BARANG MEWAH (PPN dan PPnBM) OLEH YOGI ALIF UTAMA PUTRI DWI ANUGERAH WISNU AULIA Pendahuluan System pajak pertambahan nilai pada dasarnya merupakan pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. PPN dapat dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur produksi dan distribusi, namun pajak dikenakan hanya pada pertambahan nilai yang timbul pada setiap jalur yang dilalui barang dan jasa, sehingga dapat dikatakan bahwa sasaran yang dikenakan PPN adalah hanya pertambahan nilai yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk factor produksi mulai bahan baku, proses produksi, sampai hasil siap dijual, serta besarnya laba yang dinginkan oleh penjual. Pembahasan Pemahaman system PPN di Indonesia Faktur pajak sebagai instrument penting pengkreditan PPN Beberapa tips manajemen pajak pada PPN Serba serbi PPnBM dan pengelolaannya Pemahaman system PPN di Indonesia
Karakter legal PPN Indonesia Untung Sukardji menyebutkan setidaknya ada 8 karakter legal PPN di Indonesia, yaitu : Pertama, PPN adalah pajak tidak langsung dimana beban pajaknya dapat dilimpahkan dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Kedua, PPN merupakan pajak obyektif dimana timbulnya kewajiban pajak sangat ditentukan oleh kondisi objektif (ada tidaknya objek pajak), sehingga kodisi subjektif subjek pajak menjadi tidak/kurang relevan. Ketiga, PPN bersifat multi-stage tax karena PPN dikenakan disetiap mata rantai jalur produksi dan distribusi barang dan/atau jasa kena pajak. Keempat, PPN Indonesia menganut metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method) dengan faktur sebagai sarana kalkulasinya. Kelima. PPN bersifat non kumulatif sehingga tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda dan anti cascading effect yang biasanya tak terelakkan pada system pajak penjualan. Keenam, PPN Indonesia menganut tarif tunggal sebesar 10% meskipun dengan kuasa Peraturan Pemerintah tarif ini dapat dinaikkan atau diturunkan menjadi paling tinggi 15% atau paling rendah 5% dan atas transaksi ekspor barang dan/atau jasa kena pajak tertentu dikenakan tariff 0%. Ketujuh, PPN Indonesia adalah pajak atas konsumsi barang dan/atau jasa kena pajak di dalam negeri sesuai dengan prisip tempat tujuan sehingga netral dalam konteks perdagangan Internasional. Kedelapan, PPN yang diterapkan di Indonesia merupakan PPN tipe konsumsi. Objek dan subjek pengenaan PPN Berdasarkan Pasal 1A ayat (1) UU PPN yang berlaku, yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah : penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing) penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang penyerhan BKP secara konsinyasi penyerahan BKP oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP. Pasal 4 ayat (1) UU PPN yang berlaku menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas : (i) penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha; (ii) impor BKP; (iii) penyerahan JKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha; (iv) pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; (v) pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; (vi) ekspor BKP berwujud oleh PKP; (vii) ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP; dan (viii) ekspor JKP oleh PKP. Untuk subjek PPN, pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan BKP dapat meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP namun belum dikukuhkan. Pengecualian diberikan kepada pengusaha kecil yang dapat memilih untuk dikukuhkan atau tidak sebagai PKP. Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (i) barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP; (ii) barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud; (iii) penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean; dan (iv) penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. Menurut pasal 4A UU PPN yang berlaku, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut. Kelompok pertama adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Kelompok kedua adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kelompok ketiga adalah makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya. Kelompok keempat adalah uang, emas batangan, dan surat berharga. Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (i) jasa yang diserahkan merupakan JKP; (ii) penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean; dan (iii) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Adapun jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut : jasa pelayanan kesehatan medis; jasa pelayanan social; jasa pengiriman surat dengan perangko dan menggunakan cara lain pengganti perangko; jasa keuangan; jasa asuransi berupa jasa pertanggungan; jasa keagamaan; jasa pendidikan; jasa kesenian dan hiburan; jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; jasa angkutan umum; jasa tenaga kerja; jasa perhotelan; jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; jasa penyediaan tempat parkir; jasa telepon umum; jasa pengiriman uang dengan wesel pos; jasa boga atau catering.
Tarif dan penghitungan PPN
Secara umum, system PPN di Indonesia mengenakan tarif PPN tunggal sebesar 10% dari dasar pengenaan pajak, namun demikian untu beberapa hal tertentu, PPN dikenakan dengan tarif selain 10%. Adapun pengecualian pengenaan PPN diluar tarif 10% meliputi : ekspor BKP dan JKP dengan penerapan PPN 0%; penyerahan JKP di bidang pertambangan yang bersifat lex specialis dengan pengenaan PPN 5%; dan tarif efektif PPN sebesar 8.4 % atas penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh pengusaha pabrik hasil tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importer hasil tembakau. Dalamhal PPN menjadibagiandarihartaataupembayaranataspenyerahan BKP dan/ataupenyerahan JKP, PPN yang terutangadalah 10/110 darihargaataupembayaranataspenyerahan BKP dan/atau JKP. Apabilapenyerhan BKP dimaksudjugaterutangPPnBMdantelahmenjadibagiandarihargaataupembay aranataspenyerahan BKP, penghitungannyasebagaiberikut
PPN = 10 110+ x hargaataupembayaranataspenyerahan BKP
PPnBM=
110+ x hargaataupembayaranataspenyerahan BKP mewah
Dimanatbm = besarnyatarifPPnBM Saat dan tempat PPN terutang
Berdasarkan ketentuan pasal 11 UU PPN juncto pasal 17 peraturan pemerintah nomor 1 tahun 2012, terutangnya PPN dan/atau PPnBM terjadi pada saat : (i) penyerahan BKP; (ii) impor BKP; (iii) penyerahan JKP; (iv) pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean; (v) pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean; (vi) ekspor BKP berwujud; (vii) ekspor BKP tidak berwujud; (viii) ekspor JKP.
Mekanisme pengkreditan PPN Pengenaan PPN hakikatnya adalah penerapan tariff 10% PPN terhadap dasar pengenaan pajak (DPP), yaitu jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Ini diaplikasikan apabilaperusahaan melakukan transaksi penjualan atau pembelian sehingga terdapat jumlah PPN yang harus dipungut kepada pelanggan (PPN keluaran) dan PPN yak dipungut oleh supplier (PPN masukan). Pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. PPN Indonesia menerapkan basis bulanan untuk keperluan pelaporannya dan tidak mengenal penyampaian SPT tahunan PPN untuk para PKP. Faktur Pajak Sebagai Instrument Penting Pengkreditan PPN
Faktur pajak tidak saja merupakan bukti bahwa PPN telah dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) Penjual, juga menjadi dokumen yurudis pembayaran PPN bagi pihak PKP Pembeli sekaligus sebagai instrument untuk mengkreditkan PPN masukan. 1. Jenis-jenis faktur pajak Berdasarkan Pasal 13 UU PPN yang berlaku, jenis faktur pajak meliputi : Faktur pajak (standar) Faktur pajak gabungan Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan atau dipersamakan dengan faktur pajak. 2. Persyaratan Faktur Pajak Berdasarkan ketentuan pasal 13 ayat (5) UU PPN terbaru, faktur pajak memenuhi persyaratan haruslah setidaknya memuat informasi : Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga PPN yang dipungut PPnBM yang dipungut, dan Nama, dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak 3. Saat dan tata cara pembuatan faktur pajak Pembuatan faktur pajak mengacu pada kapan saat terutangnya PPN. Pasal 11 UU PPN yang berlaku menyebutkan bahwa terutangnya PPN terjadi pada saat : Penyerahan atau impor BKP Penyerahan atau ekspor JKP Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar daerah pabean Ekspor BKP Berwujud atau tidak berwujud Penerimaan pembayaran sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar daerah pabean, dan Penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan. 4. Retur BKP, pembatalan JKP, penggantian dan pembatalan faktur pajak Sesuai dengan ketentuan UU PPN yang berlaku, PPN dan PPnBM atas penyerahan BKP yang dikembalikan (retur), dapat dikurangkan dari PPN dan PPnBM yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP tersebut. Sementara PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari PPN yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut. Mekanisme penggantian dan pembatalan faktur pajak juga telah diatur dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 sebagaiaman telah diubah dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-08/PJ/2013 yang berlaku sejak tanggal 1 April 2013.
5. Sanksi administrasi terkait dengan penerbitan faktur pajak Pasal 14 UU KUP yang berlaku menyebutkan bahwa sanksi administrasi berlaku terhadap : Pengusaha atau PKP yang tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap selain : a). identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 5 huruf b UU PPN atau b). identitas pembeli serta nama dan tanda tangan sebagaiman dimaksud dalam pasal 13 ayat 5 huruf b dan huruf g UU PPN, dalam hal penyerahan dilakukan oleh PKP pedagang eceran PKP melaporkan faktur pajak tiak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak, selain wajib menyetor PPN terutang 10% juga dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak. Beberapa tips manajemen pajak pada PPN
Penghindaran pre-financing PPN bagi PKP penjual Dalam praktek bisnis yang normal, PKP penjual sebagai pemungut PPN akan membayarkan PPn yang dipungutnya (PPN keluaran) setelah dikurangi dengan PPN yang dipungutnya oleh para vendor (PPN masukan). Selisih PPN keluaran dan PPN masukan tersebut akan harus dibayar diakhir masa pajak berikutnya oleh PKP penjual sebelum dilaporkan ke KPP tempatnya terdaftar. Kondisi normal ini tidak mengakibatkan PKP penjuan membayar PPN dari dananya sendiri karena PPN sebelumnya telah dibayarkan kepadanya oleh PKP pembeli bersamaan dengan pelunasan tagihan. Optimalisasi PPN masukan untuk dikreditkan oleh PKP pembeli PPN masukan yang dimasukan oleh PKP pembeli sedapat mungkin dikreditkan dalam mekanisme pengkreditan PPN umum oleh PKP pembeli karena dengan dikreditkan, PPN yang telah dibayarkan akan dipulihkan 100% (recovery) oleh PKP pembeli. Bandingkan apabila PKP pembeli hanya membiayakan PPN yang telah dibiyarkannya tersebut sebagai pengurang (deductible expense) untuk kepentingan perhitungan PPh badannya, yang berarti recovery sebatas tarif yang dikenakan pada PPh badan (25%). Kelalaian yang menyebabkan banyaknya PPN masukan yang lolos tidak dapat dikreditkan, selain menciptakan distorsi harga yang kelak ditetapkan oleh PKP pembeli kepada konsumen pada mata rantai perdagangan berikutnya, juga akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan. Berikut adalah table berisikan ilustrasi perbandingan beban pajak yang lebih besar yang akan ditanggung oleh PKP pembeli apabila PPN masukan tidak dapat dkreditkan. Pemusatan (Sentralisasi) PPN terutang, Untuk menghindari kerumitan laporan, pengelola arus kas (cashflow) yang efektif, dan efesien sumber daya manusia yang menangani urusan perpajakan perusahan, entitas bisnis yang memiliki cabang dapat melakukan pemusatan (sentralisasi) PPN terutang dikantor pusat atau disalah satu cabang bearnya. Klaim pengambilan (restitusi) PPN, Ketentuan terbaru dari UU PPN mengatur secara umum bahwa apabila dalam suatu masa pajak, PPN masukan yang dapat dikreditkan lebih besar dari pada PPN keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan kemasa pajak berikutnya. Atas kelebihan PPN masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengambilan (restitusi) PPN perbasis masa (bulanan) dapat dilakukan oleh PKP yang masuk kedalam criteria PKP beresiko rendah
Rekonsiliasi (Equalisasi) PPN, Dalam praktik pemeriksaan pajak standar, pihak pemeriksa umumnya menggunakan metode rekonsiliasi (Equalisasi) guna membandingkan jumlah peredaran usaha menurut SPT PPh badan berikut audit financial report-nya dan jumlah penyerahan yang dilaporkan perusahaan pada SPT masa PPN. Fasilitas (insentif) dibidang PPN, UU PPN yang berlaku memberikan beberapa fasilitas terkait dengan pengenaan PPN yang dapat berupa: (i) PPN tidak dipungut baik untuk sebagian ataupun seluruhnya; (ii) PPN dibebaskan baik untuk sementara waktu atau selamanya
PPN tidak dipungut, Beberapa ketentuan mengenai fasilitas PPN yang tidak dipungut yang pernah dikeluarkan oleh otoritas perpajakn meliputi: PPN tidak dipungut atas penyerahan avtur untuk keperluan penerbangan internasional PPN tidak dipungut atas proyek pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah atau pinjaman lunak luar negri(project aid) PPN tidak dipungut atas impor BKP tertentu yang dibebaskan dari bea masuk PPN tidak dipungut atas impor barang yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (EPTE) PPN tidak dipungut atas penyerahan BKP untuk tempat timbunan berikat,yang dapat berbentuk gudang berikat, kawasan berikat, tempat penyelenggaraan pameran berikat, toko bebas bea (duty free shop), tempat lelang berikat atau kawasan daur ulang berikat
Pembebasan PPN, Fasilitas pembebasan PPN diberikan antara lain untuk aktifitas berikut
: Impor dan penyerahan BKP tertentu yang dibebaskan PPN Penyerahan JKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN PPN idbebaskan atas jasa kebandarudaraan tertentu PPN dibebaskan atas BKP tertentu bersifat strategis Pembebasn PPN/PPnBM atas pembelian BKP atau perolehan JKP yang dilakukan oleh perwakilan Negara atas asas timbale balik (resiprositas) dan badan-badan internasional yang memperoleh kekebalan diplomatic , serta pejabat-pejabat dan tenaga ahlinya
PPN ditanggung (dibayar) oleh pemerintah. PPN ditanggung pemerintah dan PPN dibayar pemerintah yang berpayung hukum tidak pada UU PPN, melainkan merujuk pada UU keuangan Negara dan anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN).
Ilustrasi ILUSTRASI PPN masukan dapat dikreditkan (dalam Rp) PPN masukan tidak dapat dikreditkan (dalam Rp) Perhitungan PPN: 1.Penjualan BKP 500.000.000 500.000.000 2.PPN keluaran (10%) 50.000.000 50.000.000 3.Biaya pembelian BKP 100.000.000 100.000.000 4.PPN masukan (10%) 10.000.000 0 5.PPN kurang bayar (=2-4) 40.000.000 50.000.000 Perhitungan PPh badan: 6.Penjualan 500.000.000 500.000.000 7.Biaya Pembelian 100.000.000 100.000.000 8.PPN masukan yang tidak dikreditkan 0 10.000.000 9.Laba Usaha (=6-7-8) 400.000.000 390.000.000 10.PPh badan (=25%x9) 100.000.000 97.500.000 Total Beban Pajak (=5+10) 140.000.000 147.500.000 Serba-serbi PPnBM dan pengelolanya
Obyek PPnBM Berdasarkan ketentuan,PPnBM dikenakan terhadap: (i) penyerahan BKP tergolong mewah yang dihasilkan daerah pabean (ii) impor BKP tergolong mewah,hanya dikenakan satu kali pada waktu penyerahan BKP. Pengenaan PPnBM dilakukan dengan pertimbangan bahwa : (i) perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi; (ii) perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah; (iii) perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil; (iv) perlu untuk mengamankan penerimaan Negara. Kriteria barang mewah dan kegiatan menghasilkan Barang yang bukan kebutuhan pokok Barang yang dikonsumsi oleh masyarakat Barang yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi Barang yang dikonsumsi untuk menunjukan status
Tarif PPnBM Tariff PPnBM paling rendah 10% dan paling tinggi 200%. Ekspor BKP tergolong mewah dikenakan tariff pajak 0%. Mengenai kelompok BKP tergolong mewah yang dikenai tariff PPnBM 10%-200% diatur diperaturan pemerintah. Secara garis besar tariff PPnBM dibagi menjadi dua: Kelompok barang mewah berupa kendaraan bermotor dengan tarif 10%- 60%, dan 75% dan tergantung pada isi silinder (besaran cc) Kelompok barang mewah selain kendaraan bermotor dengan tarif 10%-50% dan 75% dengan uraian jenis barang mewah yang diatur pada peraturan mentri keuangan nomor PMK-620/PMK.03/2004 yang diubah terakhir dengan PMK-62/PMK.011/2010. Mekanisme penghitungan PPnBM PPnBM yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan PPnBM yang terutang. Prinsip pemungutannya hanya satu kali saja, yaitu pada waktu penyerahan oleh pabrikan atau produsen BKP yang tergolong mewah dan impor BKP yang tergolong mewah. Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak dikenakan PPnBM
Ilustrasikasus : PKP ABWH membeli BKP mewah (dengan tariff PPnBM 20%) daripabrikan PKP YES denganrincianhargasebagaiberikut : Hargabeli (sebagaidasarpengenaanpajak) Rp 100.000.000,00 PPN (10%) Rp 10.000.000,00 PPnBMRp. 20.000.000,00 Jumlah yang dibayar PKP ABWH Rp 130.000.000,00
DalamhalnilaikontrakmenurutperjanjiansebesarRp. 130.000.000,00 di atassudahtermasuk PPN 10% danPPnBM 20%, makaperhitungan PPN danPPnBMadalah : PPN yang terutang = 10 110+20 x Rp. 130.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00 PPnBMterutang = 20 110+20 x Rp. 130.000.000,00 = Rp. 20.000.000,00
Apabilakemudian PKP ABWH menjual BKP mewahtersebutkepada PKP GTR denganharapanlaba 30 % darihargabeli, makajumlah yang dibayaroleh PKP GTR adalah
Hargabeli PKP ABWH Rp. 100.000.000,00 PPnBM yang telahdibayarRp. 20.000.000,00 Laba yang diharapkan (30%) Rp. 30.000.000,00 Hargajual (sebagaidasarpengenaanpajak) Rp. 150.000.000,00 PPN yang dipungut (10%) Rp. 15.000.000,00 Jumlah yang di bayaroleh PKP GTR Rp. 165.000.000,00
Tata cara pembebasan PPnBM atas impor dan/atau penyerahan barang mewah
Fasilitas pembebasan PPnBM atas impor atau penyerahan BKP mehah kendaraan bermotor diberikan terhadap : (i) kendaraan bermotor yang digunakan untuk kendaraan ambulan, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan umum; (ii) semua jenis kendaraan bermotor untuk tujuan protokoler kenegaraan; (iii) semua jenis kendaraan bermotor angkutan lebih dari 10 orang termasuk pengemudi, yang digunakan untuk kegiatan dinas TNI/POLRI; dan (iv) semua jenis kendaraan yang digunakan untuk kepentingan patrol TNI/POLRI. Fasilitas pembebasan pengenaan PPnBM atas impor atau perolehan kendaraan tersebut dilakukan dengan mekanisme perolehan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPnBM yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak. Tata cara restitusi PPnBM kendaraan bermotor yang terlanjur dipungut/dibayar
Untuk PPnBM yang seharusnya tidak dipungut tetapi PPnBM tersebut terlanjur dipungut dan dibayarkan, PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian PPnBM yang telah dipungut. Permohonan dapat diajukan kepada Dirjen pajak c.q. kepala KPP tempat permohonan terdaftar. Pengajuan permohonan pengembalian PPnBM dilakukan paling lambat 12 bulan setelah terjadinya impor atau penyerahan kendaraan bermotor dengan dilengkapi dokumen-dokumen pendukung yang relevan.