Anda di halaman 1dari 13

SESI 11 Kredit Pajak WP Badan

Untuk menghitung PPh terutang pada akhir tahun hasil perhitungan PPh Terutang diatas harus dikurangi
dengan kredit pajak. Pada prinsipnya sama dengan PPh Orang Pribadi, bahwa Kredit Pajak ada yang
berupa pemotongan/pemungutan pihak lain dan yang dibayar sendiri.

Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa pajak yang
diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam
tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.

Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk
tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui Pemotongan/Pemungutan
pajak oleh pihak lain seperti :

1. Pemotongan PPh Pasal 21 dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan.
jasa atau kegiatan;
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan dari usaha;
3. Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan dari modal. jasa dan kegiatan tertentu.
4. dan Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 oleh Wajib Pajak sendiri.

Pelunasan pajak tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final. Semua Kredit Pajak yang dijelaskan dalam PPh Orang Pribadi berlaku untuk Wajib
Pajak Badan, kecuali PPh Pasal 21 yang khusus terutang untuk Subjek Pajak Orang Pribadi.

PPh Pasal 22

Pasal 22 ayat (1) UU PPh menjelaskan Menteri Keuangan dapat menetapkan : bendahara pemerintah
untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan
tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain, dan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana
diatas diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 22 UU PPh, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah:

1. bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,


instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan
pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah
pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;
2. badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang
tertentu antara lain otomotif dan semen; dan

3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan
dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang
tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal
pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan
sangat mewah.

Besarnya pungutan PPh Pasal 22 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 100% (seratus persen) dari pada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP.

Pemungut PPh Pasal 22 (diatur dalam PMK No. 34/PMK.010/2017 sebagaimana terakhir kali dirubah
dengan PMK No. 41/PMK.010/2022)

a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:


1. impor barang; dan
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang
dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya.
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan
dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi
delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. badan usaha tertentu meliputi:
1. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan;
2. badan usaha dan Badan Usaha Milik Negara yang merupakan basil dari restrukturisasi yang
dilakukan oleb Pemerintah, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham
milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, meliputi
PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk
Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power,
PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT
Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma
Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT
Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank
Syariah Mandiri, PT Bank BRISyariah, dan PT Bank BNI Syariah,

berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya;

f. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan basil produksinya kepada distributor di
dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
h. produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan
bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i. badan usaha industri atau eksportir yang rnelakukan pernbelian bahan-bahan berupa hasil
kehutanan, perkebunan, pertanian, petemakan, dan perikanan yang belurn rnelalui proses
industri rnanufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspomya;
j. badan usaha yang rnelakukan pernbelian kornoditas tarnbang batubara, mineral logarn, dan
mineral bukan logarn, dart badan atau orang pribadi pernegang izin usaha pertarnbangan; atau
k. badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan di dalarn negeri.
l. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 253/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 92/PMK.03/2019, pemerintah menambahkan
pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang
tergolong sangat mewah.

Tarif PPh Pasal 22 (diatur dalam PMK No. 34/PMK.010/2017)

1. BENDAHARA PEMERINTAH
Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Pembelian barang di atas Rp 2.000.000 dalam jumlah yang tidak
Objek Pajak
terpecah-pecah
Tarif PPh Pasal 22 = 1.5% x Nilai Pembelian (excl. PPN)
Sifat Tidak Final
Saat terutang Saat pembayaran
Saat penyetoran Disetor dalam hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran
Saat pelaporan Dilaporkan paling lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir
Contoh :
Departemen Agama membeli 10 buah AC dari PT Jaya Negeriku dengan harga per unit Rp 3.000.000
(tidak termasuk PPN). PPh Pasal 22 yang harus dipungut
= 1.5% x (10 x Rp 3.000.000)
= 1.5% x Rp 30.000.000
= Rp 450.000
PPh Pasal 22 ini dipungut oleh Bendaharawan Departemen Agama dan SSP disetor oleh
Bendahara atas nama dan NPWP rekanan.

2. BUMN
Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Pembelian barang di atas Rp 10.000.000 dalam jumlah yang tidak
Objek Pajak
terpecah-pecah
Tarif PPh Pasal 22 = 1.5% x Nilai Pembelian (excl. PPN)
Sifat Tidak Final
Saat terutang Saat pembayaran
Saat penyetoran Disetor dalam hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran

Saat pelaporan Dilaporkan paling lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir
Contoh :
PLN membeli 10 buah Mesin dari PT Jaya dengan harga per unit Rp 33.300.000 (termasuk PPN). PPh
Pasal 22 yang harus dipungut
= 1.5% x (100/111 x Rp 33.300.000)
= 1.5% x Rp 30.000.000
= Rp 4.500.000
PPh Pasal 22 ini dipungut oleh PLN dan SSP disetor oleh PLN atas nama dan NPWP rekanan.

3. Bank Devisa dan Ditjen Bea Cukai


Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Objek Pajak Impor Barang
1. Importir dengan API = 2.5% x nilai impor
2. Importir non API =7.5% x nilai impor
3. Barang tidak dikuasai =7.5% x nilai lelang
4. Tarif pembebanan tunggal sebesar 10% dari nilai impor, dengan atau
Tarif
tanpa menggunakan API untuk barang tertentu yang tercantum
dalam Lampiran PMK 34/2017.
API (Angka Pengenal Impor)
Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, Freight)
Sifat Tidak Final
Saat pembayaran Bea Masuk
Saat terutang
Penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
Saat penyetoran Disetor dalam jangka waktu sehari sejak pemungutan dilakukan
Dilaporkan secara mingguan paling lambat 7 hari setelah batas waktu
Saat pelaporan
penyetoran pajak berakhir
Contoh:
PT Importa mengimpor mesin industri dengan nilai CIF US$ 10.000 , Bea masuk 25%, PPN 10% dan
PPnBM 25%. Diketahui kurs tengah BI Rp 9.000 dan kurs KMK Rp 9.200 per dolar, PT Importa juga sudah
mempunyai API. PPh Pasal 22 yang harus dipungut:

CIF = $ 10.000
Bea Masuk = $ 2.500
Nilai lmpor = $10.000 + $ 2.500
= $ 12.500 x Rp 9.200
= Rp 118.750.000
PPh Pasal 22 = 2.5% x Rp 118.750.000
= Rp 2.968.750
PPh Pasal 22 ini disetor sendiri oleh PT Importa ke Bank Devisa atau dipungut oleh Dirjen
Bea Cukai pada saat pelunasan Bea Masuk.

4. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas
Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Objek Pajak penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas
• Bahan Bakar Minyak
1. 0.25% dari penjualan (excl. PPN)
untuk penjualan kepada SPBU yang menjual bahan bakar rninyak yang
dibeli dari Pertamina atau anak perusahaan Pertamina
2. 0.3% x Nilai pembelian (excl. PPN)
Tarif untuk penjualan kepada SPBU yang menjual bahan bakar rninyak yang
dibeli selain dari Pertamina atau anak perusahaan Pertamina
3. 0.3% x Nilai pembelian (excl. PPN)
untuk penjualan kepada pihak selain SPBU
• bahan bakar gas sebesar 0,3% dari penjualan (excl. PPN)
• pelumas sebesar 0,3% dari penjualan (excl. PPN)
Final untuk penyalur/agen
Sifat
Tidak Final untuk selain penyalur/agen
Saat terutang Saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order)
Saat penyetoran Disetor sendiri oleh WP sebelum penebusan Delivery Order
Saat pelaporan Dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir

Contoh:
PT Sakti, pemilik SPBU Swasta (bukan Pertamina), membeli solar ke PERTAMINA selaku produsen
BBM dengan nilai sebesar Rp 100.000.000. PPh Pasal 22 yang harus dipungut
= 0.3% x Rp 100.000.000
= Rp 300.000
5. Badan Usaha Tertentu
Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri
Badan Usaha
farmasi
Objek Pajak Penjualan hasil produksinya di dalam negeri
1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% x DPP PPN
2. penjualan kertas sebesar 0,1 % x DPP PPN
3. penjualan baja sebesar 0,3% x DPP PPN
Tarif
4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak
termasuk alat berat, sebesar 0,45% x DPP PPN
5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% x DPP PPN
Sifat Tidak Final
Saat terutang Saat penjualan
Saat penyetoran Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
Saat pelaporan Dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir
Contoh:
PT Mulia Sejahtera membeli baja senilai Rp 50.000.000 (tidak termasuk PPN) ke PT Krakatau
Wajatama. PPh Pasal 22 yang harus dipungut
= 0.3% x Rp 50.000.000
= Rp 150.000
PT Krakatau Wajatama harus memungut PPh Pasal 22 ini pada saat penjualan

6. Industri/Eksportir Di Bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan


Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Industri/Eksportir Di Bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan,
Pemungut dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak
Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor
Objek Pajak
dari pedagang pengumpul
Tarif PPh Pasal 22 = 0.25% x Nilai Pembelian (excl. PPN)
Sifat Tidak Final
Saat terutang Saat pembelian
Saat penyetoran Disetor paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
Saat pelaporan Dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir
Contoh:
PT Jaya Sejahtera. industri plywood.membeli kayu dari pedagang pengumpul senilai Rp80.000.000
(tidak termasuk PPN). PPh Pasal 22 yang harus dipungut
= 0.25% x Rp 80.000.000
= Rp 200.000
PPh Pasal 22 ini harus dipungut oleh PT Jaya Sejahtera pada saat pembelian kayu dari
pedagang pengumpul.
7. Badan Selaku Penjual Barang Yang Tergolong Sangat Mewah (PMK No. 92/PMK.03/2019)
Pengenaan pajaknya ditentukan sebagai berikut:
Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
yaitu:
a. pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi;
b. kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya;
c. rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya
lebih dari Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) atau luas
bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi);
d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah)
Pemungut
atau luas bangunan lebih dari 150m2 (seratus lima puluh meter persegi);
e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10
orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle
(MPV), minibus, dan seJemsnya, dengan harga jual lebih dari
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau dengan kapasitas silinder
lebih dari 3.000cc; dan/ atau
f. kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau dengan kapasitas silinder
lebih dari 250cc.
Objek Pajak Penjualan barang-barang yang tergolong sangat mewah oleh badan
Untuk huruf c dan d tarif PPh Pasal 22 = 1% x Harga Jual (excl. PPN dan
PPnBM)
Tarif
Untuk huruf a, b, e dan f tarif PPh Pasal 22 = 5% x Harga Jual (excl. PPN dan
PPnBM)
Sifat Tidak Final
Saat terutang Saat penjualan
Saat penyetoran Disetor paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
Saat pelaporan Dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir
Contoh:
PT Mobil Wow melakukan penjualan sebuah mobil merek BMWow seri terbaru senilai Rp 6 milyar
(tidak termasuk PPN dan PPnBM). PPh Pasal 22 yang harus dipungut
= 5% x Rp6.000.000.000
= Rp 300.000.000
PPh Pasal 22 ini harus dipungut oleh PT Mobil Wow pada saat penjualan mobil tersebut.

Catatan :

1. Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atau Bukan Objek Pajak PPh 22
(diatur dalam PMK No. 34/PMK.010/2017 Pasal 3)
2. PPh 22 Atas Penjualan/Penyerahan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan Yang Bahan
Seluruhnya Bukan Dari Emas, Batu Permata Dan/Atau Batu Lainnya Yang Sejenis, Serta Jasa
Yang Terkait Dengan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan Yang Bahan Seluruhnya
Bukan Dari Emas, Dan/Atau Batu Permata Dan/Atau Batu Lainnya Yang Sejenis, Yang
Dilakukan Oleh Pabrikan Emas Perhiasan, Pedagang Emas Perhiasan, Dan/ Atau Pengusaha
Emas Batangan (diatur dalam PMK No. 48 Tahun 2023)

1) Menteri menunjuk Pihak Lain untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau


pelaporan Pajak Penghasilan atas penjualan:
a. Emas Perhiasan; dan/atau
b. emas batangan.
2) Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pengusaha Emas Perhiasan
dan/atau Pengusaha emas batangan, sebagai subjek pajak dalam negeri yang terlibat
langsung dalam transaksi.
3) Pengusaha Emas Perhiasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Pabrikan Emas Perhiasan; dan
b. Pedagang Emas Perhiasan.
4) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Pajak Penghasilan Pasal
22.
5) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
yaitu sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen) dari Harga Jual Emas Perhiasan
dan/atau Harga Jual emas batangan.

Contoh:
PT A merupakan Pabrikan Emas Perhiasan dan Tuan B merupakan Pedagang Emas
Perhiasan. PT A dan Tuan B telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Tuan B
berstatus sebagai pemberi kerja yang mempekerjakan beberapa pegawai. Baik PT A
maupun Tuan B tidak memiliki Surat Keterangan dan surat keterangan bebas
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. Dalam masa pajak Oktober 2023, PT A
melakukan penyerahan Emas Perhiasan sebagai berikut:
1) penyerahan Emas Perhiasan hasil produksi sendiri kepada Tuan B dengan total
Harga Jual sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
2) penyerahan Emas Perhiasan hasil produksi sendiri kepada Konsumen Akhir dengan
total Harga Jual sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

Dengan demikian, atas penyerahan Emas Perhiasan sebesar:

1) Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), PT A wajib memungut Pajak Penghasilan


Pasal 22 sebesar 0,25% x Rp1.000.000.000,00 = Rp2.500.000,00;
2) Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), PT A tidak memungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 karena pembelinya merupakan Konsumen Akhir;
PPh Pasal 23

Pasal 23 ayat (1) UU PPh menjelaskan Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam
bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya
oleh badan pemerintah, Subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan :

Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud tabel
diatas tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%
(seratus persen) dari pada tarif sebagaimana dimaksud diatas. Pemotong Pajak wajib untuk menerbitkan
bukti potong PPh Pasal 23 yang akan menjadi dasar untuk melakukan pengkreditan oleh yang wajib
potong.

PPh Pasal 24 (Kredit Pajak Luar Negeri)

Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi
karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri ketentuan ini
mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam
negeri.
Pasal 24 ayat (1) UU Pajak Penghasilan : Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri
atas penghasilan dari luar negeri yang diterima/diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh
dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan
dalam tahun pajak yang sama.

Tata cara pengkreditan pajak yang dipotong Luar Negeri adalah sebagai berikut:
(Keputusan Menkeu Nomor: 164/KMK.03/2002 Tentang Kredit Pajak Luar Negeri)

1. Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan dengan cara :
a. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
b. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
c. untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan
deviden tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
2. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena
Pajak.
3. Jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling tinggi sama dengan jumlah pajak
yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu.
4. Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang
atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena
Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
5. Apabila Penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak
dilakukan untuk masing-masing negara.
6. Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit
pajak yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak
dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.
7. Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan
kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
b. Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
8. Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dilakukan
bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 24 ayat (5) UU Pajak Penghasilan : Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri
yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang
terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan
Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri,
sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya
perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut
Undang-undang Pajak Penghasilan. Misalnya dalam tahun 2013, Wajib Pajak mendapat pengurangan
pajak atas penghasilan luar negeri tahun pajak 2012 sebesar Rp 5.000.000 yang semula telah termasuk
dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 2012, maka
jumlah sebesar Rp 5.000.000 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun
pajak 2013.
PPh Pasal 25

Sistem perpajakan kita menganut prinsip convenience to pay yang berarti bahwa wajib pajak diharapkan
membayar pada saat yang paling menguntungkan dirinya. Salah satu contohnya adalah membayar
angsuran pajak tiap bulan. Dengan adanya pembayaran angsuran pajak maka wajib pajak lebih ringan
bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi
pemerintah akan ada cash inflow untuk pembiayaan negara.

Pasal 25 ayat (1) UU Pajak Penghasilan : Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, dikurangi
dengan:
• Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta
Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
• Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Dalam menentukan besarnya PPh Pasal 25 setiap bulan, pajak mengasumsikan kondisi usaha wajib pajak
di tahun depan minimal sama dengan kondisi usaha tahun sekarang. Dengan asumsi tersebut pajak
menganggap besarnya PPh yang harus dibayar sendiri ditahun depan besarnya juga sama dengan jumlah
yang dibayar sendiri di tahun sekarang.

Contoh Kasus :

PPh yang terutang berdasarkan perhitungan PPh Badan tahun 2022 PT XYZ adalah Rp50.000.000, maka
perhitungan angsuran PPh Pasal 25 adalah sebagai berikut:

PPh terhutang tahun pajak 2022 Rp 50.000.000


Dikurangi:
b) PPh Pasal 22 Rp 10.000.000
c) PPh Pasal 23 Rp 15.000.000
d) PPh Pasal 24 (KPLN) Rp 10.000.000 (+)
Jumlah Kredit Pajak Rp 35.000.000 (-)
Selisih Rp 15.000.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2023 adalah sebesar Rp
1.250.000 (Rp 15.000.000 dibagi 12). Apabila Pajak Penghasilan tersebut berkenaan dengan penghasilan
yang diterima/diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 bulan dalam tahun 2022,
besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2023 adalah sebesar Rp
2.500.000 (Rp 15.000.000 dibagi 6).
Perhitungan Pajak Akhir Tahun

Perhitungan akhir tahun untuk Wajib Pajak Badan sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan mengatur bahwa bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang
terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa :
- Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain;
- Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, dan imbalan jasa;
- PPh Pasal 24 (KPLN) yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh
dikreditkan;
- Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri;
- Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) Undang-
undang Pajak Penghasilan.

Pasal 28 ayat (2) : Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa sanksi administrasi berupa
bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
peraturan perUndang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan
pajak yang terhutang

Contoh:
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan. baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yang
dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir
tahun pajak yang bersangkutan.
PPh yang terutang Rp 80.000.000
Kredit Pajak :
Pemungutan PPh Pasal 22 Rp 10.000.000
Pemotongan PPh Pasal 23 Rp 10.000.000
PPh Pasal 24 (KPLN) Rp 15.000.000
Angsuran PPh Pasal 25 Rp 10.000.000 (+)
Jumlah PPh yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000 (-)
PPh yang masih harus dibayar (Pasal 29) Rp 35.000.000

Pajak Yang Lebih Bayar (Pasal 28 A)

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan. Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan
pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.

Anda mungkin juga menyukai