Anda di halaman 1dari 16

MANAJEMEN PERPAJAKAN

RMK

TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26, DAN PPH FINAL

Oleh:

Nama : NI KADEK FENNY SANTIKA DEWI

NPM : 202033121088

Kelas : F2 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS WARMADEWA

2022/2023
TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 DAN PPH FINAL

1. Pendahuluan

Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak
adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pungutan dan pemotongan atas
pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga),sesuai dengan kewajiban wajib pajak untuk
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan
melaporkan ke kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan pepajakan.
Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini,
pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya besar.
Berbeda dengan self assesment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk
menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri.

2. Pajak Penghasilan Pasal 22


Tax Management Pemotongan dan Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.03/2008, pajak ini menyangkut PPh pasal 22
impor, PPh pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian
dan penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha
lain (hasil penjualan: produksi Pertamina, produksi rokok, semen, otomotif, baja, kertas, dan
lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah (PMK No.
253/PMK.03/2008). Di sini yang akan dibicarakan adalah masalah PPh Pasal 22 impor.
Kalau perusahaan mengimpor barang, harus membatar PPh Pasal 22 impor pada saat
pembayaran bea masuk, dan yang memungut adalah Ditjen Bea Cukai atau bank devisa. PPh
Pasal 22 impor merupakan kedit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh yang terutang di
akhir tahun pajak.
Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 impor bervariasi, tergantung apakah perusahaan
punya angka pengenal impor (API) atau tidak, dan kalau tidak dikuasai artinya barang tak
bertuan.
Kalau ada API tarifnya 2,5% dari nilai impor, kalau non API 7,5%, dan untuk barang
tidak dikuasai juga dikenai 7,5% dari harga jual lelang. Persemtase tersebut dihitung dari
harga barang atau nilai CIF + BM (Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk
Tambahan, jika ada).
Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Tentu yang dipikirkan oleh tax
planner adalah meencari tarif terendah, sehingga dalam melakukan impor, tax planner yang
baik akan merekomendasikan impor dengan API.
Memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) API tersebut bisa terjadi digunakan oleh
unit-unit bisnis dalam grupperusahaan atau kolongmerat yang satu dengan yang lainnya
sudah saling kenal dan berada dalam payung kepemilikan perusahaan yang sama, malah itu
mungkin menjadi suatu kebijakan bisnis grupnya yang harus dijalankan dan dipatuhi.kalau
kebijakan ini diimplementasikan, tax planner bisa tersenyum karena “berhasil” menekan
beban PPh Pasal 22 menjadi sebesar 5%, dari yang tadinya 7,5% menjadi 2,5%. Lumayan
untuk menghemat cash flow perusahaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh
Pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh
Badan (bila perusahaan dapat profit).
Dalam dunia shipping (laut dan udara), kita mengenal adanya “handling fee”, yakni
jumlah fee yang harus dibayarkan bedasarkan perjanjian handling fee antara importir yang
mempunyai API dengan pemilik barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling
fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini mungkin bisa dipakai oleh orang atau
perusahaan yang tidak punya API dengan “meminjam” bendera perusahaan yang punya API
untuk mengeluarkan barang impornya dengan kompensasi pemberian “handling fee”. Bila
benefitnya (5%) lebih besar dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% - 2%),
maka si pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar 3%-
3,5% dari harga barang impor tadi (yakni dari cost insurance & freight + bea masuk).
Sedangkan bagi perusahaan yang masih rugi, cara ini akan bisa menghemat cash flow untuk
masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih
bayar.
Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai, atau barang tidak bertuan, adalah
membayar dengan rate yang sama dengan dikenakan pada non API.
Tax management dan tax planning yang baik mensyratkan beberapa hal, seperti tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung oleh
bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoice). Oleh sebab itu untuk
meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan
membuat kontrak yang jelas dan jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan
kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak
bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam
SPT Tahunan PPh.
Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22
Dikecualikan dari pemungutan pajak penghasilan pasal 22, adalah:
a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan
b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan
No. 254/KMK.03/2001 yang telah diubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001
dan 236/KMK.02/2003 dan 154/PMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK
No. 08/PMK.03/2008.

Pengajuan SKB PPH Pasal 22


Sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain
kepada Direktur Jenderal Pajak karena:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terulang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiscal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiscal sepanjang kerugian tersebut
jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak penghasilan yang dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.

Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan Surat
Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, seperti yang dimaksud
dalam keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
memontum kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih
bayar pajak penghasilan.

Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak, diatur
dengan Peraturan Materi Keuangan. Ketentuan Materi Keuangan mengenai pengenaan pph
pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/200 sebagai mana telah diubah terakhir dengan
PMK No.08/PMK.03/2008. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok
yaitu:

1. PPH Pasal 22 Impor

Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah:

1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):


• Atas impor kedelai, gandum,dan tepung terigu oleh importer, dikenal tarif
sebesar 0,5% dari nilai impor.
• Selain impor gandum dan tepung teriguoleh importir yang memiliki API
tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.
2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai
impor.
3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% (tujuh setengah lima persen) dari harga jual
lelang.

Catatan:

- Nilai impor Harga Patokan Impor ( nilai CIF)+ Bea Masuk +Bea masuk tambahan
(jika ada)
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan
Keputusan Materi Keuangan.

PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Dirjen Bea dan Cukai atau bank devisa
pada saat pembayaran Bea masuk. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang
dapat dikurangkan dari PPh terutang di akhir tahun pajak.

Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final

• Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya
semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22 impor.
• WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan.
• Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan akan kegiatan
untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang aka
ditagih beserta dengan sanksi bunganya.

2. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD


Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke
APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5% dari harga beli
yang dipungut pada saat pembayaran. Pemugutan dilakukan oleh Ditjen Anggaran,
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal
dari APBN/D.
PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus
disetor oleh pemungut dengan menggunukan SSP atas nama Wajib Pajak yang
dipungutan (penjual).
3. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha LAIN

Tabel berikut ini memperlibatkan rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha
lain yang harus dipungut oleh wajib pajak pemungut di mana tarifnya sangat bervariasi
pada jenis usahanya:

Tabel IV-1

Objek PPh Pasal 22


Dasar Pengenaan Pajak
NO OBJEK PAJAK TARIF SIFAT Dasar Hukum
(DPP)
PPh Pasal 22
1 Pembelian Barang Dalam negeri
a. Pembelian baraang oleh
bendaharawan, 1,5% Harga pembelian excI.
PMK 224/PM
BUMN/BUMD dan PPN
Kp.011/2012
badan-badan tertentu
b. Pembelian bahan-bahan
berupa hasil perhutanan,
PMK 224/PM
perkebunan, pertanian, Harga pembelian
dan perikanan untuk 0,25% K.011/2012
keperluan industry dan
ekspor dari pedagang
pengumpul.
2 Impor Barang
a. Importir Mempunyai 2,5% Nilai Impor PMK 224/PM
API K.011/2012
b. Importir tidak 7,5% Nilai Impor
mempunyai API
c. Pemegang hasil legal 7,5% Nilai Lelang
impor yang tidak
dikuasai
3 Penjualan Hasil Produksi
Tertentu di Dalam Negeri

a. Industri Semen 0,25% DPP PPN


PMK 244/PM
K.011/2012
b. Industri Kertas 0,10% DPP PPN
PMK244/PM
K.011/2012
c. Industri Baja 0,30% DPP PPN
PMK224/PM

d. Industri Otomotif 0,45% DPP PPN K.011/2012


PMK 244/PM
e. Industri Obat 0,30% DPP PPN K.011/2012
PMK 224/PM
K.011/2012

f. Bahan Bakar Minyak SPBU


PMK 224/PM
dan Gas Non
K.011/2012
Pertamin
Final
a Penjualan excl.PPN
Final
• Premium 0,3% Penjualan excI. PPN
Final
• Solar 0,3% Penjualan exci.PPN
Final
• Premax/Super TT 0,3%
• Minyak Tanah - Penjualan exci.PPN Final

• Gas/LPG 0,3% Penjualan excI.PPN Final

• Pelunas 0,3%

SPBU
Bahan Bakar Minyak dan Pertamina Penjualan excI.PPN
Gas 0,25%
4 Penjualan Barang yang 0,45% DPP PPN PMK 244/PM
Tergolong Sangat Mewah K.011/2012
5 Penjualan Barang yang 5% Harga jualan tidak PMK.224/PM
Tergolong Sangat Mewah termasuk PPN dan K.011/2012
PPnBM
a. Pesawat udara pribadi
dengan harga jual lebih
dari Rp.
20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan
sejenisnya dengan harga
jual lebih dari Rp.
10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahya
dengan harga jual atau
harga pengalihannya
lebih dari Rp.
10.000.000.000,00 dan
luar bangunan lebih dari
500m2
d. Apartemen,
kondominium,dan
sejenisnya dengan harga
jual atau pengalihannya
lebih dari Rp.
10.000.000.000,00 dan
atau luas bangunan lebih
dari 400m2
e. Kendaran bermotor roda
empat pengangkutan
orang kurang dari 10
orang berupa sedan,
jeep, sport utility vehicle
(suv), multi purpose
vehicle (moy), minibus
dan sejenisnya dengan
harga jual lebih dari Rp.
5.000.000.000,00 dan
dengan kapasitas silinder
lebih dari 3.000 cc.
Catatan:

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK/.03/2008, sejak 1


Januari 2009 industri rokok tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.

4. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah

Sesuai dengan PMK No.253/PMK.03/2008 tentang Wajib pajak badan tertentu


sebagai pemungut PPh dari pembeli atas Penjualan barang yang Tergolong Sangat Murah,
pemungut pajak adalah Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang
tergolong sangat mewah yang diwajibkan memungut pajak penghasilan pada saat
melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Besarnya pajak penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN
dan pajak penjualan atas barang mewah.

Barang yang tergolong sangat mewah sebagai mana dimaksud adalah:

a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih Rp 20 miliar


b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 10 miliar
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
dari 500m2
d. Apertemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari Rp. 10 miliar dan atau luas bangunan lebih ari 400m2
e. Kendaran bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle(mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga ual lebih dari Rp, 5 miliar dan dengan kapasitas lebih
dari 3.000 cc.

3. Pajak Penghasilan pasal 23

Pajak adalah pungutan. Suka atau tidak, itu adalah suatu pemaksaan yang dilegalisasi
melalui undang-undang. Undang- undang ini bertujuannya untuk memberi kesan bahwa
pungutan itu tidak sama dengan peran pesan .

Apabila perusahaan memiliki proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini
ditemukan oleh fiskus pada sst dilakukan pemeriksaan pajak maka perusahaan memiliki
proyek akan dikenai kewajiban unuk membayar PPh Pasal 23 yang terutang ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.

Solusinya:
1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta, di gross up
menjadi 100/90*Rp 72 juta= Rp 80 juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah
termasuk pajak yang harus dipungut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80
juta-Rp 72juta= 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh finaldan
dividen.
2. Namun bila perusahaan memiliki proyek membayarkan sendiri PPh pasal 23 yang
terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up( jadi 10%*Rp72juta=Rp7,2juta).
Tapi apakah hal itu akan dikuasai fiskus? Jelas tidak, karena cara ini baru dilakukan
secara sepihak oleh perusahaan pemilik gedung. Agar biaya sewa bangunan bias
dibiayakan, termasuk pajaknya, maka kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu,
termasuk mengubah invoice, ftransaksi pajak, dan dokumen lain yang mengakomodir
pemotongan pajak PPh pasal 23 atas pembayaran sewa bangunan tersebut, agar terdapat
kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi
dengan mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di gross up sebesar Rp 80juta, dan
setelah itu pemilik gedung memotong PPh pasal 4(2) final 10%*Rp 80 juta, dan
menyetorkannya ke kas Negara atau bank persepsi

Pengenaan Pajak atas Deviden

UU PPh No.10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh Perseroan dalam
negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak termasuk objek pajak PPh Badan
dengan syrat bahwa:

1) Deviden berasal dari laba yang ditahan


2) Kepemilikan saham perseroan yang menerima deviden tersebut paling sedikit memiliki
25% dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar deviden (operating
compny).

Pada tahun 1994, para pemegang saham orang pribadi cepat-cepat membuat perseroan
terbatas (PT) dengan mereka sebagai pemegang sahamnya. Di PT yang tidak mempunyai
kegiatan apa-apa mereka hanya bertindak sebagai pemegang saham. Dilain pihak ada
operating company yang membayar dividen ke PT Tanpa dikenai pajak.
Bagaimana kalau kepemilikan sahamnya kurang dari 25%, jalan keluarnya adalah merger
untuk mencukupi kekurangan dana yang harus diinvestasikan ke operating company.

Perubahan Tarif PPh Pasal 23


UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan Tarif PPh Pasal 23 yang semula
15% menjadi:
1) 15% dari peredaran bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus,
dan sejenisnya.
2) 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa
konsultan, dan jasa lainnya.

Bunga pinjaman bank bagi perusahaan peminjam jelas dapat di bayarkan, sedangkan bagi
bank, pendapatan bunga tersebut tidak dikenai PPh final karena itu adalah business income
dari bank tersebut.di luar bunga pinjaman bank terkena pemotongan PPh Pasal 23 sebesar
15%.

Pengajuan SKB PPH Pasal 23

Seperti pengajuan SKB pasal 22 yang telah dibahas diatas, ketentuan yang sama berlaku juga
pasa PPh Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan
Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada Direktur
Jendral Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak. Tax Planner
yan baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23
tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.

Pph Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak
dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong PPh Pasal 23

1. Badan Pemerintah.
2. Subjek pajak dalam nnegeri.
3. Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu :
• Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan yang
melakukan pekerjaan bebas.
• Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan pembukuan.

Subjek Pajak PPh Pasal 23:

1. Wajib Pajak Dalam Negeri.


2. Bentuk Usaha Tetap.
3. Wajib Pajak luar negeri.
Objek Pajak PPh Pasal 23:

Adalah penghasilan yang berassal dari :

1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.


2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib Pajak badan.
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21.

Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23

a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi :


1. Dividen; kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/BUMD, koperasi, dengan syarat
kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi) dann dividen tersebut diambil
dari laba ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.
3. Royalty.
4. Hadia dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPH Pasal 21.
b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayar oleh
koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri keuangan.
c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta yang telah dikenai PPh Final.
d. Imbalan sehubungan denga jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, dan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

No. OBJEK PAJAK TARIF SIFAT


III PPh Pasal 23
A.
1. Dividen 15% Penghasilan Bruto

Kecuali :
• Dividen sebagaimana dimaksud dalam Bukan
Pasal 4 ayat (3) huruf f dan objek
PPh

• Dividen yang diterima oleh orang 10% Penghasilan Bruto Final


pribadi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 17 ayat (2c);

2. Bunga 15% Penghasilan Bruto


3. Royalti 15% Penghasilan Bruto
4. Hadia, penghargaan, bonus dan 15% Penghasilan Bruto
sejenisnya selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21 Ayat (1) Huruf e.
B. Sewa dan Penghasilan lain Sehubungan dengan 2% Jumlah Bruto Tidak
Penggunaan Harta, Kecuali Sewa dan termasuk PPN
Penghasilan Lain Sehubungan dengan
Penggunaan Harta yang Telah Dikenakan PPh
Final.
C. Imbalan Sehubungan dengan Penggunaan 2% Jumlah Bruto
Harta, Kecuali Sewa dan Penghasilan Lain Tidak Termasuk PPN
Sehubungan dengan Penggunaan Harta yang
telah Dikenakan PPh Final.
D. Imbalan Sehubungan dengan Jasa Lain, Selain
Jasa yang Telah Dipotong PPh Pasal 21 :
a. Jasa Penilai (Apraisal)
2% Jumlah Bruto
b. Jasa Aktuaris Tidak termasuk PPN
2% Jumlah Bruto
c. Jasa Akuntansi, Pembukuan, dan Tidak termasuk PPN
Atestasi Laporan Keuangan 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
d. Jasa Perancang Jumlah Bruto
2% Tidak termasuk PPN
e. Jasa pengeboran (Drillin) di Bidang
Penambangan Minyak dan Gas Bumi 2% Jumlah Bruto
(Migas), kecuali yang dilakukan olen Tidak termasuk PPN
Bentuk Usaha Tetap;

f. Jasa Penunjang di Bidang Jumlah Bruto


Penambangan Migas 2% Tidak termasuk PPN
g. Jasa Penambangan dan Jasa Penunjang Jumlah Bruto
di Bidang Penambangan Selain Migas. 2% Tidak termasuk PPN

h. Jasa Penunjang di Bidang Penerbangan


dan Bandar Udara. 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
i. Jasa Penerbangan Hutan

j. Jasa Pengolahan Limbah. 2% Jumlah Bruto


Tidak termasuk PPN
k. Jasa Penyediaan Tenaga Kerja 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
l. Jasa Perantara dan atau Keagenan 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
m. Jasa di Bidang Perdagangan Surat-Surat 2% Jumlah Bruto
Berharga, Kecuali yang Dilakukan oleh Tidak termasuk PPN
Bursa Efek, KSEL, dan KPEI. 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
n. Jasa Kustodian/Penyimpanan/Penitipan,
kecuali yang dilakukan KSEI

o. Jasa pengisian surat dan atau Sulih 2% Jumlah Bruto


Surat Tidak termasuk PPN

p. Jasa Mixing Film 2% Jumlah Bruto


Tidak termasuk PPN
q. Jasa Sehubungan dengan Software Jumlah Bruto
Komputer, Termasuk Perawatan, 2% Tidak termasuk PPN
Pemeliharaan dan Perbaikan.

r. Jasa Instalasi/Pemsangan Mesin, 2% Jumlah Bruto


Listrik/ Telepon/Air/Gas/AC/TV Kabel, Tidak termasuk PPN
selain yang Dilakukan oleh Wajib Pajak
yang Ruang Lingkupnya di bidang
Kontruksi dan Mempunyai Izin dan 2% Jumlah Bruto
atau Sertifikat Sebagai Pengusaha Tidak termasuk PPN
Kontruksi.

s. Jasa Perawatan/Pemeliharaan/Perbaikan
Mesin, Listrik/Telepon/Air/Gas/AC/TV
kabel, Alat Transporttasi/kendaraan dan
atau Bangunan, Selain yang Dilakukan 2% Jumlah Bruto
oleh Wajib Pajak yang Ruang Tidak termasuk PPN
Lingkupnya di Bidang Kontruksi dan
Mempunyai izin dan atau Sertifikat
sebagai Pengusaha Kontruksi.

t. Jasa Maklon 2% Jumlah Bruto


Tidak termasuk PPN
u. Jasa Penyelidikan dan Keamanan 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
v. Jasa penyelenggara Kegiatan 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
w. Jasa Pengepakan 2% Jumlah Bruto
Tidak termasuk PPN
x. Jasa Penyediaan Tempat dan atau 2% Jumlah Bruto
Waktu dalam Media Massa, Media Tidak termasuk PPN
LUar Ruang atau Media Lain untuk
Penyampaian Informasi
Jumlah Bruto
y. Jasa Pembasmian Hama 2% Tidak termasuk PPN
Jumlah Bruto
z. Jasa Kebersihan 2% Tidak termasuk PPN
Jumlah Bruto
aa. Jasa catering atau Tata Boga 2% Tidak termasuk PPN
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh
Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 23

Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan terperinci per
transaksi) dengan pos-pos yang terdapat dibuku-buku pengeluaran/pembelian/ penjualan yang
memiliki hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik sebgian
maupun keseluruhan).

Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 23, jumlah penghasilan Bruto dalam SPT Masa
PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.

Dalam banyak kaasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23 yang
ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil
pemeriksaan terssebut.

Hal ini disebabkan karena :

1. Ditemukan biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang belum dilakukan pemotongan
oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah
yang di potong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok
dengan SPT PPh Masa PPH Pasal 23.

Contoh :

Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23 :

• Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, berdasarkan


penjumlahan transaksi dari keseluruhan objek PPH Pasal 23 Rp 400.000.000
• Jumlah PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Rp 200.000.000
kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 23 Rp 200.000.000

Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor PPh
Pasal23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut oleh wajib pajak
terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak
perjanjian yang sudah disetujui.

Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar atau setor PPh Pasal
23 tersebut hanya akanm menambah beban tambahan bagi wajib pajak dari pengenaan bunga
pajak @2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13 ayar 2 UU KUP).

Anda mungkin juga menyukai