Anda di halaman 1dari 25

Nama: Dwi Putra Febrianto

NPM : 4319500167
Kelas : VI Eks
Tugas Review UU NO 2 Tahun 2020

PPh Pasal 22 Impor dan Bea masuk

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22


Pajak Penghasilan Pasal 22 atau biasa disebut PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan
yang dikenakan pada badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang
melakukan kegiatan ekspor dan impor serta re-impor. Karena diberlakukan pada kegiatan
ekspor-impor dan re-impor inilah pajak penghasilan tersebut dikenal PPh Pasal 22 impor.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, PPh Pasal 22 merupakan bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang
dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan
barang.

Objek Pajak Penghasilan Pasal 22


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34/PMK.010/2017 tentang
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan
Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, berikut yang
menjadi objek PPh Pasal 22:
1. Impor barang dan ekspor
Kegiatan impor dan ekspor barang yang dilakukan eksportir dan dikenakan PPh Pasal 22
diantaranya barang komoditas:
 Tambang batubara
 Mineral logam
 Mineral bukan logam
2. Pembayaran atas pembelian barang
Pembayaran atas pembelian barang yang dikenakan PPh Pasal 22 ini adalah yang
dilakukan oleh bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada:
 Pemerintah Pusat
 Pemerintah Daerah
 Instansi atau lembaga Pemerintah
 Lembaga-lembaga negara lainnya
3. Pembayaran atas pembelian barang
Pembayaran atas pembelian barang yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah yang
dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) yang dilakukan oleh bendahara
pengeluaran.
4. Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga
Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dikenai PPh Pasal 22
adalah dengan mekanisme:
 Pembayaran langsung (LS) oleh KPA
 Pejabat penerbit surat perintah membayar yang diberi delegasi oleh KPA
5. Pembayaran atas pembelian barang untuk BUMN
Pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang dikenai PPh Pasal 22 adalah untuk keperluan kegiatan usahanya.
6. Penjualan hasil produksi kepada distributor
Penjualan hasil produksi kepada distributor yang dikenai PPh Pasal 22 adalah
distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha:
 Industri semen
 Industri kertas
 Industri baja
 Merupakan industri hulu
 Industri otomotif
 Industri farmasi
7. Penjualan kendaraan bermotor
Penjualan kendaraan bermotor yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah penjualan di
dalam negeri oleh:
 Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM)
 Agen Pemegang Merek (APM)
 Importir umum kendaraan bermotor
8. Penjualan Migas
Penjualan migas yang dikenakan PPh Pasal 22 oleh produsen atau importir ini di
antaranya:
 Bahan bakar minyak
 Bahan bakar gas
 Pelumas
9. Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengepul yang dikenakan PPh Pasal 22 ini adalah
untuk keperluan industrinya atau ekspornya oleh industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor:
 Kehutanan
 Perkebunan
 Pertanian
 Peternakan
 Perikanan
10. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah
Penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang dikenakan PPh Pasal 22 ini
adalah dilakukan oleh wajib pajak badan.

Perluasan Pemungutan PPh Pasal 22


Pajak penghasilan pasal 22 ini juga erat kaitannya dengan penjualan barang tergolong
sangat mewah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 92/PMK.03/2019 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No. 253/PMK.03/2008.
“PMK No. 92/2019 ini mengatur tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut
Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.”
Melalui beleid ini, wajib pajak badan yang berhak memungut PPh Pasal 22 diperluas.
Masih sebagaimana yang tertuang dalam PMK No. 92/2019 tersebut, waktu
pemungutan PPh Pasal 22 ini dilakukan saat penjualan barang tergolong mewah.
a. Barang Tergolong Mewah yang Kena PPh Pasal 22
Sebagaimana Pasal 1 ayat (2) dalam PMK 92/2019 itu disebutkan bahwa barang
tergolong sangat mewah yang jadi objek dikenakan PPh Pasal 22 di antaranya:
 Pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi
 Kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya
 Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp30 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi
 Apartemen, kondominium dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari Rp30 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi
 Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus dan
sejenis, dengan harga jual lebih dari Rp2 miliar atau dengan kapasitas silinder lebih
dari 3.000cc
 Kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari Rp300 juta atau
dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc
b. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1) Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan. Pengecualian
ini harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan
oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP)
2) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk di antaranya:
 yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga
barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot
Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE). Yaitu tempat penimbunan barang
dagangan karena pengimpornya tidak membayar bea masuk sebagaimana
mestinya.
 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP N. 6 Tahun 1969 tentang
Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan PP
Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973,
adalah: berupa kiriman hadiah dan untuk tujuan keilmuan.
3) Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali.
4) Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
5) Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:
 Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara Pemerintah dan
Kuasa Pengguna Anggaran/KPA, bendahara pengeluaran, dan KPA atau pejabat
penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran/KPA). Dengan jumlah paling banyak Rp2.000.000 dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah
 Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu dan Bank
BUMN) yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000. Dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah
 Pembayaran untuk: Pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas,
benda-benda pos dan pemakaian air dan listrik.
6) Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor
7) Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas barang impor sebagaimana dimaksud
pada point 2 di atas, tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea masuk
sebesar 0%. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 1 dan 6 dinyatakan dengan
Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh DJP. Pengecualian sebagaimana
dimaksud pada point 4, 5, dan 7 di atas dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
Ketentuan Pengecualian pengenaan PPh Pasal 22 atas kegiatan Impor barang yang
dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau PPN, atas impor sementara dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh Direktur Jenderal Bea dan
Cukai dan/atau DJP.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22


Besar tarif pajak penghasilan pasal 22 menurut UU PPh dan diatur dalam PMK No.
34/2017 adalah:
a. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 2,5% dan 7,5% atas Impor
Tarif pajak penghasilan pasal 22 ini untuk pajak penghasilan atas impor barang
dengan rincian sebagai berikut:
 Tarif pembebanan tunggal sebesar 10% dari nilai impor, dengan atau tanpa
menggunakan API untuk barang tertentu yang tercantum dalam Lampiran I PMK
34/2017.
 Importir yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API): 2,5% dari nilai impor.
 Importir non-API: 7,5% dari nilai impor.
 Importir yang tidak dikuasai: 7,5% dari harga jual lelang.
b. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% atas Pembelian
Besar tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 1,5 persen dari harga pembelian barang
tidak termasuk PPN dan tidak final. Pembelian barang ini dilakukan oleh:
 Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) Kementerian Keuangan
 Bendahara Pemerintah
 BUMN/BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)
c. Tarif PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Tertentu
Tarif pajak penghasilan pasal 22 atas penjualan hasil produksi ini ditetapkan
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP) yang dihitung dari Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) PPN dan bersifat tidak final, di antaranya:
 Kertas: 0.1% dari DPP PPN
 Semen: 0.25% dari DPP PPN
 Baja: 0.3% dari DPP PPN
 Otomotif: 0.45% dari DPP PPN
 Semua jenis obat: 0,3% dari DPP PPN
DPP adalah harga jual, nilai ekspor/impor, penggantian, atau nilai yang dipakai
sebagai dasar dari perhitungan besarnya pajak yang terutang. DPP ini merupakan nilai
dasar yang digunakan untuk menghitung pajak terutang seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal
23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPN.
d. Tarif PPh Pasal 22 Hasil Produksi Migas
Pengenaan pajak penghasilan pasal 22 dari hasil produksi atau penyerahan barang
oleh produsen/importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah:
 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada stasiun pengisian
bahan bakar umum yang menjual BBM yang dibeli dari Pertamina atau anak usaha
Pertamina
 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada stasiun pengisian
bahan bakar umum yang menjual bakar minyak yang dibeli selain dari Pertamina atau
anak perusahaan Pertamina
 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada pihak yang dibeli
dari Pertamina maupun selain dari Pertamina atau anak usaha Pertamina.
 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk bahan bakar gas
 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk pelumas
e. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% atas Pembelian Bahan untuk Industri
Besar tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak
termasuk PPN ini atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari
pedagang pengumpul. Di antaranya pembelian hasil kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur.
f. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,5% atas Impor Komoditas
Tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 0,5 persen dari nilai impor ini berlaku untuk
impor beberapa komoditas seperti kedelai, gandum, dan tepung terigu, oleh importir yang
menggunakan API.
g. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% atas Ekspor Komoditas Tambang
Tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 1,5% dari nilai ekspor ini berlaku untuk
ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai
uraian barang dan pos tarif (HS/Harmonized System) oleh eksportir yang terikat dalam
perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan dan Kontrak Karya (KK).
h. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,45% atas Penjualan Kendaraan Bermotor
Tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 0,45% dari DPP PPN ini berlaku atas
penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh ATPM, APM, dan importir umum
kendaraan bermotor, tidak termasuk alat berat.
i. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,45% atas Penjualan Emas Batangan
Tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 0,45% dari harga jual emas batangan ini
berlaku atas penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan.
j. Tarif PPh Pasal 22 Barang Mewah
Sesuai Pasal 2 ayat (2) PMK 29/2019 ini, besar pajak penghasilan pasal 22 yang
dipungut pada saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah adalah:
1) Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1% atas Penjualan Barang Mewah
Tarif PPh 22 sebesar 1 persen dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas barang ini untuk:
 Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp30
miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi
 Apartemen, kondominium dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp30 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi
2) Tarif PPh Pasal 22 sebesar 5% atas Penjualan Barang Mewah
Tarif PPh 22 sebesar 5 persen dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM atas
barang ini berlaku untuk:
 Pesawat terbang pribadi dan helikopter
 Kapal pesiar, yacht dan sejenisnya
 Kendaraan bermotor roda 4 pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan,
jeep, SUV, MPV, minibus dan sejenisnya, dengan harga jual lebih dari Rp2 miliar
atau dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000cc
 Kendaraan bermotor roda 2 dan 3 dengan harga jual lebih dari Rp300 juta atau dengan
kapasitas silinder lebih dari 250cc
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
(BM) yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan kepabeanan di bidang impor. Jika wajib pajak tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), maka akan dikenakan tarif 100% daripada tarif umum PPh Pasal
22 yang berlaku.

Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22


Sebagaimana disebutkan dalam UU PPh No. 7 Tahun 1983 yang beberapa kali diubah
terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, pemungut PPh Pasal 22 ini adalah wajib pajak
badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
a. Wajib Pajak Badan Pemungut PPh Pasal 22
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal 22
impor barang.
2. Bendara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang.
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP).
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS)
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
 PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas
Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero),
PT Krakatau Steel (Persero)
 Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan.
b. Perusahaan Swasta yang Wajib Memungut PPh Pasal 22 saat Penjualan
1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya
kepada distributor di dalam negeri.
2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri.
3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas.
4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan
industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi antara hulu dan industri hilir.
5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
 Mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan;
 Menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
6. Sesuai dengan PMK No. 92/PMK.03/2019, pemerintah menambahkan pemungut PPh
Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
Contoh Hitung PPh Pasal 22
Berikut contoh perhitungan PPh Pasal 22 dengan beberapa ilustrasi:
a. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Impor
PT AAA mengimpor barang dari Kanada dengan harga faktur senilai US$500.000. Barang
yang diimpor adalah jenis barang yang tidak termasuk dalam barang-barang tertentu yang
ditentukan dalam PMK No. 16/PMK.010/2016. Biaya asuransi yang dibayar di luar negeri
sebesar 3% dari harga faktur dan biaya angkut sebesar 5% dari harga faktur.
Bea Masuk (BM) sebesar 10% dan Bea Masuk Tambahan sebesar 6%. Kurs pajak saat itu
sebesar Rp14.550 per dolar Amerika Serikat. Maka, perhitungan PPh Pasal 22 yang dipungut
Ditjen Bea Cukai adalah:
No Diketahui Perhitungan Nilai
a Harga Faktur (Cost)   US$500.000
b Biaya Asuransi (Insurance) (3% x US$500.000) US$15.000
c Biaya Angkut (Freight) (5% x US$500.000) US$25.000
CIF (Cost, Insurance, Freight) (a + b + c) US$40.000
d CIF (dalam rupiah) (Rp540.000 + Rpp14.550) Rp7.857.000.000
e Bea Masuk (10% x Rp7.857.000.000) Rp785.700.000
f Bea Masuk Tambahan (6% x Rp7.857.000.000) Rp471.420.000
  Nilai Impor (d + e + f) Rp9.114.120.000
 
Perhitungan PPh Pasal 22 jika memiliki API
Jika PT AAA memiliki angka pengenal impor, maka hitungan PPh Pasal 22 dari impor
barang tersebut sebagai berikut:

= (Tarif PPh Pasal 22 memiliki API x Nilai Impor)


= 2,5% x Rp9.114.120.000

= Rp227.853.000
 
Perhitungan PPh Pasal 22 jika tidak memiliki API
Ketika PT AAA tidak memiliki angka pengenal impor, hitungan PPh Pasal 22 dari impor
barang tersebut adalah:
= (Tarif PPh Pasal 22 tidak punya API x Nilai Impor)
= 7,5% x 9.114.120.000
= Rp683.559.000
 
b. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Pembelian
PT AAA berkedudukan di Kota Jakarta, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor untuk Dinas
Pendidikan Kota Bogor. Pada tanggal 1 Agustus 2020, PT AAA melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) dengan nilai kontrak sebesar Rp20.000.000 (nilai sudah termasuk
PPN). Maka, perhitungan PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Bogor
adalah:
No. Diketahui Nilai
1 Nilai kontrak termasuk PPN Rp22.000.000
2 DPP (100/10) x Rp22.000.000 Rp20.000.000
3 PPN dipungut (10% dari DPP) Rp2.000.000
4 PPh Pasal 22 yang dipungut (1,5% x Rp22.000.000) Rp330.000
 
Jadi, besar PPh Pasal 22 yang dipungut Dinas Pendidikan Kota Bogor sebesar Rp330.000,
karena PPh Pasal 22 = 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN.
Perlu diketahui, atas pembelian barang yang dananya berasal dari belanja negara atau belanja
daerah yang dikecualikan dari pungutan PPh Pasal 22 adalah:
 Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah)
dengan jumlah kurang dari Rp1.000.000.
 Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
dan benda-benda pos.
 Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
c. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Tertentu
PT AAA merupakan perusahaan kertas yang menjual hasil produksinya kepada PT BBB
senilai Rp1.100.000.000. Harga ini sudah termasuk PPN sebesar 10%.
Perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan kertas adalah:
DPP PPN:
= (100/110) x Rp1.100.000.000
= Rp1.000.000.000
PPh Pasal 22 penjualan kertas:
= (Tarif PPh Pasal 22 atas penjualan kertas x DPP PPN)
= 0,1% x Rp1.000.000.000
= Rp1.000.000
 
PT CCC menjual hasil produksinya berupa semen kepada PT DDD senilai Rp2.200.000.000.
Harga tersebut sudah termasuk PPN sebesar 10%.
Perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan semen adalah:
DPP PPN:
= (100/110) x Rp2.200.000.000
= Rp2.000.000.000
PPh Pasal 22 penjualan semen:
= (Tarif PPh Pasal 22 atas penjualan semen x DPP PPN)
= 0,25% x Rp2.000.000.000
= Rp5.000.000
 
PT EEE adalah perusahaan baja dan menjual hasil produksinya ke PT FFF senilai
Rp3.300.000.000. Harga ini sudah termasuk PPN sebesar 10%.
Perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan baja adalah:
DPP PPN:
= (100/110) x Rp3.300.000.000
= Rp3.000.000.000
PPh Pasal 22 atas penjualan baja:
= (Tarif PPh pasal 22 atas penjualan baja x DPP PPN)
= 0,3% x Rp3.000.000.000
= Rp9.000.000
 
PT GGG merupakan perusahaan otomotif dan menjual hasil produksinya ke PT HHH senilai
Rp5.500.000.000. Harga ini sudah termasuk PPN sebesar 10%.
Perhitungan PPh Pasal atas penjualan otomotif adalah:
DPP PPN:
= (100/110) x Rp5.500.000.000
= Rp5.000.000.000
PPh Pasal Pasal 22 atas penjualan otomotif:
= (Tarif PPh Pasal 22 atas penjualan otomotif x DPP PPN)
= 0,45% x Rp5.000.000.000
= Rp22.500.000
 
d. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 Hasil Produksi Migas
PT AAA selaku produsen bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, menyerahkan bahan bakar
minyak senilai Rp900.000.000 (tidak termasuk PPN) kepada PT BBB yang merupakan bukan
perusahaan SPBU. Maka PPh Pasal 22 yang dipungut adalah:
PPh Pasal 22 atas penyerahan hasil produksi migas:
= (Tarif PPh 22 hasil produksi migas x Nilai jual)
= 0,3% x Rp900.000.000
= Rp2.700.000
 
e. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Pembelian Bahan untuk Industri
PT AAA merupakan perusahaan tekstil dan membeli bahan untuk tekstil untuk produksinya
yang akan diekspor dari pedagang pengepul CV BBB senilai Rp300.000.000.
Perhitungan PPh Pasal 22 atas pembelian bahan industri adalah:
= (Tarif PPh Pasal 22 atas pembelian bahan industri x Harga pembelian)
= 0,25% x Rp300.000.000
= Rp740.000
 
f. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Impor Komoditas
PT BBB mengimpor gandum dari Australia dengan harga faktur US$250.000. Biaya asuransi
sebesar 2% dari nilai faktur dan biaya angkut sebesar 8% dari nilai faktur. Bea Masuk yang
dibebankan dari impor gandum ini adalah 7,5% dan Bea Masuk Tambahan 2,5%. Kurs pajak
saat itu sebesar Rp14.220 per dolar AS.
Perhitungan PPh Pasal 22 yang dikenakan terhadap PT AAA atas impor gandum tersebut
adalah:
No. Diketahui Perhitungan Nilai
a Harga Faktur (Cost)   US$250.000
b Biaya Asuransi (Insurance) (2% x US$250.000) US$5.000
c Biaya Angkut (Freight) (8% x US$250.000) US$20.000
CIF (Cost, Insurance, Freight) (a + b + c) US$275.000
d CIF (dalam rupiah) (US$275.000 x Rp14.220) Rp3.910.000.000
e Bea Masuk (7,5% x Rp3.910.000.000) Rp293.250.000
f Bea Masuk Tambahan (2,5% x Rp3.910.000.000) Rp97.750.000
  Nilai Impor (d + e + f) Rp4.037.075.000
 
Dengan demikian besar PPh Pasal 22 atas impor gandum PT AAA yang juga memiliki angka
pengenal importir adalah:
= (Tarif PPh Pasal 22 impor komoditas dan memiliki API x Nilai Impor)
= 0,5% x Rp4.037.075.000
= Rp20.185.375
 
g. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang Mewah
Contoh 1,
PT AAA merupakan perusahaan pengembang properti yang menjual apartemen dengan nilai
Rp50.000.000.000 kepada CCC. Harga jual ini tidak termasuk PPN dan PPnBM. Maka, PPh
Pasal atas penjualan barang mewah berupa apartemen ini sebesar:
= (Tarif PPh Pasal 22 atas penjualan barang mewah apartemen x Nilai jual barang mewah)
= 1% x Rp50.000.000.000
= Rp500.000.000
 
Contoh 2,
PT BBB menjual kapal pesiar dengan nilai Rp800.000.000.000 kepada PT DDD. Nilai ini
tidak termasuk PPN dan PPnBM. Dengan demikian perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan
kapal pesiar ini adalah:
= (Tarif PPh Pasal 22 atas penjualan barang mewah kapal pesiar x Nilai jual barang mewah)
= 5% x Rp800.000.000.000
= Rp40.000.000.000

Ketentuan Pembayaran PPh Pasal 22


Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PMK No. 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan
PPh Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di
Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, ketentuan pembayaran pajak penghasilan
pasal 22 adalah:
 PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk (BM).
 Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam
pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang yang dibebaskan dari
pungutan BM dan/atau PPN, PPh Pasal 22 terutang dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean atas impor (PIB/Pemberitahuan Impor Barang).
 PPh Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam, terutang dan disetorkan bersamaan dengan saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean atas ekspor.
 PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh bendahara pemerintah, KPA, bendahara
pengeluaran, pejabat penerbit SPM, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk
keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu yang tercantum dalam Pasal 1 ayat
(1) huruf e (BUMN, badan usaha yang dimiliki langsung oleh BUMN) terutang dan
dipungut pada saat pembayaran.
 Penjualan hasil produksi oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri
semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi terutang dan
dipungut pada saat penjualan.
 Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran
barang (delivery order).
 Pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf i (badan
usaha industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses
industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspomya) dan pembelian
batubara, mineral logam dan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) huruf j (badan usaha yang rnelakukan pernbelian kornoditas tarnbang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dart badan atau orang pribadi pernegang izin
usaha pertarnbangan), terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Tata Cara Pemungutan PPh Pasal 22
Tata cara pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22 ini juga diatur dalam Pasal 5
PMK No. 34/PMK.010/2017, yakni:
1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan penyetoran ke kas
negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk
Menteri Keuangan, oleh:
 Importir yang bersangkutan
 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam dan
mineral bukan logam dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh eksportir yang
bersangkutan ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank
Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
3. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak (bendahara
pemerintah, KPA, bendahara pengeluaran, pejabat penerbit SPM) wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
4. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j , dan huruf k PMK 16/2016 wajib
disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau
Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP.
Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, huruf f,
huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k PMK No. 34/2017 wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara, di antaranya:
1. Pemungut PPh Pasal 22 huruf e
Badan usaha tertentu yang meliputi:
 BUMN
 UMN yang dilakukan restrukturisasi melalui pengalihan saham milik negara ke
BUMN lainnya
 Badan usaha tertentu yang dimiliki BUMN, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang,
PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Jurang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk
Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan
Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau
Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma
Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction,
PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT
Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRISyariah, dan PT Bank BNI Syariah
Pemungutan ini berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-
bahan untuk kegiatan usahanya.
2. Pemungut PPh Pasal 22 huruf f
Pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya kepada distributornya di
dalam negeri adalah badan usaha yang bergerak dalam bidang:
 Industri semen
 Industri kertas
 Industri baja
 Industri otomotif
 Industri farmasi
3. Pemungut PPh Pasal 22 huruf g
Pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri, di
antaranya:
 ATPM
 APM
 Importir umum kendaraan bermotor
4. Pemungut PPh Pasal 22 huruf h
Pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas adalah:
 Produsen atau importir bahan bakar minyak
 Produsen atau importir bahan bakar gas
 Produsen atau importir pelumas
5. Pemungut PPh Pasal 22 huruf i
Pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri
manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya adalah:
 Industri atau eksportir sektor kehutanan
 Industri atau eksportir sektor perkebunan
 Industri atau eksportir sektor pertanian
 Industri atau eksportir sektor peternakan
 Industri atau eksportir sektor perikanan
6. Pemungut PPh Pasal 22 huruf j
Pemungut PPh Pasal 22 adalah badan usaha yang melakukan pembelian komoditas
tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi
pemegang izin usaha pertambangan.
7. Pemungut PPh Pasal 22 huruf k
Pemungut PPh Pasal 22 adalah badan usaha yang penjualan emas batangan di dalam
negeri.
Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 22
Masih berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6 Perdirjen PER-3/PJ/2015 ini, tata cara
penyetoran PPh Pasal 22 ini adalah:
1. Penyetoran PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh eksportir komoditas tambang batubara,
mineral logam dan mineral bukan logam, dilakukan menggunakan SSP dengan ketentuan
dalam kolom ‘Uraian Pembayaran’ diisi ‘Nomor Pengajuan Pemberitahuan Ekspor
Barang’.
2. Terhadap bukti penyetoran pajak yang dilakukan oleh eksportir tersebut, DJBC melakukan
pemeriksaan formil bukti penyetoran pajak itu sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan
pabean ekspor dan dijadikan dasar pelayanan ekspor.
3. Bukti penyetoran pajak yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan
pabean ekspor adalah SSP yang telah tertera Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN). Eksportir wajib mengisi Lembar Lanjutan Pemberitahuan Ekspor Barang
(LLPEB) sesuai ketentuan sebagai berikut:
 Dalam kolom ‘Jenis Dokumen’ diisi dengan SSP
 Dalam kolom ‘Nomor Dokumen’ diisi dengan NTPN yang tertera dalam SSP
 Dalam kolom ‘Tanggal Dokumen’ diisi dengan tanggal NTPN
Berikutnya, ketentuan cara penyetoran PPh Pasal 22 dalam Pasal 6 PMK No.
34/PMK.010/2017 ini disebutkan:
1. Penyetoran PPh Pasal 22 oleh importir, eksportir komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logam, DJBC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf a dan Pasal ayat (1) huruf b, dan pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf b, c, dan huruf d, dalam PMK 34/2017 ini dilakukan menggunakan
formulir Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam rangka impor
(SSPCP) dan/atau Bukti Penerimaan Negara yang berlaku sebagai bukti pemungutan
pajak.
2. Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g,
huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k wajib menerbitkan Bukti Pemungutan (Bukti Potong)
PPh Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu:
 Lembar kesatu untuk Wajib Pajak yang dipungut.
 Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) yang dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 22.
 Lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
Cara Membuat Bukti Potong PPh Pasal 22
Ketentuan dan tata cara membuat bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti
Pemotongan/Pemungutannya.
Dalam beleid ini, cara pengisian Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 sesuai petunjuk dalam
Lampiran III.2, dengan cara mengunduh beberapa Formulir Bukti Potong PPh Pasal 22, yang
bisa diunduh di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), di antaranya:
 Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Badan Usaha Industri Eksportir Tertentu
(F.1.1.33.04)
 Daftar Bukti Pungut PPh Pasal 22
 Daftar Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 (D.1.1.32.04)

Cara Lapor SPT Masa PPh Pasal 22


Sebelumnya, tata cara pelaporan SPT Masa PPh Pasal 22 diatur dan sesuai Lampiran III.1
Perdirjen No. PER-53/PJ/2009.
Terbaru, penyampaian SPT Masa PPh Pasal 22 berdasarkan PMK No. 224/PMK.011/2012
melalui:
 e-SPT Masa PPh Pasal 22
 Dengan cara melakukan install atau update e-SPT Masa PPh Pasal 22
 Memasukkan tarif PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, gas, dan pelumas (baik final
maupun tidak final) berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c PMK-224/2012 dengan ketentuan
salah satu saja yang dimasukkan
Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 22
Pada umumnya, ketentuan penyampaian SPT Masa adalah:
1. Batas waktu penyampaian SPT Masa adalah paling lama 20 hari setelah akhir Tahun
Pajak:
2. Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat
atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 hari setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
3. Tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporan pajak untuk SPT
Masa, yaitu:
 Jika tanggal jatuh tempo pembayaran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari
sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran pajak dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
 Jika tanggal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu
atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan
umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Sedangkan batas waktu pembayaran, penyetoran, atau pelaporan pajak untuk SPT
Masa PPh Pasal 22, adalah:
No
Jenis Pajak Batas Pembayaran (Paling Lambat) Batas Pelaporan
.
    (Pasal 2 PMK 242/PMK.03/2014) UU Bidang Perpajakan
PPh Pasal 22 Impor Setor Sendiri (dilunasi
1. Saat penyelesaian dokumen PIB –
bersama dengan Bea Masuk, PPN, PPnBM)
Hari kerja terakhir
2. PPh Pasal 22 Pemungutan oleh Bea Cukai 1 hari kerja berikutnya
minggu berikutnya
Hari yang sama dengan pembayaran 14 hari setelah masa pajak
3. PPh Pasal 22 Pemungutan oleh Bendaharawan
atas penyertaan barang berakhir
4. PPh Pasal 22 Migas Tgl. 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya
PPh Pasal 22 Pemungutan oleh WP Badan
5. Tgl. 10 bulan berikutnya Tg;. 20 bulan berikutnya
Tertentu
  
Sanksi serta Denda Telat Bayar dan Lapor SPT
Sanksi serta denda telat bayar dan lapor SPT Pajak secara umum diatur dalam Undang-
Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Nomor 28 Tahun 2007 yang
merupakan Perubahan Ketiga atas UU No. 6/1983 tentang KUP.
a. Sanksi Administrasi
Sesuai Pasal 7 UU KUP, bagi yang tidak menyampaikan SPT Pajak dalam batas
waktu perpanjangan SPT akan dikenai sanksi administrasi berupa:
 Denda Rp500.000 untuk SPT Masa PPN
 Denda Rp100.000 untuk SPT Masa lainnya
 Denda Rp1.000.000 untuk SPT PPh WP Badan
 Denda Rp100.000 untuk SPT PPh WP Orang Pribadi
Berdasarkan Pasal 8 UU KUP, bagi yang melakukan pembetulan sendiri SPT Masa
bisa dikenakan sanksi administratif berupa:
 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian
SPT berakhir hingga tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan
(jika utang pajak jadi lebih besar).
 2% per bulan atas jumlah pajak kurang bayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
hingga tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan (jika utang
pajak jadi lebih besar).
 150% dari jumlah pajak kurang dibayar, jika ada ketidakbenaran terkait kewajiban
pajaknya disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang.
 50% dari pajak yang kurang bayar, akibat pengungkapan ketidakbenaran pengisian
SPT.
Berdasarkan Pasal 9 UU KUP, bagi yang melakukan pembayaran atau penyetoran
pajak dilakukan setelah tanggal jatuh tempo, akan dikenai sanksi administrasi berupa
bunga, sebesar:
 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran hingga tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan, jika lewat dari 15 hari
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak.
 2% per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT
hingga tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan, jika ada
kekurangan pembayaran pajak terutang.
Dalam Pasal 13 UU KUP ini terdapat tambahan sanksi administrasi berupa kenaikan
jika sudah dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya
Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, dengan sanksi bunga sebesar:
 50% dari PPh kurang dibayar dalam satu tahun pajak.
 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau
kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.
 100% dari PPN badang dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar
 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, jika setelah jangka waktu 5
tahun tersebut WP dipidana.
b. Sanksi Pidana
Sesuai Pasal 13A UU KUP, jika lupa tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT dengan isi yang tidak benar yang menimbulkan kerugian negara, akan
dikenakan sanksi berupa:
 Pidana, dan;
 Melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang
 Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari jumlah pajak yang kurang
dibayar (ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar).
c. Denda dari Surat Tagihan Pajak
Dalam Pasal 14 UU KUP, DJP akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak dengan
besaran:
 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya SPT, jika jumlah kekurangan pajak terutang dalam Surat Tagihan Pajak.
 2% dari DPP terhadap pengusaha atau PKP yang terlambat bayar atau lapor SPT.
 2% dari jumlah pajak yang ditagih kembali, terhadap PKP pada ayat (1) huruf g.
Dalam Pasal 15 UU KUP, DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dengan sanksi sebagai berikut:
 100% dari jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Keterangan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal WP setelah jangka 5
tahun dipidana.

Definisi Bea Masuk


Merujuk pada UU No.17/2006 tentang Kepabeanan, Bea Masuk adalah pungutan
negara berdasarkan UU yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Adapun impor adalah
kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Kemudian, daerah pabean adalah
wilayah RI yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-
tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen yang di dalamnya
berlaku UU Kepabeanan. Secara lebih terperinci, bea masuk dapat diartikan sebagai pajak
lalu lintas barang yang dipungut atas pemasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam
daerah pabean. Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menjadi institusi yang memungut bea masuk
ini.
Menurut Rukiah Komariah dan Dewi Paramita (2010), perhitungan bea masuk
berdasarkan pada persentase besaran tarif atau secara spesifik yang dihitung berdasarkan
satuan atau unit barang dengan nilai yang telah ditetapkan berkaitan dengan harga transaksi
yaitu harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayar.
Dalam skala global, bea masuk disebut import duties. Berdasarkan IBFD International Tax
Glossary (2015), import duties/duty/customs duties—terkadang juga disebut sebagai tariff—
adalah pungutan yang dikenakan pada produk yang diimpor.
Sementara itu, pengertian import duties menurut OECD adalah pungutan yang terdiri atas bea
masuk, atau bea impor lainnya, yang dibayarkan pada jenis barang-barang tertentu ketika
memasuki wilayah ekonomi.

Tata Cara Perhitungan Bea Masuk


Di Indonesia, terdapat dua sistem dalam perhitungan bea masuk, yaitu perhitungan dengan
tarif spesifik dan tarif advalorum. Adapun sebagian besar komoditas impor yang masuk ke
Indonesia dihitung dengan tarif advalorum. Tarif spesifik adalah tarif yang dikenakan
berdasarkan satuan barang. Perhitungan dalam tarif spesifik dilakukan dengan cara
mengalikan jumlah satuan barang dengan tarif pembebanan bea masuk. Hal ini berarti dalam
tarif spesifik akan disebutkan besaran tarif bea masuk yang harus dibayar per satuan barang.
Dari sekian banyak komoditas impor yang masuk, hanya sebagian kecil barang impor yang
dikenakan tarif spesifik, di antaranya seperti beras dan gula.
Contohnya tarif pembebanan bea masuk untuk beras pada Juli 2019 ditetapkan sebesar
Rp450/kg. Maka, berapapun nilai atau harga dari beras tersebut tidak akan berpengaruh
terhadap besaran bea masuk yang dibayarkan.
Dengan demikian misalnya terdapat dua importir yang sama-sama mengimpor beras
sebanyak 100 ton, maka kedua importir tersebut akan membayar bea masuk senilai
Rp45.000.000.
Tarif spesifik tidak memedulikan apakah kedua importir tersebut membeli beras itu dengan
harga yang sama atau berbeda. Secara ringkas, perhitungan bea masuk dengan menggunakan
tarif spesifik.
Contoh Kasus:
Importir A mengimpor 5.000 tons beras jenis Thai Hom Mali dari Thailand dengan harga CIF
THB 12.000/ton. Adapun tarif bea masuk untuk beras sebesar 450/kg. Maka perhitungannya
sebagai berikut:
Bea Masuk = Jumlah Satuan Barang x Pembebanan Bea masuk
= (5.000 ton x 1.000) x 450/kg
= Rp2,25 miliar
Sementara itu, tarif Ad Valorem adalah pungutan bea masuk berdasarkan pada prosentase
tarif tertentu dari harga barang. Merujuk pada Pasal 12 UU Kepabeanan tarif advalorum
paling tinggi ditetapkan sebesar 40%.
Secara ringkas, perhitungan bea masuk menggunakan tarif advalorum dihitung dengan cara
mengalikan tarif bea masuk suatu barang impor dengan nilai pabeannya.
Contoh Kasus:
Importir B mengimpor 125 unit kamera produksi dari Jepang dengan harga masing-masing
sebesar JPY40.000/unit. Kemudian, ongkos kirim dan asuransi masing-masing sebesar JPY
300.000 dan asuransi JPY100.000.
Tarif bea masuk kamera impor dipatok sebesar 10%. Sementara Nilai Dasar Perhitungan Bea
Masuk (NDPBM) tersebut adalah JPY 1=Rp110,98,. berikut perhitungannya:
Bea Masuk = tarif bea masuk (%) x nilai pabean
= tarif bea masuk x (CIF x NDPBM)
= 10% x ((JPY40.000x125) +JPY100.000 + JPY300.000)) x Rp110,98
= 10% x JPY5,4 juta x Rp110,98
= 10% x Rp599,29 juta
= Rp59,92 juta

Bea Masuk Tambahan


Selain itu, ada juga bea masuk lain yaitu bea masuk tambahan (BMT) yang dikenakan untuk
barang-barang tertentu atau untuk kondisi impor tertentu. Perlu diingat, BMT sifatnya tidak
menggantikan bea masuk yang berlaku umum.
Merujuk pada UU Kepabeanan jenis bea masuk lain yang dapat dikenakan pada impor barang
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD)
Bea masuk ini merupakan BMT yang dikenakan kepada barang impor di mana harga
ekspor barang tersebut lebih rendah dari harga normal di pasar domestik.
Bea masuk antidumping ini dikenakan terhadap barang impor yang menyebabkan
kerugian terhadap industri barang sejenis yang diproduksi di dalam negeri, dan dinilai
menghambat pengembangan industri barang yang sejenis di dalam negeri.
2. Bea masuk ini merupakan jenis BMT yang dikenakan terhadap barang impor, di mana
ditemukan adanya subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor atas barang tersebut.
Barang impor yang dikenakan bea masuk imbalan lantaran barang impor itu menyebabkan
kerugian terhadap industri yang sejenis di dalam negeri, dan menghambat pengembangan
industri yang sejenis.
3. Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP)
Jenis bea masuk yang populer disebut dengan safeguard ini merupakan BMT yang
dikenakan terhadap barang impor, dimana terdapat kondisi lonjakan barang impor
terhadap barang sejenis yang diproduksi di dalam negeri. Barang impor tersebut dinilai
menyebabkan kerugian terhadap industri yang sejenis di dalam negeri, serta menghambat
pengembangan industri yang sejenis. Bea masuk tindakan pengamanan paling tinggi
sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman
kerugian serius terhadap industri dalam negeri.
4. Bea Masuk Pembalasan (BMP)
Bea masuk ini merupakan bea masuk yang dikenakan terhadap barang impor yang berasal
dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif.

Anda mungkin juga menyukai