Anda di halaman 1dari 16

RMK

PPN
Dasar Hukum
Dasar hukum PPN adalah UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBm
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 tahun 1994, diubah lagi dengan UU
No. 18 Tahun 2000, dan terakhir UU No. 42 Tahun 2009
 
Pendahuluan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 April
1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU
No 8 tahun 1983. Kelebihan pengenaan PPN sesuai UU No. 8 Tahun 1983 (yang
merupakan hasil reformasi perpajakan tahun 1983) dibandingkan dengan PPn
(yang dipungut berdasarkan UU Pajak Penjualan Tahun 1951), yaitu:
1. Mekanisme pemungutan PPn tahun 1951 dalam pelaksanaannya menimbulkan
dampak kumulatif (pajak berganda). Hal ini mendorong WP untuk melakukan
penghindaran pajak atau penyelundupan pajak sehingga tidak netral terhadap
perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional. Dalam UU PPN
yang baru terdapat mekanisme pengkreditan untuk menghindari adanya pengenaan
pajak berganda (cascade effect)
2. Sistem tarif yang sederhana. UU PPn Tahun 1951 memberlakukan 9 jenis tarif
sedangkan sejak UU PPN Tahun 1983 memberlakukan 1 jenis tarif sehingga
memudahkan pelaksanaan dan pengawasannya.
3. Menciptakan persaingan yang sehat karena atas impor dikenakan pajak dalam
jumlah yang sama dengan jumlah pajak yang dikenakan atas produksi di dalam
negeri pada tingkat harga yang sama sementara untuk ekspor dikenakan pajak
dengan tarif 0%
 
Karakteristik PPN di Indonesia
1. Pajak tidak langsung
Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Tanggung
jawab pembayaran pajak yang terutang berada pada pihak yang menyerahkan
barang atau jasa sedangkan pihak yang menanggung beban pajak berada pada
penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak).
2. Pajak objektif
Timbulnya kewajiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya objek
pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak dipertimbangkan.
3. Multistage Tax
PPN dikenakan  secara bertahap pada setiap mata rantai jalur produksi dan
distribusi (dari pabrikan sampai ke pertitel)
4. Nonkumulatif
PPN tidak bersifat kumulatif meskipun memiliki karakteristik multistage
tax karena PPN mengenal adanya meaknisme pengkreditan Pajak Masukan.
Oleh karena itu, PPN yang dibayar bukan unsur dari harga pokok barang atau
jasa
5. Tarif tunggal
PPN di Indonesia hanya mengenal satu jenis tarif yaitu 10% untuk penyerahan
dalam negeri dan 0% untuk ekspor Barang Kena Pajak
6. Credit Method/Invoice Method/Indirect Substruction Method
Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang diperoleh dari
hasil pengurangan pajak yang dipungut atau dikenakan pada saar penyerahan
barang atau jasa-yang disebut Pajak Keluaran (output tax) –dengan pajak yang
dibayar pada saat pembelian barang atau penerimaan jasa-yang disebut Pajak
Masukan (input tax)
7. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
Atas impor Barang Kena Pajak dikenakan PPN sedangkan atas ekspor Barang
Kena Pajak tidak dikenakan PPN. Prinsip ini menggunakan prinsip tempat
tujuan (destination principle), yaitu pajak dikenakan di tempat barang atau jasa
akan dikonsumsi.
8. Consumption Type Value Added Tax (VAT)
Dalam PPN di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan
barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut atas
penyerahan BKP dan atau JKP,
Istilah dan Pengertian
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor
10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam huruf b yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf e yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam huruf f.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean adalah
setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean karena suatu perjanjian di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke
luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar
menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap,
dan bentuk badan lainnya.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud dalam huruf m
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan
jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam huruf n
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau
sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya
guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang
pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar harga           Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak,
atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau
penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau
instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan
BKP Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar
Daerah Pabean.
 
Kewajiban Menyetor PPN
PPN merupakan pajak tidak langsung artinya pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dialihkan kepada orang lain atau pihak ketiga.Pihak-pihak yang
mempunyai kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN terdiri atas :
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerangan BKPdan atau JKP
didalam Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
BKP dan atau penyerahan JKP yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang
PPN dan PPnBM.Pengusaha dikatakan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila
melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutomelebihi Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) dalam satu
tahun. Termasuk Pengusaha Kena Pajak antara lain :
• Pabrikan atau Produsen
• Importer dan indetor
• Pengusaha yang memiliki hubungan istimewa dengan pabrikan atau importer
• Agen utama dan penyalur utama pabrikan atau importer
• Pemegang hak paten atau merk dagang BKP
• Pedagang besar
• Pengusaha yang melakukan hubungn penyerahan barang
• Pedagang eceran
2. Pengusaha Kecil yang dikukuhkan sebagai PKP.
Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan
atau JKP dengan jumlah peredaran bruto melebihi 600 juta per tahun.Perusahaan
Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP,selanjutnya wajib mlakukan
kewajiban halnya PKP.
3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan atau JKP
dari luar daerah pabean di dalam Daerah Pabean.
4. Orang pribadi dan badan yang melakukan impor barang kena pajak
5. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penjualan barang yang menurut tujuan
semula tidak untuk dijual kembali.
6. Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya sendiri harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
pihak lain.
b. Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa satu atau lebih konstruksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau
perairandengan kriteria :
1) Konstruksi utamanya terdiridari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis,
dan/atau baja.
2) Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, dan
3) Luas keseluruhan paling sedikit ±300m2.
7. Pemungut pajak yang ditunjuk oleh Pemerintah, terdiri atas Kantor Perbendaharaan
Negara, Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah termasuk Bendahara Proyek.
 
Objek PPN
a. Penyerahan BKP di dalam daerah pabean oleh PKP dengan syarat:
• Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
• Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud
• Penyerahan dilakukan di daerah pabean
• Penyerahkan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha/pekerjaan
b. Impor BKP
c. Penyerahan JKP di dalam daerah pabean oleh PKP dengan syarat:
• Jasa yang diserahkan merupakan JKP
• Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean
• Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha/pekerjaan
d. Pemanfaatan BKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
f. Ekspor BKP oleh PKP
g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha/pekerjaan
oleh orang pribadi/badan yang dihasilkan digunakan sendiri/pihak lain.
h. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat
perolehannya menurut ketentuan yang dikreditkan.
Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya;
b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya;
d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Jasa Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b. jasa di bidang pelayanan sosial;
c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
e. jasa di bidang keagamaan;
f. jasa di bidang pendidikan;
g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j. jasa di bidang tenaga kerja;
k. jasa di bidang perhotelan;
l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.
 
Penyerahan Terutang PPN
Penyerahan yang terutang PPN dikelompokkan menjadi:
1. Ekspor
2. Penyerahan dalam negeri, terdiri atas :
a. Penyerahan yang PPN-nya Harus Dipungut Sendiri, merupakan PPN atas
penyerahan BKP/JKP di dalam daerah Pabean/di dalam negeri selain kepada
pemungut PPN.
b. Penyerahan yang PPN-nya Dipungut oleh Pemungut PPN, merupakan penyerahan
BKP/JKP pada pemungut PPN.atas penyerahan ini PPN langsung dipungut oleh
pembeli yang disebut sebagai Pemungut PPN.
c. Penyerahan yang PPN-nya Tidak Dipungut, Impor dan penyerahan yang PPN dan
PPnBM-nya tidak dipungut terdiri atas :
1) Pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai oleh hibah atau dana pinjaman luar
negeri (sesuai PP No.25 Tahun 2001)
2) Penyerahan BKP oleh PKP berstatus Entrepot Produksi untuk Tujuan Ekspor
(EPTE) dan perusahaan pengelolahan di Kawasan Berikat (sesuai PP No.3 Tahun
1996)
d. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
3. Impor barang, pemasukan BKP, pengiriman hasil produksi, pengeluaran barang,
penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan barang kena cukai
(BKC) dari Kawasan Berikat (sesuai PP No. 33 Tahun 1996 dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 101/PMK.04/2005)
4. Penyerahan BKP kepada Pengusaha sepanjang BKP tersebut digunakan untuk
menghasilkan BKP yang diekspor dan impor BKP yang dilakukan oleh Pengusaha
sepanjang BKP tersebut digunakan untuk menghasilkan BKP yang di ekspor
(sesuai PP No.30 Tahun 2005)
5. Penyerahan avtur (bahan bakar untuk pesawat terbang turbin gas yang batas titik
didihnya sekitar 150 derajad celcius–red ) untuk keperluan penerbangan
internasional (sesuai PP No.26 Tahaun 2005)
6. Impor dan penyerahan BKP oleh Toko Bebas Bea –TBB (sesuai Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 128/KMK.05/2000).
7. Impor sebagian BKP yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk (sesuai
keputusan  Menteri Keuangan No.231/KMK 231/KMK.03/2001 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan peraturan Menteri Keuangan No. 616/PMP.03/2004)
8. Tempat penimbunan berikat dipulau batam,bintan, dan karimun (sesuai Peraturan
Menteri Keuangan No.60/PMK.04/2005 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan No.89/PMK.04/2005).
9. Atas impor BKP maupun pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP yang berasal
dari luar Pabean Indonesia serta perolehan dalam negeri BKP atau JKP oleh
Pengusaha di Pulau Bintan dan Pulau Karimun yang melakukan proyek tertentu
(sesuai Peraturan menteri Keuangan No.61/PMK.04/2005).
 
Impor dan Penyerahan yang PPN dan PPnBM-nya Dibebaskan .
Impor dan penyerahan yang PPN dan PPnBM-nya dibebaskan terdiri atas :
1. Impor dan penyerahan BKP dan JKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN
(sesuai PP No.146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PPN No.38 tahun
2003).
2. Impor atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari
pengenaan PPN (sesuai PP No.12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan PP No.46 Tahun 2003).
3. Pemberian restituti atau pembebasan PPN dan PPnBM kepada Perwakilan Negara
Asing atau Badan Internasional serta Pejabat atau Tenaga Ahlinya (sesuai UU
No.1 Tahun 1982 dan Keputusan Menteri Keuangan No.25/KMK.01/98 yang
diatur lebih lanjut dengan surat edaran Dirjen Pajak No.SE-10/PJ.52/98).
  
Penyerahan Tidak Terutang PPN
Penyerahan yang tidak terutang PPN merupakan penyerahan bukan BKP dan
bukan JKP, tidak termasuk penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut dan
penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
1. Barang Kena Pajak (BKP)
2. Bukan Barang Kena Pajak (Bukan BKP)
3. Jasa Kena Pajak (JKP)
4. Bukan Jasa Kena Pajak (Bukan JKP)
 
SAAT TERUTANG PPN
Terutang PPN menurut Pasal 11 Undang-Undang No.42 Tahun 2009 terjadi pada
saat :
1. Penyerahan BKP
2. Impor BKP
3. Penyerahan JKP
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan JKP dari Luar daerah Pabean
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean
6. Ekspor BKP berwujud
7. Ekspor BKP tidak berwujud
8. Ekspor JKP
 
TEMPAT TERUTANG PPN
Tempat terutangnya PPN ditetapkan sebagai berikut :
1. Atas penyerahan BKP di dalam daerah pabean /penyerahan JKP di dalam daerah
pabean/ekspor BKP tidak berwujud /ekspor JKP
2. Atas impor BKP
3. Atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean di dalam
Daerah pabean
4. Atas kegiatan membangun sendiri oleh PKP atau bukan PKP yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau kegiatan.

SAAT PENYETORAN DAN PELAPORAN PPN


Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan
paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum
surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai disampaikan.Penyetor PPN
dilakukan dengan menggunakan formulir surat setoran pajak.
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak dilakukan paling
lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dengan menggunakan
surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai.
 
TARIF PPN
Tarif PPN menurut pasal 7 UU No.42 Tahun 2009 adalah :
1. Tarif PPN sebesar 10% (sepuluh persen)
Tarif 10% dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean
/impor BKP/penyerahan JKP di dalam daerah pabean /pemanfaatan BKP tidak
berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean /pemanfaatan JKP dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
2. Tarif PPN sebesar 0% (nol persen )
Tarif 0% dikenakan atas ekspor BKP berwujud /ekspor BKP tidak
berwujud/ekspor jasa kena pajak.pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan
dari pengenaan PPN.Dengan demikian pajak yang telah dibayar untuk perolehan
barang kena pajak dan jasa kena pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut
dapat dikreditkan.
 
DPP 
1. Harga jual/ penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual/ pembeli jasa karena penyerahan
BKP/ Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk PPN/ PPn BM dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN/ PPn BM.
3. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semau biaya yang diminta oleh
Eksportir.
4. Nilai lain adalah nilai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai sebagai
dasar untuk menghitung pajak yang terutang.  Nilai lain tersebut diatur oleh
Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 642/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember
1994 :
a. Untuk pemakaian sendiri/ pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga
jual atau penggantian, tidak termasuk laba kotor
b. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual
rata-rata;
c. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
d. Untuk persedian BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah
harga pasar wajar;
e. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;
f. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan/ parawisata adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
g. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau
jumlah yang seharusnya ditagih.
h. Untuk PKP Pedagang Eceran (PE) :
o PPN yang terutang adalah sebesar 10% (sepuluh persen) x harga jual BKP.

o PPN yang harus dibayar adalah sebesar : 10%x20%x jumlah seluruh barang

dagangan.
i. Jasa anjak piutang adalah 5% dari seluruh jumlah imbalan yang diterima berupa
service charge, provisi, dan diskon.
 
Cara menghitung PPN 
PPN yang terutang = tarif x DPP
PPN yang terutang merupakan Pajak Keluaran (PK) yang dipungut oleh PKP
penjual dan merupakan Pajak Masukan bagi PKP pembeli.
Contoh :
1. PKP "A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B" 100 pasang sepatu @
Rp.100.000,00 = Rp.10.000.000,00
PPN terutang yang dipungut oleh PKP"A" 
10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
Jumlah yang harus dibayar PKP "B" = Rp.11.000.000,00
2. PKP "B" dalam bulan Januari 1996 :
o Menjual 80 pasang sepatu @ Rp.120.000,00 = Rp. 9.600.000,00

o Memakai sendiri 5 pasang sepatu untuk pemakaian sendiri,

DPP adalah harga jual tanpa menghitung laba kotor, yaitu Rp 100.000,- per
pasang = Rp 500.000,00
PPN yang terutang :
o Atas penjualan 80 pasang sepatu 10% x Rp.9.600.000,00 = Rp 960.000,00

o Atas pemakai sendiri 10% x Rp.500.000,00 = Rp 50.000,00

Jumlah PPN terutang = Rp 1.010.000,00


3. PKP Pedagang Eceran (PE) "C" menjual
o BKP seharga = Rp.10.000.000,00

o Bukan BKP = Rp. 5.000.000,00

Rp.15.000.000,00
PPN yang terutang 10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
PPN yang harus disetor 10% x 20% x Rp.15.000.000,00 = Rp. 300.000,00
4. PKP "D" pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin cuci pakaian
dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan PPn BM dengan
tarif sebesar 20%. Dalam bulan Januari 1996 PKP "D" menjual 10 buah mesin cuci
kepada PKP "E" seharga Rp.30.000.000,00.
o PPN yang terutang 10% x Rp.30.000.000,00 = Rp 3.000.000,00

o PPn BM yang terutang 20% x Rp. 30.000.000,000 = Rp 6.000.000,00

PPN dan PPn BM yang terutang PKP "D" = Rp. 9.000.000,00


5. PKP "E" bulan Januari 1996 menjual 10 buah mesin cuci tersebut diatas seharga
Rp.40.000.000,00
PPN yang terutang 10% x Rp.40.000.000,00 = Rp. 4.000.000,00
Catatan : PKP "E" tidak boleh memungut PPn BM, karena PKP "E" bukan
pabrikan dan PPn BM dikenakan hanya sekali.
 
Akuntansi PPN
PT Villagers adalah perusahaan tekstil. Selain mengekspor, PT Villagers juga
menjual hasil produksinya ke dalam negeri. Berikut data-data PT Villagers selama
bulan Maret 2014:
Uraian Maret (Rp) PPN
 Pembelia
300.000.000 ,- 30.000.000,-
n
 Penjualan 450.000.000,- 22.500.000,-
Porsi ekspor dan penjualan dalam negeri sebesar 50:50, sehingga PPN Keluaran
hanya Rp22.500.000,- saja. Maka jurnalnya adalah sebagai berikut:
mencatat pembelian
 
Uraian Debit Kredit
300.000.000 ,
 Pembelian  
-
 PPN Masukan 30.000.000,-  
      Utang dagang/kas   330.000.000,-
mencatat penjualan
Uraian Debit Kredit
 Piutang
472.000.000 ,-  
dagang/kas
      PPN Keluaran   22.500.000,-
      Penjualan   450.000.000,-
jurnal pada akhir Maret
Uraian Debit Kredit
22.500.000,
 PPN Keluaran  
-
      PPN Masukan   22.500.000,-
Sehingga SPT Masa PPN PT Villagers bulan Maret akan Lebih Bayar sebesar
Rp7.500.000,-
PPN Kurang/Lebih Disetor
Pajak yang kurang (lebih) disetor merupakan selisih Pajak Keluaran dengan
Pajak Masukan. Apabila Pajak Keluar lebih besar daripada Pajak Masukan,
selisihnya merupakan pajak yang kurang disetor dan harus disetor paling
lambat  tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir
Jika PK lebih kecil daripada PM selisihnya merupakan pajak yang lebih disetor.
Kelebihan ini dapat dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan ke masa
Pajak berikutnya.
 
Pajak Keluaran
Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan
penjualan terhadap barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang
tergolong dalam barang mewah. Sebagai salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) seringkali disebut sebagai pajak objektif. Pada PPN, hal yang pertama
kali ditekankan adalah objek pajak yang akan dikenakan. Kemudian, subjek pajak
yang terkena. Misalnya, barang-barang mewah, kendaraan mewah, dan sebagainya.
Yang pertama dikenakan adalah tarif pada tiap-tiap barang tersebut. Kemudian,
barulah wajib pajak pengonsumsi barang tersebut yang dikenai beban pajaknya
sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak.
Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori.
Yaitu, pajak keluaran dan pajak masukan.  Dalam hal ini, subjek pajak yang
dimaksud adalah pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli
barang. Artinya, PKP mengambil atau memungut rupiah yang dihasilkan dari
penjualan barang kena pajak (BKP) miliknya yang dibeli konsumen. Kemudian,
nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak. Menjadi kredit atau
pengurang pajak karena sebelumnya sang PKP telah dikenai tarif pajak yang sama
atas pembelian barang tersebut yang d kemudian hari dijual olehnya. Jadi, PPN
dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban.
Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut
adalah tiga bulan setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang
cukup leluasa untuk melakukan pengkreditan pajaknya.
 
Pajak Masukan
Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak
melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak. Pengusaha
Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan
perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Tata cara umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha kena pajak
mengurangkan atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak
keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut lebih
besar pajak keluaran, kelebihan pajak keluaran harus disetorkan ke kas negara.
Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut pajak masukan lebih besar dari
pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya atau dimintakan restitusi. Dalam tata cara umum tersebut, jumlah yang
harus dibayarkan oleh pengusaha kena pajak berubah-ubah sesuai dengan pajak
masukan yang dibayarkan dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa
pajak.
Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan
Prinsip dasar pengkreditan Pajak masukan adalah sebagai berikut:
1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk
Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2 UU PPN).
2. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan. (Pasal 9 ayat 9 UU PPN).
3. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor
barang modal dapat dikreditkan.  (Pasal 9 ayat 2a UU PPN).
4. Barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan termasuk
pengeluaran yang dikapitalisasikan ke barang modal tersebut. (PP 1/2012).
5. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). (Pasal 9
ayat 2a UU PPN).
6. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan / atau JKP harus dikreditkan
dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Contoh :
alamat di FP sama dg alamat di SK pengukuhan. Dalam hal impor BKP, DJP
karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari PKP dapat menentukan
tempat lain selain tempat dilakukannya impor BKP sebagai tempat pengkreditan
Pajak Masukan. (PM dikreditkan di tempat PKP dikukuhkan, Dikukuhkan di
beberapa tempat maka dapat memilih). (PP 1/2012).
7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh
Pengusaha Kena Pajak.  Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena
Pajak harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
disampaikan.  Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan
paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. (Pasal 9 ayat 3
UU PPN).
8. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat 4 UU PPN).
9. Atas kelebihan Pajak Masukan tsb dapat diajukan permohonan pengembalian pada
akhir tahun buku. Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan
ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha
(bubar). (Pasal 9 ayat 4a UU PPN).
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai pasal 9 ayat 8 UU PPN adalah
atas pengeluaran sebagai berikut :
1. Perolehan BKP/JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Ketentuan ini
memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh : Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena
Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19
April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak
dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
2. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha. Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan
kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran,
dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha, oleh karena itu,
meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung
dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat
dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan
yang diperoleh sebelum pengusaha  dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
tidak dapat dikreditkan. Contoh : Pengusaha A melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010.
Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010
dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan
ketentuan ini.
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9)
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
6. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan ketetapan pajak. Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha
Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan
atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan
ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak
tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan. Namun apabila pada saat
pemeriksaan diketahui adanya perolehan BKP/JKP yang telah dibukukan atau
dicatat dalam pembukuan PKP, namun Faktur Pajaknya belum atau terlambat
diterima sehingga belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN untuk Masa ybs., maka
PM dalam Faktur Pajak tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak ybs. Contoh :
Pemeriksaan SPT Masa Januari 2010 dilakukan tanggal 24 Maret 2010, dan
ditemukan FP tanggal 12 Januari 2010 yang baru diterima pada tanggal 22 Maret
2010, dan belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN Januari atau Februari 2010,
namun perolehannya sudah dicatat dalam pembukuan, maka Faktur Pajak
tertanggal 12 Januari 2010 tersebut tetap dapat dikreditkan dalam Masa PPN Masa
Maret atau April 2010.
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
10. Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang tidak terutang PPN atau
mendapat fasilitas PPN dibebaskan sebagaimana dimaksud dalam Ps 9 ayat (5) dan
Ps 16B ayat (3).  Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak”
adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B. Pengusaha Kena
Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak
dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak
Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian
penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari
pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
 
Restitusi
Restitusi PPN atau pengembalian kelebihan kelebihan pajak adalah hak bagi
Wajib Pajak manakala berdasarkan hasil pemeriksaan pajak terbukti ada kelebihan
pembayaran pajak. Keputusan yang menetapkan adanya kelebihan pembayaran
pajak adalah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) yang diterbitkan setelah
melalui proses pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan Masa
adalah wajib dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas
status pembayaran pajak dari Pengusaha Kena Pajak.
“Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan Pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya” demikian bunyi Pasal 2 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pengembalian
Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, menjelaskan secara umum kondisi yang
menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai.
Kelebihan Pajak terjadi apabila terdapat :
1. Kelebihan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4a), ayat (4b) dan ayat (4c) Undang-
Undang PPN; atau
2. Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas
perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang PPN, dalam hal ekspor Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah.
Berdasarkan Ketentuan yang berlaku, PKP hanya dapat mengajukan Restitusi PPN
pada akhir tahun buku yakni :
1. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran,selisihnya merupakan kelebihan Pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
2. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak (restitusi)
pada akhir tahun buku.Bagi PKP Orang Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban
menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah tahun kalender.
PKP yang dapat mengajukan Restitusi PPN pada setiap Masa Pajak adalah :
1. PKP yang melakukan ekspor BKP Berwujud;
2. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada Pemungut
PPN
3. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya
tidak dipungut;
4. PKP yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;
5. PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/atau
6. PKP dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2a) Undang-Undang PPN. (Isi Pasal 9 ayat (2a) UU PPN : Bagi Pengusaha Kena
Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang
terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat
dikreditkan)
Cara Pengajuan Restitusi PPN adalah :
1. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan Pajak dengan
menggunakan :
a. SPT Masa PPN, dengan cara mengisi (memberi tanda silang) pada kolom
"Dikembalikan (restitusi)"; atau
b. Surat permohonan tersendiri, apabila kolom "Dikembalikan (restitusi)" dalam SPT
Masa PPN tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian
kelebihan Pajak.
2. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak diajukan kepada KPP di tempat PKP
dikukuhkan.
3. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1
(satu) Masa Pajak.
 
SPT MASA PPN
SPT Masa PPN merupakan sebuah form yang digunakan oleh Wajib Pajak
Badan untuk melaporkan penghitungan jumlah pajak baik untuk melapor Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang
terhutang.
Fungsi dari SPT Masa PPN selain untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan
pajak, namun juga dapat digunakan untuk melaporkan harta dan kewajiban serta
penyetoran pajak dari pemotong atau pemungut.
SPT Masa PPN harus dilapor setiap bulannya, walaupun tidak ada perubahan
neraca, atau nilai Rupiah pada masa pajak terkait nihil (0). Jatuh tempo pelaporan
adalah pada hari terakhir (tanggal 30 atau 31) bulan berikutnya setelah akhir masa
pajak yang bersangkutan. Kecuali di bawah kondisi tertentu seperti yang dijelaskan
pada Peraturan Menteri Keuangan PER-80/PMK.03/2010, maka tanggal jatuh
tempo bukanlah pada akhir bulan berikut setelah akhir masa pajak yang
bersangkutan. Gagal melaporkan akan berakibat denda sebesar Rp 500.000,00 (UU
KUP Pasal 7 ayat 1).
Formulir yang kini digunakan adalah SPT Masa PPN 1111, yang terdiri dari 1
form induk dan 6 form lampiran
 
Sumber:
Nasikhudin. 2014. Akuntansi Pajak Pertambahan
Nilai (Online) https://nasikhudinisme.com/2014/11/16/akuntansi-pajak-
pertambahan-nilai/ diakses 25 Oktober 2016
Resmi,Siti. 2011. Perpajakan: Teori dan Kasus Edisi 6,Buku 1. Jakarta: Salemba
Empat

Anda mungkin juga menyukai