Anda di halaman 1dari 15

Nama : Tristin Grifany

Nim : 2019060091

Kelas : AP7C/19

Dosen : Yuniar andi

Matkul : Metopel

2. LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan terhadap


pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi
disetiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan
memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Sedangkan
menurut Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi, karena yang
dapat dikonsumsi bukan hanya barang, tetapi juga jasa, maka PPN memberikan perlakuan
yang sama terhadap konsumsi barang dan konsumsi jasa, yaitu kedua-duanya dikenakan PPN
(Sukardji, 2002).

Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan barang kena pajak
yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Sedangkan yang
dimaksud dengan penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian jasa yang
berupa kegiatan pelayanan berdasarkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung, dimana yang dimaksud
dengan pajak tidak langsung adalah pajak tersebut disetor oleh produsen namun yang menjadi
pemikul beban pajaknya adalah konsumen akhir. Akan tetapi, penanggung jawab dalam
pembayaran PPN-nya adalah produsen. Jadi ketika pembeli membayar harga barang dan PPN
kepada penjual artinya adalah pembeli sudah menyetor PPN ke kas Negara. Oleh karena itu,
jika penjual tidak memunggut PPN dari pembeli itu merupakan tanggung jawab penjual
bukan tanggung jawab pembeli.

Disamping itu, PPN merupakan pajak obyektif sehingga tidak memperhatikan asas
keadilan. Timbulnya kewajiban pajak sangat ditentukan oleh adanya obyek pajaknya dan
tidak mempedulikan kondisi subyek pajak itu sendiri. Hal ini menyebabkan PPN
menimbulkan dampak regresif yakni kesenjangan. Oleh karena itu, untuk mengurangi
regresivitas PPN bagi konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong
mewah akan dikenakan PPnBM disamping dikenakan atas PPN itu sendiri.

2.2. Obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

2. Impor Barang Kena Pajak;

3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;

5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 ayat 1 UndangUndang No 42
tahun 2009).

Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

Penyerahan BKP yang dikenakan PPN meliputi :

1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;

2. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa
guna usaha (leasing);

3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;

5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
Barang Kena Pajak antar cabang;

7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi;

8. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak
(Pasal 1A ayat 1 Undang-Undang No 42 tahun 2009).

Sedangkan, yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
adalah:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang;

2. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;

3. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
Barang Kena Pajak antar cabang dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan
tempat pajak terutang;

4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,


pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan
yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak;

5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan (Pasal 1A ayat 2 Undang-Undang No 42
tahun 2009).

Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan
pada kelompok-kelompok barang adalah sebagai berikut :

1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering;
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga (Pasal 4A ayat 2 Undang-Undang No 42 tahun
2009).

Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan yang dikenakan
pajak berdasarkan undang-undang PPN. Jenis JKP yang tidak dikenakan PPN ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut:

1. Jasa pelayanan kesehatan medis;

2. Jasa pelayanan sosial;

3. Jasa pengiriman surat dengan perangko;

4. Jasa keuangan;

5. Jasa asuransi;

6. Jasa keagamaan;

7. Jasa pendidikan;

8. Jasa kesenian dan hiburan;

9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;

10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;

11. Jasa tenaga kerja;

12. Jasa perhotelan;

13. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum;

14. Jasa penyediaan tempat parkir;

15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;

16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos;

17. Jasa boga atau catering (Pasal 4A ayat 3 Undang-Undang No 42 tahun 2009).
2.3. Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud
dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Kewajiban Pengusaha Kena Pajak, antara lain:

1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP

2. Memungut PPN dan PPnBM yang terutang

3. Membuat faktur pajak atas setiap penyerhan kena pajak

4. Membuat nota retur dalam hal terdapat pengembalian BKP

5. Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya

6. Menyetor PPN dan PPnBM yang terutang

7. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN

Adapula yang dikecualikan dalam Pengusaha Kena Pajak (PKP) yaitu :

1. Pengusaha kecil Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan
penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan
atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

2. Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN.

2.4. Mekanisme Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan tarif Pajak
Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif
0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi pajak masukan yang telah dibayar
dari barang yang diekspor dapat dikreditkan. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak (Pasal
8A ayat 1 Undang-Undang No 42 tahun 2009).
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang (Pasal 1 ayat 17 Undang-Undang No 42 tahun 2009). Harga Jual adalah nilai berupa
uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak
(Pasal 1 ayat 18 Undang-Undang No 42 tahun 2009). Penggantian adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-
Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean (Pasal 1 ayat 19 Undang-Undang No 42 tahun 2009). Nilai Impor adalah nilai berupa
uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan
dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk
impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini (Pasal 1 ayat 20 Undang-Undang
No 42 tahun 2009).

Pada saat membeli / memperoleh BKP atau JKP, akan dipungut PPN oleh PKP
penjual. Bagi pembeli PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran
pajak di muka dan disebut pajak masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan
berupa faktur pajak. Sedangkan pada saat menjual / membeli BKP atau JKP kepada pihak
lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan pajak keluaran. Sebagai
bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.

Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu lamanya sama dengan satu bulan
takwin) jumlah pajak keluaran lebih besar dari pada jumlah pajak masukan, selisihnya harus
disetorkan kepada negara. Akan teapi, jika dalam suatu masa pajak dalam jumlah pajak
keluaran lebih kecil dari pada jumlah pajak masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta
kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Pelaporan perhitungan PPN
dilakukan setiap masa pajak berikutnya. Pelaporan perhitungan PPN dilakukan setiap masa
pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa
PPN).

2.5. Saat Terutang dan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pada dasarnya, Pajak Pertambahan Nilai akan terutang pada saat terjadinya transaksi
antar subyek pajak atau Pengusaha Kena Pajak.

Terutangnya PPN akan terjadi pada saat:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak;

2. Impor Barang Kena Pajak;

3. Penyerahan Jasa Kena Pajak;

4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;

5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;

6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau

8. Ekspor Jasa Kena Pajak.

Jika dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran (Pasal 11 Undang-
Undang No 42 tahun 2009).

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak maka akan
terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha
dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal
impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut
melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau
tempat kegiatan usaha (Pasal 12 Undang-Undang No 42 tahun 2009).
2.6 Faktur Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Orang Pribadi atau Badan Usaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, ketika menyerahkan BKP atau JKP wajib untuk membuat Faktur Pajak. Faktur Pajak
adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak (Pasal 1 ayat 23 Undang-
Undang No 42 tahun 2009).

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak

2. Penyerahan Jasa Kena Pajak

3. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

4. Ekspor Jasa Kena Pajak

Faktur Pajak harus dibuat pada:

1. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;

2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum


penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;

3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
4. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Faktur Pajak
harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan (Pasal 13 Undang-Undang No 42
tahun 2009).

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan yang memuat hal-hal di bawah ini
yaitu :

1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak;

2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima
Jasa Kena Pajak;
3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;

4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;

6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;

7. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak (Pasal 13 ayat 5
Undang-Undang No 42 tahun 2009).

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya


dipersamakan dengan Faktur Pajak (Pasal 13 ayat 6 UndangUndang No 42 tahun 2009).

Ada beberapa macam faktur pajak yaitu:

1. Faktur pajak standar Faktur pajak standar harus dibuat paling lambat :

a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan
keseluruhan JKP dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerhan BKP dan atau
penyerhan keseluruhan JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya
maka faktur pajak standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau

b. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerhan BKP ada atau sebelum penyerahan JKP; atau

c. Pada saat penerimaan pembayaran terjamin dalam hal penyerahan sebagai tahap pekerjaan;
atau

d. Pada saar PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada pemungut PPN.

2. Faktur pajak gabungan

Bertujuan untuk meringankan beban administrasi, kepada PKP diperkenankan untuk


membuat satu faktur pajak yang meliputi semua penyerahan BKP atau penyerhan JKP yang
terjadi selama satu bulan takwin kepada pembeli yang sama batau penerima JKP yang sama.
Faktur pajak gabungan yang merupakan faktur pajak standar harus dibuat paling lambat pada
akhir bulan berikutnya setelah bulan BKP dan atau JKP.

3. Faktur pajak sederhana


Faktur pajak sederhana juga merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP
untuk menampung kegiatan penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang dilakukan secara
langsung kepada konsumen akhir.

Dalam Undang-Undang PPN baru yang berlaku mulai 1 April 2010, faktur pajak
hanya memiliki 2 istilah yaitu faktur pajak lengkap dan faktur pajak tidak lengkap. Faktur
pajak lengkap yaitu faktur pajak yang diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai ketentuan
(dulu dikenal dengan faktur pajak standar). Wajib bagi semua PKP. Faktur pajak tidak
lengkap bagi PKP non pedagang eceran yaitu faktur pajak diisi secara lengkap, kecuali
identitas pembeli (nama, alamat, dan NPWP). Faktur pajak ini dulu disebut faktur pajak
sederhana. Faktur pajak tidak lengkap PKP pedagang eceran yaitu faktur pajak diisi secara
lengkap, kecuali identitaas pembeli (nama, alamat, dan NPWP) dan nama serta tandatangan
yang berhak menandatangani faktur pajak. Faktur pajak ini dulu juga disebut faktur pajak
sederhana. Dengan demikian terdapat dua jenis faktur pajak tidak lengkap, yaitu yang
diterbitkan oleh PKP pedagang eceran dan PKP non pedagang eceran.

Faktur Pajak dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan pajak masukan.
Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara formal maupun material. Selain itu,
Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, benar dan ditandatangani. Faktur Pajak yang
tidak diisi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat mengakibatkan PPN yang tercantum
di dalamnya tidak dapat dikreditkan.

2.7 Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)

Indonesia menganut sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan
seluruh kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP, kecuali pengusaha kecil yang
batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Sedabgkan,
pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang PPN (Pasal 3A
Undang-Undang No 42 tahun 2009). Bentuk SPT Masa PPN yang digunakan oleh PKP saat
ini diberi kode 1107 dimana berisi SPT induk beserta dengan lampirannya adalah sebagai
berikut yaitu:

1. Formulir 1107 sebagai SPT Masa induk.


2. Formulir 1107 A sebagai Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM.

3. Formulir 1107 B sebagai Daftar Pajak Masukan dan PPnBM

Ketika PKP melaporkan SPT Masa PPN maka PKP harus menyertakan faktur pajak
masukan yang dapat dikreditkan selama masa pajak yang bersangkutan. Setiap tanggal 15
masa pajak bulan berikutnya PKP wajib membayar PPN terutangnya. Sedangkan untuk
melaporkan SPT Masa PPN harus dilakukan pada tanggal 20 masa pajak bulan berikutnya.
Jika tanggal 15 atau 20 jatuh pada hari libur maka SPT Masa PPN wajib disampaikan pada
hari kerja sebelumnya. Atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN akan dikenakan
denda sebesar

2.8 Pokok-Pokok Perubahan UU PPN

Undang-Undang PPN nomor 18 tahun 2000 telah diganti dengan UndangUndang PPN
nomor 42 tahun 2009. Hal ini mulai berlaku sejak 1 April 2010 dan pokok-pokok perubahan
Undang-Undang PPN yang baru adalah sebagai berikut :

1. Objek Pajak Ekspor

Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Undang-undang PPN
yang saat ini berlaku hanya mengenal ekspor BKP. Untuk ke depannya, guna menetralkan
pembebanan PPN dan menambah daya saing untuk kegiatan jasa yang dilakukan oleh
pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari
Indonesia di Luar Daerah Pabean, atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud akan dikenakan
PPN dengan tarif 0%.

2. Bukan Objek Pajak

a. Penyerahan Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Usaha Untuk membantu
cash flow perusahaan dan memberikan kemudahan administrasi, maka pengalihan BKP yang
dilakukan dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, akan tidak dikenakan PPN, dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.

b. Penetapan Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN Untuk lebih memberikan kepastian
hukum, penetapan barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN yang selama ini diatur dengan
peraturan pemerintah dinaikan menjadi batang tubuh undang-undang.
c. Daging, Telur, Susu, Sayur-sayuran dan Buah-buahan Dalam rangka pemenuhan gizi
rakyat Indonesia dengan cara membantu tersedianya sumber gizi yang harganya terjangkau
maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan
segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.

d. Barang dan Jasa yang Telah Dikenakan Pajak Daerah Untuk menghindari pengenaan pajak
berganda terhadap suatu objek yang sama maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan
pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN, yaitu:

1) Barang hasil pertambangan galian C UU PDRD;

2) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya;

3) Jasa perhotelan;

4) Jasa boga/katering.

e. Jasa Keuangan Untuk memberikan perlakuan yang sama, jasa keuangan yang dilakukan
oleh siapapun, termasuk perbankan syariah, ditetapkan sebagai bukan JKP, sehingga atas
penyerahannya tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, tidak ada perbedaan perlakuan PPN
bagi Wajib Pajak yang berbeda status tetapi melakukan kegiatan usaha yang sama.

f. Pasokan Barang Hasil Pertambangan Umum sebagai Bahan Baku untuk Industri Energi
Dalam Negeri Untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri energi dalam negeri,
barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya, termasuk batubara,
tetap dikategorikan sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.

3. Faktur Pajak dan Saat Pembuatannya

Beberapa hal berkenaan dengan penerbitan Faktur Pajak diberikan kemudahan,


kesederhanaan dan kepastian hukum dalam UU PPN ini, yaitu:

a. Hanya akan dikenal satu jenis Faktur Pajak. Tidak ada lagi Faktur Pajak Standar dan
Faktur Pajak Sederhana.

b. Saat Pembuatan Faktur Pajak Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak
maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat
penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat
pada saat pembayaran. Dengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur
penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.

4. Pengkreditan Pajak Masukan

a. Untuk mencegah penggunaan Faktur Pajak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,


dalam UU PPN yang baru dipertegas bahwa selain pemenuhan syarat formal Faktur Pajak,
maka suatu Pajak Masukan untuk dapat dikreditkan harus juga memenuhi syarat material,
yaitu adanya penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan yang
tercantum dalam Faktur Pajak.

b. Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar
atas pembelian barang modal.

c. Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha yang bersangkutan
ternyata gagal berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan
pengembaliannya wajib dibayar kembali.

5. Deemed Pajak Masukan

Untuk lebih memberikan kepastian hukum dan memberikan kemudahan kepada


Pengusaha Kena Pajak tertentu yang mengalami kesulitan mengikuti mekanisme PK-PM
secara normal, atau mengalami kesulitan dalam menghitung PPN yang harus dibayar,
misalnya Pedagang Eceran atau petani kecil, maka dalam dalam UU PPN yang baru diatur
mengenai penggunaan deemed Pajak Masukan, yaitu pedoman untuk menghitung besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak berdasarkan:

a. Jumlah peredaran usaha/omset;

b. Sektor/kegiatan usaha tertentu.

6. Retur/Pengembalian Jasa Kena Pajak

Agar paralel dengan perlakuan PPN untuk retur/pengembalian Barang Kena Pajak,
dalam UU PPN yang baru diatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak
yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.

7. Saat Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPN

Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT
Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh)
setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam UU KUP, diperlonggar menjadi
paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

8. Restitusi dan Pengembalian Pendahuluan

a. Restitusi (umum) Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas
kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi
pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan
mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan
untuk restitusi di setiap Masa Pajak.

b. Restitusi untuk Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri Dengan pertimbangan bahwa
barang bawaan yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang asing yang bukan penduduk
Indonesia merupakan barang yang akan dikonsumsi di luar negeri dan untuk menarik
wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia, maka PPN dan PPn BM yang dibayar oleh
orang asing tersebut atas barang-barang yang dibawanya ke luar negeri diberikan
pengembalian. Oleh karena itu, dalam UU PPN diatur pemberian pengembalian PPN dan PPn
BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang
paspor luar negeri, dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp 500.000.

c. Pengembalian Pendahuluan

1) Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik
dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya
berdasarkan self assessment, Wajib Pajak tertentu yang memiliki risiko rendah dapat
diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih
dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian apabila diperlukan.

2) Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) per
bulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai
ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.

9. Pemusatan Tempat PPN Terutang

Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, dalam UU PPN yang baru
diberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang, yaitu cukup dengan
melakukan pemberitahuan (bukan lagi permohonan) secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Pajak.
10. Pajak Penjualan atas Barang Mewah

a. Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan
fungsi regulasinya, maka tarif tertinggi PPn BM dinaikkan dari 75% menjadi 200%. Tarif
PPnBM tertinggi sebesar 200% ini hanya akan diterapkan apabila benar-benar diperlukan.

b. Barang yang apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan masyarakat dan moral
masyarakat, serta mengangu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol, tidak lagi
dikategorikan sebagai barang mewah, karena lebih tepat untuk dikategorikan sebagai barang
yang dikenakan cukai.

11. Fasilitas Perpajakan Untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas
perpajakan yang belum diatur dalam Undang-Undang antara lain untuk:

a. Perwakilan negara asing/badan-badan internasional;

b. Impor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang
dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri;

c. Listrik dan air;

d. Kegiatan penanggulangan bencana alam nasional;

e. Menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan


arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang
memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan
dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi;

f. Bahan baku kerajinan perak.

12. Tanggung Renteng

Pengaturan mengenai tanggung renteng Pajak Pertambahan Nilai—yang semula


diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP) sampai dengan perubahan kedua atas Undang-Undang tersebut dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, dan kemudian dihapus dari UU KUP yang baru
karena merupakan pengaturan material—diatur kembali dalam UU PPN yang baru mengingat
ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.

Anda mungkin juga menyukai