Anda di halaman 1dari 23

RANGKUMAN APLIKASI DAN PERENCANAAN PAJAK

Bab 4: Tax Planning PPh Pasal 22, 23, dan PPh Final

Disusun oleh :

Kelompok 7 (KP B) :

Theodore Kevin Tjoeanda 130320024


Anilian Angga 130320151
Jessica Fransisca Thesman 130320169
Melvina Gome Wijaya 130320191
Adventia Evangelia 130320237

FAKULTAS BISNIS DAN EKONOMIKA

UNIVERSITAS SURABAYA

2023
Hlm 127 - 137
Pendahuluan
● Sistem withholding tax mewajibkan wajib pajak melakukan melakukan pemungutan dan
pemotongan pajak, dari pihak lain, sesuai dengan kewajiban pajak untuk melakukan
pemotongan/pemungutan pajak yang kemudian menyetorkan dan melaporkan berdasarkan sesuai
ketentuan pajak.
● Dalam praktiknya, masih ada wajib pajak yang tidak memiliki informasi lengkap mengenai pajak
apa saja yang harus dipotong atau dipungut, dan jika melanggar maka akan dikenakan sanksi
administrasi.
● Didorong oleh asas kemudahan dalam pemungutan/pemotongan pajak yang terkadang tidak
sesuai dengan asa keadilan, namun kaidah kecukupan penerimaan negara dari sektor pajak lebih
menonjol di dalam UU PPh yang memberikan keleluasaan dan kewenangan bagi pemerintah
dalam menentukan jenis objek withholding tax
Pajak penghasilan Pasal 22
● Tax management pemotongan dan pemungutan
○ Pajak penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 yang diubah menjadi
PMK No.08/PMK.03/2008. dalam sub bab ini akan membahas terkait dengan PPh pasal
22 impor
○ PPh pasal 22 impor berkaitan dengan pemungutan pajak di sektor impor yang
berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang serta pemasukan barang dari
luar daerah pabean ke dalam daerah pabean.
○ Tarif PPh 22 bervariasi, tergantung pada kepemilikan angka pengenal impor (API) atau
tidak. jika menggunakan API tarifnya 2,5% dari nilai impor, untuk non-API dikenakan
tarif 7,5% dan untuk yang tidak dikuasai dikenakan tarif 7,5% dari harga jual lelang.
○ Salah satu bentuk tax planning yang dapat dilakukan adalah “peminjaman” API oleh unit
bisnis dalam grup perusahaan sehingga bisa menghemat beban 5%
○ Dalam dunia shipping, dikenal dengan nama “handling fee”(jumlah fee yang harus
dibayar berdasarkan perjanjian handling fee antara importir yang mempunyai API dengan
pemilik barang atas jasa yang diberikan) yang akan dikenakan PPh pasal 23. Cara ini bisa
digunakan oleh orang yang tidak memiliki API dan meminjam perusahaan yang memiliki
API
○ untuk barang yang tidak dikuasai, sebaiknya diusahakan “meminjam” bendera
perusahaan yang mempunyai API untuk mengeluarkan barang impor atau”menjual”
kepada importir/pabrikan/ trader.
○ perusahaan yang meminjamkan benderanya harus berhati hati atas transaksi peminjaman
bendera karena dapat menimbulkan masalah pajak dan hukum
○ Tax management dan tax planning yang baik akan mensyaratkan beberapa hal seperti
tidak melanggar peraturan perpajakan (secara bisnis dan akal) dan didukung bukti
memadai, sehingga dibutuhkan kontrak yang jelas dan transparan untuk mencantumkan
hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
○ Perusahaan yang dikenakan PPh 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak
bersifat final, namun tidak untuk yang bersifat final
● Pengecualian- pengecualian ( tax exemption) PPh Pasal 22
○ Tax planner akan memanfaatkan beban pajak yang minimal
○ Yang dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah (sesuai PMK No.
08/PMK.03/2008):
■ Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan
■ Impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan atau pajak
penambahan nilai
● Pengajuan SKB PPh Pasal 22
○ Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau
pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena:
■ Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukan tidask akan
terutang pajak penghasilan karena mengalami kerugian fiskal
■ Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian
tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang
bersangkutan
■ Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari pajak penghasilan yang
akan terutang
○ PPh 22 yang tidak termasuk PPh final dapat diajukan surat keterangan bebas (SKB) oleh
wajib pajak yang memenuhi kriteria
○ Ketentuan pasal 22 UU No 36 tahun 2008, menyatakan bahwa menteri keuangan yang
menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari
wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha lain dan wajib
pajak badan dengan barang yang tergolong mewah
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak diatur dengan
peraturan menteri keuangan dalam PMK No.08/PMK. 03/ 2008 yang secara garis besar penanganan PPh
Pasal 22 terdapat 3 kelompok yaitu:
● PPh Pasal 22 Impor
○ Besarnya PPh Pasal 22 impor adalah:
■ Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):
● Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir→ 0.5% dari
nilai impor
● Selain impor gandum dan terigu, importir API dikenai 2,5% dari nilai
impor
■ Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor
■ Yang tidak dikuasai 7,5% dari harga jual lelang
○ PPh Pasal 22 impor tersebut dipungut oleh Ditjen bea dan cukai atau bank devisa saat
pembayaran bea masuk. PPh Pasal 22 Impor merupakan kredit pajak yang dapat
dikurangkan dari PPh terutang di akhir tahun pajak
○ Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh final:
■ Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalan
semata-mata dikenakan PPh final
■ WP dapat meminta SKB atas impor barang bersangkutan
■ Jika diketahui atas impor tersebut tidak digunakan untuk kegiatan yang tidak
dikenakan PPh final, maka PPh pasal 22 yang terutang akan ditagih beserta
dengan bunganya
● PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD
○ Pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/D PPh
pasal 22 yang dipungut adalah sebesar 1,5% dari harga beli yang dipungut pada saat
pembayaran yang dipungut oleh dirjen anggaran
○ PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor
oleh pemungut dengan menggunakan SSP atas nama penjual
PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain
1. Pembelian barang dalam negeri
a. Pembelian barang oleh bendaharawan, BUMD/BUMN dan badan-badan tertentu
dikenakan tarif 1,5% dari harga pembelian belum termasuk PPN.
b. Pembelian bahan-bahan berupa hasil perhutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan untuk keperluan industri dan ekspor dari pedagang pengumpul
dikenakan tarif 0,25% dari harga pembelian.
2. Impor barang
a. Importir mempunyai API dikenakan tarif 2,5% dari nilai impor.
b. Importir tidak mempunyai API dikenakan tarif 7,5% dari nilai impor.
c. Pemenang hasil lelang impor yang tidak dikuasai dikenakan tarif 7,5% dari nilai
lelang.
d. Impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API
dikenakan tarif sebesar 0,5% dari nilai impor.
3. Penjualan hasil produksi tertentu dalam negeri
a. Industri semen dikenakan tarif 0,25% dari DPP PPN.
b. Industri kertas dikenakan tarif 0,10% dari DPP PPN.
c. Industri baja dikenakan tarif 0,30% dari DPP PPN.
d. Industri otomotif dikenakan tarif 0,45% dari DPP PPN.
e. Premium, solar, pertamax / super TT untuk SPBU dikenakan tarif 0,25%,
sedangkan untuk non SPBU / SPBU swasta sebesar 0,3%. Minyak tanah, gas
LPG, dan pelumas (oli) dikenakan tarif 0,3% untuk semua SPBU.
4. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah dikenakan tarif 5% dari harga jual, tidak
termasuk PPN dan PPnBM. Barang yang dimaksud yaitu:
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari 20 miliar rupiah.
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari 10 miliar rupiah.
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihan lebih dari 10
miliar rumah dan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi.
d. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari 10 miliar rupiah dan/atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, SUV, MPV, minibus, dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari 5
miliar rupiah dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3000cc.

Pajak Penghasilan Pasal 23


Dalam pemungutan PPh Pasal 23 seringkali terjadi dispute, yaitu perusahaan pemilik
proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 23
dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa tidak bersedia dipotong pajaknya karena tidak
ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan tidak memungut PPh
Pasal 23 dan ditemukan oleh fiskus pada saat pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik
proyek akan dikenakan withholding tax yang terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran
sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Solusi yang dapat diberikan yaitu:
1. Nilai transaksi harus di gross up. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah termasuk
pajak yang harus dipungut, maka jumlah pajak yang dibayarkan boleh dibebankan
sebagai biaya, kecuali untuk PPh final dan dividen.
2. Apabila perusahaan pemilik proyek membayarkan sendiri PPh Pasal 23 terutang tanpa di
gross up, maka pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Kontrak perjanjian harus direvisi dengan mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di
gross up, kemudian pemilik gedung akan memotong PPh Pasal 4 ayat 2, dan menyetorkannya ke
kas negara atau bank persepsi.

Pengenaan Pajak Atas Dividen


UU HPP Nomor 7 Tahun 2021, pajak atas dividen akan dikenakan PPh Pasal 23 apabila
penghasilan atas dividen ini merupakan wajib pajak dalam negeri dan BUT akan dikenakan
potongan pajak sebesar 15% dari jumlah dividen. Apabila kepemilikan kurang dari 15%, maka
dapat dilakukan merger untuk mencukupi kekurangan dana yang harus diinvestasikan ke
operating company.
Perubahan Tarif PPh Pasal 23
Bunga pinjaman bank bagi perusahaan peminjam dapat dibiayakan, sedangkan bagi bank,
pendapatan bunga tidak dikenai PPh final karena itu merupakan business income dari bank
tersebut. Di luar bunga pinjaman, bank terkena pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15%. Untuk
menghindari terminologi bunga, mereka cenderung membuat perjanjian bagi hasil (fee) atas
peminjaman uang sebagai pengganti bunga.
Substansi bagi hasil perlakuan perpajakan sama dengan bunga pinjaman yang harus
dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%, apabila si pemberi pinjaman bukanlah lembaga
keuangan yang mendapat izin operasional dari menteri keuangan.

Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23


PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak
dalam negeri dan BUT (Bentuk Usaha Tetap) yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan dan/atau
pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria yang
terdapat pada PMK No.141/PMK.03/2015. Syarat pengajuan SKB dimuat dalam PP No.43
Tahun 2013.

Pemotongan PPh Pasal 23/26


1. Badan Pemerintah.
2. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri.
3. BUT atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu:
● Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan
yang melakukan pekerjaan bebas.
● Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan pembukuan.

Subjek Pajak PPh Pasal 23/26


1. Wajib Pajak Dalam Negeri.
2. Bentuk Usaha Tetap.
3. Wajib Pajak Luar Negeri.

Objek Pajak PPh Pasal 23/26


Adalah penghasilan yang berasal dari:
1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.
2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan.
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh WP OP selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23


a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi:
1. Dividen; kecuali yang diterima oleh PT, BUMD/BUMN, koperasi, dengan syarat
kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut diambil
dari laba ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.
3. Royalti
4. Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri keuangan.
c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai PPh final.
d. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Objek Pajak PPh Pasal 23


1. Dividen dikenakan tarif 15% untuk kepemilikan saham kurang dari 25% maka termasuk
objek pajak. Apabila kepemilikan saham lebih dari sama dengan 25% maka tidak
termasuk objek pajak.
2. Bunga atas pinjaman, premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
uang dikenakan tarif 15%.
3. Royalti dikenakan tarif 15%
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
dikenai tarif 20% untuk WP O.P Dalam Negeri; sedangkan untuk WP O.P DN dikenai
tarif PPh 21; untuk badan usaha dikenakan tarif 15%.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dikenakan tarif 2%
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain
yang ditetapkan dalam UU PPh No.36 Tahun 2008 Pasal 23 Ayat(1) Huruf C dikenakan
tarif 2%

Penggunaan metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 26/21/23 yang Ditanggung
Oleh Pemberi Penghasilan/ Pemberi Kerja
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya PKP
wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung
oleh pemberi penghasilan, kecuali:
1. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 1 UU PPh tetapi tidak
termasuk dividen
2. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam perhitungan dasar untuk
pemotongan pajak

Pajak penghasilan (PPh 21 dan 26) dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan dengan
perlakuan perpajakan sebagai berikut:
1. Dalam PPh 21 diperlakukan sama seperti kenikmatan
2. Pajak Penghasilan terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
1 kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai
biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar
pemotongan Pajak Penghasilan pasal 26.

Private Ruling (Bonus-bonus yang dibayar oleh kontraktor kepada Pertamina)


1. Bonus yang dimaksud adalah bonus penandatanganan, bonus kompensasi data, bonus
produksi, bonus pendidikan, dan bonus lain
2. Bonus dapat dipotongkan dari penghasilan bruto kontraktor
3. Pemberian bonus oleh kontraktor harus di gross up terlebih dahulu dan semua bonus yang
dibayarkan kontraktor dimasukkan sebagai bagian dari penghasilan Pertamina

Penetapan Jumlah dan Saat Terutang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah Atas
Penghasilan Berupa Kompensasi Terminasi Dini Hak Eksklusif PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk (Perlakuan Perpajakan)
1. Penghasilan berupa kompensasi terminasi dini hak eksklusif telkom yang harus
dibayarkan pemerintah kepada telkom merupakan objek pajak.
2. Penghasilan pada ayat sebelumnya diakui dan terutang pada saat penghasilan tersebut
telah diterima seutuhnya.
3. Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenai Pajak Penghasilan sesuai
dengan tarif umum (Pasal 17 UU PPh)
4. Pajak penghasilan yang terutang ditanggung Pemerintah
5. Penetapan jumlah pajak penghasilan ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 dihitung dengan metode gross up.

Analisis Ekualisasi Objek PPh 23 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh
Pasal 23
Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT dengan pos-pos yang terdapat di
buku-buku pengeluaran/pembelian/penjualan yang memiliki hubungan dalam pembukuan dan
atau laporan jenis pajak yang lain. Sering terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
pasal 23 karena:
1. Ditemukan biaya objek pajak PPh 23 yang belum dipotong oleh wajib pajak pemberi
kerja
2. Jumlah PPh 23 yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah
yang dipotong oleh wajib pajak
3. Jumlah PPH pasal 23 yang dibukukan di buku besar tidak cocok dengan SPT PPh Masa
PPh 23.
Pajak Penghasilan Pasal 26
Objek PPh 26 mirip dengan PPh 23 namun dikenakan kepada wajib pajak luar negeri.
Tarif pemotongan atas pembayaran kepada WPLN adalah 20% dengan memperhatikan adanya
tax treaty.

Pasal 26 ayat 1(d)


Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
1. Bila ada tax treaty
Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari uji waktu; tidak ada BUT, maka
Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN.
agar pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai dengan tax treaty WPLN harus dapat
menunjukan atau memberikan certificate of residence tax payer atau certificate of
domicile dari competent authority di negara bersangkutan.
Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi ujdi waji; ada BUT maka Indonesia
berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN yang berupa
corporate tax (tarif PPh 17) dan branch profit tax (tarif PPh 26)
2. Bila tidak ada tax treaty
Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari uji waktu; tidak ada BUT maka
Indonesia mengenakan pajak basis bruto dan tarif tunggal 20%. Jika pemberian jasa oleh
WPLN melebihi uji waktu; ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak basis neto dan
tarif PPh 17

Bunga Offshore
PPh 23 dan 26 akan terutang saat dibayarkan. Pembukuan menggunakan konsep akrual,
asal sudah dibebankan sebagai biaya harus membayar PPh 26. Seorang tax planner harus
memprediksi trend naik turunnya kurs. Kalau kurs sedang naik tax planner akan berusaha
membebankan pada bulan Desember tahun ini, kebalikannya kalau trend kurs sedang turun
pembayaran akan dilakukan belakangan.
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 26
PPh 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN yang menerima
penghasilan dari Indonesia.
1. Dikenakan 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan WPLN berupa:
a. Bunga, dividen, royalti, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan
harta
b. PKP setelah dikurangi PPh dari suatu BUT, kecuali ditanamkan kembali di
Indonesia (syarat PMK No.257/PMK.03/2008)
2. Dikenakan 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final atas penghasilan
WPLN berupa
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia (20% x 25% x harga jual)
b. Premi asuransi yang dibayarkan ke luar negeri
- Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri oleh
tertanggung (20% x 50% x jumlah premi)
- Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh perusahaan
asuransi yang berkedudukan di Indonesia (20% x 10% x jumlah premi)
- Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN, oleh perusahaan
asuransi yang berkedudukan di Indonesia (20% x 5% x jumlah premi)

Jika transaksi adalah antara penduduk Indonesia dengan penduduk negara lain yang
memiliki tax treaty maka ketentuan yang digunakan mengacu pada ketentuan tax treaty. Agar
pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai tax treaty WPLN harus dapat menunjukan dan
memberikan certificate of residence tax payer atau certificate of domicile atau surat keterangan
domisili pembayaran pajak dari competent authority di negara bersangkutan.

Penggunaan metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang
Ditanggung oleh Pemberi Penghasilan / Pemberi Kerja
Ini diatur pada pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 tahun 2000 diamana pengeluaran yang
tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam
negeri serta BUT, termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan,
kecuali :
● Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi
tidak termasuk dividen
● Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam perhitungan dasar untuk
pemotongan pajak
Berikutnya Pajak Pebnfghasilan PPh Pasal 21 dan juga Pasal 26 sendiri dapat ditanggung oleh
pemberi kerja dengan perlakukan :
● PPh 21 dapat ditanggung dalam hal sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan, pajak
tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja
dan bukan penghasilan pegawai yang menerimanya.
● PPh yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi kerja, dapat dibebankan sebagai biaya
sepanjang pajak tersebut di gross-up.

Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa
PPh Pasal 26
Jumlah penghasilan bruto dalam SPT masa PPh pasal 26 dicocokan dengan pos
pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh pasal 26. Yang mengakibatkan SKP kurang
bayar PPh pasal 26:
● Ditemukan biaya-biaya yang menjadi objek PPh pasal 26 yang belum dilakukan
pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
● Jumlah Pph pasal 26 yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih rendah dari
jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
● Jumlah PPh pasal 26 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok
dengan SPT PPh masa PPh pasal 26.
Ekualisasi harus dibuat secara rinci dari seluruh pos atau akun pengeluaran biaya yang ada di
Laporan Keuangan/ buku besar yang seharusnya terkena pemotongan PPh Pasal 26 dibandingkan
dengan Jumlah yang telah dipotong menurut SPT Masa PPh Pasal 26.

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Final


Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tarif 0,1%. Bursa pasar modal
berusaha agar obligasi diperlakukan sama dengan saham, supaya pasar obligasi bergairah.
Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 atas Objek Pajak Pasal 4 Ayat (2)
Berbeda dengan Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan sehingga pasar obligasi Reksadana bergairah; bunga dan diskonto dari obligasi yang
diterima wajib pajak secara gradual dikenai PPh pasal 4 (2) Final sebagai berikut :
● 0% untuk tahun 2009-2010
● 5% untuk tahun 2011-2013
● 15% untuk tahun 2014
● 10 % untuk tahun 2021 sampai sekarang
Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2) :
● Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah
● Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya
● Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri/pihak lain tidak dapat dikreditkan
● Biaya – biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai PPh final
tidak dapat dikurangkan
Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) :
● Diskonto/bunga obligasi dan surat utang negara
● Penghasilan dari transaksi penjualan saham, obligasi dan sekuritas lainnya yang
diperdagangkan di Bursa Efek
● Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI
● Penghasilan berupa hadiah atas undian
● Penghasilan atas sewa tanah/bangunan
● Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
● Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah/bangunan
● Dividen yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri
● Bunga/diskonto obligasi dan SBN
● Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi
● Penghasilan atas dividen yang diterima oleh WPOP dalam negeri
● Penghasilan dari usaha yang diterima WP yang memiliki peredaran bruto tertentu
Diskonto atau Bunga obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya
di bursa efek (PP No.6 Tahun 2002)
Yang dimaksud dengan obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek adalah obligasi korporasi dan obligasi pemerintah atau surat utang
negara berjangka lebih dari satu tahun, yang diperdagangkan dan atau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek Indonesia lalu juga ada Tarif Pemotong PPh:
● 20% bagi WPDN dan BUT
● 20% atau sesuai tarif P3B, bagi wajib pajak penduduk atau yang berkedudukan di luar
negeri
Diubah dengan PP No 9 dan No 91 tahun 2021 :

● WP LN selain BUT: 10% atau sesuai P3B (berlaku sejak 2 feb 2021)
● 20% bagi WPDN dan BUT (berlaku sejak 30 agustus 2021)
Dasar pengenaan pemotongan PPh:
● Bunga obligasi dengan kupon: jumlah bruto bunga sesuai dengan masa
kepemilikan obligasi.
● Diskonto obligasi dengan kupon: selisih harga jual atau nilai nominal di atas
harga perolehan obligasi, tidak termasuk kupon berjalan.
● Diskonto obligasi tanpa bunga: selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas
harga perolehan obligasi
Pengecualian aturan:
● Pemotongan PPh tidak bersifat final apabila penerima penghasilan adalah orang
pribadi dalam negeri, yang seluruh penghasilannya termasuk penghasilan bunga
dan diskonto obligasi tersebut dalam satu tahun pajak tidak melebihi jumlah
PTKP (bisa direstitusi).
● Tidak dilakukan pemotongan jika penerima penghasilan adalah:
❖ Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.
❖ Dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
menteri keuangan.
❖ Reksadana yang terdaftar pada Bapepam selama lima tahun pertama sejak
pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek (PP 41/1994 jo. PP 14/1997)
Atas penghasilan yang diterima orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham
di bursa efek dipungut pajak penghasilan yang bersifat final.
Besarnya Pajak Penghasilan :
● 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan
● Saham pendiri dikenai tambahan PPh sebesar 0,5% dari nilai saham perusahaan
pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1995
● Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Jan 1997,
nilai saham sebagai dasar pengenaan tarif 0,5% diterapkan sebesar harga saham
pada saat penawaran umum perdana
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI (PP 131/2000)
● Tarif yang dikenakan adalah sebesar 20% dari jumlah bruto
● Termasuk dalam pengertian bunga adalah bunga yang diterima dari deposito yang
ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan di Indonesia
● Dikecualikan dari pemotongan ini :
❖ Bunga dari deposito dan diskonto SBI sepanjang jumlah deposito tidak
melebihi Rp 7.500.000 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah - pecah
❖ Bunga dan diskonto SBI yang diterima bank yang didirikan di Indonesia
❖ Bunga deposito dan diskonto SBI yang diterima Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya
diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
❖ Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana
Penghasilan berupa hadiah atas undian (PP 132/2000)
● Besarnya PPh yang wajib dipotong adalah 25% dari jumlah bruto hadiah undian
● Yang wajib memotong adalah penyelenggara undian
Penghasilan atas sewa tanah/bangunan (PP 29/1996 jo. PP 5/2002)
● Sewa tanah dan bangunan yang dimaksud adalah : tanah, rumah susun,
apartemen, kondominium, gedung kantor, rumah kantor, toko, rumah toko,
gudang, industri
● Tarif pemotongan PPh : bagi orang pribadi dan badan adalah 10% dari jumlah
bruto
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
Ketentuan mengenai usaha jasa konstruksi di tahun 2009 diatur dengan PP No. 51 Tahun
2008 yang diterbitkan tanggal 20 Juli 2008 jo PP No. 40 Tahun 2009, namun berlaku surut sejak
Jan 2008. Dengan terbitnya PP No. 51 Tahun 2008 ini, atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi dikenai PPh Final. Penyedia jasa adalah bentuk usaha tetap (BUT), tarif PPh tersebut
tidak termasuk PPh atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah pajak PPh yang bersifat final.

Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (PP 48/1994 jo PP
71/2008)
● Objek PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh OP atau Badan dari pengalihan hak
atas tanah dan bangunan wajib dibayarkan pajak penghasilan ruang lingkupnya
meliputi :
❖ Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahaan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan
oihak lain sealin pemerintah.
❖ Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, penyerahaan hak
cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan
umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
❖ Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, penyerahaan hak
cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus.

● Tarif
❖ 5% dari jumlah saldo bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan
❖ Atas pengalihan hak atas Rumah sederhana dan rumah susun sederhana
yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya ,melakukan pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% dari
jumlah bruto nilai pengalihan.
● Sifat
pembayaran PPh BPHTB oleh siapapun (baik WPOP, yayasan, badan, termasuk
yang main business-nya mengalihkan tanah dan atau bangunan) bersifat final.
● Pengecualian objek pajak PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan

Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Peraturan pelaksanaan ketentuan perpajakan yang terkait dengan dividen yang diterima
atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dimuat dalam Peraturan Pemerintah
nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang diterima atau diperoleh
WPOP DN serta peraturan Menkeu No 111/PMK/03/2010 tentang tata cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh WPOP
DN. Ada 2 hal yaitu :
● Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh WP OP dalam negeri
dikenai pajak penghasilan sebesar 10% dari jumlah bruto dan bersifat final.
● Pajak penghasilan yang bersifat final dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen dan dipotong pada saat
dividen disediakan untuk dibayarkan.

Bunga dan atau Diskonto Obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN); (PP No 16 tahun
2009 Jo. PMK No. 85/PMK.03/2009)
Bunga dan diskonto obligasi :
● Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara yang berjangka waktu lebih dari 12
bulan. Bunga obligasi adalah imbalan yang diterima dan atau diperoleh pemegang
obligasi dalam bentuk bunga dana tau diskonto.
● Atas penghasilan yang diterima dana tau diperoleh wajib pajak berupa bunga obligasi
dikenai pemotongan pajak penghasilan yang bersifat final.
Besarnya Pajak Penghasilan :
● Bunga dari obligasi dengan kupon sebesar :
❖ 15 % bagi WPDN dan BUT
❖ 20% atau sesuai tarif Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) bagi WPLN
selain BUT dari jumlah bruto bunga selama masa kepemilikan obligasi

● Diskonto dari obligasi dengan kupon sebesar :


❖ 15 % bagi WPDN dan BUT
❖ 20% atau sesuai tarif Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) bagi WPLN
selain BUT dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal diatas harga perolehan
Obligasi tidak termasuk bunga berjalan

● Diskonto dari obligasi tanpa bunga sebesar :


❖ 15 % bagi WPDN dan BUT
❖ 20% atau sesuai tarif Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) bagi WPLN
selain BUT dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal diatas harga perolehan
Obligasi
Tetapi semua persen diatas telah diperbaharui menjadi Peraturan Pemerintah no 9 dan no 91
tahun 2021 menjadi 10% bauk WPDN dan BUT serta WPLN selain BUT. jika WPLN selain
BUT berlaku sejak 2 Februari 2021 sedangkan WPDN dan BUT berlaku sejak 30 Agustus 2021.
● Bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima dana atau diperoleh WP
reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan sebesar menurut PP No. 55 Tahun 2019 :
❖ 5% (lima persen) sampai dengan tahun 2O2O; dan
❖ 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2O21 dan seterusnya
Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang
Pribadi
● Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang
didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi OP dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
● Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah :
❖ 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000
perbulan
❖ 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan
lebih dari Rp 240.000 per bulan

● Pajak Penghasilan wajib dipotong oleh koperasi yang melakukan pembayaran


bunga simpanan kepada anggota-anggota koperasi orang pribadi pada saat
pembayaran.

Penghasilan dari usaha yang diterima wajib pajak badan/WP OP yang memiliki peredaran
bruto tertentu (PP 46/2013)
● Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah wajib pajak yang
memenuhi kriteria sebagai berikut: i) Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak
badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan ii) menerima penghasilan dari
usahą, cidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas,
dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1 (satu) tahun
pajak.
● Tidak termasuk wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya. yakni:
❖ Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik
yang menetap maupun tidak menetap
❖ Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum
yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
● Tidak termasuk wajib pajak badan adalah: i) Wajib pajak badan yang belum
beroperasi secara komersial; atau ii) Wajib pajak badan yang dalam jangka waktu
1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000,00
● Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1%
● Pengenaan pajak penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1
tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan

Analisis ekualisasi objek PPh pasal 4 ayat 2 (Final) pada SPT tahunan PPh badan dengan
SPT masa PPh Pasal 4 ayat 2 (Final)
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 4 Ayat (2), jumlah penghasilan bruto
dalam SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) dicocokan dengan pos pengeluaran yang menjadi objek
pemotongan PPh Pasa! 4 Ayat (2). Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas
pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) se hingga
menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksa an tersebut. Hal ini disebabkan
karena:
● Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang
belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
● Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau
lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
● Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang dibukukan di buku besar atau ledger
pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa Pasal 4 ayat 2 (Final).

PPh Pasal 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Perhitungan Khusus (NPK) atau
deem profit, yang meliputi :
● PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8% dari peredaran
bruto dan bersifat tidak final
● PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari
peredaran bruto dan bersifat final
● PPh Final Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri, tarif pajaknya 2,64%
dari peredaran bruto dan bersifat final
● PPh Final atas WPLN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia,
tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto, bersifat final
● Penghasilan neto WP BUT dari kegiatan usaha pengeboran minyak dan gas bumi,
tarifnya 15% dari peredaran bruto, bersifat tidak final

Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final


Beberapa hal krusial dalam penanganan PPh pasal 22/23/26 dan PPh Final :
● Masalah pembuatan kontrak
Kontrak bisa dikatakan sebagai cikal bakal terjadinya transaksi antara pihak –
pihak terkait. Jika kontrak tidak ada, dapat digantikan oleh SPK (surat perintah
kerja), atau PO (purchase order). Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat di
dalam kontrak harus mencakup kesepakatan yang mempengaruhi hak dan
kewajiban perpajakan masing – masing pihak.
● Konflik dalam withholding tax
Konflik dapat terjadi jika penerima penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya
atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif pajak
yang akan dipotong. Celakanya konflik ini juga sering terjadi antara bagian
keuangan atau pajak dengan bagian lain dalam satu perusahaan. Oleh karena
kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi penghasilan
maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi
jasa.
● Rekonsiliasi objek withholding tax dengan laporan keuangan
Perlu dilakukan pengendalian perpajakan untuk memastikan bahwa seluruh objek
withholding tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya. Caranya
adalah melalui rekonsiliasi antara SPT Masa dengan objek PPh yang terdapat
dalam laporan keuangan komersial.
● Klausul kontrak dengan WPLN
Disamping harus mengatur klausul perpajakan secara jelas dan rinci khusus
kontrak dengan WPLN harus memperhatikan beberapa hal, antara lain :
❖ Negeri asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah
perlu melihat pada ketentuan tax treaty atau tidak
❖ Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di negara treaty partner, perlu
diperhatikan agar WPLN memberikan CRT (certificate of residence
taxpayer) kepada perusahaan sebelum dilakukan pembayaran atau
penagihan.

Tax Planning PPh Pasal 25 Orang Pribadi


Sesuai dengan peraturan pemerintah, besarnya angsuran PPh 25 untuk WP OP pengusaha
tertentu diterapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing – masing
tempat usaha tersebut. Sedangkan untuk WP masuk bursa dan WP lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar PPh yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba – rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala
terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh pasal 27 dan
pasal 23 serta pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu
dibagi 12.

Anda mungkin juga menyukai