RMK
TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26, DAN PPH FINAL
Oleh:
NPM : 202033121088
Kelas : F2 AKUNTANSI
UNIVERSITAS WARMADEWA
2022/2023
TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 DAN PPH FINAL
1. Pendahuluan
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak
adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pungutan dan pemotongan atas
pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga),sesuai dengan kewajiban wajib pajak untuk
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan
melaporkan ke kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan pepajakan.
Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini,
pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya besar.
Berbeda dengan self assesment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk
menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan Surat
Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, seperti yang dimaksud
dalam keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
memontum kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih
bayar pajak penghasilan.
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak, diatur
dengan Peraturan Materi Keuangan. Ketentuan Materi Keuangan mengenai pengenaan pph
pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/200 sebagai mana telah diubah terakhir dengan
PMK No.08/PMK.03/2008. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok
yaitu:
Catatan:
- Nilai impor Harga Patokan Impor ( nilai CIF)+ Bea Masuk +Bea masuk tambahan
(jika ada)
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan
Keputusan Materi Keuangan.
PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Dirjen Bea dan Cukai atau bank devisa
pada saat pembayaran Bea masuk. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang
dapat dikurangkan dari PPh terutang di akhir tahun pajak.
• Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya
semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22 impor.
• WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan.
• Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan akan kegiatan
untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang aka
ditagih beserta dengan sanksi bunganya.
Tabel berikut ini memperlibatkan rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha
lain yang harus dipungut oleh wajib pajak pemungut di mana tarifnya sangat bervariasi
pada jenis usahanya:
Tabel IV-1
• Pelunas 0,3%
SPBU
Bahan Bakar Minyak dan Pertamina Penjualan excI.PPN
Gas 0,25%
4 Penjualan Barang yang 0,45% DPP PPN PMK 244/PM
Tergolong Sangat Mewah K.011/2012
5 Penjualan Barang yang 5% Harga jualan tidak PMK.224/PM
Tergolong Sangat Mewah termasuk PPN dan K.011/2012
PPnBM
a. Pesawat udara pribadi
dengan harga jual lebih
dari Rp.
20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan
sejenisnya dengan harga
jual lebih dari Rp.
10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahya
dengan harga jual atau
harga pengalihannya
lebih dari Rp.
10.000.000.000,00 dan
luar bangunan lebih dari
500m2
d. Apartemen,
kondominium,dan
sejenisnya dengan harga
jual atau pengalihannya
lebih dari Rp.
10.000.000.000,00 dan
atau luas bangunan lebih
dari 400m2
e. Kendaran bermotor roda
empat pengangkutan
orang kurang dari 10
orang berupa sedan,
jeep, sport utility vehicle
(suv), multi purpose
vehicle (moy), minibus
dan sejenisnya dengan
harga jual lebih dari Rp.
5.000.000.000,00 dan
dengan kapasitas silinder
lebih dari 3.000 cc.
Catatan:
Besarnya pajak penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN
dan pajak penjualan atas barang mewah.
Pajak adalah pungutan. Suka atau tidak, itu adalah suatu pemaksaan yang dilegalisasi
melalui undang-undang. Undang- undang ini bertujuannya untuk memberi kesan bahwa
pungutan itu tidak sama dengan peran pesan .
Apabila perusahaan memiliki proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini
ditemukan oleh fiskus pada sst dilakukan pemeriksaan pajak maka perusahaan memiliki
proyek akan dikenai kewajiban unuk membayar PPh Pasal 23 yang terutang ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Solusinya:
1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta, di gross up
menjadi 100/90*Rp 72 juta= Rp 80 juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah
termasuk pajak yang harus dipungut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80
juta-Rp 72juta= 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh finaldan
dividen.
2. Namun bila perusahaan memiliki proyek membayarkan sendiri PPh pasal 23 yang
terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up( jadi 10%*Rp72juta=Rp7,2juta).
Tapi apakah hal itu akan dikuasai fiskus? Jelas tidak, karena cara ini baru dilakukan
secara sepihak oleh perusahaan pemilik gedung. Agar biaya sewa bangunan bias
dibiayakan, termasuk pajaknya, maka kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu,
termasuk mengubah invoice, ftransaksi pajak, dan dokumen lain yang mengakomodir
pemotongan pajak PPh pasal 23 atas pembayaran sewa bangunan tersebut, agar terdapat
kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi
dengan mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di gross up sebesar Rp 80juta, dan
setelah itu pemilik gedung memotong PPh pasal 4(2) final 10%*Rp 80 juta, dan
menyetorkannya ke kas Negara atau bank persepsi
UU PPh No.10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh Perseroan dalam
negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak termasuk objek pajak PPh Badan
dengan syrat bahwa:
Pada tahun 1994, para pemegang saham orang pribadi cepat-cepat membuat perseroan
terbatas (PT) dengan mereka sebagai pemegang sahamnya. Di PT yang tidak mempunyai
kegiatan apa-apa mereka hanya bertindak sebagai pemegang saham. Dilain pihak ada
operating company yang membayar dividen ke PT Tanpa dikenai pajak.
Bagaimana kalau kepemilikan sahamnya kurang dari 25%, jalan keluarnya adalah merger
untuk mencukupi kekurangan dana yang harus diinvestasikan ke operating company.
Bunga pinjaman bank bagi perusahaan peminjam jelas dapat di bayarkan, sedangkan bagi
bank, pendapatan bunga tersebut tidak dikenai PPh final karena itu adalah business income
dari bank tersebut.di luar bunga pinjaman bank terkena pemotongan PPh Pasal 23 sebesar
15%.
Seperti pengajuan SKB pasal 22 yang telah dibahas diatas, ketentuan yang sama berlaku juga
pasa PPh Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan
Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada Direktur
Jendral Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak. Tax Planner
yan baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23
tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
Pph Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak
dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
1. Badan Pemerintah.
2. Subjek pajak dalam nnegeri.
3. Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu :
• Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan yang
melakukan pekerjaan bebas.
• Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan pembukuan.
Kecuali :
• Dividen sebagaimana dimaksud dalam Bukan
Pasal 4 ayat (3) huruf f dan objek
PPh
s. Jasa Perawatan/Pemeliharaan/Perbaikan
Mesin, Listrik/Telepon/Air/Gas/AC/TV
kabel, Alat Transporttasi/kendaraan dan
atau Bangunan, Selain yang Dilakukan 2% Jumlah Bruto
oleh Wajib Pajak yang Ruang Tidak termasuk PPN
Lingkupnya di Bidang Kontruksi dan
Mempunyai izin dan atau Sertifikat
sebagai Pengusaha Kontruksi.
Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan terperinci per
transaksi) dengan pos-pos yang terdapat dibuku-buku pengeluaran/pembelian/ penjualan yang
memiliki hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik sebgian
maupun keseluruhan).
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 23, jumlah penghasilan Bruto dalam SPT Masa
PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Dalam banyak kaasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23 yang
ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil
pemeriksaan terssebut.
1. Ditemukan biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang belum dilakukan pemotongan
oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah
yang di potong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok
dengan SPT PPh Masa PPH Pasal 23.
Contoh :
Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor PPh
Pasal23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut oleh wajib pajak
terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak
perjanjian yang sudah disetujui.
Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar atau setor PPh Pasal
23 tersebut hanya akanm menambah beban tambahan bagi wajib pajak dari pengenaan bunga
pajak @2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13 ayar 2 UU KUP).