Anda di halaman 1dari 107

BAGIAN DUA

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan


Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

GARIS BESAR PEMBAHASAN:

 Konsep Dasar PPN & PPnBM


 Pengertian BKP dan/atau JKP
 Subjek dan Objek PPN
 Mekanisme Pemungutan
 Daerah Pabean
 Tarif
 Tata Cara Pembuatan dan Pembetulan atau
Penggantian Faktur Pajak (e-Faktur)
 Perlakuan Khusus PPN
 Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan (e-Faktur
Goes to e-Filing)
 Perencanaan dan Efisiensi PPN
BAGIAN DUA

BAB VI
PPN & PPnBM
6.1. DASAR HUKUM

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang & Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah;

Beberapa ketentuan atas perubahan UU Nomor 42 Tahun 2009, ketentuan tersebut


berbunyi, sebagai berikut:
1) Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang
mengatur mengenai kepabeanan.
2) Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3) Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
ini.
4) Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak.
5) Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6) Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7) Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9) Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
10) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah
setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
11) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang
Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.

Page | 83
PPN dan PPnBM

12) Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-
menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13) Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14) Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa,
atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15) Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang ini.
16) Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau
sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna
baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi
atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17) Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang.
18) Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19) Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau
oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20) Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Page | 84
BAGIAN DUA

yang dipungut menurut Undang-Undang ini.


21) Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga
Barang Kena Pajak tersebut.
22) Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23) Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24) Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25) Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan
Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26) Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
27) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
28) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
29) Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar
Daerah Pabean.

6.2. KONSEP DASAR PPN DAN PPn BM

Karakteristik Legal PPN


PPN memiliki beberapa karakteristik legal, antara lain sebagai pajak tidak
langsung, dikenakan secara bertingkat, pajak atas konsumsi, bersifat netral, tidak
menimbulkan pajak ganda, pajak objektif dan menggunakan sistem faktur.

Sebagai pajak tidak langsung, beban pajak akan dipikul oleh konsumen akhir,
pengusaha akan menggeser beban pajak tersebut kepada pembelinya sesuai dengan mata
rantai produksi dan distribusi hingga ke konsumen akhir melalui pengenaan pajak secara

Page | 85
PPN dan PPnBM

bertingkat. Penggeseran beban pajak tersebut dilakukan pengusaha melalui mekanisme


pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran.

Pemungutan PPN menggunakan sistem faktur, artinya adanya perubahan keadaan,


peristiwa atau perubahan hukum atas setiap objek PPN mengharuskan PKP Penjual atau
pemberi jasa untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti pngutan PPN. Bagi pihak pembeli
Faktur Pajak merupakan bukti pembayaran PPN.

Gambar 1: Skema Pemungutan PPN

Page | 86
BAGIAN DUA

BAB VII
PENGUKUHAN
PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)

7.1. PENGERTIAN PENGUSAHA KENA PAJAK


Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk
apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya :
 Menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP)
 Mengimport Barang Kena Pajak
 Mengeksport Barang Kena Pajak
 Melakukan Usaha Perdagangan
 Memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah Pabean
 Melakukan Usaja Jasa Kena Pajak (JKP)
 Memanfaatkan Jaa Kena Pajak dari luar daerah pabean

Setelah mendapatkan NPWP dan memenuhi syarat untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak
(PKP) baik OP atau Badan, maka harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor
Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP), adapun ketentuannya sebagai berikut :
1. Setiap Orang Pribadi atau Badan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPPKP
apabila Peredaran usaha atau omzet dalam 1 (satu) tahun lebih dari Rp.
4.800.000.000,-;
2. Bagi Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu)
tahun tidak melebihi dari Rp. 4.800.000.000,- dapat mendaftarkan diri untuk
mendapatkan NPPKP dan disebut Pengusaha Kecil Kena Pajak;
3. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan telah dikukuhkan sebagai PKP dan jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi
Rp.4.800.000.000,- dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai
PKP.

7.2. KEWAJIBAN PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)

Wajib Pajak yang sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka mempunyai beberapa
kewajiban dalam bidang perpajakan, yaitu antara lain :
o Menerbitkan Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak;

Page | 87
PPN dan PPnBM

o Menyetor PPN yang kurang bayar dengan menggunakan e-biling (SSP) ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos paling lambat pada akhir bulan berikut sebelum melaporkan
SPT Masa PPN & PPnBM;
o Melaporkan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak, Barang Tidak Kena Pajak, Jasa
Kena Pajak dan Jasa Tidak Kena Pajak ke KPP dengan menggunakan SPT Masa PPN
& PPnBM paling lambat pada akhir bulan berikutnya.

7.3. PENGERTIAN PENGUSAHA KENA PAJAK PEDAGANG ECERAN

Pengertian Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran adalah Pengusaha Kena


Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dengan cara sebagai berikut :
1. Melalui suatu tempat penjualan eceran, seperti toko, kios atau langsung mendatangi
dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
2. Penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului
dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang;
3. Penyerahan BKP atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau
pembeli langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.
*) PKP Pedagang Eceran diperbolehkan menerbitkan Faktur Pajak tanpa mencantumkan
identitas pembelinya dan tanpa mencantumkan nama dan tanda tangan penjual.
Contoh :
 PKP Supermarket yang menjual barang secara eceran;
 PKP Toko yang menjual barang secara eceran.

7.4. PENGERTIAN PENGUSAHA KECIL DALAM PPN


Pengusaha Kecil dalam PPN adalah pengusaha yang selama satu tahun buku
melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp.4.800.000.000,-

Pengusaha Kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPn & PPnBM yang terutang atas
penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukannaya.

Ketentuan diatas tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk


dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP
biasanya pengusaha yang mempunyai kegiatan usaha penyerahan BKPdan/atau JKP
kepada :
 Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut PPN;

Page | 88
BAGIAN DUA

 BUMN sebagai Pemungut PPN;


 Perusahaan Swasta yang menghendaki adanya Pajak Masukan.

7.5. PENGERTIAN DAERAH PABEAN

Sesuai Pasal 1 angka 1 UU PPN di-definisi-kan:

Pengertian Daerah Pabean adalah Wilayah Republik Indonesia yang meliputi


darat, perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) dan landa kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang
mengatur mengenai Kepabeanan.

Daerah Pabean RI terdapat wilayah yang apabila terjadi Penyerahan BKP dan/atau
JKP tidak dikenakan PPN dan/atau PPnBM, wilayah tersebut disebut Kawasan Berikat
(luas KB tidak sama).

Karena PPN dan PPn BM merupakan pajak atas konsumsi barang atau jasa di
dalam Daerah Pabean RI, maka PPN dan PPn BM hanya dikenakan atas barang atau jasa
yang tujuan konsumsinya di Dalam Negeri RI (destination principle). Sehingga impor
BKP merupakan objek PPN, sedang ekspor BKP dikenakan tarif 0% karena tujuan
konsumsinya di luar daerah pabean.

Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP di dalam Daerah


Pabean dan/atau melakukan Ekspor BKP Berwujud , Ekspor JKP dan/atau Ekspor
BKP Tidak Berwujud di wajibkan :
1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP;
2. Memungut PPN dan/atau PPnBM yang terutang atas transaksi penyerahan BKP
dan/atau JKP;
3. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar;
4. Melaporkan dan menghitung PPN dan/atau PPnBM.

PPN yang terutang atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau Pemanfaatan
JKP dari Luar Daerah Pabean harus dipungut oleh Orang Pribadi atau Badan yang
memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP tersebut, Orang Pribadi atau Badan
tidak harus menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Page | 89
PPN dan PPnBM

Page | 90
BAGIAN DUA

BAB VIII
BARANG KENA PAJAK (BKP)
JASA KENA PAJAK (JKP)

8.1. PENGERTIAN BARANG KENA PAJAK (BKP) DAN JASA KENA PAJAK (JKP)

Pengertian Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak adalah Barang atau Jasa
yang dikenakan PPN dan/atau PPnBM berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 Tentang PPN dan PPnBM.

Secara umum, UU PPN menganut prinsip negative list, artinya menganggap bahwa
semua barang adalah BKP dan semua jasa adalah JKP, kecuali apabila UU PPN
menetapkan lain. Dalam Pasal 4A UU PPN telah ditetapkan beberapa jenis barang dan
Jasa yang tidak dikenakan PPN (diistilahkan dengan Non-BKP dan Non JKP).

Barang Kena Pajak terdiri dari:


1. Barang Berwujud
misal : mobil, rumah, sepeda motor, dan lain-lain
2. Barang Tidak Berwujud
misal : hak paten, hak cipta, merk dagang, dan lain-lain

Secara prinsip UU PPN menganggap bahwa semua penyerahan BKP yang


mengakibatkan berpindahnya hak penguasaan dan kepemilikan atas suatu barang
merupakan “Penyerahan BKP” yang terutang PPN, kecuali jika UU PPN menentukan lain.

Yang termasuk pengertian penyerahan BKP dalam Pasal 1A ayat (1) adalah:
1) Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
2) Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian
sewa guna usaha (leasing);
3) Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4) Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumacuma atas Barang Kena Pajak;
5) Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
6) Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;

Page | 91
PPN dan PPnBM

7) Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan


8) Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya
dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan
Barang Kena Pajak.

Non BKP:
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, antara lain:
a) Minyak Mentah (Crude Oil)
b) Gas Bumi (tidak termasuk gas bumi yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat seperti elpiji);
c) Panas Bumi;
d) Asbes, Batu Tulis, Batu Setengah Permata, Batu Kapur, Batu Apung, Batu
Permata, Bentonit, Dolomit (Feldspar), Garam Batu (halite), Grafit,
Granit/Andesit, Gips, Kalsit, Kaolin, Leusit, Magnesit, Mika, Marmer, Nitrat,
Opsidien, Oker, Pasir dan Krikil, Pasir Kuarsa, Perlit, Fosfat (phosphate),Talk,
Tanah Serap (fullers Earth), Tanah Diatome, Tanah Liat, Tawas (alum), Tras,
Yarosif, Zeolit, Basal, dan Trakkit;
e) Batu Bara sebelum diproses menjadi breket batubara;
f) Biji Besi, Biji Timah, Biji Emas, Biji Tembaga, Biji Nikel, dan Biji Perak serta
Biji Bauksit.
2) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yaitu :
a) Beras;
b) Gabah;
c) Jagung;
d) Sagu;
e) Kedelai;
f) Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g) Daging yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau
direbus;
h) Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan,
atau dikemas;
i) Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas tau tidak dikemas;

Page | 92
BAGIAN DUA

j) Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas
atau tidak dikemas;
k) Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang cerah.
3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering; dan
4) Uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sedang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:


1) Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang;
2) Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
3) Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam
hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
4) Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
5) Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang
Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalamPasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

Non JKP:
1) Jasa pelayanan kesehatan medis, yaitu :
a. Jasa Dokter Umum;
b. Jasa Dokter Spesialis;
c. Jasa Dokter Gigi;
d. Ahli Kesehatan, seperti akupuntur, dll.
2) Jasa pelayanan sosial;
3) Jasa pengiriman surat dengan perangko;
4) Jasa keuangan;
5) Jasa asuransi;
6) Jasa keagamaan;
7) Jasa pendidikan (baik penyelenggaraan sekolah maupun kursus-kursus);
8) Jasa kesenian dan hiburan;
9) Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;

Page | 93
PPN dan PPnBM

10) Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
11) Jasa tenaga kerja; *
12) Jasa perhotelan;
13) Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum;
14) Jasa penyediaan tempat parkir;
15) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
16) Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
17) Jasa boga atau katering.

8.2. PENGERTIAN DAN JENIS BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD

Adalah Barang yang dikenakan PPN disebut BKP, jadi penyerahan barang yang
dikenakan PPN adalah atas Penyerahan BKP, sedang Barang yang tidak dikenakan PPN
disebut Barang Tidak Kena Pajak.

Barang Kena Pajak Tidak Berwujud terdiri dari:


 Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau
karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau hak serupa lainnya;
 Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersil,
atau ilmiah;
 Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (mation picture films), film,
atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
 Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak-hak lainnya sebagaimana diatas;
 Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau
hak menggunakan hak-hak tersebut diatas poin pertama;kedua;ketiga.

Saat terjadinya Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah sebagai
berikut :
 Saat harga atas penyerahan BKP Tidak Berwujud diakui sebagai Piutang atau
Penghasilan, atau pada saat diterbitkannya Faktur Penjualan oleh PKP, sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
 Saat kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau
kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya.

Tarif PPN atas Penyerahan BKP Tidak Berwujud adalah sebesar 10% x Nilai BKP
Tidak Berwujud.

Page | 94
BAGIAN DUA

8.3. DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP)

Yang dimaksud dengan Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang. Biasanya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
1) Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak;
2) Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau
oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
3) Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang dipungut menurut UndangUndang ini;
4) Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir;
5) Nilai lain adalah jumlah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak yang diatur
dalam :
 PMK No. 38/PMK.011/2013 perubahan (PMK No. 75/PMK.03/2010) tentang
Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak. *)
 PMK No. 102/PMK.011/2011 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak
atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah
Pabean Berupa Film Cerita Impor dan Penyerahan Film Cerita Impor, serta Dasar
Pemungutan Pajak Pasal 22 atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor. *)
 PMK No. 83/PMK.03/2012 tentang Kreteria dan/atau Rincian Jasa Tenaga Kerja
yang Tidak Dikenakan PPN. *)

3.4. TARIF PPN

 Tarif PPN adalah 10%;


 Tarif PPN 0% atas ;
1. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

Page | 95
PPN dan PPnBM

2. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan


3. Ekspor Jasa Kena Pajak.
 Tarif PPN 10% dapat diubah paling rendah 5% dan paling tinggi 15% diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
 Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen) dan disamping itu selain PPnBM
juga bisa dikenakan PPnBM Sangat Mewah, sesuai regulasi yang berlaku.

Gambar 2: Klasifikasi BKP / JKP

Page | 96
BAGIAN DUA

BAB IX
OBJEK DAN SUBJEK PPN

9.1. OBJEK PPN

Objek PPN adalah berupa keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum tertentu
terkait barang dan/atau jasa yang ditetapkan oleh undang-undang (UU), walaupun PPN
pada hakekatnya adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri, namun objek
PPN tersebut bukanlah barang atau jasa itu sendiri, melainkan keadaan, peristiwa atau
perbuatan hukum yang berkaitan dengan barang atau jasa tesebut.

Objek PPN yang ditetapkan dalam UU PPN adalah:


1) Pasal 4 UU PPN
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2) Pasal 16D UU PPN
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak,
kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

Page | 97
PPN dan PPnBM

Gambar 3: Objek PPN

9.2. SUBJEK PPN


Subjek PPN biasa disebut dengan pengusaha, baik Pengusaha Kena Pajak (PKP)
maupun non PKP, baik orang pribadi maupun badan (perusahaan). Termasuk dalam
pengertian PKP dan bentuk badan lainnya adalah:
1. Pengusaha yang sejak semula bermaksud/berniat melakukan penyerahan produksi
BKP/JKP (dalam tahap pra-operasi / belum berproduksi komersial);
2. Bentuk kerjasama operasi (joint operation) yang melakukan penyerahan BKP/JKP.

Memperhatikan objek pajak dan mekanisme pemungutan yang telah ditetapkan,


akan diketahui siapa subjek pajak yang dimaksud (lihat tabel mekanisme pemungutan
PPN).

9.3. MEKANISME PEMUNGUTAN

Pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN pada dasarnya menggunakan


mekanisme Credit Method atau Indirect Subtraction Method (Pajak Keluaran minus Pajak
Masukan atau PK-PM). Mekanisme tersebut diberlakukan secara konsisten sejak

Page | 98
BAGIAN DUA

pemberlakuan UU Nomor 8 Tahun 1983. Namun dalam perkembangannya mengalami


beberapa modifikasi / perubahan.

Mekanisme Pemungutan PPN


NO Mekanisme Objek Subjek DPP Saat Terutang
1 Credit Method  Penyerahan BKP PKP  Harga Jual Saat pembayaran
(PK – PM)  Penyerahan JKP  Penggantian atau penyerahan,
 Ekspor BKP  Nilai Ekspor mana yang terjadi
 Penyerahan  Nilai Lain lebih dulu.
Aktiva Pasal 16D
2 WAPU  Penyerahan WAPU  Harga Jual  Bendaharawan,
PEMUNGUT BKP/JKP kepada sebagai  Penggantian saat
WAPU Subjek Pajak  Nilai Lain pembayaran
Pengganti kepada PKP
Rekanan
 Selain
Bendaharawan,
saat Faktur
Pajak dibuat
oleh Rekanan.
3 Self  Impor BKP PKP maupun  Nilai Impor  Saat
Imposition  Pemanfaatan Non PKP  Jumlah Yang pembayaran BM
Method BKP Tidak yang Dibayar atau  Saat dimulainya
(Memungut, Berwujud atau melakukan Seharusnya kegiatan
Menyetor, dan JKP dari Luar DP pemanfaatan Dibayar membangun
Melaporkan  Kegiatan dan atau  40% jumlah sendiri
Sendiri) Membangun kegiatan Pengeluaran.
Sendiri membangun
sendiri

9.4. PPN KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI (PPN KMS)

PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) ATAS KEGIATAN


MEMBANGUN SENDIRI (KMS)

I. LANDASAN HUKUM

Landasan Hukum PASAL 16C UU PPN PPN dikenakan atas kegiatan


membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha/pekerjaan oleh orang
pribadi/badan yang hasilnya digunakan sendiri/ digunakan pihak lain yang batasan
dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Penjelasan: “Kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha/pekerjaannya,
dikenakan PPN dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya penghindaran
pengenaan PPN. Untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari
pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri, maka diatur batasan kegiatan
membangun sendiri dengan Keputusan Menteri Keuangan.” PMK 163/PMK.03/2012.

Page | 99
PPN dan PPnBM

Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan
Membangun Sendiri PER-23/PJ/2012 stdd PER-25/PJ/2012 Tata Cara Penetapan
Secara Jabatan atas Jumlah Biaya yang Dikeluarkan dan/atau yang Dibayarkan Untuk
Membangun Bangunan dalam Rangka Kegiatan Membangun Sendiri;

II. OBJEK PAJAK

OBJEK PAJAK PASAL 16C Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas


kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan. {Pasal 16C UU PPN 1984} MEMBANGUN SENDIRI DALAM
KEGIATAN USAHA/PEK. (Ps. 4 (ayat1) huruf c) TIDAK DLM KEGIATAN
USAHA/PEK. (Ps. 16C);

III. PENGERTIAN KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI

KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI Yang dimaksud dengan Kegiatan


Membangun Sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Bangunan berupa satu atau lebih
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah
dan/atau perairan dengan kriteria: a) konstruksi utamanya terdiri kayu, beton,
pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; b) diperuntukkan bagi tempat
tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan c) luas keseluruhan paling sedikit 200 m2 (dua
ratus meter persegi) Per-Menkeu No.163/PMK.03/2012;

IV. CARA PENGHITUNGAN, SAAT TERUTANG DAN PELAPORAN

CARA PENGHITUNGAN, SAAT TERUTANG DAN PELAPORAN


Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dihitung dengan
cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak. Besarnya
Dasar Pengenaan Pajak adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk
harga perolehan tanah. Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan
membangun sendiri dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan
bangunan selesai. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap
dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara
tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun;

Page | 100
BAGIAN DUA

V. TEMPAT TERUTANG PPN KMS

Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun


sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan Pembayaran Pajak Pertambahan
Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10%
(sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah
biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. Pajak
Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat
dikreditkan. Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri
wajib disetor ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lama tanggal
15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak yang harus diisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan;

VI. TEMPAT BANGUNAN DIDIRIKAN

Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama
tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri
terdaftar, kolom NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak diisi dengan NPWP
orang pribadi atau badan tersebut. Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di
wilayah kerja KPP Pratama yang berbeda dengan KPP tempat orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak
diisi dengan ketentuan sebagai berikut : a. Kolom NPWP diisi dengan : 1) angka 0
(nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; 2) angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama
yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit
berikutnya; dan 3) angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. b. Pada kotak "Wajib
Pajak/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan yang melakukan
kegiatan membangun sendiri;

VII. ORANG PRIBADI (KMS NON NPWP)

Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri


belum memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diisi dengan ketentuan sebagai berikut: a. kolom NPWP diisi dengan: 1) angka 0 (nol)
pada 9 (sembilan) digit pertama; 2) angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang
wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit
berikutnya; dan 3) angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. b. pada kotak "Wajib
Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang melakukan
kegiatan membangun sendiri;

Page | 101
PPN dan PPnBM

VIII. ORANG PRIBADI ATAU BADAN (KMS)

Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri


wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang ke Kantor Pelayanan
Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan
mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak, paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Dalam hal orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak
Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan
membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak;

IX. ORANG PRIBADI ATAU BADAN (KMS PKP)

Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun
sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan
didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda
dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar,
orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib
melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang dengan menggunakan SSP,
wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran
Pajak. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya,
Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib
melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar
ketiga Surat Setoran Pajak;

X. PEMERIKSAAN ATAU VERIFIKASI

Pemeriksaan atau verifikasi Dalam hal orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan kewajiban penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai terutang dan/atau kewajiban pelaporan, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan

Page | 102
BAGIAN DUA

atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat
mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format Lampiran I Peraturan Menteri
163/PMK.03/2012. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri belum memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama
secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan
didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP
sebagai cabang sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan;

XI. ORANG PRIBADI ATAU BADAN TELAH MELAKUKAN PENYETORAN &


PELAPORAN

Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun
sendiri telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas
kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh
oleh Direktorat Jenderal Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan
yang tidak wajar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama dapat menerbitkan surat
himbauan. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya
surat teguran atau surat himbauan, orang pribadi atau badan belum menyetor dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat
bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau pemeriksaan untuk menetapkan
besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut;

XII. HASIL PEMERIKSAAN ATAU VERIFIKASI

Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi


atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri : a) tidak memberikan data
atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk
membangun bangunan; atau b) memberikan data atau bukti pendukung biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak
benar atau tidak lengkap, jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan
untuk membangun bangunan ditetapkan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak.;

Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi


atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak memberikan data atau
bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan, maka jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk
membangun bangunan ditetapkan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data

Page | 103
PPN dan PPnBM

Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing-masing daerah


sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan perubahannya.
Perdirjen No.25/PJ/2012;

Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi


atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri memberikan data atau bukti
pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap, sehingga: 1) Jumlah biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih rendah dari
nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN), maka
penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data nilai terendah data Harga Satuan
Bangunan Gedung Negara (HSBGN) tersebut; atau 2) Jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih tinggi dari nilai terendah
data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara
jabatan dihitung berdasarkan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan. PerMenkeu
No.163/PMK.03/2012;

Contoh Kasus 1:
Pak Hasanuddin, membangun sendiri sebuah bangunan dua lantai, lantai pertama
luasnya 130m2 dan lantai kedua 80m2. Bangunan tersebut diperkirakan selesai selama
3 bulan dengan total biaya sebesar Rp. 250.000.000
Pertanyaan:
Berapakah total PPN KMS yang terutang?

Jawab:
Total bangunan tersebut sama dengan 210m2 (130+80), maka atas kegiatan
membangun sendiri tersebut terutang PPN KMS dengan perhitungan:
10% x 20% x Rp. 250.000.000 = Rp. 5.000.000

Soal Kasus 2:
PT. X telah terdaftar sebagai WP dan dikukuhkan sebagai PKP di KPP Pratama Gresik
Utara. Pada tanggal 1 Desember 2016 membangun sebuah bangunan berlokasi di
GKB-Gresik menggunakan tukang harian yang diawasi sendiri dengan luas 250 M2
dan mengeluaran biaya sebagai berikut:
1) Pembayaran untuk pembelian tanah di Karawang Rp 1 Milyar;
2) Pembelian pasir, batu, kerikil (Non BKP) Rp 40 juta;
3) Pembelian batu bata, semen, genteng (BKP) Rp 77 juta termasuk PPN;
4) Upah tukang Rp 50 juta Januari 2017;

Page | 104
BAGIAN DUA

5) Pembelian pasir, batu, kerikil (Non BKP) Rp 20 juta;


6) Pembelian keramik, cat, kaca (BKP) Rp 33 juta termasuk PPN;
7) Upah tukang Rp 45 juta;

Hitung PPN terutang Kapan PPN disetor Kapan dan dimana dan bagaimana PPN
dilaporkan? (Diskusi)

XIII. MEMBANGUN SENDIRI DALAM KEGIATAN USAHA/PEK. (Ps. 4 (ayat 1)


huruf c) PEMAKAIAN SENDIRI JKP TUJUAN PRODUKTIF, TUJUAN NON
PRODUKTIF TIDAK DIKENAI PPN, DIKENAI PPN TIDAK DLM
KEGIATAN USAHA/PEK. (Ps. 16C) :

1. LUAS 200 M2/LEBIH


2. UTK KEGIATAN USAHA/ TEMPAT TINGGAL
3. PERMANEN – (10% x 20% x Biaya termasuk PPN - PM tidak dapat dikreditkan -
Pengenaan setiap bulan pengeluaran - 10% x Biaya tidak termasuk PPN - PM dapat
dikredit - Pengenaan setelah bangunan selesai).

9.5. PEMAJAKAN JASA OUTSOURCING *)

Jasa Outsourcing Tenaga Kerja merupakan salah satu aspek perpajakan yang
sering mengalami perubahan yang cukup sering, terutama dengan terbitnya Peraturan
Menteri Keuangan Nomr: 83/PMK.03/2012 tanggal 6 Juni 2012 yang berlaku efektif sejak
1 Juli 2012.

Definisi Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari


suatu proses bisnis kepada pihak luar atau perusahaan penyedia jasa Outsourcing (Chandra
Suwondo, 2003)

Sedang definisi Outsourcing menurut ketentuan perpajakan (SE-5/PJ.53/2003


tanggal 13 Januari 2003) yaitu kegiatan memberikan jasa dalam suatu bidang usaha,
kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja pemberi jasa dengan disertai
keterlibatan langsung tenaga kerja tersebut dalam pelaksanaannya.

JENIS-JENIS JASA TENAGA KERJA

Ketentuan perpajakan telah membagi jasa tenaga kerja menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Jasa Tenaga Kerja adalah jasa yang diserahkan oleh tenaga kerja kepada pengguna
jasa tenaga kerja dengan menerima imbalan dalam bentuk gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan sejenisnya. Tenaga kerja tersebut bertanggungjawab langsung kepada

Page | 105
PPN dan PPnBM

pengguna jasa tenaga kerja atas jasa tenaga kerja yang diserahkannya. Contoh: jasa
yang diserahkan oleh buruh atau pekerja kepada para pemberi kerja (perusahaan).
2. Jasa Penyedia Tenaga Kerja adalah jasa yang diserahkan oleh Pengusaha kepada
pengguna jasa tenaga kerja, dimana Pengusaha dimaksud semata-mata hanya
menyerahkan jasa penyediaan tenaga kerja. Contoh: Perusahaan rekrutmen tenaga
kerja yang bertugas mencarikan tenaga kerja sesuai dengan kualifikasi yang
dibutuhkan oleh pengguna jasa.
3. Jasa Penyelenggara Latihan bagi Tenaga Kerja adalah jasa dalam
menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja untuk meningkatkan skill dan ketrampilan
tertentu. Contoh: Jasa pelatihan tenaga satuan pengaman (Satpam).

PROSES BISNIS PERUSAHAAN OUTSOURCING TENAGA KERJA

Ada dua pihak yang terlibat dalam proses bisnis ini, yaitu:
1. Perusahaan Penyedia Jasa
2. Perusahaan Pengguna Jasa

PPh Pasal 23 atas Jasa Outsourcing Tenaga Kerja

Sebagaimana dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 244/PMK.03/2008


Pasal 1 Ayat (2) butir k, termasuk klasifikasi jasa lain dan dilakukan pemotongan PPh
Pasal 23 sebesar 2% dari Jumlah Bruto.

Surat Edaran : SE-53/PJ./2009 telah menegaskan ketentuan mengenai jumlah bruto


sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23, dapat dipahami sepanjang terdapat bukti
pembayaran gaji, maka PPh Pasal 23 dipotong sebesar 2% dari management fee.

Page | 106
BAGIAN DUA

Gambar 4: Dasar Pengenaan Pajak untuk Outsourcing

Kalau kita analisis, maka akan terjadi:


a. Efisiensi arus kas karena berkurangnya pembayaran PPN ke Rekanan.
b. Turunnya biaya outsourcing dan secara laba rugi akan menambah keuntungan
perusahaan (hutang pajak akan berkurang).

PENGENAAN PPN ATAS JASA OUTSOURCING (1 Juli 2012)


Jasa Outsourcing menurut UU PPN, merupakan jenis JKP yang dikenakan PPN, sehingga
atas penyerahannya terutang PPN 10% dikali DPP.

Perubahan Pengenaan PPN atas jasa Outsourcing terjadi pada 1 Juli 2012 sebagaimana yang
diatur dalam PMK Nomor: 83/PMK.03/2012, terdapat dua jenis DPP yaitu:
1. Jika dalam FAKTUR PAJAK tidak dipisahkan antara gaji, upah, honor, tunjangan
tenaga kerja, dan imbalan jasa penyedia jasa maka DPP-nya adalah nilai total tagihan.
(Kode Transaksi Faktur Pajak ditulis 01)

2. Jika dalam FAKTUR PAJAK dapat dipisahkan antara gaji, upah, honor, tunjangan
tenaga kerja dengan imbalan jasa penyedia jasa, maka DPP-nya hanya dari imbalan jasa
saja/managemen fee (DPP Nilai Lain).
(Kode Transaksi Faktur Pajak ditulis 04)

Page | 107
PPN dan PPnBM

DPP Nilai Lain diatur dalam PMK Nomor: 75/PMK.03/2010, dimungkinkan untuk
direvisi atas PMK ini. Terjadi penurunan jumlah PPN yang signifikan atas pemanfaatan
jasa ini, berarti semakin murah ongkos jasa outsourcing.

FENOMENA
Sering terjadi, jumlah gaji dan tunjangan yang ditagihkan oleh perusahaan
penyedia jasa tidak diberikan secara utuh kepada tenaga kerja outsourcing. Gaji mereka
malah lebih sering disunat oleh penyedia jasa, sehingga menjadi lebih kecil dari yang
tercantum di kontrak. Pemerintah sudah berusaha membuat aturan jasa outsourcing seadil
mungkin.

9.6. PPN ATAS PENYERAHAN BKP BERUPA AKTIVA YANG MENURUT TUJUAN
SEMULA TIDAK UNTUK DIPERJUAL-BELIKAN

Salah satu objek PPN yang bersifat khusus adalah penyerahan aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, atau lebih dikenal sebagai PPN Pasal 16D.
Penamaan PPN Pasal 16D ini karena memang ketentuannya diatur dalam Pasal 16D
Undang-undang PPN 1984. Objek PPN ini disebut bersifat khusus karena pengenaan PPN
ini menyimpang dari ketentuan umum pengenaan PPN di mana salah satu persyaratan
supaya atas suatu penyerahan dikenakan PPN adalah dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya. Dalam PPN Pasal 16D, justru PPN dikenakan atas penyerahan yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

MASA 1 JANUARI 1995 S.D. 1 APRIL 2010


Pasal 16D UU No. 11 tahun 1994 berbunyi : “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan
atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva
tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar
pada saat perolehannya dapat dikreditkan.”

Adapun dalam penjelasan dikatakan : “Penyerahan mesin, bangunan, peralatan,


perabotan atau aktiva lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, dikenakan pajak sepanjang memenuhi persyaratan, yaitu bahwa
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya, sesuai ketentuan Undang-
undang ini, dapat dikreditkan.

Dengan demikian, penyerahan aktiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila


Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali jika tidak dapat dikreditkannya
Pajak Pertambahan Nilai tersebut karena bukti pengkreditannya tidak memenuhi

Page | 108
BAGIAN DUA

persyaratan administratif, misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).

Berdasarkan bunyi pasal 16 D UU No. 11 tahun 1994 beserta penjelasannya dapat disarikan
sebagai berikut:
1. Penyerahan Aktiva harus harus berupa Barang Kena Pajak (BKP)
2. Yang melakukan penjualan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP)
3. Pada waktu pembelian PPN telah dibayar, artinya jika pada saat pembelian tidak
membayar PPN misalnya karena pembelian dari non PKP, pembeliannya sebelum UU
PPN 1984 diberlakukan maka atas penjualan tidak terutang PPN.
4. Semua penjualan aktiva yang pajak masukannya “dapat” dikreditkan dikenakan PPN,
Pengertian “dapat” bukan berarti secara nyata telah dikreditkan, walaupun tidak
dikreditkan tapi kalau pajak masukannya “Boleh” dikreditkan maka sudah termasuk
dalam pengertian “dapat” dikreditkan
5. Semua penjualan aktiva yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan tidak
dikenakan PPN kecuali penjualan aktiva yang pajak masukkannya tidak boleh
dikreditkan karena: Bukti pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif,
misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).

SETELAH 1 APRIL 2010


Pengenaan PPN terkait aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan diperluas melalui UU PPN No 42 tahun 2009. Pasal 16D UU PPN No 42
tahun 2009 berbunyi : “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena
Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

Adapun dalam penjelasan dikatakan: “Penyerahan Barang Kena Pajak, antara


lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan atau Barang Kena Pajak lain yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai
pajak. Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena
Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaran bermotor
berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf
c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.”

Berdasarkan bunyi pasal 16D UU PPN No 42 tahun 2009 beserta penjelasannya dapat
disarikan sebagai berikut:
1. Penyerahan Aktiva harus harus berupa Barang Kena Pajak (BKP)

Page | 109
PPN dan PPnBM

2. Yang melakukan penjualan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP)


3. Pada waktu pembelian PPN telah dibayar, artinya jika pada saat pembelian tidak
membayar PPN misalnya karena pembelian dari non PKP, pembeliannya sebelum UU
PPN 1984 diberlakukan maka atas penjualan tidak terutang PPN.
4. Semua penjualan aktiva yang ada pajak masukannya dikenakan PPN kecuali penjualan
aktiva yang pajak masukkannya tidak boleh dikreditkan karena:
a. Berupa sedan dan station wagon (yg keduanya bukan untuk barang dagangan /
disewakan),
b. Aktiva yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kegiatan usaha.

Beberapa Pengertian Terkait Penyerahan Aktiva


 Pajak Masukan, dalam pasal 1 (24) UU PPN No 42 2009 adalah “Pajak Pertambahan
Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak”.
 Pengkreditan Pajak Masukan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c UU PPN No 42 2009
berbunyi:
a. “Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
diberlakukan bagi pengeluaran;
b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan“

Contoh:
Penjualan Aktiva yang terutang PPN
Kategori penjualan aktiva yang terutang PPN adalah sebagai berikut: PT. Nusacode
menjual aset yang sudah tidak efektif lagi berupa mobil bekas dan alat-alat elektronik
bekas untuk diganti dengan keluaran terbaru, dengan nilai total penjualan Rp.240.000.000,
maka atas penjualan aktiva ini terutang PPN dengan alasan sebagai berikut:
1). Yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak,
2). Yang melakukan penjualan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP),
3). Pada waktu pembelian PPN telah dibayar.

Penjualan Aktiva yang tidak terutang PPN


Kategori penjualan aktiva yang tidak terutang PPN adalah sebagai berikut : PT. Nusahati
pada tahun 22 Maret 2017 melakukan Penjualan tanah dan atau bangunan yang dibeli
tahun 1978 dari orang pribadi yang dilengkapi dengan dokumen terkait berupa sertifikat
tanah, tidak terutang PPN dengan alasan sebagai berikut:

Page | 110
BAGIAN DUA

1). Aktiva tersebut diperoleh tanpa adanya PPN Masukan yang dapat dikreditkan.
2). Aktiva diperoleh tahun 1975 dimana pada saat tersebut belum berlaku UU PPN.

Kesimpulan:
Bagi perusahaan yang berbentuk badan hukum tentang penjualan aktiva akan
terlihat jelas dalam mutasi aset pada daftar aktiva tetap. Hal ini akan menjadi perhatian
bagi seorang Account Representative atau Pejabat Fungsional Pemeriksa. Agar hal ini
tidak menjadi masalah maka wajib pajak harus dapat menjelaskan apabila penjualan aset
tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada saat dijual seperti dapat
membuktikan bahwa aset yang dijual pada saat pembelian tidak dipungut PPN karena
pembelian dari non PKP atau sebelum UU PPN diberlakukan. Walaupun sebenarnya saat
mengeksekusi fiskus disamping yang telah diuraikan di atas juga harus memperhatikan
syarat komulatif seperti:
1) Aset yang dijual bukan barang dagangan (tujuan semula bukan untuk diperjualbelikan),
2). Pajak Masukan sudah dibayar,
3). Pajak Masukannya dapat dikreditkan.

9.7. KAWASAN BERIKAT DAN FASILITASNYA

Pengertian:
Pengertian Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan
dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri
pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran,
pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor
atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya
terutama untuk tujuan ekspor. (Peraturan Pemerintah no 33 tahun 1996)

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1986, yang dimaksud


dengan Kawasan Berikat (Bonded Zone) yaitu suatu kawasan dengan batas-batas tertentu
di wilayah pabean Indonesia yang didalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang
kepabeanan, yaitu barang-barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari
dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu terkena pungutan bea-cukai,
dan atau pungutan negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan dengan tujuan
impor, ekspor atau re-ekspor.

Kegiatan dan Fasilitas Kawasan Berikat


Kegiatan yang utama yang dilakukan di dalam Kawasan Berikat adalah kegiatan
pengolahan atau memproses bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau
barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya. Berbeda

Page | 111
PPN dan PPnBM

dengan kawasan perdagangan bebas, di kawasan ini merupakan kegiatan industri,


manufaktur atau bukan hanya perakitan.

Fasilitas Kawasan Berikat diberikan antara lain kepada perusahaan industri yang
orientasi pengeluaran (penjualan) produknya adalah untuk tujuan ekspor dan/atau untuk
dijual ke Kawasan Berikat lainnya. Bagi perusahaan industri/manufaktur yang berorientasi
ekspor akan mendapatkan fasilitas kepabeanan dan perpajakan sebagai berikut:
1. Penangguhan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22:
a. Atas impor barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang semata-
mata dipakai oleh PKB termasuk PKB merangkap PDKB (Pengusaha Di Kawasan
Berikat);
b. Atas impor barang modal atau peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan
kegiatan produksi PDKB;
c. Atas impor barang dan atau bahan untuk diolah di PDKB.

2. Tidak dipungut PPN dan PPnBM:


a. Atas pemasukan Barang Kena Pajak (BKP) dari DPIL untuk diolah lebih lanjut;
b. Atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih
lanjut;
c. Atas pengeluaran barang dan atau bahan ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB
lainnya dalam rangka sub kontrak;
d. Atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan sub kontrak oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) di DPIL atau PDKB lainnya kepada PKP PDKB asal;
e. Atas peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka sub kontrak

3. Pembebasan cukai:
a. Atas impor barang dan atau bahan untuk diolah lebih lanjut;
b. Atas pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) dari DPIL untuk diolah lebih lanjut.

Disamping mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat, perusahaan yang berada di KB


masih bisa memperoleh kemudahan seperti:
1. Barang modal berupa mesin asal impor apabila telah melampaui jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak pengimporannya atau sejak menjadi aset perusahaan dapat
dipindahtangankan dengan tanpa kewajiban membayar Bea Masuk yang terutang.
2. PDKB yang termasuk dalam Daftar Putih dapat mempertaruhkan jaminan berupa Surat
Sanggup Bayar (SSB) kepada KPBC yang bersangkutan atas pemasukan dan
pengeluaran barang ke dan dari PDKB yang dipersyaratkan untuk mempertaruhkan
jaminan.

Page | 112
BAGIAN DUA

Dengan fasilitas yang diperoleh tersebut diatas, maka manfaat yang bisa dipetik
oleh pengusaha dengan mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat antara lain:
1. Efisiensi waktu pengiriman barang dengan tidak dilakukannya pemeriksaan fisik di
Tempat Penimbunan Sementara (TPS / Pelabuhan).
2. Fasilitas perpajakan dan kepabeanan memungkinkan PDKB dapat menciptakan harga
yang kompetitif di pasar global serta dapat melakukan penghematan biaya perpajakan.
3. Cash Flow Perusahaan serta Production Schedule lebih terjamin.
4. Membantu usaha pemerintah dalam rangka mengembangkan program keterkaitan
antara perusahaan besar, menengah, dan kecil melalui pola kegiatan sub kontrak.

Kawasan Berikat merupakan kawasan industri padat karya yang mampu menyerap
banyak tenaga kerja. Disamping menyerap banyak tenaga kerja, industri yang berorientasi
ekspor ini juga banyak menyumbang devisa bagi negara.

9.8. KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS INDONESIA

Pengertian Kawasan bebas atau kawasan perdagangan bebas atau pelabuhan


bebas adalah suatu kawasan yang berada di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga terbebas dari pengenaan bea masuk,
pajak impor dan cukai.

Di Indonesia saat ini ada 4 daerah yang ditetapkan sebagai kawasan bebas dan
pelabuhan bebas antara lain: Sabang, Batam, Bintan dan Karimun. Barang-barang dari luar
negeri yang dimasukkan ke kawasan bebas diberikan pembebasan bea masuk dan tidak
dipungut pajak impor, sehingga harga barang-barang yang ada di kawasan bebas lebih
murah dibandingkan dengan harga di daerah lainnya di dalam negeri.

Pembentukan kawasan perdagangan bebas di Indonesia diyakini dapat mendorong


kegiatan lalu lintas perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi negara
serta memberi pengaruh dan manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Namun hal ini tidak berlaku untuk barang-barang yang dikeluarkan dari kawasan
bebas, harus membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor, kecuali barang yang
dibawa adalah barang untuk keperluan pribadi. Untuk barang bawaan keperluan pribadi
diberikan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sampai
dengan batas nilai pabean paling banyak FOB USD 250.00 (dua ratus lima puluh US
Dollar) per orang atau FOB USD 1,000.00 (seribu US Dollar) per keluarga untuk setiap
perjalanan.

Page | 113
PPN dan PPnBM

Apabila barang bawaan keperluan pribadi penumpang tersebut melebihi batas


nilai pabean yang telah ditentukan, maka atas kelebihannya dipungut bea masuk dan
pajak dalam rangka impor. Demikian juga untuk barang bawaan pribadi yang terkena
cukai atau istilah peraturannya barang kena cukai.

Barang bawaan keperluan pribadi diberikan pembebasan bea masuk, pajak dalam
rangka impor dan cukai untuk setiap orang dewasa dengan jumlah paling banyak 200
batang sigaret, 25 batang cerutu, atau 100 gram tembakau iris/hasil tembakau lainnya
serta 1 liter minuman keras atau minuman mengandung etil alkohol.

Peraturan Tentang Kawasan Perdagangan Bebas Indonesia:


 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti UndangUndang No.1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang,
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 Tentang Tata Laksana
Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Yang Telah Ditetapkan
Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai
 Undang-undang Nomor 48/ PMK.04/2012 Tentang Pemberitahuan Pabean Dalam
Rangka Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah
Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Page | 114
BAGIAN DUA

BAB X
FAKTUR PAJAK (e-Faktur)

10.1. PENGERTIAN FAKTUR PAJAK

FAKTUR PAJAK, sesuai UU PPN Pasal 1 butir 23:


Adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Jenis Faktur Pajak per 1 April 2010 dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Faktur Pajak
Yaitu Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP untuk setiap Penyerahan BKP atau JKP

2. Faktur Pajak Gabungan


Faktur Pajak yang dibuat oleh PKP yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan
kepada pembeli BKP dan penerima JKP yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.

10.2. SAAT PEMBUATAN ATAU PENERBITAN FAKTUR PAJAK

Menurut PER-13/PJ/2010 jo PER-65/PJ/2010, Faktur Pajak harus dibuat pada:


Saat penyerahan BKP dan/atau JKP;
Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan BKP dan/atau JKP;
Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
Saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai
Pemungut PPN.

Sedangkan dalam peraturan baru PER-24/PJ/2012 ditambahkan satu kondisi baru


yaitu: SAAT LAIN yang diatur dengan atau berdasarkan PMK, selain penetapan saat
penerbitan Faktur Pajak, ketentuan ini juga mengatur sanksi apabila ketentuan tentang saat
penerbitan Faktur Pajak tidak dipenuhi, PKP akan dikenakan sanksi Pasal 14 Undang-
Undang KUP.

Apabila Faktur Pajak diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud diatas, PKP dianggap
tidak menerbitkan Faktur Pajak, akibatnya: PKP Pembeli BKP atau Penerima JKP yang

Page | 115
PPN dan PPnBM

menerima Faktur Pajak tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN yang tercantum
didalamnya sebagai Pajak Masukan.

10.3. PENGERTIAN FAKTUR PAJAK TIDAK LENGKAP

Peraturan ini tidak mengenal lagi istilah Faktur Pajak Cacat, sebagai gantinya
muncul istilah Faktur Pajak Tidak Lengkap. PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Tidak
Lengkap dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) UU KUP.

10.4. TATA CARA PEMBUATAN KODE DAN NOMOR SERI PADA FAKTUR PAJAK

Sistem Penomoran Faktur Pajak mengalami perubahan yang cukup signifikan.


Dalam system penomoran yang baru ini, jumlah digit Nomor Faktur Pajak tetap 16 (enam
belas) digit, tetapi dengan pengaturan yang berbeda, yaitu:
 2 (dua) digit Kode Transaksi;
 1 (satu) digit Kode Status;
 13 (tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktur Jenderal
Pajak.

Ketentuan yang baru ini, Direktorat Jenderal Pajak yang akan memberikan Nomor Faktur
Pajak secara blok sesuai permintaan Wajib Pajak.
Contoh:
PKP meminta 100 Nomor Seri Faktur Pajak, maka Nomor Seri Faktur Pajak yang
diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa, contoh:

020.17.00000100 s.d. 020.17.00000199

Catatan:
KPP tempat PKP dikukuhkan akan memberikan Nomor Seri Faktur Pajak ke PKP sesuai
dengan tata cara yang telah ditentukan dimulai dari Nomor Seri 020.17.00000100 untuk
Faktur Pajak yang diterbitkan tanggal 1 April 2017. Untuk tahun 2018 akan dimulai dari
Nomor Seri Faktur Pajak 000.18.00000001 dan seterusnya.

10.5. TATA CARA PENGGUNAAN KODE TRANSAKSI PADA FAKTUR PAJAK

Tata Cara Penggunaan Kode Transaksi Pada Faktur Pajak setelah 1 April 2013
adalah berdasarkan PER-24/PJ/2012, Tanggal 22 Nopember 2012 Tentang Bentuk,
Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka
Pembuatan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara Pembatalan Faktur
Pajak beserta perubahannya.

Page | 116
BAGIAN DUA

Tata Cara Penggunaan Kode Transaksi Pada Faktur Pajak setelah 1 April 2013
adalah sebagai berikut:
a) Kode Transaksi diisi dengan ketentuan sebagai berikut:
01 Digunakan untuk penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan/atau JKP (Jasa
Kena Pajak) yang terutang PPN dan PPN-nya dipungut oleh PKP (Pengusaha
Kena Pajak) Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan / atau JKP. Kode
ini digunakan dalam hal bukan merupakan jenis penyerahan sebagaimana
dimaksud pada kode 04 sampai dengan kode 09.

02 Digunakan untuk penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan/atau JKP (Jasa
Kena Pajak) kepada Pemungut PPN Bendahara Pemerintah yang PPN-nya
dipungut oleh Pemungut PPN Bendahara Pemerintah.

03 Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN


Lainnya (selain Bendahara Pemerintah) yang PPN-nya dipungut oleh
Pemungut PPN lainnya (selain Bendahara Pemerintah)
Pemungut PPN lainnya selain bendahara pemerintah adalah Kontraktor
Kontrak Kerja Sama Perusahaan Minyak dan Gas, Kontraktor atau Pemegang
Kuasa/Pemegang Izin Perusahaan Sumber Daya Panas Bumi, BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) atau Wajib Pajak Lainnya yang ditunjuk sebagai
Pemungut PPN, termasuk perusahaan yang tunduk terhadap Kontrak Karya
Pertambangan yang di dalam kontrak tersebut secara lex specialist ditunjuk
sebagai Pemungut PPN.

04 digunakan untuk penyerahan BKP dan atau JKP yang menggunakan


DPP (Dasar Pengenaan Pajak) Nilai Lain yang PPN-nya dipungut oleh PKP
(Pengusaha Kena Pajak) Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan atau
JKP.

05 Kode ini tidak dapat digunakan lagi.

06 Digunakan untuk penyerahan Lainnya yang PPN-nya dipungut oleh PKP


Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP, dan penyerahan
kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 E Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang
PPN dan PPnBM.
Kode ini digunakan atas penyerahan BKP dan/atau JKP selain jenis
penyerahan pada kode 01 sampai dengan kode 04 dan penyerahan BKP kepada
orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing), antara lain :

Page | 117
PPN dan PPnBM

a. Penyerahan yang menggunakan tarif selain 10%, contohnya


penyerahan JKP di bidang pertambangan yang bersifat lex specialis,
yang terutang Pajak Penjualan dengan tarif 5%.

b. Penyerahan hasil tembakau yang dibuat didalam negeri oleh


Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di
luar negeri oleh importir hasil tembakau dengan mengacu pada
ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
62/KMK.03/2002 tentang Dasar Penghitungan, Pemungutan dan
Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil
Tembakau.

c. Penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri


(turis asing) oleh PKP toko retail yang ditunjuk, terkait dengan
penerbitan Faktur Pajak Khusus.

07 Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas


PPN Tidak Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP).
Kode ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas PPN Tidak
Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP), berdasarkan peraturan
khusus yang berlaku, antara lain :
a. Ketentuan yang mengatur mengenai Bea Masuk, Bea Masuk
Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek
Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Dana Pinjaman/Hibah Luar
Negeri.

b. Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan bagi


Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi Tujuan Ekspor
(EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan Berikat (KB).

c. Ketentuan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat.

d. Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan di Kawasan


Pengembangan Ekonomi Terpadu.

e. Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Pajak Pertambahan


Nilai atas Penyerahan Avtur Untuk Keperluan Penerbangan
Internasional.

Page | 118
BAGIAN DUA

f. Ketentuan yang mengatur mengenai Toko Bebas Bea.

g. Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati Di
Dalam Negeri

h. Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Kepabeanan,


Perpajakan, dan Cukai serta pengawasan atas dan pengeluaran barang
ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

i. Ketentuan yang mengatur mengenai Tata cara pengawasan,


pengadministrasian, pembayaran, serta pelunasan PPN dan/atau
PPnBM atas pengeluaran dan/atau penyerahan BKP dan/atau JKP dari
kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean dan pemasukan
dan/atau penyerahan BKP dan/atau JKP dari tempat lain dalam daerah
pabean ke kawasan bebas.

j. Ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara pemasukan dan


pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditunjuk sebagai
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

08 Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas


dibebaskan dari pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Kode ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan
dari pengenaan PPN, berdasarkan peraturan khusus yang berlaku antara
lain :
a. Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak
Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

b. Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan


Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan
dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

c. Ketentuan yang mengatur mengenai pemberian pembebasan Pajak


Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah
kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta
pejabatnya.

Page | 119
PPN dan PPnBM

09 Digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D yang PPN-nya dipungut oleh
PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP

b) Penyerahan yang menggunakan Kode Transaksi 01 adalah penyerahan yang terutang


PPN dan PPN-nya dipungut oleh PKPPenjual yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP yang jenis penyerahannya tidak dalam kategori:
1. Penyerahan yang menggunakan DPP Nilai lain (Kode 04).
2. Penyerahan lainnya dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar
negeri (turis asing) (Kode 06) dan/atau
3. Penyerahan Aktiva Pasal 16 D (Kode 09).

c) Penyerahan yang menggunakan Kode Transaksi 02 atau 03 adalah penyerahan kepada


Pemungut PPN yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN, termasuk atas penyerahan
kategori:
1. Penyerahan yang menggunakan DPP Nilai Lain (Kode 04).
2. Penyerahan lainnya dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar
negeri (turis asing) (Kode 06) dan/atau
3. Penyerahan Aktiva Pasal 16 D (Kode 09).

d) Dalam hal atas penyerahan kepada Pemungut PPN, PPN yang terutang dikecualikan
dari pemungutan oleh Pemungut PPN, maka kode transaksi yang digunakan mengacu
pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir b diatas.

e) Penyerahan yang mendapat fasilitas PPN tetap menggunakan Kode Transaksi 07 dan
08, termasuk penyerahan kepada Pemungut PPN.

10.6. TATA CARA PENGGUNAAN KODE STATUS PADA FAKTUR PAJAK

Tata Cara Penggunaan Kode Status pada Faktur Pajak setelah 1 April 2013 adalah
sebagai berikut:

 Kode Status, diisi dengan ketentuan sebagai berikut :


1. 0 (nol) untuk status normal;
2. 1 (satu) untuk status penggantian.

 Dalam hal Faktur Pajak pengganti ke-2, ke-3 dan seterusnya, maka Kode Status yang
digunakan Kode Status 1 (satu)

Penggantian Faktur Pajak terjadi apabila Faktur Pajak yang telah diterbitkan ternyata
rusak, salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan.

Page | 120
BAGIAN DUA

Referensi:
PER-17/PJ/2014 Tanggal 20 Juni 2014 Tentang Perubahan Ke Dua PER-24/PJ/2012
Tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan
Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara
Pembatalan Faktur Pajak.

PER-08/PJ/2013 Tanggal 27 Maret 2013 Tentang Perubahan Atas PER-24/PJ/2012


Tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan
Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara
Pembatalan Faktur Pajak.

PER-24/PJ/2012 Tanggal 22 Nopember 2012 Tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara


Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara
Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak.

10.7. TATA CARA PENGGUNAAN TAHUN PENERBITAN FAKTUR PAJAK

Tata Cara Penggunaan Tahun Penerbitan Untuk Nomor Faktur Pajak setelah 1
April 2013 adalah sebagai berikut:

Tahun Penerbitan yang digunakan pada Nomor Seri Faktur Pajak ditulis dengan
mencantumkan dua digit terakhir dari tahun diterbitkannya Faktur Pajak, contohnya tahun
2017 ditulis '17'.

Contoh Nomor Faktur Pajak :


010.000-17.00000020

10.8. TATA CARA PENGGUNAAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK

Tata Cara Penggunaan Nomor Seri Faktur Pajak Setelah 1 April 2013 adalah
sebagai berikut:
 Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 11 (sebelas) digit nomor urut yang dipisahkan oleh
2 (dua) digit tahun penerbitan.
 Nomor Seri Faktur Pajak diberikan dalam bentuk blok nomor dengan jumlah sesuai
permintaan PKP.
 Nomor Seri Faktur Pajak digunakan untuk penerbitan Faktur Pajak dalam tahun yang
sama dengan 2 (dua) digit tahun penerbitan yang tertera dalam Nomor Seri Faktur
Pajak.

Page | 121
PPN dan PPnBM

 Apabila nomor seri faktur pajak yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak telah
habis digunakan, maka PKP dapat meminta kembali.
 Apabila nomor seri faktur pajak yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam
Tahun Pajak berjalan tidak habis digunakan, maka harus dikembalikan oleh PKP ke
Kantor Pelayanan Pajak bersamaan dengan SPT Masa PPN Masa Pajak Desember
tahun pajak yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana diatur
dalam Lampiran IVF PER-24/PJ/2012 Tanggal 22 Nopember 2012 Tentang Bentuk,
Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka
Pembuatan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara Pembatalan
Faktur Pajak. (Sekarang sudah menggunakan aplikasi e-Nofa)
 Nomor Seri Faktur Pajak hanya boleh digunakan selama Tahun Pajak diterbitkannya
Nomor seri faktur pajak tersebut. Misalnya Nomor seri faktur pajak yang diberikan oleh
Kantor Pelayanan Pajak pada bulan Maret 2014 hanya dapat digunakan untuk transaksi
selama Tahun Pajak 2014.

10.9. PENGERTIAN FAKTUR PAJAK GABUNGAN

Pengertian Faktur Pajak Gabungan adalah:


Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang meliputi seluruh
penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa
Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.

Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah
terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.

Faktur Pajak Gabungan merupakan Pajak Masukan bagi pengusaha kena pajak
sebagai pengguna faktur tersebut (sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau pengguna Jasa
Kena Pajak).

Contoh 1:
PT. Mustika Jaya (Pengusaha Kena Pajak) melakukan penjualan semen kepada CV.Sungai
Mas pada tanggal 2, 3, 6, 8,14, 21, 26, 27 dan 31 Mei 2017, tetapi sampai dengan tanggal
31 Mei 2017 sama sekali belum ada pembayaran atas penjualan semen tersebut, PT.
Mustika Jaya diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan meliputi seluruh
penyerahan yang dilakukan pada bulan Mei 2017, yaitu paling lama tanggal 31 Mei 2017.

Contoh 2:
PT. Gunung Muria (Pengusaha Kena Pajak) melakukan penyerahan Jasa Service AC
kepada CV.Air Murni pada tanggal 4, 7, 8, 13, 15, 17, 24, 27 dan 30 Mei 2017. Pada

Page | 122
BAGIAN DUA

tanggal 27 Mei 2017 terdapat pembayaran oleh CV.Air Murni atas penyerahan tanggal 4
Mei 2017. Dalam hal PT. Gunung Muria menerbitkan Faktur Pajak Gabungan, Faktur
Pajak Gabungan dibuat pada tanggal 31 Mei 2017 yang meliputi seluruh penyerahan yang
terjadi pada bulan Mei 2017.

Contoh 3:
PT.Kelapa Muda (Pengusaha Kena Pajak) melakukan penjualan sabut kelapa kepada
CV.Mangga Manis pada tanggal 3, 5, 8, 11, 17, 25, 27 dan 30 Juni 2017. Pada tanggal 27
Juni 2017 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 3 Juni 2017 dan pembayaran uang
muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Juli 2017 oleh CV.Mangga
Manis. Dalam hal PT. Kelapa Muda menerbitkan Faktur Pajak Gabungan, Faktur Pajak
Gabungan dibuat pada tanggal 30 Juni 2017 yang meliputi seluruh penyerahan dan
pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan Juni 2017.

10.10. TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK

1. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak-nya telah diterbitkan, maka Faktur
Pajak tersebut harus dibatalkan.
2. Pembatalan transaksi harus didukung oleh bukti atau dokumen yang membuktikan
bahwa telah terjadi pembatalan transaksi. Bukti dapat berupa pembatalan kontrak atau
dokumen lain yang menunjukkan telah terjadi pembatalan transaksi.
3. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang melakukan pembatalan Faktur Pajak harus
memiliki bukti dari Pengusaha Kena Pajak Pembeli yang menyatakan bahwa transaksi
dibatalkan.
4. Faktur Pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasi (disimpan) oleh Pengusaha
Kena Pajak Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut.
5. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang membatalkan Faktur Pajak harus mengirimkan
surat pemberitahuan dan copy dari Faktur Pajak yang dibatalkan ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Penjual dikukuhkan dan ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Pembeli dikukuhkan.
6. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Penjual belum melaporkan Faktur Pajak yang
dibatalkan di dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, maka
Pengusaha Kena Pajak Penjual harus tetap melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan mencantumkan nilai 0
(nol) pada kolom DPP, PPN atau PPnBM.

10.11. DOKUMEN TERTENTU YANG KEDUDUKANNYA DIPERSAMAKAN


DENGAN FAKTUR PAJAK

Page | 123
PPN dan PPnBM

Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak paling sedikit harus memuat :
a. Nama, alamat dan NPWP yang melakukan ekspor atau penyerahan;
b. Nama pembeli BKP atau penerima JKP;
c. Jumlah satuan barang apabila ada
d. Dasar Pengenaan Pajak; dan
e. Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor.

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak adalah :


a. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh
pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan
invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
b. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh
Bulog/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
c. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA
untuk penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak;
d. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;
e. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang
dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
f. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
g. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik;
h. Pemberitahuan Ekspor Jasa Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang dilampiri
dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, untuk
ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
i. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan dilampiri dengan Surat Setoran Pajak, Surat
Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor Barang Kena Pajak; dan
j. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean.

10.12. CONTOH PEMBATALAN, PENGGANTIAN FAKTUR PAJAK, DAN


PENGGANTIAN FAKTUR PAJAK MASA SAMA

1. Pembatalan Faktur Pajak


Contoh:
a. Pada tanggal 01 Januari 2016 PT. X (PKP Penjual) melakukan penjualan BKP
kepada PT. Y (PKP Pembeli) dengan harga jual sebesar Rp. 100.000.000,-

Page | 124
BAGIAN DUA

b. Pada tanggal 01 Januari 2016 PT. X (PKP Penjual) menerbitkan Faktur Pajak
dengan DPP (Dasar Pengenaan Pajak) sebesar Rp. 100.000.000,- dan PPN (Pajak
Pertambahan Nilai) sebesar Rp. 10.000.000,-
c. Pada tanggal 25 Pebruari 2016 PT. Y (PKP Pembeli) membatalkan pembelian,
sehingga PT. X (PKP Penjual) harus melakukan pembatalan Faktur Pajak.
d. Sebagai Konsekuensi dari PEMBATALAN tersebut, maka :
 PT. X (PKP Penjual) melakukan hal sebagai berikut :
a) Apabila PT. X (PKP Penjual) belum melaporkan Faktur Pajak dalam SPT
Masa PPN Masa Pajak Januari 2016, maka PT. X (PKP Penjual) harus tetap
melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam SPT Masa PPN Masa Pajak
Januari 2016 pada Formulir 1111 A2 dengan mengisi nilai 0 (nol) pada
kolom DPP dan kolom PPN (Rupiah);
b) Apabila PT. X (PKP Penjual) telah melaporkan Faktur Pajak dalam SPT
Masa PPN Masa Januari 2016 sebagai Faktur Pajak Keluaran dengan nilai
DPP sebesar Rp. 100.000.000,- dan PPN sebesar Rp. 10.000.000,- maka
PT. X (PKP Penjual) harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa
Januari 2016 dengan cara melaporkan Faktur Pajak tersebut pada Formulir
1111 A2 dengan mengisi nilai 0 (nol) pada kolom DPP dan kolom PPN
(Rupiah).

 PT. Y (PKP Pembeli) melakukan hal sebagai berikut :


a) Dalam hal PT. Y (PKP Pembeli) telah melaporkan Faktur Pajak tersebut
dalam SPT Masa PPN sebagai Faktur Pajak masukan dengan nilai DPP
Rp. 100.000.000,- dan PPN sebesar Rp. 10.000.000,-, maka :
b) PT. Y (PKP Pembeli) harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa
Pajak yang bersangkutan dengan cara melaporkan Faktur Pajak tersebut
pada Formulir 1111 B2 dengan mengisi nilai 0 (nol) pada kolom DPP dan
kolom PPN (Rupiah).

2. Penggantian Faktur Pajak


Contoh:
a. Pada tanggal 28 Pebruari 2016 PT. X (PKP Penjual) melakukan penjualan BKP
kepada PT. Y (PKP Pembeli) dengan harga jual sebesar Rp. 280.000.000,-
b. Pada tanggal 28 Pebruari 2016 PT. X (PKP Penjual) menerbitkan Faktur Pajak
dengan Kode dan Nomor Seri 010.000-16.00000050, DPP sebesar Rp.
280.000.000,- dan PPN sebesar Rp. 28.000.000,-
c. Faktur Pajak tersebut telah dilaporkan oleh PT. X (PKP Penjual) pada SPT Masa
PPN Masa Pajak Pebruari 2016.
d. Pada tanggal 11 Juli 2016 diketahui bahwa harga jual sebenarnya adalah sebesar
Rp. 230.000.000,-

Page | 125
PPN dan PPnBM

e. Atas kesalahan tersebut, pada tanggal 15 Juli 2016 PT. X (PKP Penjual)
menerbitkan Faktur Pajak Pengganti dengan Kode dan Nomor Seri 011.000-
16.00000147, DPP sebesar Rp. 230.000.000,- dan PPN sebesar Rp. 23.000.000,-
f. Sebagai Konsekuensi dari penerbitan Faktur Pajak Pengganti tersebut, maka :
 PT. X (PKP Penjual) melakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Pebruari 2016 untuk
melaporkan Faktur Pajak Pengganti tersebut pada Formulir 1111 A2
dengan cara sebagai berikut :
 Kolom Kode dan Nomor Seri diisi dengan Kode dan Nomor Seri
Faktur Pajak Pengganti (011.000-16.00000147);
 Kolom tanggal diisi dengan tanggal Faktur Pajak Pengganti (15 Juli
2016);
 Kolom DPP diisi dengan nilai Rp. 230.000.000,- dan kolom PPN diisi
dengan nilai Rp. 23.000.000,-
 Kolom Kode dan No. Seri Faktur Pajak yang diganti/diretur diisi
dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti (010.000-
16.00000050).
 Faktur Pajak yang diganti tidak perlu dilaporkan lagi pada SPT Masa
PPN Masa Pajak pebruari 2016.

b) Melaporkan Faktur Pajak Pengganti dalam SPT Masa PPN Masa Pajak
Juli 2016 pada Formulir 1111 A2 dengan cara sebagai berikut :
 Kolom Kode dan Nomor Seri diisi dengan Kode dan Nomor Seri
Faktur Pajak Pengganti (011.000-16.00000147);
 Kolom tanggal diisi dengan tanggal Faktur Pajak Pengganti (15 Juli
2016);
 Kolom DPP dan kolom PPN diisi dengan nilai 0 (nol);
 Kolom Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti/diretur diisi
dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti (010.000-
16.00000050).
-
 PT. Y (PKP Pembeli) melakukan hal-hal sebagai berikut :

PT. Y (PKP Pembeli) harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa
Pajak dimana Faktur Pajak yang diganti tersebut dilaporkan sebagai Faktur
Pajak Masukan, dnegan melaporkan sebagai Faktur Pajak Pengganti pada
Formulir 1111 B2 dengan cara sebagai berikut :
 Kolom Kode dan Nomor Seri diisi dengan Kode dan Nomor Seri Faktur
Pajak Pengganti (011.000-16.00000147);

Page | 126
BAGIAN DUA

 Kolom tanggal diisi dengan tanggal Faktur Pajak Pengganti (15 Juli
2016);
 Kolom DPP diisi dengan nilai sebesar Rp. 230.000.000,- dan kolom PPN
diisi dengan nilai sebesar Rp. 23.000.000,-
 Kolom Kode dan Nomor Seri faktur Pajak yang diganti/diretur diisi
dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti (010.000-
16.00000050);
 Faktur Pajak yang diganti tidak perlu dilaporkan lagi pada SPT Masa PPN
Pembetulan.

3. Penggantian Faktur Pajak Masa Sama


Contoh:
a. Pada tanggal 6 Agustus 2016 PT. X (PKP Penjual) melakukan penjualan BKP
kepada PT. Y (PKP Pembeli) dengan harga jual sebesar Rp. 500.000.000,-
b. Pada tanggal 6 Agustus 2016 PT. X (PKP Penjual) menerbitkan Faktur Pajak dengan
Kode dan Nomor Seri 010.000-16.00000210, DPP sebesar Rp. 500.000.000,- dan
PPN sebesar Rp. 50.000.000,-
c. Pada tanggal 29 Agustus 2016 diketahui bahwa harga jual sebenarnya adalah sebesar
Rp. 550.000.000,-
d. Atas kesalahan tersebut PT. X (PKP Penjual) menerbitkan Faktur Pajak Pengganti
pada tanggal 29 Agustus 2016 dengan Kode dan Nomor Seri 011.000-16.00000225,
DPP sebesar Rp. 550.000.000,- dan PPN sebesar Rp. 55.000.000,-
e. Sebagai Konsekuensi dari penerbitan Faktur Pajak Pengganti, maka :

 PT. X (PKP Penjual) harus melakukan hal-hal sebagai berikut :


Melaporkan kedua Faktur Pajak tersebut pada SPT Masa PPN Masa Pajak
Agustus 2016 dengan cara:
a) Untuk Faktur Pajak yang diganti
 Kolom Kode dan Nomor Seri diisi dengan Kode dan Nomor Seri
Faktur Pajak yang diganti (010.000-16.00000210);
 Kolom tanggal diisi dengan tanggal Faktur Pajak yang diganti (06
Agustus 2016);
 Kolom DPP dan PPN diisi dengan nilai 0 (nol).

b) Untuk Faktur Pajak Pengganti


 Kolom Kode dan Nomor Seri diisi dengan Kode dan Nomor Seri
Faktur pajak Pengganti (011-000-16.00000225);
 Kolom tanggal diisi dengan tanggal Faktur Pajak Pengganti (29
Agustus 2016);

Page | 127
PPN dan PPnBM

 Kolom DPP diisi dengan nilai sebesar Rp. 550.000.000,- dan kolom
PPN diisi dengan nilai sebesar Rp. 55.000.000,-
 Kolom Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti/diretur diisi
dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti (010.000-
16.00000210)
 PT. Y (PKP Pembeli) melakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Dalam hal Faktur Pajak yang diganti belum pernah dilaporkan, maka PT.
Y (PKP Pembeli) cukup melaporkan Faktur Pajak Pengganti pada formulir
1111 B2, dengan cara :
 Kolom Kode dan Nomor Seri diisi dengan Kode dan Nomor Seri
Faktur Pajak Pengganti (011.000-16.00000225);
 Kolom tanggal diisi dengan tanggal Faktur Pajak Pengganti (29
Agustus 2016);
 Kolom DPP diisi dengan nilai sebesar Rp. 550.000.000,- dan kolom
PPN diisi dengan nilai sebesar Rp. 55.000.000,-
 Kolom Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti/diretur diisi
dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti (010.000-
16.00000210).

b) Dalam Faktur Pajak yang diganti telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN
Masa Pajak Agustus 2016 dan Faktur Pajak Pengganti diterima oleh PT. Y
(PKP Pembeli) setelah SPT Masa PPN Masa Pajak Agustus 2016
dilaporkan, maka PT. Y (PKP Pembeli) harus melakukan pembetulan SPT
Masa PPN Masa Pajak Agustus 2016 dengan melaporkan Faktur Pajak
Pengganti pada Formulir 1111 B2, dengan cara :
 Kolom DPP diisi dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Pengganti
(011.000-16.00000225);
 Kolom tanggal diisi dengan tanggal Faktur Pajak Pengganti (29
Agustus 2016);
 Kolom DPP diisi dengan nilai sebesar Rp. 550.000.000,- dan kolom
PPN diisi dengan nilai sebesar Rp. 55.000.000,-
 Kolom Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti/diretur diisi
dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti (010.000-
16.00000210);
 Faktur Pajak yang diganti tidak perlu dilaporkan lagi pada SPT Masa
PPN Pembetulan.

4. Nota Retur / Nota Pembatalan Faktur Pajak


Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 65/PMK.03/2010 tentang :

Page | 128
BAGIAN DUA

TATA CARA PENGURANGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK


PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
ATAS BARANG KENA PAJAK YANG DIKEMBALIKAN DAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA KENA PAJAK YANG DIBATALKAN

Pengembalian Barang Kena Pajak Dan Pembuatan Nota Retur, Pembatalan Jasa
Kena Pajak Dan Pembuatan Nota Pembatalan

1. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas penyerahan
Barang Kena Pajak yang dikembalikan (retur) dan/atau atas penyerahan Jasa Kena
Pajak yang dibatalkan, dapat dikurangkan dari PPN dan PPnBM yang terutang
dalam masa pajak terjadinya pengembalian BKP atau pembatalan JKP.
2. Pembeli BKP atau penerima JKP harus membuat dan menyampaikan Nota Retur
atau Nota Pembatalan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual, jika terjadi
pengembalian Barang Kena Pajak (BKP) atau pembatalan Jasa Kena Pajak (JKP),
kecuali diganti dengan BKP/JKP yang jenisnya, tipenya, jumlahnya dan harganya
sama.
3. Nota Retur paling sedikit memuat :
a. Nomor Nota retur;
b. Nomor Seri dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan;
c. Nama, alamat, dan NPWP pembeli;
d. Nama, alamat, NPWP PKP Penjual;
e. Jenis barang dan jumlah harga jual BKP yang dikembalikan;
f. PPN atas BKP yang dikembalikan;
g. PPnBM atas BKP yang tergolong mewah yang dikembalikan;
h. Tanggal pembuatan Nota Retur;
i. Nama dan tandatangan yang berhak menandatangani nota retur.
4. Nota Pembatalan paling sedikit memuat :
a. Nomor nota pembatalan;
b. Nomor Seri dan tanggal Faktur Pajak dari JKP yang dibatalkan;
c. Nama, alamat, dan NPWP penerima JKP;
d. Nama, alamat, NPWP PKP Pemberi Jasa Kena Pajak;
e. Jenis jasa dan jumlah penggantian JKP yang dibatalkan;
f. PPN atas JKP yang dibatalkan;
g. Tanggal pembuatan Nota pembatalan;
h. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota pembatalan.
5. Dianggap tidak terjadi pengembalian BKP atau pembatalan JKP jika Nota Retur atau
Nota Pembatalan tidak mencantumkan syarat-syarat yang harus dimuat dalam Nota
Retur atau Nota Pembatalan, tidak dibuat pada saat BKP dikembalikan atau JKP
dibatalkan dan tidak menyampaikan lembar ke-3 nota retur ke KPP pembeli

Page | 129
PPN dan PPnBM

sehingga tidak dapat mengurangi Pajak Keluaran bagi penjual atau Pajak Masukan,
atau harta, atau biaya bagi pembeli.
6. Nota Retur atau Nota Pembatalan dibuat paling sedikit rangkap 2 (dua) :
a. Lembar ke-1: untuk PKP penjual/pemberi JKP;
b. Lembar ke-2: untuk arsip pembeli/penerima JKP.
7. Jika pembeli BKP atau penerima JKP bukan PKP, Nota Retur atau Nota Pembatalan
dibuat rangkap 3 (tiga). Lembar ke-3 untuk KPP pembeli.
8. Nota Retur atau nota pembatalan harus dibuat pada saat terjadinya pengembalian
BKP atau pembatalan JKP.
9. Bentuk dan ukuran Nota Retur dapat disesuaikan dengan kebutuhan administrasi
pembeli BKP atau penerima JKP.

Pelaporan Nota Retur Atau Nota Pembatalan

Dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) Nota Retur atau Nota
Pembatalan yang dibuat oleh pembeli BKP atau penerima JKP dan yang diterima oleh
Pengusaha Kena Pajak penjual harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN agar dapat
mengurangi PPN/PPnBM yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN sebelumnya.
1. Pengurangan Pajak Keluaran atau Pajak Keluaran dan PPnBM oleh PKP penjual
dan/atau PKP pemberi JKP dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya pengembalian
BKP atau pembatalan JKP.
2. Pengurangan Pajak Masukan, pengurangan harta, atau pengurangan biaya oleh pembeli
atau penerima JKP dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya pengembalian BKP atau
pembatalan JKP.

Dalam hal terjadi Pengembalian Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1), Pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada Pengusaha
Kena Pajak Penjual. (Lihat lampiran : Bentuk Nota Retur)
Dalam hal terjadi pembatalan penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), Penerima Jasa harus membuat dan menyampaikan nota
pembatalan kepada Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak. (Lihat lampiran :
Bentuk Nota Pembatalan)

Contoh:
a. Pada tanggal 10 Juli 2016 PT. Y (PKP Pembeli) melakukan pengembalian BKP atas
pembelian dari PT. X (PKP Penjual) dengan nilai BKP yang dikembalikan sebesar
Rp. 15.000.000,-
b. Pada tanggal 10 Juli 2016 PT. Y (PKP Pembeli) menerbitkan Nota retur atas
pengembalian BKP tersebut;

Page | 130
BAGIAN DUA

c. Nota Retur yang dibuat oleh PT. Y (PKP Pembeli) diterima oleh PT. X (PKP
Penjual) pada tanggal 12 Juli 2016)
d. Tata Cara Pelaporan Nota Retur tersebut bagi PT. Y (PKP Pembeli) dan PT. X (PKP
Penjual) adalah sebagai berikut :

 PT. Y (PKP Pembeli) melaporkan Nota Retur tersebut pada Formulir


1111 B2 dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Juli 2016, dengan cara :
 Kolom Kode dan Nomor Seri diisi dengan Nomor Nota Retur;
 Kolom Tanggal diisi dengan tanggal Nota Retur (10 Juli 2016);
 Kolom DPP diisi dengan nilai sebesar Rp. 15.000.000,- dan kolom PPN
diisi dengan nilai sebesar Rp. 1.500.000,- nilai ditulis dengan tanda kurung
sebagai pengurang;
 Kolom Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti/diretur diisi dengan
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak atas perolehan BKP yang dikembalikan.

 PT. X (PKP Penjual) melaporkan Nota Retur pada Formulir 1111 A2


dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Juli 2016, dengan cara :
 Kolom Kode dan Nomor Seri diisi dengan Nomor Nota Retur;
 Kolom tanggal diisi dengan tanggal Nota Retur (10 Juli 2016);
 Kolom DPP diisi dengan nilai sebesar Rp. 15.000.000,- dan PPN diisi
dengan nilai sebesar Rp. 1.500.000,- Nilai ditulis dalam tanda kurung
sebagai pengurang;

Kolom Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti/diretur diisi dengan
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak atas Penyerahan BKP yang dikembalikan.

Perlakuan/Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan atau Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM) Atas Pemakaian Sendiri.

Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan
produktif adalah :
 Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata
digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang
bersangkutan.

Contoh : Pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan
untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha
yang bersangkutan antara lain:

Page | 131
PPN dan PPnBM

1. Pabrikan mobil/truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan


usaha mengangkut bahan baku spare parts/barang dagangan dari suatu tempat ke
pabriknya atau ke tempat pembeli.
2. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa cangkang/kulit dari inti
sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
3. Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional
perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

Contoh : pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan
untuk kegiatan produksi selanjutnya antara lain:
1. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa cangkang/kulit dari inti
sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.
2. Pabrikan kayu lapis/plywood menggunakan hasil produksinya berupa kayu
lapis/plywood untuk membungkus kayu lapis/plywood yang akan dipasarkan agar tidak
rusak.
3. Perusahaan telekomunikasi melalui sambungan saluran teleponnya selain menyediakan
jasa komunikasi melalui telepon juga menyediakan jasa provider internet bagi
konsumennya.

Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan
konsumtif adalah:

Pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota
keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi
sendiri, selain pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif.

Contoh : Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak untuk tujuan konsumtif antara lain:
1. Pabrikan minimum ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan
atau para tamu.
2. Dalam rangka promosi produk sepatu yang baru, pabrikan sepatu membeli topi dalam
jumlah yang besar. Sebagaian dari topi tersebut diberikan untuk konsumsi karyawannya.
3. Perusahaan telekomunikasi selurar memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular
kepada para direksinya.

Barang Kena Pajak adalah meliputi produk utama, produk sampingan, dan limbah.

Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan
konsumtif terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dan harus diterbitkan Faktur Pajak.

Page | 132
BAGIAN DUA

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dibayar sendiri oleh pengusaha Kena Pajak
yang bersangkutan.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Keluaran dan
sekaligus merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Dalam Faktur Pajak identitas Pengusaha Kena Pajak dan Pembeli Barang Kena
Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak adalah sama yaitu Pengusaha Kena Pajak yang
bersangkutan.

Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan
nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang
Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk pemakaian sendiri atau atas perolehan
Barang Kena Pajak yang kemudian dipakai sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak merupakan
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.

Referensi :
PMK Nomor 121/PMK.03/2015 Tanggal 24 Juni 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas
PMK Nomor 75/PMK.03/2010 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan atau Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM) Atas Pemberian Cuma-Cuma

Pengertian Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak adalah:


Pemberian yang diberikan tanpa imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun
bukan produksi sendiri, termasuk pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi
atau pembeli.

Contoh : Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak antara lain:
 Pabrikan mie instan memberikan bantuan berupa mie instan hasil produksinya kepada
korban bencana alam.
 Pabrikan mie instan memberikan contoh produknya kepada para relasi.
 Pabrikan shampo memberikan 1 sabun mandi untuk setiap penjualan 1 botol produk
shamponya.
 Perusahaan jasa persewaan traktor memberikan bantuan penggunaan traktor kepada
pemerintah untuk mengatasi tanah longsor.

Page | 133
PPN dan PPnBM

Perlakuan PPN dan atau PPnBM bagi Pengusaha Kena Pajak Pemberi Barang Kena
Pajak atau jasa Kena Pajak adalah sebagai berikut:

 Atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak baik yang dilakukan secara tersendiri
atau menyatu dengan barang yang dijual serta atas pemberian cuma-cuma Jasa Kena
Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak. Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang harus dipungut dan dibayar sendiri oleh Pengusaha
Kena Pajak yang bersangkutan dan merupakan Pajak Keluaran.
 Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang
Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan pemberian cuma-cuma atau diberikan
cuma-cuma merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
 Besarnya Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak pemberian cuma-cuma adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba
kotor.
 Atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak produksi sendiri yang tergolong mewah
juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
 Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang harus disetor oleh Pengusaha Kena
Pajak dan dicantumkan dalam Faktur Pajak yang diterbitkan.
 Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang terutang adalah Harga Jual setelah dikurangi laba kotor.

Perlakuan PPN dan atau PPnBM bagi Pengusaha Kena Pajak Penerima Barang Kena
Pajak atau jasa Kena Pajak adalah sebagai berikut:

 Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor atas pemberian cuma-cuma
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena
Pajak penerima Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sepanjang memenuhi
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundangan yang berlaku.
 Nilai perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) adalah nilai
yang tercantum dalam faktur pajak termasuk PPnBM.

Perlakuan PPN Atas Barang/Aktiva/Harta Yang Musnah (Hilang) atau Rusak


Sehingga Tidak Dapat Dipakai Lagi Karena Sebab Diluar Kekuasaan Pengusaha
Kena Pajak atau Keadaan Kahar.

Page | 134
BAGIAN DUA

Kejadian yang merugikan bagi Pengusaha Kena Pajak antara lain:


 Barang Produksi atau Barang Dagangan atau Aktiva atau Harta yang musnah atau rusak
sehingga tidak bisa dipakai lagi karena sebab diluar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak
seperti cacat produksi, jatuh dan yang hilang karena pencurian dan lain-lain.
 Barang Produksi atau Barang Dagangan atau Aktiva atau Harta yang musnah atau rusak
sehingga tidak bisa dipakai lagi karena keadaan kahar seperti peperangan, kerusuhan,
revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya.

Perlakuan PPN atas barang yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat dipakai
karena sebab diluar kekuasaan atau keadaan kahar adalah berdasarkan pasal 12 ayat
2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 42
Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM yaitu:

 Atas barang/aktiva yang tidak dapat dipakai lagi karena sebab tersebut diatas tidak
diterbitkan faktur pajak keluaran sepanjang atas barang/aktiva tersebut tidak dilakukan
penyerahan yang terutang PPN (dijual/dipakai/diberikan cuma-cuma dll), apabila
dilakukan penyerahan yang terutang PPN (dijual/dipakai/diberikan cuma-cuma dll)
maka harus menerbitkan faktur pajak keluaran sesuai dengan ketentuan tentang
penyerahan yang terutang PPN.
 Atas Pajak Masukan barang/aktiva yang telah dikreditkan atau telah dibebankan sebagai
biaya tidak dilakukan penyesuaian atau tidak dilakukan koreksi.
 Terhadap pendapatan atas klaim asuransi tidak diterbitkan faktur pajak karena jasa
asuransi tidak termasuk jasa kena pajak.

Page | 135
PPN dan PPnBM

Gambar 5: Penomoran Nomor Seri Faktur Pajak

Gambar 6: Bentuk Faktur Pajak

Page | 136
BAGIAN DUA

Gambar 7: Output Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak secara Online (e-Nofa)

Page | 137
PPN dan PPnBM

Page | 138
BAGIAN DUA

BAB XI
PERPAJAKAN BENDAHARA
INSTANSI PEMERINTAH DAN BUMN

11.1. KEWAJIBAN PAJAK UNTUK PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH


DAERAH (BENDAHARA PENGELUARAN)

Bendahara Pemerintah adalah pegawai yang ditunjuk oleh pemerintah untuk


membayarkan belanja barang dan jasa serta modal yang dikeluarkan oleh pemerintah
kepada rekanan pemerintah yang dananya berasal dari APBN, APBD dan sumber lainnya.

Bendahara Pemerintah terdiri dari:


 Bendahara Pemerintah Pusat;
 Bendahara Pemerintah Daerah;
 Bendahara Desa.

Bendahara Pemerintah mempunyai kewajiban perpajakan yang agak berbeda


dengan wajib pajak badan dan orang pribadi.

Hal ini terjadi karena Bendahara Pemerintah hanya mempunyai kewajiban


Pemotongan dan Pemungutan atas pengeluaran/belanja barang/jasa/modal yang sumber
dananya berasal dari APBN dan/atau APBD, pengertian APBN dan/atau APBD termasuk
juga penerimaan pemerintah yang tidak dimasukkan dalam APBN dan/atau APBD seperti
penerimaan dari masyarakat yang diterima oleh BLU (Badan Layanan Umum) dan
penerimaan Desa yang tertuang dalam APBDes yang tidak berasal dari APBN dan/atau
APBD.

Bendahara Pemerintah adalah bendaharawan atau pejabat yang melakukan


pembayaran yang dananya berasal dari APBN atau APBD yang terdiri dari Bendaharawan
Pemerintah Pusat dan Daerah baik Provinsi, Kabupaten, dan Kota (KMK 563/2003) serta
bendahara pengelola APBDes.

Kewajiban sebagai bendahara Pemerintah dalam bidang perpajakan adalah sebagai


berikut:
 Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP;

Page | 139
PPN dan PPnBM

 Melakukan pemungutan PPN atas Belanja Barang dan Jasa (nilai pengadaan lebih dari
Rp.1.000.000,- termasuk PPN) dengan tarif 10% dari DPP (dasar pengenaan pajak),
melakukan penyetoran paling lambat tanggal 07 bulan berikut dan melaporkan paling
lambat tanggal 14 bulan berikut;
 Melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas Belanja Barang (nilai pengadaan lebih dari
Rp.2.000.000,- termasuk PPN) dengan tarif 1.5 % dari DPP (dasar pengenaan pajak),
apabila rekanan tidak mempunyai NPWP tarif pajak menjadi 1.5% + 1.5 % (atau 3 %)
dari obyek PPh Pasal 22/DPP PPN, melakukan penyetoran paling lambat pada saat
pembayaran dan melaporkan paling lambat tanggal 14 bulan berikut.;
 Melakukan Pemotongan PPh Pasal 23 atas belanja jasa dengan tarif 2 % dari obyek
PPh Pasal 23/DPP PPN, apabila rekanan tidak mempunyai NPWP tarif pajak menjadi
2% + 2 % (atau 4 %) dari obyek PPh Pasal 23/DPP PPN, melakukan penyetoran paling
lambat tanggal 10 bulan berikut dan melaporkan paling lambat tanggal 20 bulan
berikut. Dengan kode jenis setoran (MAP) 411124-100;
 Melakukan Pemotongan PPh Pasal 4 (2) atas belanja jasa obyek PPh Pasal 4 (2)
dengan tarif 2 % dari obyek PPh Pasal 4 (2)/DPP PPN, melakukan penyetoran paling
lambat tanggal 10 bulan berikut dan melaporkan paling lambat tanggal 20 bulan
berikut. Dengan kode jenis setoran (MAP) untuk jasa perawatan gedung 411128-409;
 Melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 atas belanja pegawai, melakukan penyetoran
paling lambat tanggal 10 bulan berikut dan melaporkan paling lambat tanggal 20 bulan
berikut, dengan ketentuan :
1. Untuk Gaji PNS dipotong PPh Pasal 21 sesuai Tarif Pajak Pasal 17 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh);
2. Untuk Penghasilan PNS selain dari gaji PNS Golongan II ke bawah tidak
dipotong PPh Pasal 21;
3. Untuk Penghasilan PNS selain dari gaji PNS Golongan III dipotong PPh Pasal 21
Final sebesar 5 % dari nilai bruto;
4. Untuk Penghasilan PNS selain dari gaji PNS Golongan IV dipotong PPh Pasal 21
Final sebesar 15 % dari nilai bruto;
5. Untuk Pegawai tidak tetap non PNS (wiyata bakti atau pegawai honorer) dipotong
PPh Pasal 21 sebesar 5 % dari nilai bruto jika nilainya diatas PTKP per bulan;
6. Untuk bukan pegawai (hanya menerima penghasilan sekali) non PNS dipotong
PPh Pasal 21 sebesar 5 % x 50 % x nilai bruto;
7. Untuk bukan pegawai (yang menerima penghasilan lebih dari sekali) non PNS
dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % x 50 % x (dari nilai bruto – PTKP) dengan
syarat yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya apabila tidak
memenuhi syarat maka dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % x 50 % dari nilai bruto
(penghasilan kena pajak kumulatif);

Page | 140
BAGIAN DUA

8. Tarif PPh Pasal 21 non final dikenakan sebesar 5 % + (20 % x 5 %) atau 6 %


kepada penerima penghasilan yang tidak mempunyai NPWP;
9. Kode jenis setoran PPh Pasal 21 final : 411121-402;
10. Kode jenis setoran PPh Pasal 21 non final : 411121-100
 Untuk PPh Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 4 (2) dilakukan pelaporan pajak apabila ada
transaksi, apabila tidak ada tidak perlu lapor.
 Apabila rekanan tidak mempunyai NPWP maka tetap disetor atas nama rekanan
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. NPWP : 00.000.000.0-(kode KPP).000 (KPP Gresik Utara : 00.000.000.0-
612.000)
2. Nama : Nama Toko / Orang / Badan Pemilik barang/jasa
3. Alamat : Alamat Toko / Orang / Badan Pemilik barang/jasa
 Sanksi administrasi bagi bendaharawan yang tidak melaksanakan kewajiban
penyetoran dan pelaporan pajak adalah akan diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP)
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Sanksi tidak setor PPN adalah sebesar 2 % x bulan terlambat x PPN yang
seharusnya disetor
2. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPN adalah sebesar Rp.500.000,-
3. Sanksi tidak setor PPh Pasal 21 adalah sebesar 2 % x bulan terlambat x PPh Pasal
21 yang seharusnya disetor.
4. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp.100.000,-
5. Sanksi tidak setor PPh Pasal 22 adalah sebesar 2 % x bulan terlambat x PPh Pasal
22 yang seharusnya disetor.
6. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 22 adalah sebesar Rp.100.000,-
7. Sanksi tidak setor PPh Pasal 23 adalah sebesar 2 % x bulan terlambat x PPh Pasal
23 yang seharusnya disetor.
8. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp.100.000,-
9. Sanksi tidak setor PPh Pasal 4 (2) adalah sebesar 2 % x bulan terlambat x PPh
Pasal 4 (2) yang seharusnya disetor.
10. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 4 (2) adalah sebesar Rp.100.000,-

11.2. PAJAK UNTUK BENDAHARA BOS SEKOLAH NEGERI

Bendahara BOS (Bantuan Operasional Sekolah) adalah bendahara yang ditunjuk


oleh pemerintah yang berada di lingkungan Sekolah dan memiliki kewajiban untuk
memungut dan memotong pajak atas belanja barang modal, belanja pegawai dan belanja
lainnya yang dananya bersumber dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

Bendahara BOS (Bantuan Operasional Sekolah) mempunyai kewajiban


perpajakan yang agak berbeda daripada Bendahara Pemerintah pada umumnya.

Page | 141
PPN dan PPnBM

Bendahara BOS bisa juga merangkap menjadi bendahara pengeluaran dalam suatu
sekolah.

11.3. Pengenaan Pajak Atas Pengadaan Konsumsi (Makanan & Minuman) oleh
Bendahara Pemerintah Melalui Pembelian Langsung ke Warung/Rumah Makan
Maupun ke Penyedia Jasa Katering

Pengertian Jasa Boga atau Katering (Pasal 1 PMK Nomor 18/PMK.010/2015)


adalah jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan
perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan penyajian, untuk disajikan di
lokasi yang diinginkan oleh pemesan.

Tidak termasuk dalam pengertian jasa boga atau katering adalah penjualan
makanan dan/atau minuman yang dilakukan melalui tempat penjualan berupa toko, kios,
dan sejenisnya untuk menjual makanan dan/atau minuman, baik penjualan secara langsung
maupun penjualan secara tidak langsung/pesanan.

Dari penjelasan tersebut maka Pengadaan Konsumsi (Makanan & Minuman) oleh
Bendahara Pemerintah Melalui Pembelian Langsung ke Warung /Rumah Makan bukan
termasuk dalam kriteria Jasa boga atau katering, sedangkan yang termasuk jasa boga atau
katering adalah apabila pengadaan makan atau minum melalui Penyedia Jasa boga atau
Katering (Badan atau Orang Pribadi).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM


pasal 4 A ayat 3 huruf q disebutkan bahwa Jasa Boga atau Katering adalah termasuk dalam
jasa tertentu yang tidak dikenakan PPN.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 Pasal 1 ayat


6 huruf jj disebutkan bahwa Jasa Boga atau Katering adalah termasuk dalam jenis jasa lain
yang kenakan PPh Pasal 23.

Bendahara mempunyai kewajiban memungut dan memotong serta menyetorkan


pajak yang terutang dalam kegiatan pengadaan barang dan atau jasa.

KESIMPULAN:
1. Atas kegiatan pengadaan konsumsi (makanan dan minuman) oleh Bendahara
Pemerintah melalui pembelian langsung ke warung / rumah makan maupun ke penyedia
Jasa Katering tidak terutang PPN sehingga tidak ada kewajiban pemungutan PPN.
2. Atas kegiatan pengadaan konsumsi (makanan dan minuman) oleh Bendahara
Pemerintah melalui pembelian langsung ke warung / rumah terutang PPh Pasal 22 (nilai

Page | 142
BAGIAN DUA

pengadaan diatas Rp.2.000.000) sehingga bendahara wajib memungut dan


menyetorkan PPh Pasal 22 dengan tarif pajak 1,5 % x Nilai Pembelian Makanan atau
minuman, apabila rekanan tidak memiliki NPWP maka tarif PPh Pasal 22 sebesar 3 %
x Nilai Pembelian Makanan atau minuman.
3. Atas kegiatan pengadaan konsumsi (makanan dan minuman) oleh Bendahara
Pemerintah melalui penyedia Jasa Boga atau Katering terutang PPh Pasal 23 sehingga
bendahara wajib memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 dengan tarif 2 % x Jumlah
Jasa Boga atau Jasa Katering, apabila rekanan tidak memiliki NPWP maka tarif PPh
Pasal 23 sebesar 4 % x Jumlah Jasa Boga atau Jasa Katering.

11.4. Kewajiban Perpajakan Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah Termasuk Bendahara


BOS Kepada Rekanan/Pegawainya Dalam Pengadaan Barang dan Jasa serta
Belanja Pegawai

Kewajibannya adalah sebagai berikut:


1. Menyetor PPh Pasal 21/26, Pasal 22, Pasal 23/26, Pasal 4 (2) dan PPN/PPnBM yang
terutang ke Bank atau Kantor Pos.
2. Melaporkan PPh Pasal 21/26, Pasal 22, Pasal 23/26, Pasal 4 (2) dan PPN/PPnBM yang
telah disetor ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan SPT Masa.
3. Memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21/1721-A2 dan atau 26 kepada PNS
maupun bukan PNS penerima penghasilan.
4. Memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan atau 26 kepada rekanan.
5. Memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 (2) kepada rekanan.
6. Memberikan Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 22 kepada rekanan (kecuali
bendahara BOS).
7. Memberikan Surat Setoran Pajak (SSP) PPN kepada rekanan.

Bendahara Pemerintah Pusat adalah bendahara yang berada pada instansi Pemerintah
Pusat seperti:
1. Kantor Pelayanan Pajak.
2. Kantor Kejaksaan.
3. Kantor Pengadilan Negeri.
4. Kantor Pengadilan Agama.

Bendahara Pemerintah Daerah adalah bendahara yang berada pada Instansi Pemerintah
Pusat antara lain terdiri dari:
 Bendahara Pemerintah Provinsi antara lain:
1. Bendahara DPKAD Provinsi
2. Bendahara DPRD Provinsi

Page | 143
PPN dan PPnBM

 Bendahara Pemerintah Kabupaten/Kota antara lain:


1. Bendahara DPRD.
2. Bendahara Dinas Kesehatan.
3. Bendahara Dinas Sosial.
4. Bendahara Sekolah.
5. Bendahara Desa.
6. Bendahara Kecamatan.

11.5. Perhitungan PPN dan PPnBM Atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak Kepada Bendahara Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dan
Bendahara Bos

Dasar Pemungutan PPN dan PPnBM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan
oleh Bendaharawan Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPKN
sebagaimana tersebut dalam SPM.

Perhitungan PPN dan PPnBM Atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak Kepada Bendahara Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dan Bendahara Bos
adalah sebagai berikut:
a. Dalam hal penyerahan BKP/JKP hanya terutang PPN (tidak terutang PPnBM) dan
Nilai kontrak/jumlah pembayaran termasuk PPN, maka jumlah PPN yang dipungut
adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
Jumlah pembayaran / Nilai kontrak : Rp. 11.000.000
Dasar Pengenaan Pajak (100/110 x 11.000.000) : Rp. 10.000.000
PPN (10/110 x 11.000.000) : Rp. 1.000.000

b. Dalam hal penyerahan BKP/JKP hanya terutang PPN (tidak terutang PPnBM) dan
Nilai kontrak/jumlah pembayaran tidak termasuk PPN, maka jumlah PPN yang
dipungut adalah 10 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh
Jumlah pembayaran / Nilai kontrak : Rp. 10.000.000
Dasar Pengenaan Pajak : Rp. 10.000.000
PPN (10 % x 10.000.000) : Rp. 1.000.000
c. Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang
menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut, di samping terutang PPN juga
terutang PPn BM, maka jumlah PPN dan PPn BM yang dipungut adalah sebagai
berikut :

Page | 144
BAGIAN DUA

Dalam hal terutang PPn BM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut sebesar
10/130 bagian dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPn BM yang dipungut
sebesar 20/130 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh: PPn BM dengan tarif 20%
Jumlah pembayaran / Nilai kontrak : Rp. 13.000.000
Dasar Pengenaan Pajak (100/130 x 13.000.000) : Rp. 10.000.000
PPN (10/130 x 13.000.000) : Rp. 1.000.000

Jumlah PPn BM yang dipungut:


Jumlah pembayaran / Nilai kontrak : Rp. 13.000.000
Dasar Pengenaan Pajak (100/130 x 13.000.000) : Rp. 10.000.000
PPnBM (20/130 x 13.000.000) : Rp. 2.000.000

d. Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) dan
tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka PPN dan PPn BM tidak perlu
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran sebesar
Rp.1.000.000 tersebut hendaknya diartikan termasuk PPN dan PPn BM.
Contoh 1:
Harga Jual : Rp. 900.000
PPN (10 % x 900.000) : Rp. 90.000
PPnBM (20 % x 900.000) : Rp. 180.000
Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM : Rp. 1.170.000

Meskipun Harga Jual 900.0000 tetapi karena pembayaran termasuk PPN dan PPn BM
berjumlah Rp. 1.170.000, (di atas 1.000.000), maka PPN dan PPn BM yang terutang
harus dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN.

Contoh 2:
Harga Jual : Rp. 800.000
PPN (10 % x 800.000) : Rp. 80.000
PPnBM (10 % x 800.000) : Rp. 80.000
Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM : Rp. 960.000

Karena Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM berjumlah 960.000 (kurang dari
1.000.000), maka PPN dan PPn BM yang terutang tidak perlu dipungut oleh
Bendaharawan Pemerintah dan KPKN, tetapi harus dipungut dan disetor oleh PKP
Rekanan Pemerintah, dan Faktur Pajak tetap harus dibuat.

Page | 145
PPN dan PPnBM

11.6. Contoh Perhitungan PPN atas Penyerahan Jasa Konstruksi Kepada Pemungut PPN
(Bendahara Pemerintah) Oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

PT. ABC (Pengusaha Kena Pajak dibidang Jasa Konstruksi) dalam bulan Januari 2015
mempunyai transaksi sebagai berikut:

a. PT.ABC terdaftar sebagai Wajib Pajak sekaligus menjadi Pengusaha Kena Pajak di
KPP Pratama Purwokerto sejak tanggal 20 Maret 2013 (bukan data sebenarnya) dengan
identitas sebagai berikut :
a.) Nama PKP : PT.ABC
b.) NPWP : 01.345.565.5-521.000
c.) Alamat : Jl.Nanas No.1 Purwokerto
d.) Direktur : Aditya

b. Tanggal 05 Januari 2015 membeli besi dengan faktur pajak:


a.) No.Faktur Pajak : 010.900.15.00000008
b.) Tanggal Faktur Pajak : 05 Januari 2015
c.) PKP Penjual : PT.ADDA
d.) NPWP Penjual : 01.253.565.5-521.000
e.) Alamat : Jl.Markisa No.5 Purwokerto
f.) DPP PPN Masukan : Rp. 500.000.000
g.) PPN Masukan : Rp. 50.000.000
h.) Jenis Barang : Besi

c. Tanggal 29 Januari 2015 menyerahkan Jasa Konstruksi (pembuatan gedung kantor)


kepada bendahara pemerintah dengan data sebagai berikut:
a.) Nama Penerima Jasa Konstruksi : Bendahara Dinas Kesehatan
b.) NPWP : 00.125.564.5-521.000
c.) Alamat : Jl.Mawar No.5 Purwokerto
d.) No.Faktur Pajak : 020.900.15.00000001
e.) Tanggal Faktur Pajak : 29 Januari 2015
f.) Nilai Kontrak : Rp. 880.000.000
g.) DPP PPN Keluaran : Rp. 800.000.000
h.) PPN Keluaran : Rp. 80.000.000
i.) SSP disetor oleh pemungut : 30 Januari 2015
j.) Jenis barang/Jasa : Bangunan Gedung Kantor

Perhitungan PPN:
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) : Rp. 800.000.000
Pajak Keluaran (10 % x 800.000.000) : Rp. 80.000.000

Page | 146
BAGIAN DUA

Dikurangi:
Pajak Masukan : Rp. 50.000.000
Dikurangi Yang dipungut Pemungut : Rp. 80.000.000
PPN Kurang / Lebih Bayar : Rp. (50.000.000)

Jadi untuk SPT Masa PPN Masa Januari 2015 Lebih Bayar sebesarRp. 50.000.000.
Atas Lebih Bayar tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya/Masa lainnya
atau diminta kembali atau Restitusi.

11.7. Penyerahan Barang dan atau Jasa Kepada Bendahara Pemerintah


Pusat/Pemerintah Daerah dan Bendahara Bos Yang Tidak dipungut PPN dan
PPnBM

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) tidak
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah (Pusat/Daerah/Bos) dalam hal:

 Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

Nilai Rp .1.000.000 (satu juta rupiah) adalah nilai pengadaan barang kena pajak dan
atau jasa kena pajak termasuk PPN dan/atau PPnBM;

 Pembayaran untuk pembebasan tanah;


 Pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas Pajak
Pertambahan Nilai tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai;
 Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak
oleh PT (PERSERO) PERTAMINA;
 Pembayaran atas rekening telepon;
 Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
 Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan
Perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

11.8. BUMN SEBAGAI PEMUNGUT PPN

Mekanisme Pemungutan PPN oleh BUMN mengacu pada Peraturan Menteri


Keuangan Nomor: 85/PMK.03/2012 sebagaimana telah dirubah terakhir dengan (stdtd)
PMK: 36/PMK.03/2012 dan penjelasan Surat Edaran Dirjen Pajak SE-45/PJ/2012.

Page | 147
PPN dan PPnBM

Kreteria BUMN yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN adalah sebagai berikut:
1. Mulai tanggal 1 Juli 2012, BUMN ditunjuk sebagai Pemungut PPN. Dengan
demikian, PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan kepada BUMN yang memenuhi
ketentuan sebagai Pemungut PPN sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 136/PMK.03/2012 wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh BUMN.
2. BUMN sebagaimana dimaksud pada butir 1 adalah BUMN yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang paling sedikit 51% (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, tidak termasuk anak
perusahaan dan joint operation atau bentuk kerja sama lainnya.
3. Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan saham yang menyebabkan suatu badan
usaha tidak lagi memenuhi kriteria sebagai BUMN, maka terhitung sejak tanggal akta
yang menyatakan perubahan kepemilikan tersebut, badan usaha yang bersangkutan
secara otomatis tidak lagi ditunjuk menjadi Pemungut PPN. Namun demikian,
kewajiban menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang telah dipungut dalam
Masa Pajak yang bersangkutan tetap dilakukan sebagaimana mestinya.
4. Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan saham yang menyebabkan suatu badan
usaha menjadi memenuhi kriteria sebagai BUMN, maka terhitung sejak tanggal akta
yang menyatakan perubahan kepemilikan tersebut, badan usaha dimaksud secara
otomatis ditunjuk menjadi Pemungut PPN dan melakukan kewajiban sebagai
Pemungut PPN.

Page | 148
BAGIAN DUA

Penerbitan Faktur Pajak oleh PKP Rekanan


1. PKP Rekanan wajib membuat Faktur Pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP) atas setiap
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada BUMN sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan
pemungutan PPN oleh BUMN, Faktur Pajak diterbitkan dengan menggunakan Kode
Transaksi “03” pada kode dan nomor seri Faktur Pajak.
3. Dalam hal PKP Rekanan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak yang dikecualikan dari pemungutan PPN oleh Pemungut PPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 136/PMK.03/2012, maka Faktur Pajak diterbitkan dengan menggunakan kode
transaksi selain “03” pada kode nomor seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
4. Terkait dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 136/PMK.03/2012, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut :
a. Untuk Faktur Pajak dengan nilai Dasar Pengenaan Pajak ditambah PPN dan
PPnBM di atas Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), PPN dan PPnBM yang
terutang dipungut oleh BUMN, sehingga PKP Rekanan wajib membuat Faktur
Pajak dengan menggunakan kode transaksi “03” pada kode Faktur Pajak;
b. Untuk Faktur Pajak dengan nilai Dasar Pengenaan Pajak ditambah PPN dan
PPnBM tidak melebihi Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), PPN dan PPnBM
yang terutang dipungut oleh PKP Rekanan, sehingga PKP Rekanan wajib membuat
Faktur Pajak dengan menggunakan kode transaksi “01” pada kode Faktur Pajak.
5. Terkait dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 136/PMK.03/2012, dapat diberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan
rekening telepon adalah tagihan atas penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan
telekomunikasi ke konsumen akhir. Tagihan atas penyerahan jasa selain tersebut di
atas yang dilakukan ke sesama perusahaan telekomunikasi antara lain berupa sewa
jaringan, sewa satelit, dan jasa interkoneksi, tidak termasuk dalam pengertian
rekening telepon sebagaimana dimaksud di atas.
6. PKP Rekanan dapat menerbitkan 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi seluruh
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan kepada
BUMN yang sama selama 1 (satu) bulan kalender (Faktur Pajak Gabungan) yang
harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Page | 149
PPN dan PPnBM

Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPN dan PPnBM oleh BUMN sebagai
Pemungut PPN
1. PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak dari BUMN kepada BUMN tidak dikecualikan dari pemungutan oleh
Pemungut PPN, sehingga BUMN yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak tetap melakukan kewajiban pemungutan PPN sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012.
2. Demikian juga atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari
BUMN kepada Pemungut PPN selain BUMN, PPN dan PPnBM yang terutang tetap
dipungut oleh Pemungut PPN yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak.
3. BUMN wajib menyetorkan PPN dan PPnBM yang telah dipungut ke Kantor Pos/Bank
Persepsi paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir dengan menggunakan SSP dengan Kode Akun Pajak 411211 dan Kode Jenis
Setoran 900.
4. SSP sebagaimana dimaksud pada butir 3 diisi dengan membubuhkan NPWP serta
identitas PKP Rekanan, dan penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai
penyetor atas nama PKP Rekanan.
5. Tanggal jatuh tempo penyetoran sebagaimana dimaksud pada butir 3 tidak mengacu
pada tanggal penerbitan Faktur Pajak oleh PKP Rekanan, dengan demikian apabila
BUMN terlambat melakukan penyetoran yang disebabkan karena keterlambatan PKP
Rekanan menerbitkan Faktur Pajak, maka atas keterlambatan penyetoran tersebut
tetap dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
6. Pelaporan pemungutan PPN dan PPnBM oleh BUMN dilakukan dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
bagi Pemungut PPN Formulir 1107 PUT yang wajib disampaikan dalam bentuk
elektronik (e-SPT).
7. Apabila dalam suatu bulan, BUMN tidak melakukan pemungutan PPN dan PPnBM
sebagai Pemungut PPN, maka BUMN tetap wajib menyampaikan SPT Masa PPN
Formulir 1107 PUT dan diisi dengan angka 0 (Nol).
8. BUMN sebagai Pemungut PPN yang berstatus PKP, mempunyai kewajiban pelaporan
PPN dan PPnBM dengan Formulir 1111 dan Formulir 1107 PUT setiap bulan.
9. Terhadap cabang-cabang BUMN yang telah melakukan pemusatan tempat PPN
terutang, baik berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang PPN maupun
berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang KUP, pemungutan, penyetoran, dan
pelaporan PPN dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai Pemungut PPN dilakukan
oleh BUMN yang ditunjuk sebagai tempat pemusatan PPN terutang.

Page | 150
BAGIAN DUA

Dalam hal BUMN tidak berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai
Pemungut PPN dilakukan di masing-masing tempat kegiatan usaha yang melakukan
transaksi dengan PKP Rekanan.

Ketentuan Pemungutan PPN oleh WAPU BUMN dari Masa ke Masa


PMKNomor :
KMK Nomor : KMK Nomor : 85/PMK.03/2012
Perihal
1289/KMK.04/1988 549/PMK.04/2000 s.t.d.t.d Nomor :
136/PMK.03/2012
Jumlah Rp. 500.000,- Rp. 1.000.000,- Rp.10.000.000,-
Transaksi
yang tidak
Dipungut PPN
oleh Wapu
BUMN
Saat Saat Pembayaran Saat Pembayaran a. Penyerahan BKP
Pemungutan Tagihan Tagihan dan/atau JKP
PPN b. Penerimaan
Pembayaran dalam
hal pembayaran
terjadi sebelum
penyerahan BKP
dan/atau JKP
c. Penerimaan
Pembayaran termin
dalam hal
penyerahan
sebagian tahap
pekerjaan.
Batas Waktu 10 hari setelah 15 hari setelah Tanggal 15, bulan
Penyetoran terjadinya bulan terjadinya bulan berikutnya setelah
PPN pembayaran pembayaran masa pajak berakhir
tagihan
Batas Waktu Hari ke-20 setelah Hari ke-20 setelah Akhir bulan berikutnya
Pelaporan bulan dilakukan bulan dilakukan setelah masa pajak
PPN pembayaran tagihan pembayaran berakhir
tagihan
SSP 4 rangkap 5 rangkap 5 rangkap
Sarana Formulir Laporan SPT Masa Bagi SPT Masa Bagi
Pelaporan Pemungutan PPN Pemungut Pemungut
dan/atau PPnBM

Page | 151
PPN dan PPnBM

Dalam PMK Nomor: 136/PMK.03/2012 dan untuk memberikan kemudahan


administrasi pemungutan, maka dibuatkan Daftar Nominatif.

Daftar Nominatif Faktur Pajak dan Surat Setoran Pajak


Nama Pemungut : …………………………………..
NPWP : …………………………………..
Masa Pajak : …………………………………...
Nomor Nama NPWP Kode dan Tanggal Tanggal NTPN PPN PPnBM
Urut Rekanan Rekanan Nomor Faktur Setor (Rupiah) (Rupiah)
Seri Pajak SSP
Faktur
Pajak
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

Jumlah

BUMN tidak melakukan pemungutan PPN


Dua kemungkinan penyebab:
1. Pemungut PPN melakukan pembayaran yang dikecualikan dari pemungutan PPN,
sebagaimana diatur dalam PMK, adalah :
a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 10.000.000,- termasuk PPN atau PPN
dan PPnBM yang tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
b. Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan perpajakan
mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan;
c. Pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh
PT. Pertamina (Persero);
d. Pembayaran atas rekening telepon;
e. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
f. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan
perpajakan tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM.
2. Pemungut PPN tidak memungut PPN yang seharusnya dipungut, dikarenakan kealpaan
/penyimpangan dari pemungutan PPN. Karena terjadi penyimpangan, maka Pemungut PPN
yang bersangkutan seharusnya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sanksi yang diberlakukan adalah sebagaimana ditegaskan dalam petunjuk pengisian SPT
Masa PPN bagi Pemungut PPN, yaitu: apabila Pemungut PPN dengan sengaja tidak
menyampaikan atau menyampaikan SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada Negara, dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi empat
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dipungut.

Page | 152
BAGIAN DUA

BAB XII
PENGKREDITAN PPN

12.1. PAJAK MASUKAN (PM) / KREDIT PAJAK

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa mekanisme yang mendasari pemungutan


PPN adalah mekanisme indirect subtraction method dan pemungutannya menggunakan
sistem faktur. Dalam mekanisme tersebut, PKP akan membayar PPN (Pajak Masukan/PM)
pada saat perolehan bahan baku atau barang dagangan dan kemudian menggeser beban
pajak tersebut ke rantai produksi atau distribusi berikutnya dengan melakukan
pemungutan PPN (Pajak Keluaran/PK) pada saat melakukan penyerahan kepada pembeli.
Dalam hal ini PKP cukup menyetorkan selisih antara PK dengan PM. Jadi PKP tidak lagi
menanggung beban PPN.

Pajak Keluaran (PK) adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP penjual
pada saat melakukan penyerahan BKP/JKP, atau pada saat ekspor BKP.

Pajak Masukan (PM) adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP
pembeli karena perolehan atau penerimaan BKP/JKP, atau pemanfaatan BKP tidak
berwujud atau JKP dari luar daerah pebean dan atau impor BKP.
Dalam kaitannya dengan mekanisme indirect subtraction method, maka PKP wajib
meyetorkan PPN ke Kas Negara sebagai berikut :
 Jika PK > PM, maka selisihnya merupakan kurang bayar (KB) PPN yang harus disetor;
 Jika PK < PM, maka selisihnya merupakan lebih bayar (KB) yang dapat dikompensasi
ke masa pajak berikutnya atau diminta kembali (restitusi).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Pengkreditan Pajak Masukan :


1. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak harus dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan.
2. Dalam hal impor Barang Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau
berdasarkan permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak dapat menentukan tempat
lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat
pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada angka 1.

Page | 153
PPN dan PPnBM

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan tempat lain selain tempat
dilakukannya impor Barang Kena Pajak sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada angka 2 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
4. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Masukan atas perolehan dan/ atau impor
barang modal dapat dikreditkan.
5. Barang modal sebagaimana dimaksud pada angka 4 adalah harta berwujud yang
memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang
modal yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut.

Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan dan/ atau impor
barang modal sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan barang modal sebagaimana
dimaksud pada angka 5, berlaku untuk seluruh kegiatan usaha.

12.2. Cara Pengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran Atas


Pembelian/Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

Cara Pengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran Atas Pembelian/Perolehan


Barang Kena Pajak dan Atau Jasa Kena Pajak adalah sebagai berikut:
 Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam
Masa Pajak yang sama;
Contoh:
Pajak Masukan dengan Faktur Pajak tanggal 15 Juni 2017 dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran dalam SPT Masa PPN Juni 2017.
 Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
Pajak Masukan dengan Faktur Pajak tanggal 15 Juni 2017 dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran dalam SPT Masa PPN Juli 2017, Agustus 2017 dan September 2017.
Kasus ini sering terjadi apabila faktur pajak diterima setelah tanggal 31 Juli 2017
 Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama dan Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan dapat dikreditkan dengan
cara pembetulan terhadap SPT Masa Pajak yang sama dan Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan dengan

Page | 154
BAGIAN DUA

syarat memenuhi ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang


KUP
Contoh:
Pajak Masukan dengan Faktur Pajak tanggal 15 Januari 2017 yang diterima pada
bulan Juli 2017 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam SPT Masa PPN
Januari 2017, Pebruari 2017, Maret 2017 dan April 2017 dengan cara pembetulan
sesuai dengan pasal 8 undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang KUP.
Kasus ini sering terjadi apabila faktur pajak masa Januari 2017 diterima setelah
tanggal 30 April 2017.

12.3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan

Dalam perhitungan PPN sangat penting bagi Pengusaha Kena Pajak untuk
mengetahui bahwa PPN atas barang kena pajak dan atau jasa kena pajak yang telah
dibayarkan pada saat perolehan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak tidak semua
dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

Jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Pembelian / Perolehan Aktiva,


Pembelian Barang Kena Pajak (PKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) dan Pengeluaran Untuk
Biaya Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) Yang Tidak Dapat Dikreditkan Sebagai Pajak
Masukan antara lain :
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor
berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN
dan PPnBM atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
6. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-
Undang nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.

Page | 155
PPN dan PPnBM

7. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
8. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
9. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Kena Pajak selain barang
modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2a) Undang-Undang nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan
PPnBM.
10. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, tidak dapat dikreditkan pada untuk Masa Pajak
lebih dari 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan.
11. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi telah dibebankan sebagai biaya atau
ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang bersangkutan tidak boleh dikreditkan sebagai pajak masukan.

12.4. Pengertian Keadaan Kahar atau Force Majeure

Pengertian Keadaan Kahar atau Force Majeure


Yang dimaksud dengan keadaan kahar atau force majeure adalah suatu kejadian terjadi
di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak
dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Yang termasuk kategori keadaan kahar atau force majeure adalah sebagai berikut:

 Peperangan
 Kerusuhan
 Revolusi
 Bencana alam
 Pemogokan
 Kebakaran
 Bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang.

Perlakuan Perpajakan atas terjadinya keadaan kahar atau force majeure adalah sebagai
berikut:
 Apabila terjadi keadaan kahar atau force majeure terhadap suatu Barang Kena Pajak
sehingga Barang Kena Pajak tersebut musnah atau rusak sehingga tidak dapat
digunakan lagi, maka tidak mengakibatkan dilakukannya penyesuaian atas Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Page | 156
BAGIAN DUA

Barang Mewah (PPnBM) yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai
biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut.
 Selain itu Apabila terjadi keadaan kahar atau force majeure terhadap suatu Barang Kena
Pajak atau Barang Tidak Kena Pajak sehingga Barang tersebut musnah atau rusak
sehingga tidak dapat digunakan lagi, maka akan mengurangi Persediaan Barang dan
pada akhirnya akan mengurangi Harga Pokok Penjualan.
 Yang paling penting apabila mengalami keadaan kahar atau force majeure terhadap
suatu Barang Kena Pajak atau Barang Tidak Kena Pajak sehingga Barang tersebut
musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi adalah perlunya mencari
dokumen yang dapat mendukung terjadinya peristiwa tersebut, yaitu dokumen yang
berasal dari instansi yang berwenang, misalnya bukti terjadinya kebakaran dari pihak
Kepolisian Republik Indonesia.

Page | 157
PPN dan PPnBM

Page | 158
BAGIAN DUA

BAB XIII
TATA CARA RESTITUSI PPN

13.1. DASAR HUKUM

1. Undang-undang PPN Nomor 42 Tahun 2009;


2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Pengembalian Kelebihan PPN/PPnBM.
3. PMK Nomor:198/PMK.03/2013 tentang Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu Membawa
Efek Positif Bagi Wajib Pajak dan Otoritas Pajak.
4. Per-25/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-44/PJ/2010 Tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta
Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT MASA PPN)

13.2. PENGERTIAN RESTITUSI

Restitusi (réstitusi) adalah ganti kerugian; pembayaran kembali; penyerahan


bagian pembayaran yang masih bersisa. Kaitannya dengan pajak yang kita bayar kepada
Negara, restitusi adalah pembayaran kembali pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
Artinya, Negara membayar kembali atau mengembalikan pajak yang telah dibayar.
Undang-Undang KUP secara umum menyebut restitusi sebagai pengembalian kelebihan
pembayaran pajak.

13.3. PKP HANYA DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN


(RESTITUSI) PADA AKHIR TAHUN BUKU

1. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan Pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
2. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak
(restitusi) pada akhir tahun buku. Bagi PKP Orang Pribadi yang dikecualikan dari
kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah tahun
kalender.

Page | 159
PPN dan PPnBM

13.4. PKP YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN


(RESTITUSI) PADA SETIAP MASA PAJAK

1. PKP yang melakukan ekspor BKP Berwujud;


2. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada Pemungut
PPN
3. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak
dipungut;
4. PKP yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;
5. PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/atau
6. PKP dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a)
Undang-Undang PPN. (Isi Pasal 9 ayat (2a) UU PPN: Bagi Pengusaha Kena Pajak yang
belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak
Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan).

13.5. CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN (RESTIRUSI)

1. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan Pajak dengan


menggunakan:
a.) SPT Masa PPN, dengan cara mengisi (memberi tanda silang) pada kolom
"Dikembalikan (restitusi)"; atau
b.) Surat permohonan tersendiri, apabila kolom "Dikembalikan (restitusi)" dalam SPT
Masa PPN tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian
kelebihan Pajak.
2. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak diajukan kepada KPP di tempat PKP
dikukuhkan.
3. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1
(satu) Masa Pajak.

13.6. PENELITIAN DAN SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN


KELEBIHAN PAJAK (SKPPKP)

1. Penelitian dilakukan terhadap permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang


diajukan oleh:
a. PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP;
 Pasal 17C UU KUP berisi tentang WP dengan Kriteria tertentu (WP Patuh).
b. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17D UU KUP; atau
 Pasal 17 D UU KUP berisi tentang WP yang memenuhi persyaratan tertentu.

Page | 160
BAGIAN DUA

c. PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN.
Penelitian oleh DJP dilakukan terhadap:
 Kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, dan huruf e Undang-Undang PPN;
 Kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
 Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; dan
 Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan Pajak yang diajukan oleh PKP, harus Menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama 1 bulan sejak
saat diterimanya permohonan pengembalian kelebihan Pajak.
3. Apabila jangka waktu 1 bulan tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan SKPPKP, permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan
dianggap dikabulkan dan SKPPKP harus diterbitkan paling lama 7 hari setelah jangka
waktu 1 bulan tersebut berakhir.

13.7. TIDAK DITERBITKANNYA SKPPKP TERHADAP PKP BERESIKO RENDAH

1. Terhadap PKP beresiko rendah, SKPPKP tidak diterbitkan apabila :


a. Hasil penelitian menyatakan Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan Pasal
9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang- Undang PPN;
b. Hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar;
c. Lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap; dan/atau
d. Pembayaran Pajak tidak benar.
2. Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan, terhadap PKP beresiko rendah tersebut harus
diberikan pemberitahuan secara tertulis dengan menggunakan formulir lampiran PMK-
72/PMK.03/2010 dan permohonan pengembalian kelebihan Pajak; dari PKP ini akan
diproses berdasarkan ketentuan Pasal 17B UU KUP.

Skema Wajib Pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan


pembayaran pajak berdasarkan persyaratan tertentu menurut PMK-198/PMK.03/2013.
1. Wajib Pajak Orang Pribadi tidak menjalankan usaha/ pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT lebih bayar restitusi dengan tidak ada batasan lebih bayar;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
menyampaikan SPTlebih bayar restitusi, jumlah lebih bayar maksimal 10.000.000;
3. Wajib Pajak Badan menyampaikan SPT LB Restitusi maksimal 100 juta; atau
4. PKP menyampaikan SPT Masa PPN LB Restitusi maksimal 100 juta.

Page | 161
PPN dan PPnBM

13.8. PEMERIKSAAN DAN SKP

1. Pemeriksaan dilakukan terhadap permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang


diajukan oleh PKP selain :
a. PKP Kriteria tertentu (Pasal 17 C UU KUP),
b. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 17 D UU KUP),
c. PKP Resiko rendah (Pasal 9 ayat 4C UU PPN).
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan Pajak harus menerbitkan SKP paling lama 12 bulan sejak
permohonan pengembalian kelebihan Pajak diterima. Jangka waktu 12 bulan ini
tidak berlaku dalam hal terhadap PKP sedang dilakukanpemeriksaan bukti permulaan
tindak pidana di bidang perpajakan.
3. Apabila setelah melampaui jangka waktu 12 bulan tersebut Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan paling lama 1 bulan setelah
jangka waktu tersebut berakhir.

13.9. PEMERIKSAAN TERHADAP PKP PASAL 17 C UU KUP, PASAL 17D UU KUP,


PKP RESIKO RENDAH

1. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan Pajak


dapat melakukan pemeriksaan kepada PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN, PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17C UU KUP, atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP;
2. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan; diterbitkan SKPKB, PKP kriteria tertentu
atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu wajib membayar jumlah kekurangan
Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah
kekurangan pembayaran Pajak;

Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan SKPKB, PKP berisiko


rendah wajib membayar jumlah kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% per bulan, paling lama 24 bulan, dari jumlah kekurangan
pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) UU KUP.

Page | 162
BAGIAN DUA

Gambar 8: Jangka Waktu Pemeriksaan

Page | 163
PPN dan PPnBM

Page | 164
BAGIAN DUA

BAB XIV
TIP PERENCANAAN DAN
PENGHEMATAN PPN

14.1. PAJAK KELUARAN

 Buat Faktur Pajak Keluaran pada SAAT penyerahan BKP/JKP atau MANFAATKAN
FAKTUR PAJAK GABUNGAN
 ATUR TERM OF PAYMENT agar tidak rugi CASH FLOW
 Terbitkan Faktur Pajak Keluaran pada saat penerimaan termin, khususnya untuk
penyerahan yang didasarkan pada presentase penyelesaian, seperti jasa konstruksi,
jasa audit, jasa asistensi, dsb.
 Jika terjadi kesalahan pembuatan Faktur Pajak Keluaran, buatlah Faktur Pajak
Pengganti dan Simpan Faktur Pajak yang salah agar nomor urut Faktur Pajak tetap
berurutan
 Jika ada diskon, potongan harga atau sejenisnya, cantumkan dalam Faktur Pajak
Keluaran karena akan mengurangi PPN Keluaran
 Lakukan equalisasi jumlah penyerahan yang ada direkapitulasi SPT PPN dengan
jumlah omset yang ada di SPT Tahunan PPh Badan.

14.2. PAJAK MASUKAN

 Pastikan bahwa Faktur Pajak Masukan yang diterima dari rekanan/lawan transaksi
tidak (tidak lengkap). Jika tidak lengkap, atau salah dalam pengisiannya, segeralah
minta penggantiannya agar PPN yang sudah dibayar dapat dikreditkan di SPT Masa
PPN;
 Minta segera Faktur Pajak Masukan atas suatu transaksi agar dapat segera dikreditkan;
 Lakukan transaksi dengan rekanan yang sudah PKP karena ADA Pasal 16F UU PPN,
dan masih ada petugas yang mengenakan tanggungjawab renteng kepada pembeli
BKP/JKP *);
 Taungkan di dalam kontrak klausal mengenai kewajiban rekanan untuk menyetor
PPN yang dipungutnya. Jika tidak, sanksi dapat dikenakan kepada rekanan yang
wanprestasi;
 Jika Faktur Pajak Masukan Hilang segera minta salinan atau fotocopy yang telah
dilegalisir oleh KPP penerbit Faktur Pajak.

14.3. PERENCANAAN PPN

 Harmonisasi PK (Penjualan) & PM (Pembeli);


 Harmonisasi kebijakan, Misal : Pajak & Marketing;

Page | 165
PPN dan PPnBM

 Membangun sendiri atau lewat kontraktor;


 Peduli terhadap Faktur Pajak;
 Rekonsiliasi Penjualan (SPT PPN vs SPT Badan);

Pengelolaan Cashflow PPN, misal: term of payment dan pembuatan Faktur Pajak.

Page | 166
BAGIAN DUA

BAB XV
e-FAKTUR dan e-FILING
(PELAPORAN SPT PPN/PPnBM)

15.1. PENGERTIAN SPT MASA PPN

SPT Masa PPN merupakan formulir laporan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
diisi dan dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) di Indonesia, dan biasanya
disampaikan setiap bulannya (laporan bulanan).

SPT Masa PPN merupakan sebuah form yang digunakan oleh Wajib Pajak Badan
untuk melaporkan penghitungan jumlah pajak baik untuk melapor Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) maupun Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang terhutang.

Fungsi dari SPT Masa PPN selain untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan
pajak, namun juga dapat digunakan untuk melaporkan harta dan kewajiban serta
penyetoran pajak dari pemotong atau pemungut.

15.2. KEWAJIBAN MELAPOR SPT MASA PPN

SPT Masa PPN harus dilapor setiap bulannya, walaupun tidak ada perubahan
neraca, atau nilai Rupiah pada masa pajak terkait nihil (0). Jatuh tempo pelaporan adalah
pada hari terakhir (tanggal 30 atau 31) bulan berikutnya setelah akhir masa pajak yang
bersangkutan.
Kecuali di bawah kondisi tertentu seperti yang dijelaskan pada Peraturan Menteri
Keuangan PER-80/PMK.03/2010, maka tanggal jatuh tempo bukanlah pada akhir bulan
berikut setelah akhir masa pajak yang bersangkutan. Gagal melaporkan akan berakibat
denda sebesar Rp 500.000,00 (UU KUP Pasal 7 ayat 1).

15.3. FORM INDUK DAN LAMPIRAN SPT MASA PPN

Formulir yang kini digunakan adalah SPT Masa PPN 1111, yang terdiri dari 1 form
induk dan 6 form lampiran, SPT Masa PPN tersebut bisa dapatkan di aplikasi e-Faktur.

Page | 167
PPN dan PPnBM

Catatan :
SPT Masa PPN merupakan sebuah form yang digunakan oleh Wajib Pajak Badan untuk
melaporkan penghitungan jumlah pajak baik untuk melapor PPN maupun Pajak
Penjualan Barang Mewah yang terhutang.
Fungsi SPT Masa PPN selain untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak,
namun juga dapat digunakan untuk melaporkan harta dan kewajiban serta penyetoran
pajak dari pemotong atau pemungut.
SPT Masa PPN harus dilapor setiap bulannya.
Jatuh tempo pelaporan adalah pada hari terakhir (tanggal 30 atau 31) bulan berikutnya
setelah akhir masa pajak yang bersangkutan.
Jika tak melapor, dikenakan denda sebesar Rp 500 ribu (UU KUP Pasal 7 ayat 1).

Page | 168
BAGIAN DUA

FORMULIR SPT MASA PPN / PPnBM

Page | 169
PPN dan PPnBM

Page | 170
BAGIAN DUA

Page | 171
PPN dan PPnBM

Page | 172
BAGIAN DUA

Page | 173
PPN dan PPnBM

Page | 174
BAGIAN DUA

Page | 175
PPN dan PPnBM

APLIKASI e-FAKTUR

Gambar 9: Tampilan Aplikasi e-Faktur

Page | 176
BAGIAN DUA

15.4. LATIHAN SEDERHANA PERHITUNGAN PPN

a) Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp.
25.000.000,-
Jawab:
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =
10% x Rp. 25.000.000,- = Rp 2.500.000,-
Penjelasan Transaksi :
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp. 2.500.000,- tersebut merupakan Pajak
Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
b) Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan
memperoleh Penggantian Rp. 20.000.000,-.
Jawab:
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =
10% x Rp. 20.000.000,- = Rp. 2.000.000,-
Penjelasan Transaksi :
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp. 2.000.000,- tersebut merupakan Pajak
Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.
c) Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean dengan Nilai
Impor Rp. 15.000.000,-
Jawab:
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai =
10% x Rp. 15.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
d) Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor
Rp. 10.000.000,-
Jawab:
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =
0% x Rp. 10.000.000,- = Rp. 0,-.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp. 0,- tersebut merupakan Pajak Keluaran.

e) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.


Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar dari pada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat
diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke
Masa Pajak berikutnya.
Contoh:
Masa Pajak Mei 2016
Pajak Keluaran = Rp. 2.000.000,-

Page | 177
PPN dan PPnBM

Pajak Masukan yang dapat = Rp. 4.500.000,-


Dikreditkan ------------------- (-)
Pajak yang lebih dibayar = Rp. 2.500.000,-
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2016.
Masa Pajak Juni 2016
Pajak Keluaran = Rp. 3.000.000,-
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp. 2.000.000,-
------------------- (-)
Pajak yang kurang dibayar = Rp. 1.000.000,-

Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2016 yang dikompensasikan ke Masa
Pajak Juni 2016 = Rp. 2.500.000,-
------------------- (-)
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juni 2016 = Rp. 1.500.000,-
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2016.

f) Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:


1. Penyerahan yang terutang pajak = Rp. 25.000.000,-
Pajak Keluaran = Rp. 2.500.000,-
2. Penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai = Rp. 5.000.000,-
Pajak Keluaran = Nihil
3. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai =
Rp. 5.000.000,-
Pajak Keluaran = Nihil

g) Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:


1. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang
terutang pajak = Rp. 1.500.000,-
2. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang
tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp. 300.000,-

Page | 178
BAGIAN DUA

SOAL LATIHAN PPN & PPnBM DAN SPT


Materi : PPN & PPnBM dan SPT
Waktu :-
Bobot Soal :-

PT. INJASA, merupakan perusahaan penerbitan, percetakan dan desain, yang berkedudukan di Jl.
Dr.Wahidin Sudirohusodo No. 1001 Gresik, Jawa Timur dan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak sejak 01 Januari 2012. Adapun informasi PT. INJASA, sebagai berikut:
NPWP : 01.234.567.8-612.000
KLU : 75342
Telepon : 39512345

Selama bulan Mei 2017, PT. INJASA telah melakukan transaksi-transaksi sebagai berikut :
a. Tanggal 4 Mei 2017, menerima pembayaran sebesar Rp. 40.000.000,- dari PT. Dasaco Perdana
(NPWP:01.402.372.4-612.000) atas jasa desain dan percetakan Company Profile yang telah
diserahkan kepada PT. Dasaco Perdana pada tanggal 02 Mei 2017, sedang invoice diterbitkan di
tanggal 03 Mei 2017.
b. Tanggal 9 Mei 2017, menyerahkan secara konsinyasi sejumlah majalah dan buku cerita kepada Toko
Buku Garuda (NPWP:01.272.543.4-612.000) senilai Rp. 16.000.000,-
c. Tanggal 16 Mei 2017, menerima pembayaran dari PT. Citra Insani (NPWP:01.370.454.3-612.000)
atas majalah Muslimah yang diserahkan pada tanggal 10 Mei 2017, sebesar Rp. 44.000.000,- dan
untuk penyerahan yang dilakukan pada tanggal 27 April 2017 sebesar Rp. 25.000.000,-
d. Tanggal 23 Mei 2017, menyerahkan sejumlah buku panduan K3 senilai Rp. 10.000.000,- kepada PT.
Busana Utama (NPWP:01.274.564.6-612.000) sebuah perusahaan garmen di kawasan berikat.
Invoice akan diterbitkan dalam waktu seminggu setelah penyerahan buku.
e. Tanggal 30 Mei 2017, menerima SSP senilai Rp. 22.000.000,- termasuk PPN dari KPPN atas
penyerahan jasa percetakan buku saku dari Departemen Perhubungan (NPWP:01.316.425.3-225.000)
Surat Tagihan tertanggal 02 April 2017.
f. Tanggal 9 Mei 2013, membayar uang langganan telepon bulan April 2017 sebesar Rp. 6.500.000,-
termasuk PPN kepada PT. Telkom (NPWP:01.252.322.4-546.000) sesuai kwitansi No.
1111/PLG/V/2013 tanggal 08 Mei 2017.
g. Tanggal 14 Mei 2017, mengeluarkan dari pelabuhan Tanjung Perak sejumlah bahan (tinta) yang
diimpor dari China dengan nilai Impor Rp. 33.000.000,- PPN yang terutang telah dibayar ke Bank
BRI , PIB Nomor : 0123-V/2017 tanggal 13 Mei 2017.
h. Tanggal 21 Mei 2017, menerima Faktur Pajak Nomor : 010.900.13.00000454 tertanggal 23 April
2017 dari PT. AMC (NPWP:01.352.525.6-612.000) atas pembelian peralatan percetakan senilai Rp.
35.000.000,-
i. Tanggal 29 Mei 2017, membayar pembelian ATK dan kertas produksi senilai Rp. 15.000.000,- kepada
PT. Bali Werti (NPWP:01.251.422.6-605.000) Faktur Pajak Nomor : 010.900.13.00000500 tanggal
25 Mei 2017.
j. Tanggal 31 Mei 2017, membayar sebesar Rp. 90.000.000,- kepada PT. Adi Karya
NPWP:01.445.622.4-609.000 atas perbaikan rumah dinas Direktur Utama dengan Faktur Pajak
Nomor : 010.900.13.00000999 tertanggal 27 April 2017.

Pertanyaan :
Hitung transaksi-transaksi PT. INJASA atas penyerahan/penerimaan pembayaran dan pembelian
BKP/perolehan JKP selama bulan Mei 2017 untuk pelaporan SPT PPN dan PPn BM.
Jawaban : (diskusi kelompok)

Page | 179
PPN dan PPnBM

SOAL LATIHAN PPN & PPnBM DAN SPT

Materi : PPN & PPnBM dan SPT


Waktu :-
Bobot Soal :-

1. Untuk kasus dibawah ini, tentukan kapan paling lambat diterbitkan dan berapa PPN yang dipungut
dalam Faktur Pajak yang dimaksud :
a. Faktur Pajak, atau
b. Faktur Pajak Gabungan Penyerahan Maret 2016

Berikut informasi transaksi:

PT. Jaya Garmen adalah PKP Pedagang besar Garmen, pada bulan Maret 2016 melakukan beberapa
transaksi berupa penyerahan Garmen dan penerimaan pembayaran kepada dan dari PT. Bilik Butik
(PKP pedagang eceran), dengan rincian sebagai berikut :
1) Tanggal 3 Maret 2016, menerima pembayaran sebesar Rp. 18.000.000,- atas penyerahan Garmen
tanggal 21 Pebruari 2016;
2) Tanggal 10 Maret 2016, penyerahan sejumlah Garmen dengan Harga Jual sebesar Rp.
22.000.000,-
3) Tanggal 20 Maret 2016, menyerahkan sejumlah Garmen dengan Harga Jual sebesar Rp.
30.000.000,-
4) Tanggal 28 Maret 2016, menerima pembayaran sebesar Rp. 22.000.000,- atas penyerahan Garmen
tanggal 10 Maret 2016;
5) Tanggal 30 Maret 2016, menerima pembayaran sebagian yaitu sebesar Rp. 10.000.000,- atas
penyerahan Garmen tanggal 20 Maret 2016.

Praktek e-SPT PPN & PPnBM :


2. Shafwan memproduksi Biskuit Merek “Renyah” telah dikukuhkan sebagai PKP sejak 21 Maret 2005
dengan NPWP: 07.345.678.9-009.000, Shafwan berdomisili di Jl. Pendidikan No. 26, Kecamatan
Pasar Rebo, Jakarta Timur, 13730, Telp 500500. Dalam bulan April 2016 dapat diketahui adanya
transaksi sebagai berikut :

Penyerahan BKP/JKP:
No Tanggal Keterangan
1 1-Apr-16 Menyerahkan 5.000 karton Biskuit Renyah kepada Toko Bundo (NPWP:
01.978.675.8-015.000) senilai Rp. 250.000.000. Pembayaran akan dilakukan 2
minggu kemudian, pada tanggal 27 Maret 2016, Toko Bundo telah memberikan
uang muka sebesar Rp. 25.000.000,-
2 4-Apr-16 Menyerahkan 8.000 karton Biskuit Renyah kepada distributor Toko Makmur
(NPWP:24.567.890.1-005.000) senilai Rp. 400.000.000,-
3 7-Apr-16 Menyerahkan 1.000 karton Biskuit Renyah kepada Bendahara kepada
Departemen Sosial senilai Rp. 50.000.000,-. Tagihan diserahkan bersamaan
dengan penyerahan Biskuit Renyah. Setelah itu, Bendaharawan baru akan
melakukan pembayaran tanggal 6 Mei 2016.
4 12-Apr-16 Menerima Nota Retur nomor 003NR/III/2016 dari distributor PT.Lentara
(NPWP: 02.876.543.2-142.000) atas pengembalian 200 karton Biskuit Renyah
senilai Rp.10.000.000,- yang telah dikirim sebelumnya pada tanggal 25 Maret

Page | 180
BAGIAN DUA

2016, ketika itu PT.Lentara telah membayar tunai pada saat pengiriman barang.
5 14-Apr-16 Menerima pelunasan dari Toko Bundo atas penjualan tanggal 01 April 2016.
6 15-Apr-16 Mengirimkan bantuan berupa 1.000 karton Biskuit Renyah ke Sekolah Dasar
Rakyat senilai Rp.40.000.000,-
7 17-Apr-16 Menyerahkan 2.000 karton Biskuit Renyah secara tunai kepada Toko Pasar Baru
(NPWP:08.765.432.1-044.000) senilai Rp. 100.000.000,-
8 23-Apr-16 Menyerahkan 1.000 karton Biskuit Renyah senilai Rp. 50.000.000,- kepada Toko
Bahagia (NPWP:01.789.456.4-011.000). Pembayaran akan dilakukan 2 minggu
kemudian.
9 24-Apr-16 Menyerahkan 30 karton Biskuit Renyah senilai Rp.1.500.000 kepada UD.
Semosa (NPWP: 24.768.457.8-014.000) sebagai pengganti Biskuit Renyah yang
rusak pada pengiriman barang tanggal 28 Maret 2016.
10 27-Apr-16 Menjual 1 mobil box Rp.30.000.000,- kepada Toko Bagus (NPWP:04.965.854.6-
003.000). mobil tersebut dibeli dalam keadaan rekondisi pada tanggal 10 Juni
2010 dari PT. Bendi 2000 (PKP pedagang mobil bekas) Rp. 45.000.000,-
11 28-Apr-16 Menyerahkan 500 karton Biskuit Renyah senilai Rp.25.000.000 secara tunai
kepada Toko Sederhana (NPWP: 02.345.765.9-012.000)
12 30-Apr-16 Berdasarkan hasil pengecekan di gudang barang jadi, terdapat selisih antara
jumlah barang yang tersedia digudang dengan yang tercatat di bagian
administrasi. Selisih tersebut telah dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Terdapat 10 karton Biskuit Renyah yang rusak tertimpa tangga senilai
Rp.400.000,-Biskuit Renyah tersebut kemudian langsung dimusnahkan oleh
petugas gudang dan telah dibuatkan berita acara pemusnaannya.
2. Terdapat 20 karton Biskuit Renyah yang diambil oleh bagian umum untuk
disajikan di ruang tunggu tamu senilai Rp. 800.000,-
3. Terdapat 40 karton Biskuit Renyah yang diambil untuk dijadikan hadiah dan
hidangan dalam acara “employee gathering” senilai Rp. 1.600.000,-

Pembelian BKP/Perolehan JKP:


No Tanggal Keterangan
1 4-Apr-16 Menerima 20 ton terigu dari PT. Tepung Bintang (NPWP: 01.453.431.433.7-
043.000) senilai Rp. 200.000.000,- Shafwan telah membayar uang muka Rp.
20.000.000,- pada tanggal 30 Maret 2016, pelunasan akan dilakukan pada tanggal
3 Mei 2016.
2 4-Apr-16 Menerima 5 ton sagu dari PT. Bulan Sabit (NPWP : 01.777.463.5-025.000) Rp.
80.000.000,-
3 5-Apr-16 Membayar uang muka pembuatan kemasan kepada PT. Pracetak
(NPWP:02.584.378.4-031.000) sebesar Rp.50.000.000,-
4 10-Apr-16 Membeli generator set baru Rp.400.000.000,- (tunai) dari PT.Agung Service
(NPWP:01.222.648.9-013.000), 10% kapasitas generator tersebut digunakan
untuk membantu penerangan lingkungan warga sekitar pabrik.
5 14-Apr-16 Menerima Faktur Pajak tertanggal 13 Maret 2016 dari PT. Boss, Pajak Masukan
yang tercantum sebesar Rp.30.000.000,- atas pembelian bahan pembantu
pembuatan biskuit tanggal 10 Pebruari 2016. Pembayaran rencananya akan
dilakukan tanggal tanggal 15 Mei 2016. Faktur Pajak yang diterima tidak ada
tanda tangan.
6 19-Apr-16 Membayar ongkos perbaikan 1 unit mesin pembuat biskuit sebesar Rp.
20.000.000,- kepada PT. Gaya, Ongkos tersebut terdiri dari Rp.15.000.000,-
biaya penggantian spare part dan jasa perbaikan Rp. 5.000.000,-

Page | 181
PPN dan PPnBM

7 24-Apr-16 Melunasi pembelian teligu tanggal 2 Maret 2016 dari PT. Tepung Bintang.
8 27-Apr-16 Melakukan pemesanan 40 ton terigu dari PT.Tepung Bintang (NPWP:
01.543.433.7-043.000) senilai Rp. 400.000.000,-. Uang muka atas pemesan
langsung ditransfer pada hari yang sama sebesar Rp. 40.000.000,-.
9 27-Apr-16 Membeli bahan bangunan semen, batu bata, dan pasir untuk perluasan pabrik
biskuit dengan luas bangunan sebesar 550 m2 seharga Rp. 150.000.000,-.

Pertanyaan:
Anda diminta oleh Shafwan untuk memberikan jasa konsultan pajak, yaitu menyiapkan SPT Masa
PPN Masa Pajak April 2016. Berdasarkan data-data tersebut di atas dengan beberapa keterangan
tambahan sebagai berikut:
1. Faktur Pajak dibuat sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor :
2. Terdapat Kelebihan Bayar Rp. 30.000.000,- pada SPT Masa Maret 2016 yang dikompensasikan;
3. Dalam hal Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, seluruh kelebihannya supaya
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya;
4. Shafwan menggunakan tahun takwin sebagai tahun buku.

Catatan :
Perhatikan ketentuan atas perubahan tata cara pembuatan faktur pajak !

Page | 182
BAGIAN DUA

SOAL LATIHAN PPN & PPnBM DAN SPT

Materi : PPn & PPnBM dan SPT


Waktu :-
Bobot Soal :-

1. PT. INJASA NPWP 02.234.567.9-612.000 bergerak dibidang distributor barang elektronik yang
beralamat di Jl. Sakinah No. 107 Gresik. PT. INJASA telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
di KPP Pratama Gresik Utara sejah 2 Januari 2012.
Pada bulan April 2017 PT. INJASA membangun sebuah gedung seluas 300m3, di Jl. Jakarta No. 1
Driyorejo Gresik yang berada di wilayah KPP Pratama Gresik Selatan.

Biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pembangunan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Biaya Perolehan Tanah Rp.1.400.000.000
2) Biaya Pembelian Pasir, Krikil, (Non BKP) Rp. 100.000.000
3) Biaya Pembelian Semen, Genteng, Batu Bata, (BKP) Rp. 220.000.000 termasuk PPN
4) Upah Tukang Rp. 300.000.000

Pertanyaan:
a. Hitung PPN Terutang atas Kegiatan Membangun Ggedung tersebut
b. Kapan paling lambat PPN harus disetor ?
c. Di Kantor Pajak mana PPN harus dilaporkan ?

2. PT. WIJAYA sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Konstruksi telah terdaftar sebagai Pengusaha
Kena Pajak di KPP Pratama Jagir Surabaya. Pada bulan Juni 2017 PT. WIJAYA membangun sebuah
bangunan yang diperuntukkan bagi Rumdin yang terletah di Wilayah Kerja KPP Pratama Sidoarjo.
Biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pembangunan tersebut adalah:
1) Biaya Pembelian Pasir, Krikil, dll (Non BKP) Rp. 400.000.000
2) Biaya Pembelian Semen, Batu Bata, Genteng (BKP) Rp. 500.000.000 belum termasuk PPN
3) Upah Tukang Rp. 600.000.000

Pertanyaan:
a. Hitung PPN Terutang atas Kegiatan Pembangunan Rumah tersebut.
b. Kapan paling lambat PPN harus disetor ?
c. Di Kantor Pajak mana PPN harus dilaporkan ?

3. Tuan Saipul seorang pengusaha kena pajak yang bergerak dibidang usaha penjualan bahan bangunan.
Tuan Saipul mempunyai sebuah Toko Bahan Bangunan yang terletak di Jl. Raya Suci Gresik.

Pada bulan Januari 2017, Tuan Saipul membeli kendaraan berupa:


a. 2 (dua) unit mobil Pick Up dimana 1 (satu) unit untuk distribusi bahan bangunan dan 1 (satu) unit
untuk digunakan untuk keperluan pribadi masing-masing seharga Rp. 110.000.000 termasuk PPN;
b. 2 (dua) unit mobil Sedan dimana 1 (satu) unit digunakan untuk pemasaran dan 1 (satu) unit digunakan
untuk keperluan pribadi masing-masing seharga Rp. 220.000.000 termasuk PPN.

Pada bulan Juni 2017 semua mobil tersebut dijual, Mobil Pick Up dijual Rp. 90.000.000 per-unit,
sedangkan Mobil Sedan dijual seharga Rp. 150.000.000 per-unit.

Page | 183
PPN dan PPnBM

Pertanyaan:
a. Jelaskan perlakuan Pajak Masukan atas pembelian mobil tersebut !
b. Jelaskan perlakuan PPN atas penjualan mobil tersebut !

4. SPT MASA PPN 1111

TONY PUTRA, sejak 04 April 2010 telah menjadi Distributor alat-alat kesehatan dengan nama usaha
“SEHAT” dan beralamat di Jl. Garuda No. 17 Surabaya, sebagai lokasi usahnya. Sejak bulan April 2010,
TONY PUTRA telah mendaftarkan usahanya menjadi Wajib Pajak sehingga memiliki NPWP dengan
nomor: 07.372.454.6-614.000 dan KLU : 74302, Namun status sebagai PKP baru disandang usahanya
pada tanggal 23 Mei 2011.
Selama bulan April 2017 lalu, usaha TONY PUTRA telah melakukan transaksi-transaksi sebagai berikut
di bawah ini:

Penjualan/Penyerahan:
1 03 April 2017 Menerima pembayaran senilai Rp.6.500.000 dari Bapak Andi (NPWP:
07.446.474.6-406.000) untuk pelunasan 1 (satu) unit peralatan
kesehatan type RX-100 dan 1 (satu) unit peralatan kesahatan type BD-
105. Kedua peralatan ini telah diserahkan pada tanggal 15 Maret 2017;

2 05 April 2017 Menerima pembayaran senilai Rp.1.375.000 (termasuk PPN) dari Ibu
Wijaya (NPWP:07.342.460.5-401.000), sebagai pelunasan pembelian
peralatan kesehatan type AC 205 yang telah diserahkan tanggal 01 April
2017;

3 09 April 2017 Menyerahkan 5 (lima) unit peralatan kesehatan type RX-103 yang
masing – masing berharga Rp.2.750.000 kepada Klinik Prima Sehat
(NPWP : 01.352.434.5-352.000) uang muka sejumlah Rp.3.000.000
telah diterima TONY PUTRA pada tanggal 30 Maret 2017;

4 12 April 2017 Menyampaikan tagihan senilai Rp.112.550.000 kepada Departemen


Kesehatan (NPWP:01.374.436.6-512.000) untuk 20 (dua puluh) unit
peralatan kesehatan type ZX-102 yang telah diserahkan tanggal 05 April
2017;

5 17 April 2017 Menyerahkan 12 (dua belas) unit peralatan kesahatan type FG-101 yang
masing-masing senilai Rp.650.000 kepada Rumah Sakit Bersalin Kasih
Bunda (NPWP: 01.372.438.6-521.000). Pembayaran disepakati secara
angsuran setiap bulan yang dimulai pada akhir April 2017;

6 19 April 2017 Mengirimkan 1 (satu) unit peralatan kesehatan type AZ-102 senilai
Rp.1.150.000 kepada PT.Borneo (PKP di Kawasan Berikat Cakung)
NPWP:01.472.567.4-532.000, Uang Muka sebesar Rp.500.000 telah
diterima pada tanggal 12 April 2017, pelunasan akan dilakukan setelah
Invoice di terima oleh PT.BORNEO.

7 23 April 2017 Menyerahkan printer senilai Rp.712.500 kepada Budi


(NPWP:07.472.456.4-522.000), salah satu karyawan perusahaan .
Printer dibeli sejak 2016 senilai Rp.850.000 dan digunakan untuk
operasional perusahaan. Pembayaran dilakukan secara angsuran, yaitu

Page | 184
BAGIAN DUA

dengan memotong gaji bulanan Budi sebesar 10% dari gaji pokok.

8 26 April 2017 Diterima Nota Retur Nomor: NR-05/IV/2017 tanggal 22 April 2017 dari
Klinik Bunda Kandung (NPWP:01.472.356.4-522.000) untuk
pengembalian peralatan kesehatan senilai Rp.2.150.000, total nilai
peralatan kesehatan yang telah diserahkan Klinik Bunda Kandung pada
tanggal 30 Maret 2017 berjumlah Rp.8.750.000;

9 28 April 2017 Menyediakan 3 (tiga) unit peralatan kesehatan type RT-120 senilai
Rp.13.230.00 untuk Rumah Sakit Harapan Jaya (NPWP:01.574.356.4-
522.000). Uang Muka senilai Rp.5.000.000 telah diterima 03 April 2017
sisa tagihan dilunasi pada akhir bulan April 2017;

10 29 April 2017 Memberikan peralatan kesehatan type RT-102 senilai Rp.750.000


(harga perolehan) kepada Hendra karyawan TONY PUTRA yang paling
senior, Hendra memiliki NPWP:07.352.356.4-522.000 sejak 04
Pebruari 2016;

11 30 April 2017 Menerima pembayaran cicilan yang ke-2 senilai Rp.500.000 dari Bapak
Bambang (Non NPWP), atas pembelian peralatan kesehatan type RY-
102, cicilan ke-1 tanggal 31 Maret 2017, dimana peralatannya sendiri
telah diserahkan kepada Bapak Hendra pada tanggal 28 Pebruari 2017;

12 30 April 2017 Memberikan secara Cuma-Cuma 10 (sepuluh) unit peralatan kesehatan


type AC-85, harga jual peralatan tersebut Rp.4.143.750 dengan
keuntungan sebesar 20% dari harga jual kepada yayasan Panti Jumpo
(Non NPWP)

Pembelian BKP/Perolehan JKP


1 02 April 2017 Membayar uang langganan telpon kepada PT.Telkom (NPWP: 01.252.322.4-
546.000) sebesar Rp.720.500 (termasuk PPN), Nomor Kwitansi
:11422/plg/III/2017 tanggal 30 Maret 2017;

2 04 April 2017 Menerima 8 (delapan) peralatan kesehatan type RY-102 senilai Rp.24.722.000
dari PT.Modena, manufaktur peralatan kesehatan (NPWP: 01.374.451.5-
562.000) pembayaran dilakukan pada tanggal 10 Maret 2017;

3 09 April 2017 Membayara Uang Muka Pemasangan Iklan senilai Rp.220.000 (termasuk
PPN) kepada PT.Elimindo (NPWP:01.346.372.4-526.000) Faktur Pajak
010.000.17.00001275;

4 12 April 2017 Menerima perlengkapan kantor senilai Rp.250.000 dari CV.Pelangi (NPWP:
01.372.442.5-526.000). pembayaran telah dilunasi sebelum perlengkapan
kantor di terima. Faktur Pajak No.010.000.17.00001130 tanggal 09 April
2017;

5 14 April 2017 Membayar jasa perbaikan min bus termasuk harga penggantian sparepart
minibus senilai Rp.962.500 (termasuk PPN) kepada CV.Prima Daya
(NPWP:01.542.420.5-540.000), Faktur Pajak No.010.000.17.00000362

Page | 185
PPN dan PPnBM

tanggal 07 April 2017;

6 18 April 2017 Menerima Faktur Pajak No.010.000.17.00020471 tanggal 04 April 2017 dari
PT.Higyin Mart (NPWP:01.532.422.5-541.000) atas pembelian 10 (sepuluh)
unit peralatan kesehatan type AZ-102 dan 12 (dua belas) unit peralatan
kesehatan type RX-115 dengan total harga Rp.43.225.000 (termasuk PPN),
supplier peralatan kesehatan yang sudah ternama;

7 20 April 2017 Menerima Faktur Pajak No.010.000.16.00003466 tanggal 27 Desember 2016


dari PT.Merkugindo (NPWP:01.565.422..5-541.000) atas pembelian sejumlah
peralatan kesehatan type DC-104 senilai Rp.25.570.000 pada tanggal yang
sama dengan tanggal Faktur Pajak;

8 23 April 2017 Menerima Faktur Pajak No.010.000.17.00001702 tertanggal 27 Maret 2017


atas pembelian ATK dari CV.Permata (NPWP:01.574.326.6-542.000) dengan
nilai Rp.125.700;

9 26 April 2017 Membayar tagihan dan menerima Faktur Pajak atas pembelian peralatan
kesehatan type AC-105 seharga Rp.6.875.000 kepada CV.Perdani
(NPWP:01.474.342.4-502.000). Faktur Pajak No.010.17.00000460 tanggal 31
Maret 2017;

10 28 April 2017 Membayar cicilan ke-2 senilai Rp.3.750.000 atas pembelian peralatan
kesehatan type BX-121 senilai Rp.37.500.000, Faktur Pajak
No.010.000.17.00000167 tanggal 18 April 2017 dari PT. Solusi Prima
(NPWP:01.354.321.4-540.000)

Diminta:
Berdasarkan keterangan di atas, bantu TONY PUTRA untuk menyiapkan SPT PPN Masa April 2017
sesuai dengan ketentuan pengisian SPT PPN yang terkini.
Perhitungkan pula keterangan di bawah ini untuk mengisian SPT PPN tersebut:
1. Faktur Pajak dibuat sesuai dengan ketentuan UU No.42 Tahun 2009 dan Peraturan Dirjen Pajak
yang berlaku.
2. Kode Transaksi, Status, Kode Cabang dan Tahun penerbitan diisi sesuai Peraturan yang berlaku.
3. Nomor Seri Faktur Pajak terakhir Masa Maret 2017 adalah Nomor : 00000500
4. SPT PPN Masa Maret 2017 Lebih Bayar sebesar Rp.1.250.000
5. Pelaporan SPT pada akhir batas waktu yang telah ditentukan untuk masa pajak yang bersangkutan.

oOO- Selamat Mencoba -OOo

Page | 186
BAGIAN DUA

Catatan Perubahan

Page | 187
PPN dan PPnBM

Page | 188

Anda mungkin juga menyukai