
pajak. Agar Faktur Pajak dapat berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak
Masukan dengan Pajak Keluaran, Faktur Pajak harus memenuhi dua persyaratan yaitu
persyaratan formal dan persyaratan material sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (9) UU PPN
yang berbunyi: Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9), Faktur Pajak dikatakan telah memenuhi
persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat Pasal 13 ayat (5) yaitu Faktur Pajak harus mencantumkan keterangan
tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit
memuat:
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak;
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima
Jasa Kena Pajak;
Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Persyaratan formal dari faktur pajak diatas wajib dipenuhi oleh Pengusaha Kena Pajak
yang menjual BKP/JKP karena apabila tidak dipenuhi, Faktur Pajak yang diterbitkan dianggap
cacat sehingga tidak dapat dijadikan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menjadi
lawan transaksinya (oleh PKP pembeli). Selain itu kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit Faktur

Pajak, sesuai bunyi Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010
tentang Tata Cara Pembuatan Dan Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian Faktur Pajak, akan
dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2% dikalikan nilai transaksi yang tercantum dalam
Faktur Pajak tersebut.
Tidak semua Pengusaha Kena Pajak yang dikarenakan membuat faktur pajak tidak
sesuai persyaratan formal terkena sanksi, ada pengecualian dari pengenaan sanksi apabila
Pengusaha Kena Pajak keliru atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok
Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak dan keliru atau tidak
mengisi secara lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani
Faktur Pajak dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
Kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit faktur pajak tidak lengkap tersebut tidak dikenakan
sanksi denda pasal 14 ayat (1) sebesar 2%, namun Pengusaha Kena Pajak yang penerima tidak
dapat menjadikan Faktur Pajak tersebut sebagai Pajak Masukan.

4. Tax planning pemilihan tempat pajak terutang


Berdasarkan PER-4/PJ/2010 (berlaku sejak 1 April 2010) Bagi PKP Badan, PPN dan
PPnBM terutang di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha atau tempat lain (Tempat lain
ini ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak) (Pasal 1 ayat (2) PER-4/PJ/2010).
Saat pajak terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU PPN 1984 adalah:
pada saat penyerahan BKP dan atau JKP;
pada saat impor BKP (masuk daerah pabean);
pada saat pembayaran dalam hal sebelum penyerahan BKP dan/ atau JKP;
pada saat dimulai pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean;
pada saat pembayaran dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pemanfaatan BKP tidak
berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Tempat pajak terutang sebagaimana diatur di dalam Pasal 12 UU PPN 1984 adalah
tempat tinggal atau tempat kedudukan;
tempat kegiatan usaha dilakukan;
tempat BKP dimasukkan dalam hal impor;
tempat orang pribadi dan/atau badan terdaftar sebagai WP dalam hal pemanfaatan BKP
tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean di dalam pabean;
tempat lain sebagaimana ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak atas permohonan tertulis dari
pengusaha kena pajak.
Selanjutnya, tempat lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak dengan KEP-DJP No.
525/PJ/2000 adalah seperti berikut:
Untuk penyerahan di dalam daerah pabean, pajak terutang di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan atau tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha
dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai PKP.
Impor BKP, pajak terutang di tempat BKP dimasukkan ke dalam daerah pabean.
Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean, pajak terutang di tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan terdaftar
sebagai WP.
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan usaha atau
pekerjaan dan pajak terutang di tempat bangunan didirikan.
Ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan tertulis dari wajib pajak
atau secara jabatan.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang mempunyai lebih dari satu tempat usaha, dapat
memilih satu tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan PPN terutang. Pemilihan Tempat
Pemusatan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengajukan pemberitahuan secara tertulis
kepada Kantor Wilayah yang membawahi KPP yang wilayah kerjanya meliputi Tempat
Pemusatan PPN Terutang.

Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat
kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat
kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat
kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat
kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar
tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya
pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat terutang yang berada
di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang
tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak
terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila
Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang,
Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal-hal
tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
Contoh:
Orang pribadi A yang bertempat tinggal di A mempunyai usaha di B. Apabila di tempat
tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak,
orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak di Kantor Pelayanan Pajak B, sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah
di B.
Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan
oleh orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan
diri di Kantor Pelayanan Pajak A.

Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang
pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A
wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak A dan Kantor Pelayanan Pajak B, karena
tempat terutangnya pajak berada di A dan B.
Tax Plan hal di atas merupakan hal yang sering terjadi dalam transaksi barang, di mana
semakin banyak pendaftaran dilakukan semakin tidak efisien baik secara administrative dan dari
sisi pemungutanya, maka dari itu, perlu diperhatikan agar sebuah usaha sebisa mugkin untuk
terdaftar tidak lebih dari satu kantor pelayanan pajak.
4. Strategi menghadapi temuan tentang konfirmasi PPN yang dinyatakan tidak ada
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi Pajak
Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat jawaban "Tidak
Ada"dari kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya"Tidak Ada", maka Faktur Pajak
dari Pajak

Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada juga

beberapa orang yang

mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN. Kedua anggapan tersebut semuanya
tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab renteng PPN punya klasifikasi dan definisi sendirisendiri.
Ketentuan Umum Konfrmasi
Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak sebenarnya
telah menerbitkan sebuah

aturan khusus bernomor KEP-754/PJ./2001 tentang Tata

Cara

Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan. Keputusan
Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26 Desember 2001. Terkait dengan soal konfirmasi
atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan
khusus KEP-754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan
Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26
Desember 2001. Tetapi hingga saat ini masih belum dinyatakan dicabut alias masih berlaku dan
bisa dijadikan referensi peraturan.
Pada butir 1.4.1.3. Datam penjelasan Lampiran I KEP- 754/PJ./2001 ditegaskan bahwa
apabila jawaban klarifikasi dari KPP tempat PKP dikukuhkan menyatakan

1. "Ada dan Sesuai" dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum direkam KPP
domisili PKP penjual atau Faktur Pajak tersebut terlambat dilaporkan oleh PKP penjual,
maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan.
2.

"Tidak Ada" dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak

tersebut belum dilaporkan oleh

PKP penjual dan KPP domisili PKP penjual telah menerbitkan SKP-KB atau SKP-KBT
atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan tersebut, maka Faktur Pajak tersebut dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
3. "Tidak Ada" dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah karena pengusaha
yang menerbitkan belum dikukuhkan sebagai PKP, atau PKP penjual tidak pernah
melakukan penyerahan BKP/JKP kepada PKP pembeli yang bersangkutan, maka Faktur
Pajak tersebut tidak dapat

diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat

dikreditkan; dan
4. Apabila datam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimkan jawaban klarifikasi
belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang dan atau arus
uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya, maka Faktur Pajak yang
dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan.
Dalam praktik pemeriksaan, jawaban klarifikasi dari KPP yang dimintai klarifikasi
hampir semuanya hanya menjawab 'Tidak Ada" tanpa mencantumkan penjelasan atau keterangan
apapun seperti yang diminta oleh poin 1,2 dan 3 di atas (poin 1,2,3 tersebut datam Lampiran I
KEP-754/PJ./2001 tercantum datam penjelasan butir 1.4.1.3.1., 1.4.1.3.2., dan 1.4.3.2.3. -red.).
Dari sinilah perdebatan antara pemeriksa pajak dan Wajib Pajak (WP) dimulai. Dan biasanya
perdebatan ini berujung di meja hijau Pengadilan Pajak.
Selalu Berpedoman Pada Hasil Klarifikasi/Konfirmasi
Saat melakukan koreksi terhadap Pajak Masukan, pemeriksa pajak lebih condong untuk
melihat pada jawaban klarifikasi atau jawaban konfirmasi dari KPP 'sebelah'. Jika jawaban
klarifikasi atau konfirmasi itu berupa Tidak Ada", maka pemeriksa pajak akan langsung

mengoreksi Pajak Masukan dan dianggap tidak dapat dikreditkan. Apalagi jawaban konfirmasi
itu tidak disertai dengan penjelasan sebagaimana dimaksud oleh Lampiran I KEP-754/PJ./2001
khususnya butir 1.4.1.3.1., 1.4.1.3.2., dan 1.4.3.2.3. Yang sudah dijelaskan di atas.
Meski kebanyakan WP datam pemeriksaan bisa menunjukkan mengenai arus uang
(maupun arus barang Faktur Pajak terkait dengan BKP), pemeriksa pajak umumnya tidak
bersedia mengubah koreksinya tersebut.

Pemeriksa pajak sepertinya juga tidak mau

memperhatikan penegasan yang ada pada butir 1.4.3.2.4. Lampiran I KEP- 754/PJ./2001 yang
penulis kutip pada poin 4 di atas. Bahkan datam beberapa praktik pemeriksaan pernah penulis
melihat pemeriksa yang tetap memegang teguh jawaban KPP penjual yang menyatakan"Tidak
Ada" meskipun WP telah menunjukkan photoopy pelaporan SPT Masa PPN dari PKP penjual
yang menjadi lawan transaksinya.
Koreksi Dibatalkan Hakim
Jika sudah begitu, maka koreksi tersebut tentu akan membuat WP susah dan terpaksa
harus menempuh jalur hukum Keberatan dan Banding. Kedua proses ini harus ditempuh WP
selama lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan atau sekitar 2 (dua) tahunan lebih.
Pada proses Keberatan, yang memakan waktu sekira 12 (dua belas) bulan, biasanya
koreksi pemeriksa pajak

terhadap Pajak Masukan tersebut tetap dipertahankan oleh rekan

mereka di tim penelaah/peneliti Keberatan. Alasannya biasanya sama dengan alasan pemeriksa
pajak yang sebelumnya.
Namun pada saat Banding, Majelis Hakim di Pengadilan Pajak umumnya berfokus hanya
pada soal fiktif atau tidaknya Faktur Pajak yang dikreditkan oleh WP. Para hakim biasanya tidak
peduli apakah Faktur Pajak tersebut sudah dilaporkan oleh PKP penjualnya atau belum. Artinya
selama WP yang mengajukan Banding bisa membuktikan bahwa transaksi dan Faktur Pajak
yang dikreditkannya di SPT Masa PPN tidak fiktif, maka koreksi pemeriksa pajak akan
dibatalkan oleh Majelis Hakim. Permohonan Banding WP terkait dengan Faktur Pajak tersebut
umumnya bisa dikabulkan.
Sudah Perintah UU PPN

Hakim di Pengadilan Pajak umumnya berpedoman pada prinsip bahwa kesalahan PKP
penjual karena tidak melaporkan Faktur Pajak tidak dapat direntengkan kepada WP/PKP pembeli
yang mengkreditkan Faktur Pajak tersebut. Sebab sesuai dengan ketentuan umum UU PPN
pembeli datam hal ini memang sudah diwajibkan untuk membayar PPN dan PPn-BM kepada
PKP penjual. Kecuali jika pembeli berstatus sebagai Wapu PPN, maka pembeli dan tidak
diwajibkan untuk membayar PPN dan PPn-BM kepada PKP penjual.
Seperti sudah diketahui, sesuai dengan ketentuan Pasal 3A ayat (1) UU PPN, PKP yang
melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN maupun
PPn-BM yang terutang. Ini artinya pembeli diwajibkan untuk membayar PPN maupun PPn-BM
kepada PKP penjual. Dan sebagai bukti bahwa pembeli sudah membayar PPN maupun PPn-BM
kepada PKP penjual, pembeli akan mendapatkan Faktur Pajak dari PKP penjual. Bagi pembeli,
PPN yang dibayar kepada PKP penjual ini disebut dengan Pajak Masukan.
Kemudian datam Pasal 9 UU PPN secara umum ditegaskan bahwa Pajak Masukan (PM)
dapat atau boleh dikreditkan. Pengkreditan PM ini bisa dilakukan pada bulan yang sama dengan
Pajak Keluaran atau dikreditkan paling lambat tiga bulan berikutnya setelah bulan (Masa Pajak)
dari Faktur Pajak Masukan tersebut.
Memang, datam Pasal 9 UU PPN disebutkan beberapa kriteria PM yang tidak boleh
dikreditkan. Begitu pun datam ketentuan Pasal 16B UU PPN, ada beberapa kriteria PM yang
tidak dapat dikreditkan. Tetapi dari kriteria yang ditetapkan oleh kedua pasal tersebut, tidak
satupun kriteria

pelaporan oleh PKP penjual. Artinya di kedua pasal tersebut

tidak ada

ketentuan yang menyatakan bahwa apabila penjual belum atau tidak melaporkan Faktur Pajak
Keluarannya, maka hilang pula hak pengkreditan PM oleh pembeli.
5. Rekonsiliasi DPP PPN dengan peeredaran usaha dalam SPT PPh Badan
Biaya yang dilaporkan dalam SPT PPh Badan atau yang terdapat dalam laporan laba-rugi
yang dilampirkan dalam SPT PPh Badan, ada yang merupakan obyek pemotongan/ pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
Pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain (withholding tax) terutang
pada saat pembayaran bagi perusahaan yang pembukuannya menggunakan stelsel kas atau pada

saat terutang (dibukukan sebagai utang/biaya) bagi perusahaan yang pembukuannya


menggunakan stelsel akrual.
Pemotongan PPh Final atas jasa konstruksi dan jasa konsultan dilakukan pada saat
pembayaran. Terlambat atau kurang melakukan pemotongan pajak dikenakan sanksi 2%
perbulan maksimal 48%, sedangkan jika tidak melakukan atau tidak menyetorkan pemotongan
pajak dapat dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%.
Berkaitan dengan equalisasi antara omset PPN dan jumlah peredaran usaha menurut SPT
PPh berdasarkan ketentuan perpajakan wajar jika terdapat selisih antara omset PPN dan jumlah
peredaran usaha SPT PPh, hal ini disebabkan antara lain oleh hal-hal sebagai berikut :
Penjualan kredit, dalam penjualan kredit PKP penjualan dapat menunda pembuatan
Faktur Pajak Standar sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan
barang (invoice) sepanjang belum diterima uang sehingga menyebabkan selisih omzet
antara SPT PPh dan PPN terutama untuk penjualan kredit yang dilakukan pada akhir
tahun buku.
Penerimaaan uang muka (pesanan), sudah terutang PPN tapi belum merupakan penjualan
(penghasilan), terutama uang muka pada akhir tahun buku, misalnya pada tanggal 20-121998 diterima uang muka sebesar Rp 100 juta tapi sampai 31-12-1998 belum ada
realisasi penjualan.
Pengiriman barang konsinyasi untuk dijual sudah terutang PPN, tetapi belum merupakan
penjualan (penghasilan), pengakuan penghasilan setelah realisasi penjualan dilaporkan
komisioner.
Pemakaian sendiri untuk konsumsi, diberikan kepada pegawai pemberian cuma-Cuma
atau disumbangkan terutang PPN berdasarkan.harga jual dikurangi laba (dalam
prakteknya dihitung berdasarkan harga pokok) bukan merupakan penghasilan tetapi
mengurangi persediaan atau harga pokok penjualan boleh dibuat Faktur Pajak Standar,
pemakaian sendiri untuk produksi boleh dibuatkan Faktur Pajak Standar.

PKP yang mempunyai cabang termasuk lokasi usaha perwakilan, unit pemasaran yang
belum mendapat persetujuan sentralisasi PPN. Penyerahan atau pengiriman barang dari
kantor pusat ke cabang dari cabang ke cabang atau antar cabang sudah terutang PPN,
tetapi belum merupakan penjualan.
Ekspor dikenakan PPN dengan 0% atau tidak terutang PPN, tapi merupakan penjualan
atau menambah omset pada SPT PPh.
Penjualan BKP ke Kawasan Berikat, PPN-nya tidak dipungut, tapi masuk omset
penjualan pada SPT PPh, Faktur Pajak Standar tetap dibuat ditera/dicap : PPN Tidak
dipungut.
Potongan penjualan yang diberikan setelah faktur pajak dibuat tidak dapat mempengaruni
DPP PPN tetapi mengurangi jumlah peredaran pada SPT PPh.
Retur penjualan yang seharusnya dibuat nota retur, tetapi dibuat FP Standar seakan-akan
terjadi jual-beli, tidak mengurangi omset pada SPT PPN, tetapi mengurangi jumlah
peredaran pada SPT PPh.
Selisih Kurs, invoice yang dibuat dalam valuta asing dicatat dalam penjualan (SPT PPh)
berdasarkan kurs realisasi, tapi DPP PPN berdasarkan kurs Menteri Keuangan.

Tax Planning Dalam Pemanfaatan Tax Incentives

Istilah fasilitas perpajakan sudah memiliki makna khusus dalam tata hukum perpajakan
Indonesia. Yang difahami sebagai fasilitas perpajakan adalah kemudahan atau perlakuan khusus
terhadap Wajib Pajak tertentu atau Objek Pajak tertentu dengan tujuan tertentu. Sebagai contoh,
Pemerintah memberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa pembebasan pajak selama masa
pajak tertentu (tax holiday) bagi industri-industri tertentu yang memenuhi syarat. Ada banyak
fasilitas perpajakan yang dikenal dalam sistem perpajakan Indonesia dan dengan tujuan yang
beragam.

Hal yang menarik adalah istilah fasilitas perpajakan itu sendiri tidak dikenal di negara
negara lain, istilah yang lazim digunakan di negara lain untuk kemudahan atau perlakuan khusus
dimaksud adalah insentif (tax incentives).
1. Fasilitas PPh atas industri tertentu dan wilayah tertentu
a. Pajak penghasilan pasal 21 (orang pribadi)
1) PPh Pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota
ABRI, dan Para Pensiunan. Yang berhak:
a) Pejabat Negara, untuk:
gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
imbalan tetap sejenisnya;
b) PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang
sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; dan
c) Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan.
Sedangkan fasilitasnya,PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap
danteratur setiap bulan yang menjadi beban APBN ata APBD ditanggung oleh
pemerintah.
2) Pengenaan PPh Pasal 21 dengan Tarif yang Lebih Rendah dan Bersifat Final, yang
berhak :
Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan berupa Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus
Sedangkan fasilitasnya,Pengenaan PPh Pasal 21 secara final atas penghasilan
berupa Uang Pesangon sebesar:
- 0% atas penghasilan bruto Rp50 Juta;
- 5% atas penghasilan bruto di atas Rp50 Juta s.d. Rp100 Juta;
- 15% atas penghasilan bruto di atas Rp100 Juta s.d. Rp500 Juta;
- 25% atas penghasilan bruto > Rp500 juta.
Dan Pengenaan PPh Pasal 21 secara final atas penghasilan berupa Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua,Jaminan Hari Tua sebesar:
- 0% atas penghasilan bruto Rp50 Juta;
- 5% atas penghasilan bruto > Rp50 Juta.
3) PPh Pasal 21 Pegawai Harian, Mingguan, dan Pegawai Tidak Tetap Lainnya, yang
berhak :
Pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang menerima
atau memperoleh penghasilan bruto sampai dengan jumlah Rp150 Ribu sehari.
Sedangkan fasilitasnya,Penghasilan yang diterima atau diperoleh sampai dengan
jumlah Rp150 Ribu sehari tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. Namun

demikian, hal ini tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto dimaksud jumlahnya
melebihi Rp1.320.000,00 sebulan atau dalam hal penghasilan dimaksud dibayar
secara bulanan.
4) Kantor Perwakilan Negara Asing dan Organisasi Internasional yang Tidak
Berkewajiban Memotong PPh Pasal 21/26, yang berhak:
Kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional yang telah
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Sedamgkan fasilitasnya, Tidak diwajibkan memotong PPh Pasal 21/Pasal 26
atas penghasilan yang diterima/diperoleh pejabat/pegawai yang bekerja di kantor
perwakilan negara asing atau organisasi internasional tersebut.
b. Pajak penghasilan pasal 22,23,26
1) Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22 atas Impor dan Kegiatan Lain, yang
berhak:
Wajib Pajak pemungut yang melakukan kegiatan tertentu yang dikecualikan dari
pemungutan PPh Pasal 22
Sedangkan fasilitasnya, Kegiatan yang dikecualikan dari pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22:
a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai
c) Impor sementara, jika pada waktu impornya nyatanyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali;
d) Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang
telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai;
e) Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak yaitu bendahara pemerintah
dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran untuk
pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP),Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh KPA berkenaan dengan:
Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas,

air minum/PDAM dan bendabenda pos.


f) Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum
Badan Urusan Logistik (BULOG);
g) Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor;
h) Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
2) Pengecualian Pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) (Branch Profit Tax),yang berhak:
BUT yang melakukan penanaman kembali dalam bentuk:
a)
b)
c)
d)

penyertaan modal pada perusahaan baru di Indonesia sebagai pendiri;


penyertaan modal pada perusahaan di Indonesia sebagai pemegang saham;
pembelian aktiva tetap; atau
investasi aktiva tidak berwujud; yang dilakukan paling lama akhir Tahun Pajak

berikutnya, setelah diperolehnya penghasilan.


Sedangkan fasilitasnya, Pengecualian dari pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4).
3) Pengecualian Pemotongan PPh atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia, yang berhak:
Orang pribadi subjek pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1

(satu) tahun pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi PTKP.
Dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Sedangkan fasilitasnya,Pengecualian dari pemotongan PPh untuk penghasilan

tertentu bunga deposito/tabungan serta diskonto SBI.


4) Pengecualian dari Pemotongan PPh Final atas Bunga Obligasi, yang berhak:
Dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal

4 ayat (3) huruf h UU PPh


Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
Sedangkan fasilitasnya, Penghasilan berupa bunga obligasi tidak dikenai

pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final


5) Pengecualian dari Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh oleh Pihak Lain yang
berhak:
Seluruh WP, dengan syarat:
a) membuktikan bahwa dalam tahun pajak berjalan tidak akan terutang PPh
karena:
mengalami kerugian fiskal;
berhak atas kompensasi kerugian fiskal; atau

PPh yang telah dan akan dibayar lebih besar dari PPh yang akan terutang;

atau
b) penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final.
c) telah menyampaikan SPT Tahunan Badan tahun terakhir. (kecuali untuk WP
baru berdiri)
Sedangkan fasilitasnya, Dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan
PPh oleh pihak ketiga.
6) Pengecualian dari Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh bagi Wajib Pajak dengan
Peredaran Bruto Tertentu, yang berhak:
Wajib Pajak yang dikenai PPh final berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Sedangkan fasilitasnya, Dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan
PPh oleh pihak ketiga.
Penundaan pembayaran PPh Pasal 29 paling lama 3 bulan dari saat terutangnya PPh Pasal 29.
Prosedur untuk memperoleh fasilitas pengurangan PPh Pasal 25:
1. WP menyampaikan permohonan tertulis kepada Kepala KPP tempat WP terdaftar
paling lambat pada akhir Masa Pajak dimulainya pengurangan PPh Pasal 25;
2. Permohonan dilampiri:
a) fotokopi surat rekomendasi Menteri Perindustrian;
b) fotokopi NPWP;
c) fotokopi SK pengurangan PPh Pasal 25 sesuai KEP-537/PJ/2000 bagi WP yang
pernah menerima persetujuan pengurangan PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak
2013;
3. Kepala KPP memberikan keputusan persetujuan pengurangan PPh Pasal 25 paling
lambat 5 hari kerja sejak permohonan diterima lengkap.
Penundaan pembayaran PPh Pasal 29:
1. WP menyampaikan permohonan tertulis kepada Kepala KPP tempat WP terdaftar
paling lambat 20 hari kerja sebelum saat terutangnya PPh Pasal 29;
2. Permohonan dilampiri:
a) fotokopi surat rekomendasi Menteri Perindustrian;
b) fotokopi NPWP;
3. Kepala KPP memberikan keputusan pemberian penundaan pembayaran PPh Pasal 29
paling lambat 5 hari kerja sejak permohonan diterima lengkap.
2. Beragam fasilitas PPN dan bea masuk

Sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 231/KMK.03/2001 sebagaimana telah


diubah terakhir kalinya dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 27/PMK.011/2012
tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) atas Impor Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan dari Bea Masuk, Tidak Dipungut
PPN dan PPnBM atas barang-barang sbb :

barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah
Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor
Indonesia;

barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan;

barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang
terbuka untuk umum;

barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;

barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;

peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;

barang pindahan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, mahasiswa yang
belajar di luar negeri, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau
anggota Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas di luar negeri sekurang-kurangnya
selama 1 (satu) tahun, sepanjang barang tersebut tidak untuk diperdagangkan dan
mendapat rekomendasi dari Perwakilan Republik Indonesia setempat;

barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman
sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pabean;

barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan
untuk kepentingan umum;

perlengkapan militer termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan


pertahanan dan keamanan Negara;

barang impor sementara;

barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi
serta panas bumi, dengan ketentuan :
barang tersebut belum dapat diproduksi dalam negeri;
barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun belum memenuhi
spesifikasi yang dibutuhkan; atau
barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun jumlahnya belum
mencukupi kebutuhan industri.

3. Strategi memanfaatkan seluruh fasilitas perpajakan yang ada


Beberapa strategi yang digunakan untuk memanfaatkan fasilitas perpajakan yang ada yaitu
a. Pemilihan bentuk badan usaha antara pemilihan bentuk PT atau CV
b. Memilih lokasi perusahaan atau melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu
dan atau di bidang tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat
diberikan fasilitas
c. Mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari pengecualian atau pengurangan atas
penghasilan kena pajak
d. Menghindari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan transaksi pada yang bukan
objek pajak.

Anda mungkin juga menyukai