Anda di halaman 1dari 18

PERENCANAAN PAJAK PPH PASAL 22, 23/26, PPH FINAL

Disusun Oleh :
1. Husna Kurnia Yuliani (F0319055)
2. Iin Indrawati (F0319057)
3. Indah Nurkhasanah (F0319061)
4. Istikomah (F0319065)

Kelompok : 12
Kelas : Perencanaan Pajak - A

S1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2022
A. PERENCANAAN PAJAK PPH PASAL 22

PPh Pasal 22 merupakan pajak yang dikenakan pada badan usaha, baik milik
pemerintah maupun badan usaha swasta, yang melakukan kegiatan ekspor dan impor.
Pajak jenis ini memiliki tarif yang bervariasi dan bergantung dari pemungut serta objek
dan jenis transaksi.

Berdasarkan Pasal 22 UU PPh, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah:

1. Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah


Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya,
berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam
pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan
fungsi yang sama;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan
usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen; dan
3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan
tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria
tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis
barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah,
apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.

Besarnya pungutan PPh Pasal 22 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada
tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP.

Pemungut PPh Pasal 22

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal
22 impor barang;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga
Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang;
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
a. PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT
Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi
Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel
(Persero);
b. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usahanya.
6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang
pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi
pemegang izin usaha pertambangan.
Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat
penjualan adalah:

1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan
industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan
industri hilir.
5. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015, pemerintah
menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang
melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Tarif PPh Pasal 22

1. Atas impor :
a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
b. non-API = 7,5% x nilai impor;
c. yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak, yaitu:
a. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
b. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:

Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen


bersifat tidak final

5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan
API = 0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp
10.000.000.000,-
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan
lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv),
minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu
Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya
yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di
bidang impor.

Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud di atas yang diterapkan terhadap


Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan
Nomor Pokok Wajib Pajak. Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 yang bersifat tidak final.

Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai;
3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali;
4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:
a. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara Pemerintah
dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, KPA atau
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA)), yang jumlahnya paling banyak
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah;
b. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu dan
Bank BUMN) yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
c. pembayaran untuk :
- pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas,
benda-benda pos;
- pemakaian air dan listrik.
6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor;
7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor


sebagaimana dimaksud pada point 2 di atas, tetap berlaku dalam hal barang impor
tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen).

Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 1 dan 6 dinyatakan dengan Surat


Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.

Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 4, 5, dan 7 di atas dilakukan tanpa Surat
Keterangan Bebas (SKB).

Ketentuan Pengecualian pengenaan PPh Pasal 22 atas kegiatan Impor barang yang
dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau PPN, atas impor sementara dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh Direktur Jenderal
Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak.

Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut, harus
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk :
a. yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk
hingga barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor)
dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat
penimbunan barang dagangan karena pengimpornya tidak membayar bea
masuk sebagaimana mestinya;
b. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun
1969 tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah
terakhir dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 2 tahun 1973;
c. berupa kiriman hadiah;
d. untuk tujuan keilmuan.
3. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja
negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah).

Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos, dan telepon.

Saat Terutang dan Pembayaran

PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan
tidak termasuk dalam pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, Pasal 22 terutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.

PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA, bendahara
pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, dan pembelian barang
dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh BUMN tertentu dan Bank
BUMN, terutang dan dipungut pada saat pembayaran.

PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi
dan atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh ATPM,
APM dan importir umum kendaraan bermotor terutang dan dipungut pada saat penjualan.

PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas terutang
dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order).

Cara Penyetoran

Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh
importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Penyetoran
dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA,
bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.

Surat Setoran Pajak tersebut berlaku juga sebagai Bukti Pemungutan Pajak

Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak selain , wajib disetor oleh pemungut ke
kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

Pemungut wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22.

Kewajiban Pelaporan

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak wajib melaporkan hasil
pemungutannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan
Pajak.

Semua Pemungutan PPh Pasal 22 bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut, kecuali atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh Produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas kepada penyalur/agen.

B. PERENCANAAN PAJAK PPh PASAL 23/26

Pengertian PPh 23/26 adalah pajak penghasilan yang berasal dari transaksi badan
usaha Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan perusahaan terkait jenis transaksi tertentu
sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Dasar hukum PPh Pasal 23/26 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (PPh). UU PPh ini 4 kali diubah. UU PPh terakhir kali diubah
menjadi UU No. 36 Tahun 2008.
PPh pasal 23 adalah Pemotongan pajak atas penghasilan yang diperbolehkan wajib
pajak dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
Subjek Pajak PPh 23/26:

1. Wajib Pajak Dalam Negeri.


2. Bentuk Usaha Tetap.
3. Wajib pajak luar negeri.

Objek Pajak PPh 23/26:

1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.


2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan.
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong PPh 23/26

1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak Badan dalam negeri
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri
4. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak,
yaitu:

a) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali Camat), pengacara,


konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.

b) Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan


pembukuan atas pembayaran berupa sewa.

Pengajuan SKB PPh 23

Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan yang
sama berlaku juga pada PPh Pasal 23. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih
bayar pajak penghasilan. PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan
yang diperoleh wajib pajak dalam negeri dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21.

Tarif danPengenaan PPh 23

a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi:


1. Deviden; kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/D, koperasi, dengan syarat
kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut
diambil dari laba ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang.
3. Royalty
4. Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
menteri keuangan.

c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final. d. Imbalan sehubungan dengan
jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain
jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

PPh 26

Pajak Penghasilan yang diperoleh wajib pajak luar negeri (orang pribadi
maupun badan), selain bentuk usaha tetap dalam PPh pasal 26 adalah pajak atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
Tarif dan Pengenaan PPh 26

1. Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas
penghasilan WPLN yang berupa:
a) Bunga, deviden, royalty, sewa dan imbalan lain sehubungan
dengan penggunaan harta.
b) Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu BUT,
kecuali ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
● Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan
kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan
● Perusahaan harus aktif melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan akte pendiriannya, paling lama 1 tahun sejak
perusahaan tersebut didirikan.
● Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan
atau paling lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak
diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut.
● Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali
paling singkat dalam jangka waktu 2 tahun sesudah
perusahaan tersebut telah berproduksi komersial

2. Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final
atas penghasilan WPLN berupa: a. Penghasilan dari penjualan harta di
Indonesia (20% x 25% x harga jual). b. Premi asuransi yang dibayarkan ke
luar negeri: 1) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar
negeri oleh tertanggung (20% x 50% jumlah premi). 2) Premi yang
dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh perusahaan asuransi yang
berkedudukan di Indonesia (20% x 10% x jumlah premi). 3) Premi yang
dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN, oleh perusahaan re-asuransi
yang berkedudukan di Indonesia (20% x 5% x jumlah premi)
C. PERENCANAAN PAJAK PPh FINAL

Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 4 ayat
(2) adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan antara lain melalui pemotongan
atau pemungutan pajak yang bersifat final atas penghasilan tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

● Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak atas
penghasilan sebagai berikut:
● penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
● penghasilan berupa hadiah undian;
● penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;
● penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
dan
● penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
1. PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

Objek PPh Final adalah sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah
susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan
termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, bangunan industri.

Besarnya PPh Final yang dipotong adalah 10%dari jumlah bruto nilai persewaan, baik
yang menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan.
Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/terutang oleh penyewa
termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya, dan service charge
(baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).

2. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

Objek PPh final adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
meliputi penjualan, tukar- menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati.

Besarnya PPh Final yang dipungut adalah 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan.

Pembebasan PPh Final dapat diberikan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
kepada :

● Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang jumlah bruto
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunannya kurang dari Rp60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
Pembebasan diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh
Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
● Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek
jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan
lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum
seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan
fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
● Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan yang tidak termasuk subjek pajak (seperti: pemerintah dan perwakilan
negara asing). Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam angka 2) dan 3)
diberikan tanpa melalui penerbitan SKB.
3. JASA KONSTRUKSI
Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.

Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi
terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan,
pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model
penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).

Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai selesai dan diserahterimakan.

4. PENGHASILAN DARI USAHA YG DITERIMA/DIPEROLEH WP YANG MEMILIKI


PEREDARAN BRUTO TERTENTU

Wajib Pajak yang dikenai PPh Final adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan

Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tertentu tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari
usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:

● Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;


● Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
● Usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
● Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
● Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan
dengan dasar pengenaan pajak berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk
setiap tempat kegiatan usaha.

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan
dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/ atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain melalui Surat Keterangan Bebas yang diterbitkan oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.

Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 Final Untuk UMKM

Tarif pajak untuk UMKM, wiraswasta dan bisnis online ini menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 adalah 1 % (satu persen) yang
dipotong dari total omzet penjualan (peredaran bruto) per bulan.

Contohnya :Dalam 1 bulan jumlah total penghasilan (omzet) yang didapat salah satu
UMKM ini adalah sebesar Rp55.000.000.

PPh pasal 4 ayat 2 final atas penghasilan tersebut adalah sebesar: Rp55.000.000 x 1% =
Rp550.000

Tarif PPh Final Jasa Konstruksi

Dalam peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi ada ketentuan bahwa


sebelum mengajukan mengajukan permohonan untuk meminta surat izin usaha jasa
konstruksi, pengusaha harus terlebih dahulu mengajukan sertifikasi dan registrasi kepada
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) untuk memperoleh Sertifikat Badan
Usaha (SBU). Ini semacam dokumen formal yang menyatakan kemampuan atau
kompetensi dari si pengusaha jasa konstruksi. Dalam kesehariannya, SBU ini sering
hanya disebut dengan kualifikasi usaha atau sertifikat kualifikasi usaha.

Khusus untuk jasa pelaksanaan konstruksi, kualifikasi usaha itu bahkan dibagi ke dalam
tiga kelompok yakni: kecil, menengah dan besar. Menurut Peraturan LPJK Nomor 11
Tahun 2006 pengelompokkan tersebut didasarkan pada apa yang disebut ‘grade’ yaitu
tingkat kemampuan atau kompetensi dari si kontraktor, seperti tampak pada tabel
berikut:Tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit pengusaha jasa konstruksi (kontraktor)
yang tidak memiliki sertifikat tersebut. Ada juga kontraktor yang tidak memperpanjang
masa berlaku sertifikat kualifikasi usaha. Asal tahu saja, sertifikat kualifikasi usaha itu
memiliki masa berlaku layaknya SIM atau KTP. Kalau tidak salah, masa berlaku SBU
atau sertifikat kualifikasi usaha ini selama 3 tahun.

Kembali ke soal tarif PPh Final jasa konstruksi, menurut PP Nomor 51 Tahun 2008 tarif
untuk kontraktor yang punya SBU atau sertifikat kualifikasi usaha dibedakan dengan tarif
untuk kontraktor yang tidak punya SBU (termasuk kontraktor yang masa berlaku
SBU-nya sudah habis tetapi tidak atau belum diperpanjang).

Peraturan-peraturan perpajakan yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan


pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh;

PP Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 71 Tahun
2008;

PP Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002;

PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 40 Tahun 2009;

Keputusan Menteri Keuangan 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah beberapa kali


diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah


dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009;

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002.

Pertanyaan

1. Apakah PPh Pasal 22 atas impor barang harus disetor dan dilaporkan setiap bulan?
2. Bagaimana cara mengatasi apabila terjadi kesalahan pemotongan atau penyetoran
pelaporan PPh Pasal 23?
3. Apakah ada batas nilai transaksi yang tidak dikenai PPh Pasal 23?
4. Mengapa PPh final tidak dapat dikreditkan?

Anda mungkin juga menyukai