Anda di halaman 1dari 20

MATERI PPh PASAL 22

(Pajak yang dipungut sehubungan dengan impor dan pembayaran oleh


Bendaharawan)
A. Pengertian Umum
PPh Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan
pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang
dan badan badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak
yang melakukan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang
lain.

Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai pemungut


pajak adalah :

1. Bendaharawan pemerintah, termasuk bendaharawan pada


Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga
pemerintah dan lembaga lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang.
2. Badan badan tertentu, baik badan pemerintah maupun

PPH 22.exe
swasta berkenan dengan kegiatan di bidang impor
atau kegiatan usaha dibidang lain.
B. Pemungut Pajak
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor
barang
2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik
di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Daerah, yang
melakukan pembayaran atas pembelian barang
3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang
melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari
APBN dan APBD.
4. Bank Indonesia, Badan Penyesahatan dan Perbankan Nasional,
Bulog, PT Telkom, Pertamina dll yang melakukan pembelian
barang yang dananya bersumber APBN maupun Non APBN
5. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang industri semen,
rokok, kertas, baja dan otomotif yang ditunjuk oleh KPP atas
penjualan hasil produksinya di dalam negeri
6. Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dibidang
bahan bakar minyak jenis premik, super TT dan gas atas
penjualan hasil produksinya.
C. Tarif Pajak
Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai
berikut :

1. Atas impor :
1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor ( API ),
sebesar 2,5% dari Nilai Impor
2. Yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% dari Nilai
Impor
3. Yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual
lelang
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh Dirjen Anggaran
dan Bendaharawan Pemerintah serta BUMN/BUMD, sebesar 1,5%
dari harga pembelian.
3. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang :
@ Atas penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh badan usaha :

1. Industri Semen sebesar 0,25% dari Dasar Pengenaan Pajak


( DPP ) Pajak Pertambahan Nilai ( PPN )
2. Industri Rokok sebesar 0,15% dari harga bandrol
3. Industri Kertas sebesar 0,1% dri DPP PPN
4. Industri yang bergerak disektor perhutanan, pertanian dan
perikanan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
sebesar 1,5% dari harga pembelian
5. Industri baja sebesar 0,3% dari DPP PPN
6. Industri otomotif sebesar 0,45% dari DPP PPN
@ Atas penjualan hasil produksi pertamina dan badan usaha selain
pertamina yang bergerak dibidang BBM dan Gas kepada penyalur / agen
:

1. Premium, Solar, Premix/Super untuk SPBU Swastanisasi


sebesar 0,3% dan untuk SPBU Pertamina sebesar 0,25% dari
penjualan.
2. Minyak tanah, Gas LPG dan Pelumas sebesar 0,3% dari
Penjualan.
D. Pengecualian PPh Pasal 22
1.
1. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea
Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai.
2. Impor untuk sementara waktu yang dimaksudkan
untuk diekspor kembali
3. Pembayaran yang jumlahnya dibawah Rp.1.000.000,-
dan tidak merupakan pembayaran yang dipecah-pecah
4. Pembayaran untuk pembelian BBM, listrik, gas, PDAM
dan benda-benda pos
5. Emas batangan yang akan diproses untuk
menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan
ekspor
6. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengamat Sosial
(JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
7. Impor Kembali ( re impor )
E. Saat Terutang dan Pelunasan / Pemungutan PPh Pasal 22
1.
1. Atas impor terutang dan dilunasi bersamaan dengan
saat pembayaran bea masuk
2. Atas pembelian barang oleh Dirjen Anggaran,
Bendaharawan Pemerintah, BUMN terutang dan dipungut
pada setiap dilakukan pembayaran
3. Atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh
badan usaha yang bergerak di bidang semen, rokok,
kertas, baja, otomotif yang ditunjuk oleh KPP dipungut
pada saat penjualan
4. Atas penjualan hasil produksi oleh pertamina dan
badan usaha selain pertamina yang bergerak di bidang
BBM dan Gas harus dilunasi sendiri oleh penyalur, agen
atau pembeli lainnya sebelum Surat Perintah Pengeluaran
Barang ( Delivery Order ) ditebus.
F. Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan
1.
1. Atas Impor :
1. SSP disetor oleh Importir ke Bank Devisa ( Impor dilengkapi
Laporan Kelengkapan Pemeriksaan PPh Pasal 22 ), SSP berlaku
sebagai Bukti Pemungutan Pajak
2. SSP disetor oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai ( Impor tanpa
LKP PPh Pasal 22 ), wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh
Pasal 22 dan menyetorkan kepada Kantor Pos dan Bank persepsi
sehari setelah dipungut, dan SPT dilaporkan secara mingguan
paling lambat 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak
1.
1. Dirjen Anggaran, Bendaharawan Pemerintah,
memungut dan menyetorkan pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran kepada Kantor Pos dan Bank
Persepsi, SSP berlaku sebagai Bukti Pemungutan PPh
Pasal 22, SPT paling lambat 14 hari setelah berakhir masa
pajak
2. Badan Usaha Semen, Rokok, Kertas, Baja dan
Otomotif, disetor paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya dan SPT paling lambat 20 hari dan menerbitkan
Bukti Pemungutan PPh Pasal 22
3. Pertamina, Badan usaha Bidang BBM dan Gas,
dipungut dengan cara dilunasi sendiri WP sebelum DO
ditebus, SPT paling lambat 20 hari setelah berakhir masa
pajak.
Contoh Aplikasi Kasus :
1. Pemda Kabupaten Bungo melakukan kontrak perbaikan jalan
dengan PT Andika senilai Rp. 600.000.000,- :
Perhitungan :

PPh Pasal 22 = 1,5% X Rp. 600.000.000,- = Rp. 9.000.000,-

1. PT ABC mengimpor barang dari USA dengan harga US$ 20.000.,


asuransi yang dibayar diluar negeri sebesar 5% dari harga dan
biaya angkut sebesar 10% dari harga. Bea masuk tambahan
masing-masing 10% dan 20% ( US$1 = 10.000).
Perhitungan :

Harga US$ 20,000.00


Asuransi 5% 1,000.00
Biaya Angkut 10% 2,000.00
CIF US$ 23,000.00

OF ( dlam Rp) 230,000,000.00


BM 10% 23,000,000.00
BMT 20% 46,000,000.00
299,000,000.00
a. PPh Pasal 22, PT ABC memiliki API :

2,5% X 299.000.000 = Rp. 7.475.000,-

b. PPh Pasal 22, PT ABC Tdk memiliki API :

7,5% X 299.000.000 = Rp. 22.425.000,-

c. Impor melalui PT XYZ ( punya API ) dengan handling fee 1,5% dri
Nilai Impor :
PPh Pasal 22 = 2,5% X
299.000.000,- 7,475,000
Handling Fee = 1,5% X
299.000.000,- 4,485,000
Handling Fee dibayarkan kepada Importir yang mempunyai API

1. Perusahaan lelang negara telah melelang barang sitaan senilai


Rp. 500.000.000.
Perhitungan :

PPh Pasal 22 = 7,5% X Rp. 500.000.000 = Rp. 37.500.000,-


MATERI PPh PASAL 23
(Penghasilan dari Modal, Jasa atau Kegiatan)
1. A. Pengertian Umum
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berasal dari modal, penyerahan
jasa, atau penyelenggaran kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

1. B. Pemotong PPh Pasal 23


1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
3. Penyelenggara Kegiatan
4. Bentuk Usaha Tetap ( BUT )
5. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
6. Orang Pribadi Sebagai Wajib Pajak (WP) dalam negeri
tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Sebagai Pemotong PPh Pasal 23, Yaitu:
1. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, PPAT
2. Orang Pribadi yang menjalankan usaha yang
menyelenggarakan Pembukuan, Atas Pembayaran berupa
sewa.
1. C. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23
1. 1. Wajib Pajak Dalam Negeri
2. BUT
1. D. Tarif dan Objek PPh Pasal 23
1. 15% dari jumlah bruto atas :
1. Dividen
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
3. Royalti
4. Hadiah dan penghargaan selain yang dipotong PPh
Pasal 21
5. 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
6. 15 % dari perkiraan penghasilan neto
1. Perkiraan penghasilan neto atas sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta, kecuali sewa tanah dan atau bangunan
yang telah dikenakan PPh berdasarkan PP
29/1996
2. Perkiraan penghasilan neto atas
penyerahan jasa :
1. 50% dari jumlah bruto tidak
termasuk PPN berupa jasa profesi,
termasuk jasa konsultan hukum dan jasa
konsultan pajak.
2. 40% dari jumlah bruto tidak
termasuk PPN :
Jasa teknik, jasa manajemen

Jasa perancang/desain

Jasa instalasi/pemasangan

Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan

Jasa custodian/penyimpanan/penitipan/tidak termasuk sewa gudang


yang telah dikenakan PPh Final

Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga

Jasa pemanfaatan informasi dibidang teknologi termasuk internet

Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum

Jasa akuntansi dan pembukuan

Jasa pengolahan/pembuangan limbah

Jasa penebangan hutan termasuk land clearing

Jasa pengeboran (drilling) dibidang penambangan minyak dan gas bumi


kecuali yang dilakukan oleh BUT

Jasa penunjang dibidang penambangan selain gas

Jasa perantara

Jasa penilai
Jasa aktuaris

Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan atau mixing film

Jasa maklon

Jasa rekrutmen/penyediaan tenaga kerja

Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan atau


pemeliharaan dan perbaikan

1. 26,67% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dari jasa perencanaan
kontruksi dan jasa pengawasan kontruksi
2. 13,33% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dari jasa pelaksanaan
kontruksi
3. 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dari jasa pembersihan dan
pembasmian hama, jasa selain yang tersebut di atas yang dibebankan
pada APBN/APBD
4. 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN dari sewa dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan
darat
5. 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta kecuali yang telah dikenakan PPh
final berdasarkan PP 29 Tahun 1996 dan yang berhubungan dengan
kendaraan angkutan darat.
1. E. Pengecualian PPh Pasal 23
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan
sewa guna usaha dengan hak opsi
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh
perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri : koperasi,
yayasan, atau organisasi sejenis BUMD/D, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia, dengan syarat :
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
2. Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMN yang
menerima dividen, minimal harus memiliki 25% saham
dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai
usaha aktif diluar pemilikan saham tersebut.
3. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh
perusahaan reksa dana selama lima tahun pertama sejak
pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha
4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha
yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha
tersebut :
1. Merupakan perusahaan kecil, menengah
atau menjalankan kegiatan dalam sektor usaha
yang ditetapkan Menteri Keuangan
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa
Efek Indonesia
5. Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggotanya
6. Bunga simpanan yang tidak melebihi jumlah
sebesar Rp. 240.000,- setiap bulannya yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggotanya. Atas bunga simpanan
yang jumlahnya diatas Rp. 240.000,- dipotong PPh
sebesar 15% dari seluruh bunga yang diterima dan
bersifat final
1. F. Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23
1.
1. Saat terutang, PPh Pasal 23 terutang pada bulan
dilakukannya pembayaran atau pada bulan terutangnya
penghasilan yang bersangkutan.
2. Penyetoran, PPh Pasal 23 harus disetorkan oleh pemotong
pajak selambat-lambatnya tanggal sepuluh bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutang pajak
3. Pelaporan, Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan
SPT masa ke KPP dimana pemotong pajakk terdaftar selambat-
lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir.
1. G. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 ( Form KP
PPh 2.6/BP/95) kepada orang pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal
23.

1. H. Contoh Aplikasi
1. Sendy mendapat penghasilan berupa bunga deposito Rp.
200.000
PPh Pasal 23 = 15% X Rp. 300.000,- = Rp. 45.000,- ( Final )

1. Untuk memudahkan pelaksanaan operasional harian karyawan, PT


Gemerlap menyewa 3 bus milik PO Bintang dengan pembayaran sewa
Rp. 20.000.000,- / bulan. Dalam kontrak tersebut, uang sewa termasuk
biaya sopir Rp. 5.000.000,- dan biaya pemeliharaan Rp.
3.000.000,-
PPh Pasal 23 :
Jumlah uang sewa Rp. 20.000.000,-

Perkiraan Penghasilan Neto 20%

Dasar Pemotongan PPh Pasal 23 Rp. 4.000.000,-

PPh Pasal 23 = 15% X Rp. 4.000.000,- Rp. 600.000,-

1. PT Buana berusaha dibidang konsultan teknik. Tahun 2002 perusahaan


tersebut menerima order dari PT Angkasa untuk merancang desain
gedung baru dengan imbalan Rp. 200.000.000,-
PPh Pasal 23 :
Jumlah Imbalan Rp. 200.000.000,-

Perkiraan Penghasilan Neto 40%

Dasar Pemotongan PPh Pasal 23 Rp. 80.000.000

MATERI PPh PASAL 24


(Kredit Pajak Maksimum)
1. A. Pengertian Umum
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24 adalah pajak yang terutang atau dibayarkan di
luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang
dapat dikreditkan terhadap penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan
Wajib Pajak dalam negeri.

Tujuannya adalah untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi
karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri. Pengkreditan pajak luar negeri tersebut dilakukan dalam Tahun Pajak
digabungkan antara penghasilan luar negeri dengan penghasilan di Indonesia.

1. B. Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri


Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib
menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
melampirkan :

1. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri


2. Foto Copy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri
Permohonan kredit pajak luar negeri disampaikan bersamaan dengan
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, namun dapat
diperpanjang waktunya oleh Dirjen Pajak berdasarkan permohonan dari Wajib
Pajak.

1. C. Penggabungan Penghasilan
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dengan aturan sebagai
berikut :

1. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak


diperolehnya penghasilan tersebut.
2. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut
3. Untuk penghasilan berupa dividen yang diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri atas penyertaan modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah
saham yang disetor, atau secara bersama-sama dengan Wajib Pajak
dalam negeri lainnya sekurang-kurangnya 50% dari jumlah yang disetor
pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek, dilakukan dalam tahun pajak pada saat diperoleh dividen
tersebut.
Contoh :

1. Hasil usaha di Filipina dalam Tahun Pajak 2005 sebesar Rp.


600.000.000,-
2. Dividen atas pemilikan saham di Cicago Ltd di USA sebesar Rp.
400.000.000,- yaitu berasal dari keuntungan tahun 2004 yang
ditetapkan dalam RUPS dan dibayar tahun 2005
3. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% pada Smith Corporation
di Australia yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar
Rp. 80.000.000,- yaitu berasal dari keuntungan saham 2004 yang
berdasarkan Kepmenkeu ditetapkan diperoleh tahun 2005.
4. Bunga kwartal IV tahun 2004 sebesar Rp. 200.000.000,- dari Malaysia
yang baru akan diterima bulan Mei Tahun 2005.
Dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri di atas, maka penghasilan
yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri untuk tahun 2004 adalah
butir a s/d c, sedangkan butir d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri
tahun 2005.

1. D. Penentuan Sumber Penghasilan


Dalam menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan
sumber penghasilan sebagai berikut :
1.
1. Penghasilan dalam saham dan sekuritas lainnya adalah
negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas
tersebut bertempat kedudukan
2. Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan
dengan penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak
yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau sewa tersebut
bertempat kedudukan atau berada
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan
harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang
membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan
atau berada
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat
bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan
1. E. Jumlah Kredit Pajak yang diperbolehkan
Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan hanya atas pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dari luar negeri, dan setinggi tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar
atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung
menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan
Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak,
atau setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas penghasilan Kena
Pajak dalam hal penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

Contoh :

PT Lestari berkedukan di Semarang, mempunyai penghasilan kena paja dari


Indonesia sebesar Rp. 130.000.000,- dan penghasilan kena pajak dari Jepang
sebesar Rp. 70.000.000,-. Hitunglah kredit pajak jika tarif yang berlaku di
Jepang 10%.

PPh berdasarkan tarif Pasal 17 :

10% x Rp. 50.000.000,- = 5.000.000,-

15% x Rp. 50.000.000,- = 7.500.000,-

30% x Rp. 100.000.000,- = 30.000.000,-


PPh 42.000.000,-
PPh yang dibayar di Jepang 10% x 70.000.000,- = Rp. 7.000.000,-

Bagian penghasilan di Korea :

( Rp. 70.000.000,-/Rp. 200.000.000,- ) x Rp. 42.500.000,- = Rp. 14.875.000,-

Kredit pajaknya adalah mana yang lebih kecil antara PPh dibayar di luar negeri
dengan bagian penghasilan di negara tersebut yaitu sebesar Rp. 7.000.000,-

1. F. Penghasilan Luar Negeri Berasal dari Beberapa Negara


Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka jumlah
maksimum kredit pajak luar negeri dihitung sama dengan perhitungan tersebut
di atas.

Contoh :

PT Buana berkedudukan di Semarang, mempunyai Penghasilan Kena Pajak dari :

Indonesia = Rp. 200.000.000,-

Brunei Darussalam = Rp. 200.000.000,- ( tarif yang berlaku 10%)

Filipina = Rp. 100.000.000,- ( tarif yang berlaku 20%)

Singapura = Rp. 200.000.000,- ( tarif yang berlaku 30%)

Berapa kredit pajak masing-masing negara ?

Berapa PPh yang harus dibayar di Indonesia ?

Jumlah Penghasilan Rp. 700.000.000,-

PPh berdasarkan tarif Pasal 17 :

10% x Rp. 50.000.000,- Rp. 5.000.000,-

15% x Rp. 50.000.000,- Rp. 7.500.000,-

30% x Rp.600.000.000,- Rp. 180.000.000,-


Jumlah Rp. 192.500.000,-

1. Brunei darussalam :
PPh yang dibayar 10% x Rp. 200.000.000,- = 20.000.000,-

Bagian penghasilan :
( Rp. 200.000.000,- / 700.000.000,- ) x Rp. 192.500.000 = Rp. 55.000.000,-

Kredit Pajak = Rp. 20.000.000,-

1. Filipina :
PPh yang dibayar 20% x Rp. 100.000.000 = Rp. 20.000.000,-

Bagian penghasilan :

( Rp. 100.000.000,- / 700.000.000,- ) x Rp. 192.500.000 = Rp. 27.500.000,-

Kredit Pajak = Rp. 20.000.000,-

1. Singapura :
PPh yang dibayar 30% x Rp. 200.000.000 = Rp. 60.000.000,-

Bagian penghasilan :

( Rp. 200.000.000,- / 700.000.000,- ) x Rp. 192.500.000 = Rp. 55.000.000,-

Kredit Pajak = Rp. 55.000.000,-

PPh yang harus dibayar di Indonesia :

Rp. 192.500.000,- Rp. 20.000.000,- Rp. 55.000.000,- = Rp. 97.500.000,-

1. G. Kompensasi Kerugian di Luar Negeri dan di Dalam Negeri


Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri
tidak boleh digabungkan atau dikompensasikan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh di Indonesia.

Sedangkan kerugian yang diderita di dalam negeri boleh digabungkan atau


dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar
negeri.

Contoh :

PT ABC mempunyai penghasilan dari :

Indonesia = Rp. 200.000.000,-

Inggris = Rp. 300.000.000,- (tarif berlaku 25%)

Belanda = Rp. 200.000.000,- rugi (tarif berlaku 10%)


Swedia = Rp. 200.000.000,- (tarif berlaku 10%)

PPh pasal 17 :

10% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 5.000.000,-

15% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 7.500.000,-

30% x Rp. 600.000.000,- = Rp. 180.000.000,-


= Rp. 192.500.000,-

PT MA berkedudukan di Jakarta, mempunyai PKP dari :

Indonesia = Rp. 200.000.000,- Rugi

Singapura = Rp. 300.000.000,- ( Tarif yang berlaku 20%)

Malaysia = Rp. 200.000.000,- ( Tarif yang berlaku 10%)

Hongkong = Rp. 400.000.000,- ( Tarif yang berlaku 15%)

PPh Pasal 17 :

10% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 5.000.000,-

15% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 7.500.000,-

30% x Rp. 600.000.000,- = Rp. 180.000.000,-


= Rp.
MATERI PPh PASAL 25
(Pembayaran Pajak Tahun Berjalan)
1. A. Pengertian Umum
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 adalah merupakan angsuran pajak penghasilan
yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan dalam tahun
pajak berjalan.

Angsuran pajak tersebut dijadikan kredit pajak terhadap pajak yang terutang
atas seluruh penghasilan wajib pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan
dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan

1. B. Besarnya angsuran PPh Pasal 25


1. Angsuran PPh Pasal 25 secara umum
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri adalah sebesar
pajak penghasilan terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang
dipotong atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 21,22,23,
dan 24.

Contoh :

Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun 2007
Rp. 100.000.000, PPh yang dipotong Pemberi Kerja Rp.
13.000.000,-, PPh yang dipungut pihak lain Rp. 6.000.000,- , kredit PPh luar
negeri Rp. 8.000.000,-.

Besarnya PPh Pasal 25 :

PPh terutang berdasarkan SPT 100.000.000,-

Dikurangi :

PPh Pasal 21 13.000.000,-


PPh Pasal 22 16.000.000,-

PPh Pasal 23 6.000.000,-

PPh Pasal 24 8.000.000,-


Jumlah 43.000.000,-

Angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan untuk tahun 2008 :

1/12 x Rp. 43.000.000,- = Rp. 4.750.000,-

2. Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan

Mengingat batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah 3 ( tiga ) bulan
setelah tahun pajak berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
sendiri oleh wajib pajak untuk bulan sebelum batas waktu SPT tersebut adalah
sama dengan besarnya angsuran pajak untuk tahun berakhir dari tahun pajak
yang lalu.

3. Surat Ketetapan Pajak sebagai dasar Penghitungan

Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu,
besarnya angsuran pajak dihitung berdasarkan SKP tahun pajak tersebut dan
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP

Contoh :

Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2007 diperoleh data sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak 600.000.000,-

PPh terutang berdasarkan tarif Pasal 17 125.000.000,-

Kredit Pajak 60.000.000,-

PPh Terutang 65.000.000,-

Angsuran PPh Pasal 25 :

1/12 x 65.000.000,- 5.416.667,-

Pada bulan September 2008 diterbitkan SKP dengan rincian :

Penghasilan Kena Pajak 800.000.000,-


PPh terutang berdasarkan tarif Pasal 17 185.000.000,-

Kredit Pajak 60.000.000,-

PPh Terutang 125.000.000,-

Angsuran PPh Pasal 25 Mulai Bulan Oktober 2008 :

1/12 x 125.000.000,- 10.416.667,-

4. Angsuran PPh Pasal 25 untuk setiap bulan dan setelah ada keputusan
Kelebihan Pajak

apabila Pajak Penghasilan yang terutang menurut SPT tahunan pajak yang lalu
lebih kecil dari jumlah pajak penghasilan yang dibayar, dipotong, dan dipungut
selama tahun pajak yang bersangkutan, sehingga wajib pajak mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pajak. Sebelum Dirjen Pajak memberikan
keputusan maka besarnya angsuran pajak setiap bulan sama dengan angsuran
pajak bulan terakhir dari tahun lalu. Tetapi setelah dikeluarkan keputusan maka
untuk bulan berikutnya setelah tanggal keputusan tersebut, dihitung
berdasarkan jumlah pajak yang terutang menurut keputusan tersebut.

1. C. Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25


1. PPh Pasal 25 harus disetor paling lambat tanggal 15 bulan
takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir.
2. Wajib pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa selambat lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir.
1. D. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal tertentu
:
Dalam hal tertentu Dirjen Pajak memberikan wewenang untuk menyesuaikan
angsuran PPh Pasal 25, apabila :

1.
1. Wajib Pajak berhak atas konpensasi kerugian
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
3. SPT Tahunan tahun lalu disampaikan setelah lewat batas
waktu yang ditentukan
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian SPT
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
7. Wajib Pajak yang baru memulai usaha / kegiatan
1. E. Penghitungan Pajak Pada Akhir Tahun ( PPh Pasal 28/29 )
Pada akhir tahun pajak, bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT diwajibkan
untuk melakukan perhitungan pajak yang terutang atas seluruh penghasilan
yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Pajak yang dibayar dapat terlebih dahulu dipotong atau dikurangkan dengan
kredit pajak, berupa :

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 22

Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 24

Pajak Penghasilan Pasal 25

1. PPh Pasal 29, dimana yang terutang lebih besar dari Kredit
Pajak
Apabila pajak penghasilan yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
besar daripada jumlah kredit pajak, kekurangan pajak tersebut harus dilunasi
paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum SPT
disampaikan.

Contoh :

Pajak Penghasilan Terutang 150.000.000,-

Kredit Pajak

Pajak Penghasilan Pasal 21 15.000.000,-

Pajak Penghasilan Pasal 22 20.000.000,-

Pajak Penghasilan Pasal 23 10.000.000,-

Pajak Penghasilan Pasal 24 15.000.000,-

Pajak Penghasilan Pasal 25 20.000.000,-


Jumlah Kredit Pajak 80.000.000,-

PPh Pasal 29
70.000.000,-
1. PPh Pasal 28, dimana yang terutang lebih Kecil dari Kredit
Pajak
Apabila kredit yang terutang untuk satu tahun pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak, setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran
pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan hutang pajak.

1. Pajak yang terutang Nihil


Hasil pengurangan pajak penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak
dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan adalah sama, maka
PPh terutang menjadi NIHIL, tetapi wajib pajak tetap diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan

Anda mungkin juga menyukai