NIM : 2007341018
Kelas : Perpajakan 1
2. PPN merupakan pajak subjektif yang dimana Pajak pertambahan nilai tidak melihat
dari sisi subjek pajak, melainkan dari objek pajak. Setiap konsumen, yang juga wajib
pajak dan subjek pajak, akan dikenai tarif PPN yang sama, sesuai dengan harga
barang atau transaksi BKP dan JKP yang terjadi.
3. WAPU atau Wajib Pungut merupakan istilah yang merujuk pada pembeli yang
seharusnya dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun justru memungut PPN.
Artinya, sebagai pembeli Wapu justru tidak dipungut PPN oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) yang menyerahkan Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP), melainkan
justru memungut PPN. Istilah Wapu ini ditujukan pada bendaharawan pemerintah,
badan usaha atau instansi pemerintah yang ditugaskan memungut, menyetor dan
melaporkan PPN yang terutang oleh PKP atas penyerahan BKP/JKP kepada badan
atau instansi pemerintah tersebut. Dalam ketentuan, ada 4 badan atau instansi yang
masuk dalam ketegori Wapu, yakni:
a. Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN).
b. Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
c. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
d. Badan Usaha Tertentu.
4. Pajak Terutang adalah pajak yang harus dibayar pasa suatu saat, dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak sesuai ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
Masa Pajak adalah sama dengan satu bulan kalender
Tahun Pajak adalah sama dengan satu tahun kalender atau tahun takwin
Tahun Pajak bisa menggunakan jangka waktu Januari hingga Desember. Namun bisa
dikecualikan jika mengajukan izin untuk menggunakan jangka waktu lain.
5. Terkait dengan dasar pengenaan pajak PPN, tarif pembayaran PPN diatur lewat pasal
7 UU PPN dan PPnBM yang merinci bahwa tarif PPN adalah sebagai berikut:
a. Untuk penyerahan dalam negeri, tarif PPN sebesar 10%.
b. Untuk ekspor BKP berwujud maupun berwujud serta ekspor JKP dikenakan tarif
0%.
c. Tarif pajak terkait ekspor dapat berubah minimal sebesar 5% dan maksimal
sebesar 15%.
Pungutan PPN dengan tarif yang ditetapkan didasarkan atas dasar pengenaan pajak
PPN yang meliputi lima nilai, yakni:
Harga Jual
Penggunaan harga jual sebagai dasar pengenaan pajak PPN didasarkan atas
Pasal 1 Ayat (18) UU PPN dan PPnBM. Dalam UU PPN dan PPnBM, yang
dimaksud dengan harga jual adalah nilai berupa uang. Nilai berupa uang ini
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN
dan PPnBM, serta potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
Penggantian
Dalam UU PPN dan PPnBM Pasal 1 Ayat (19), yang dimaksud dengan
penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP
atau ekspor BKP tidak berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut UU PPN dan PPnBM serta potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak. Penggantian juga termasuk nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh
penerima manfaat BKP tidak berwujud karena pemanfaatan BKP tidak
berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Nilai Impor
Pengeritan nilai impor dalam UU PPN dan PPnBm Pasal 1 Ayat (20) adalah,
nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan yang
mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk
PPN dan PPnBM yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM.
Nilai ekspor
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh eksportir.
Nilai lain yang diatur oleh Menteri Keuangan
Penggunaan nilai lain dimaksudkan untuk mengindentikasi dasar pengenaan
pajak PPN yang bisa dikenakan pada beberapa transaksi tertentu, khususnya
yang berada di luar klasifikasi dasar pengenaan pajak PPN pada umumnya.
8. Perubahan tarif umum PPN juga berdampak pada perubahan tarif PPN atas barang
dan jasa tertentu, salah satunya kegiatan membangun sendiri. Tarif efektif PPN atas
kegiatan membangun sendiri yang berlaku saat ini adalah 2,2% yang diatur melalui
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2022 (PMK-61/2022). Kegiatan
membangun sendiri merupakan kegiatan membangun bangunan, baik bangunan baru
maupun perluasan bangunan lama, yang dilakukan tidak dalam rangka kegiatan usaha.
Bangunan yang dihasilkan digunakan sendiri atau pihak lain dengan tiga kriteria.
Pertama, konstruksi utama terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan
sejenis, dan/atau baja. Kedua, diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau kegiatan
usaha. Ketiga, luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m2. Pada dasarnya,
PMK-61/2022 tidak mengubah banyak ketentuan pada aturan sebelumnya. Besaran
tertentu untuk menghitung PPN kegiatan membangun sendiri adalah 20% dengan
dasar pengenaan pajak sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan,
namun tidak termasuk biaya perolehan tanah. Pada Pasal 2 ayat (5) PMK-61/2022 ,
dijelaskan bahwa kegiatan membangun sendiri dapat dilakukan sekaligus atau
bertahap dalam jangka waktu dua tahun. Jika tahapan kegiatan melebihi dua tahun,
kegiatan membangun sendiri dianggap membangun bangunan yang terpisah
sepanjang memenuhi kriteria yang sebelumnya telah disebutkan. Baca Juga : PPN
Naik 11%, Perlukah Importir Update Modul PIB? PPN kegiatan membangun sendiri
terutang pada saat bangunan mulai dibangun sampai dengan bangunan selesai. PPN
terutang wajib disetorkan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. PPN yang telah disetor
kemudian dilaporkan melalui SPT Masa PPN dalam hal orang pribadi atau badan
yang adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jika bukan PKP, orang pribadi atau badan
dianggap telah melaporkan PPN sepanjang telah menyetorkan PPN yang terutang.
Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) PMK-61/2022, dijelaskan bahwa nilai SSP yang
digunakan untuk penyetoran PPN kegiatan membangun sendiri merupakan dokumen
yang dipersamakan dengan faktur pajak. PPN yang tercantum dalam SSP tersebut
merupakan Pajak Masukan dan dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan.
Transisi perubahan tarif diatur pada Pasal 11 PMK-61/2022. Apabila PPN terutang
sebelum Masa April 2022 dan penyetoran dilakukan sebelum PMK-61/2022 berlaku,
tarif efektif yang berlaku adalah 2%. Jika PPN terutang sebelum Masa April 2022,
namun penyetorannya dilakukan pada saat atau setelah PMK-61/2022 berlaku, maka
tarif efektif yang digunakan adalah 2,2%.
9. Pasal 16D UU PPN mengatur tentang pungutan pajak atas aktiva perusahaan yang
semula tidak untuk diperjualbelikan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan
pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang/jasa dalam
peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis pajak tidak
langsung yang disetor oleh pihak lain. Jadi, dalam aturannya konsumen akhir tidak
menyetorkan langsung PPN yang Ia tanggung. Seperti yang kita ketahui, PPN juga
dikenakan atas penjualan aktiva perusahaan. Dalam prakteknya, aset yang semula
tidak untuk diperjualbelikan dan dijual oleh perusahaan akan dikenakan PPN seperti
yang tercantum dalam pasal 16D UU PPN.
Pasal 16D UU PPN, sesuai ketentuan dapat dibagi menjadi 2 periode yaitu
Masa 1 Januari 1995-1 April 2010 (sesuai UU No.11 tahun 1994)
Pada periode ini, pasal 16D UU PPN menjelaskan bahwa PPN dikenakan atas
penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, selama PPN yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan. Contohnya penyerahan mesin, peralatan,
perabotan, bangunan lain dan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan
lainnya. Menurut pasal 16 UU PPN periode ini, penyerahan aktiva tidak
dikenakan pajak apabila PPN yang dibayar pada waktu perolehannya tidak
dapat dikreditkan, kecuali jika tidak dapat dikreditkan karena tidak memenuhi
persyaratan administratif seperti faktur pajak tidak diisi lengkap sesuai dengan
ketentuan.
Masa setelah 1 April 2010 (sesuai UU PPN No. 42 tahun 2009)
Peraturan mengenai PPN terhadap aktiva yang semula tidak untuk
diperjualbelikan diperbarui melalui UU PPN No. 42 tahun 2009. Undang-
undang baru ini mengatur bahwa penyerahan BKP berupa mesin, perabotan,
peralatan atau BKP lainnya yang semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
PKP dikenakan pajak. Tetapi PPN tidak dikenakan atas pengalihan BKP yang
tidak memiliki hubungan langsung dengan kegiatan usaha, pengalihan aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yaitu kendaraan
bermotor station wagon dan sedan. Mengacu pada pasal 9 ayat 8b dan 8c
undang-undang ini, pajak masukan atas peroleh aktiva ini tidak dapat
dikreditkan.
10. Kriteria Pengusaha Kena Pajak untuk melakukan pemungutan, penyetoran dan
pelaporan PPN Yaitu Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP di dalam Daerah Pabean, dan/atau melakukan ekspor BKP (baik BKP
Berwujud maupun BKP Tidak Berwujud) dan/atau JKP, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan wajib memungut,
menyetor, dan melaporkan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
yang terutang.