1. Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang berifat teratur maupun tidak teratur setiap
bulan selain bulan Desember atau bulan ketika pegawai tetap berhenti bekerja. terdiri atas:
d. Pegawai tetap menerima bonus, gratifikasi, jasa produksi, dan lain-lain (bersifat tidak
teratur);
f. Pegawai tetap berhenti bekerja atau mulai bekerja dalam tahun berjalan;
a) Pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak dalam negeri sudah ada
sejak awal tahun kalender tetapi baru bekerja pada pertengahan tahun,
b) Pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak dalam negeri dimulai
setelah permulaan tahun pajak, dan mulai bekerja pada tahun berjalan.
a) Pegawai yang masih memiliki kewajiban pajak subjektif berhenti bekerja pada tahun
berjalan;
b) Pegawai berhenti bekerja pada tahun berjalan dan sekaligus kehilangan kewajiban pajak
subjektif & Pegawai tetap dengan penghasilan sebagian atau seluruhnya diperoleh dalam
mata uang asing
g. Pegawai tetap dengan sebagian atau seluruh PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi kerja;
Tahapan penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur berupa gaji teratur secara
bulanan, harian, dan mingguan
a) Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, terlebih dahulu dihitung
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji,
segala jenis tunjangan, dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur (over time)
dan pembayaran sejenisnya.
b) Untuk perusahaan yang masuk program jaminan sosial tenaga kerja, Premi Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Premi Jaminan Kematian (JK), dan Premi Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai.
Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan
kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayarkan oleh pemberi
kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21,
premi asuransi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh
pemberi kerja kepada pegawai.
c) Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iurah pensiun, iuran
Jaminan Hari Tua, dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai
yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan Penyelenggara Program Jamsostek.
d) Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan
dikalikan 12.
e) Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektif sebagai Wajib Pajak
dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka
penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto sebulan dengan
banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan
Desember.
f) Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan Tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a UU PPh, yaitu sebesar Penghasilan neto setahun pada huruf d atau e di atas,
dikurangi dengan PTKP.
g) Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
tehadap Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf f, selanjutnya dihitung
PPh Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas negara, yaitu sebesar;
1) Jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf d
dibagi dengan 12; atau
2) Jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf e
dibagi dengan 12.
h) Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan,
maka untuk perhitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu dijadikan
penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut:
i) Selanjutnya dilakukan perhitungan PPh Pasal 21 sebulan dengan cara seperti dalam angka d
sampai dengan g.
j) PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam
huruf i dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh
Pasal 21 sebulan dalam huruf i dibagi 26.
Hitungan 2
Hitungan 2 diterapkan pada pegawai pensiun atas uang pensiun yang dibayarkan secara berkala
(bulanan). Penghitungannya dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima pada tahun pertama
pensiun, sebagai berikut:
a. Terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi
penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan dengan banyaknya bulan sejak
pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember (biaya
pensiun sama dengan 5% dari uang pensiun dengan jumlah maksimal Rp200.000 sebulan);
b. Penghasilan neto pensiun pada huruf a ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang
bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai yang
bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21
sebelum pensiun;
c. Untuk menghitung penghasilan kena pajak, jumlah penghasilan pada huruf b tersebut
dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan kena pajak
tersebut,
d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara
mengurangi PPh Pasal 21 huruf c dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja
sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti
pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti dalam huruf d
dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Hitungan 3
Hitungan 3 diterapkan pada pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, pemagang, dan calon
pegawai. Langkah-langkah penghitungan PPh Pasal 21 sebagai berikut:
1. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, pemagang, dan calon pegawai menerima upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, uang saku harian
Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau
diperoleh dalam sehari:
c. upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan borongan.
Hitungan 3a. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum
melebihi Rp200.000 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan
kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp2.025.000, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang
harus dipotong.
Hitungan 3b. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah
melebihi Rp200.000 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan
kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp2.025.000, PPh Pasal 21 yang harus dipotong
adalah:
Hitungan 3c. Dalam hal jumlah upah yang diterima atau diperoleh dalam bulan yang
bersangkutan telah melebihi Rp2.025.000 dan tidak melebihi Rp7.000.000, PPh Pasal 21 yang
harus dipotong adalah:
Hitungan 3d. Dalam hal jumlah upah yang diterima atau diperoleh dalam bulan yang
bersangkutan telah melebihi Rp7.000.000, PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah:
Hitungan 4
3. Peserta program pensiun yang masih berstatus pegawai atas penarikan dana pensiun.
Hitungan 5
Hitungan 5 diterapkan pada bukan pegawai yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan.
1. Hitungan 5a, bukan pegawai telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari
hubungan kerja dengan dengan Pemotong PPh Pasal 21/26 serta tidak memperoleh
penghasilan lainnya.
2. Hitungan 5b, bukan pegawai tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya
dari pemotong PPh Pasal 21/26 atau memperoleh penghasilan lainnya:
Hitungan 6
Hitungan 6 diterapkan pada bukan pegawai yang menerima imbalan tidak bersifat
berkesinambungan.
Hitungan 7
Hitungan 8
Hitungan 8 diterapkan pada Pejabat PNS, anggota TNI/Polri, dan pensiunannya yang
memperoleh honorarium atau imbalan yang bersumber dari APBN/APBD.
- PNS Golongan I dan II, anggota TNI/Polri golongan pangkat Perwira = 0% x penghasilan
bruto Tamtama dan Bintara dan pensiunannya
- PNS Golongan IV, anggota TNI/Polri Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Tinggi
dan pensiunannya= 15% x penghasilan bruto
Hitungan 9
Hitungan 9 diterapkan pada penerima uang pensiun, uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua atau jaminan hari tua sekaligus.