Anda di halaman 1dari 33

SUBJEK DAN OBJEK DARI PPH

Landasan hukum PPh Pasal 22 adalah UU No. 36 Tahun 2008. Undang-undang


menyebutkan objek pajak PPh Pasal 22 adalah barang yang dianggap “menguntungkan”.
Menguntungkan disini maksudnya adalah baik penjual maupun pembeli sama-sama bisa
mengambil keuntungan dari transaksi perdagangan tersebut. Secara spesifik, subjek pajak
PPh Pasal 22 meliputi Badan Usaha (industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi),
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), produsen atau importir bahan bakar minyak, badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja, dan pedagang pengumpul (pengumpul
hasil hutan, perkebunan, pertanian, dsb).

Selain itu, penjualan barang mewah, seperti pesawat udara pribadi dengan harga jual
lebih dari Rp20.000.000.000, penjualan kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih
dari Rp10.000.000.000, dan penjualan rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000, juga dikenakan PPh Pasal 22 ini.

Yang berwenang menjadi pemungut PPh Pasal 22 adalah Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai (DJBC) dan Bank Devisa yang mengurusi pemungutan PPh Pasal 22 untuk objek pajak
terkait impor serta Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Dan Bendahara Pemerintah yang
melakukan pemungutan PPh Pasal 22 pada Pemerintah, baik pusat maupun daerah, instansi,
serta lembaga negara lainnya, terkait dengan pembayaran serta pembelian barang. Dari
penjelasan tersebut, bisa diketahui bahwa PPh Pasal 22 memiliki subjek dan objek pajak yang
beragam yang telah ditentukan Pemerintah sebagaimana dalam penjelasan tadi.

Kebijakan Tarif PPh Pasal 22

Mengingat bervariasinya objek pajak PPh Pasal 22, perlu dipahami secara mendalam
penentuan tarif dan besaran tarifnya. Berikut adalah besaran tarif serta penghitungan tarif
PPh Pasal 22.

1. Untuk Impor

Jika menggunakan Angka Pengenal Importir (API), tarif yang dikenakan adalah 2,5% x nilai
impor. Sementara untuk non-API, tarifnya sama dengan 7,5% x nilai impor dan untuk impor
yang tidak dikuasai dikenakan tarif 7,5% x harga jual lelang.

2. Untuk Pembelian Barang


Jika pembelian barang dilakukan Bendahara Pemerintah, DJPB, dan BUMN/BUMD, tarif yang
dikenakan adalah 1,5% x harga pembelian belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
tidak final.
3. Untuk Penjualan Hasil Produksi

Sebagaimana ditetapkan lewat Keputusan Direktur Jenderal Pajak, barang yang kena Pajak
PPh Pasal 22 meliputi: semen (tarif 0,25% x DPP PPN), kertas (tarif 0,1% x DPP PPN), produk
baja (0,3% x DPP PPN), dan produk otomotif (0,45% x DPP PPN). Semua tarif tersebut
bersifat tidak final.

4. Untuk Pembelian Bahan-Bahan Untuk Keperluan Industri

Jenis ini juga dikenakan kepada eksportir dan pedagang pengumpul dengan tarif 0,25 % x
harga pembelian dan ini tidak termasuk PPN.

5. Untuk impor kedelai, gandum, dan tepung terigu

Jika menggunakan API, tarif yang dikenakan sebesar 0,5% x nilai impor.

Pengecualian terhadap Pemungutan PPh Pasal 22

Besarnya lingkup objek pajak yang diatur dalam PPh Pasal 22 menyisakan beberapa
pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22, yaitu:

 Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan tidak terutang PPh berdasarkan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22
yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak.

 Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk termasuk impor yang dilakukan ke
dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang tersebut dikeluarkan untuk
impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE).

 Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan pada belanja negara/daerah yang
meliputi jumlah kurang dari Rp2.000.000 (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah).

 Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda
pos, dan telepon.

Ilustrasi Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 22 dan PPN oleh Bendahara Pemerintah

Agar lebih paham, berikut ini ilustrasi besarnya pungutan dan kewajiban pemungut dalam
aplikasi PPh Pasal 22 ini.
Pada 20 Februari 2015, Bendahara membeli 4 (empat) printer dari PT Super Komputindo
(NPWP/NPPKP 01.222.355.5-063.000) dengan harga beli Rp22.000.000 (harga termasuk
PPN).

Besarnya pemungutan pajak atas pembelian printer tersebut adalah:

Pemungutan PPh

 Harga pembelian = 22.000.000

 Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000 (100/110 X 22.000.000)

 PPh Pasal 22 (1,5% x 20.000.000) = 300.000

Pemungutan PPN:

 Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000

 PPN (10% x 20.000.000) = 2.000.000

Kewajiban Bendahara

 Melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi dengan data Wajib Pajak PT
Super Komputerindo.

 Menyetorkan PPh Pasal 22 dan PPN.

PPh Pasal 22 diberlakukan pada banyak subjek pajak, baik milik pemerintah maupun swasta,
yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor. Pemberlakuan bahkan
meluas sampai ke perdagangan barang yang dianggap "menguntungkan’. Sebab PPh Pasal 22
dapat dikenakan saat penjualan ataupun pembelian. Adalah perlu untuk mencermati dan
memahami sepenuhnya segala hal terkait PPh Pasal 22. Dengan begitu, bisa diketahui dengan
pasti apakah badan usaha Anda masuk sebagai subjek pajak. Dan transaksi pembelian yang
Anda atau badan usaha Anda dikategorikan sebagai objek pajak PPh Pasal 22 atau tidak.

https://www.cermati.com/artikel/tarif-dan-perhitungan-pph-pasal-22-yang-pengusaha-
wajib-tahu
Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)

PPh Pasal 22 atau Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu,
baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor
dan re-impor. Melalui penerbitan peraturan No. 90/PMK.03/2015, pemerintah melebarkan
badan-badan yang berhak memungut PPh Pasal 22 yaitu menjadi wajib pajak badan yang
melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)

Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh
Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak
terhadap Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat
sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif
lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23. PPh Pasal 22
dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik Pemerintah maupun swasta, yang
melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor.Sementara untuk PPh Pasal 21,
yang menjadi objek pajaknya adalah gaji, honorarium, upah, ataupun tunjangan dan
penerimaan apa pun yang terkait dengan jabatan atau pemberian jasa. Sementara pada PPh
Pasal 23, objek pajaknya adalah modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan selain
yang terkena potongan PPh Pasal 21. Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap
perdagangan barang yang dianggap ‘menguntungkan’, sehingga baik penjual maupun
pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah, PPh Pasal
22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.

Pemungut PPh Pasal 22

Bendahara & badan-badan yang memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari pembelian adalah:

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal
22 impor barang;

2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut


pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga
Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang;

3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang


dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);

4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);

5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:

o PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT


Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya
(Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero);

o Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas


pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.

6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,


pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang
pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.

7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan.

Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat penjualan
adalah:

1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;

2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;

4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan
industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan
industri hilir.

5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:

o mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan


perikanan; dan

o menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan.

6. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015, pemerintah


menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Objek PPh Pasal 22

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2016, lihat lampiran berikut ini
mengenai objek PPh Pasal 22 berupa impor barang-barang mewah tertentu.

Tarif PPh Pasal 22

1. Atas impor:

o yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;

o non-API = 7,5% x nilai impor;

o yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.

2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,


BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)

3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal


Pajak, yaitu:

o Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)

o Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)

o Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)


o Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)

4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:

o Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain


penyalur/agen bersifat tidak final

5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)

6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan
API = 0,5% x nilai impor.

7. Atas penjualan

o Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-

o Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-

o Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.

o Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau


pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih
dari 400 m2.

o Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang


berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv),
minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5%
dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal
22.

Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22

Berikut ini adalah daftar pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22:

1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut, harus
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.

2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:


o yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga
barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan
Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat penimbunan
barang dagangan karena pengimpornya tidak membayar bea masuk
sebagaimana mestinya;

o sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969


tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir
dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun
1973;

o berupa kiriman hadiah;

o untuk tujuan keilmuan.

3. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja


negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan merupakan
jumlah yang dipecah-pecah).

4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos, dan telepon.

Pembayaran PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan. Maksudnya, pada akhir tahun, cicilan ini
akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau PPh orang pribadi.

PPh Pasal 22 yang berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke bank
persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi. Transaksi yang wajib
dibayar langsung adalah transaksi yang berkaitan dengan impor dan bendahara.

Kewajiban Membuat Bukti Pungut

Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat bukti pungut juga wajib menyetor PPh yang
dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi, kemudian melaporkannya dalam
SPT Masa PPh Pasal 22.

Sedangkan pihak yang dipungut mendapat bukti pungut dan dapat dikreditkan pada akhir
tahun di SPT Tahunan.
Penjualan bahan bakar minyak dan gas ke agen atau penyalur dikenakan atas PPh bersifat
final. Artinya, wajib pajak yang hanya memiliki usaha tersebut, maka hanya wajib lapor SPT
Tahunan yang dilampiri bukti potong.

e-Filing PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 dilaporkan paling lambat tanggal 20 setiap bulannya. Melalui e-Filing di
OnlinePajak, caranya mudah dan cepat, serta tak perlu antre lagi. Cukup impor file CSV SPT
Masa PPh Pasal 22 dari software e-SPT keOnlinePajak.!

https://www.online-pajak.com/pph-pajak-penghasilan-pasal-22

Pengertian PPN (Pajak Pertambahan Nilai) , Subjek, Objek Dan Dasar Hukum “UU”

Mardiasmo (2009)

Pajak Pertambahan Nilai diakui sebagai pengganti dari Pajak Penjualan. Alasannya karena
Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan
belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan
penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.

Suparmono (2009)

Pengertian pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri
(daerah pabean) baik konsumsi BKP atau JKP.

Sukardji (2000)

Definisi pajak Pertambahan Nilai adalah “pengenaan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi
baik yang dilakukan perseorangan maupun badan baik baik badan swasta maupun badan
pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja
negara”.

Subjek Dan Objek Pajak Pertambahan Nilai


Objek pajak pertambahan nilai yang diakui oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
dengan Pasal 4, Pasal 16 C, dan 16 D tentang Pajak Pertambahan Nilai adalah:

1. Penyerahan barang kena pajak dalam daerah pabean oleh pengusaha.


2. Impor barang kena pajak.
3. Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
4. Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5. Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
6. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain yang batasan dan tatacaranya diatur dengan keputusan menteri
keuangan.
7. Penyerahan aktiva oleh pengusaha kena pajak yang menurut tujuan semula aktiva
tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang pajak pertambahan nilai yang
dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

Subjek pajak pertambahan nilai diantaranya adalah:

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang menyerahkan BKP (Barang Kena Pajak) / JKP
(Jasa Kena Pajak) yang dikenakan pajak menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM (tidak
termasuk pengusaha kecil). Pengusaha kena pajak diakui sebagai WP (Wajib Pajak) dengan
kriteria jumlah peredaran/penerimaan bruto lebih dari Rp. 600.000.000. Contoh PKP adalah
importir, pedagang besar (distributor), pabrikan /agen utama dsb.

2. Pengusaha Kecil yang memilih dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

3. Orang atau pribadi yang memanfaatkan BKP/JKP

Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak

1. Barang Kena Pajak (BKP)

UU No. 42 Tahun 2009


Pengertian barang kena pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat hukumnya berupa
barang bergerak atau tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang menurut UU
dikenakan pajak.

Mardiasmo, (2008)

Definisi barang kena pajak adalah barang yang sifat hukumnya berupa barang bergerak,
barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak UU PPN.

Waluyo (2011)

Barang kena pajak adalah barang yang sifat hukumnya berupa barang bergerak, barang
tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak UU PPN dan PPnBM.

2. Jasa kena pajak (JKP)

Menurut UU No. 18 Tahun 2000 dan No. 42 Tahun 2009 pasal 1 angka (6)

JKP adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan perbuatan hukum yang memberikan
kemudahan/menyediakan fasilitas termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
pesanan.

Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Undang-Undang yang mengatur tentang pajak pertambahan nilai (PPN) barang dan jasa dan
pajak penjualan atas barang mewah adalah UU No. 42 Tahun 2009. Setelah sebelumnya
mengalami perubahan dari UU No. 8 Tahun 1983, selanjutnya diubah menjadi UU No. 11
Tahun 1994 dan berubah lagi dengan UU No. 18 Tahun 2000.

Itulah tadi pembahasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pengertian, Subjek, Objek Dan
Dasar Hukum “UU”. Semoga bermanfaat untuk menambah wawasan kita. Terimakasih
banyak atas kunjungannya. 🙂

https://www.akuntansilengkap.com/pajak/pajak-pertambahan-nilai-ppn-pengertian-subjek-
objek-dan-dasar-hukum-uu/

Pengertian Wajib Pajak Beserta Hak Dan Kewajiban Menurut Para Ahli
Pengertian Wajib Pajak , Beserta Hak Dan Kewajiban Menurut Para Ahli – Peraturan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemungutan dan penentuan Wajib Pajak (WP),
dalam pelaksanaannya tentu telah diatur dalam undang-undang perpajakan (Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 Tentang KUP, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh
dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM, serta peraturan
pelaksanaannya) yang dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Pajak beserta instansi publik
terkait. Wajib pajak memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan diterima agar
tidak menyalahi aturan yang ada

A. Pengertian Wajib Pajak

Dalam Undang-undang nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Pasal 1 ayat 2 disebutkan pengertian Wajib Pajak yaitu:

Wajib Pajak merupakan orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban.,
meliputi pembayar pajak, pemungut pajak, pemotong pajak, yang diatur dalam perundang-
undangan perpajakan. Wajib Pajak bukan hanya bagi orang yang sudah memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) saja, namun juga bagi yang sudah memenuhi persyaratan sebagai wajib
pajak meskipun belum memiliki NPWP.

B. Kelompok Wajib Pajak

Berdasarkan subjeknya

Berdasarkan subjeknya, wajib pajak dibedakan menjadi wajib pajak orang pribadi, wajib
pajak badan dan pajak Bendahara sebagai pemungut dan pemotong pajak.

1. Wajib Pajak Orang Pribadi

1. Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Mempunyai Penghasilan Dari Usaha.

2. Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Mempunyai Penghasilan Dari Pekerjaan Bebas.

3. Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Mempunyai Penghasilan Dari Pekerjaan.

2. Wajib Pajak Badan

1. Badan milik Pemerintah (BUMN dan BUMD).

2. Badan milik Swasta (PT, CV, Koperasi, Lembaga dan Yayasan).


3. Wajib Pajak Bendahara Sebagai Pemungut dan Pemotong Pajak

1. Bendahara Pemerintah Pusat.

2. Bendahara Pemerintah Daerah.

Berdasarkan tempat terdaftarnya

Berdasarkan tempat terdaftarnya, maka Wajib Pajak terdiri dari :

1. Wajib Pajak Domisili atau Tunggal.

2. Wajib Pajak Pusat.

3. Wajib Pajak Cabang dan Wajib Pajak Orang Pribadi Tertentu.

C. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Baik Orang pribadi maupun pemotong / pemungut pajak dan sudah memenuhi syarat objektif
dan subyektif sebagai Wajib Pajak, maka orang/badan tersebut sudah terdapat hak dan
kewajiban pajak. (Baca juga: pengertian dan subjek pajak pertambahan nilai )

D. Kewajiban Wajib Pajak

Berikut ini adalah kewajiban Wajib Pajak:

1. Mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apabila orang
pribadi sudah memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) maka sudah
wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

2. Kewajiban untuk membayar, memungut atau memotong dan melaporkan pajak yang
terutang.

3. Kewajiban dalam hal diperiksa contohnya adalah pada saat diminta oleh tim permeriksa
untuk menunjukkan atau meminjamkan dokumen-dokumen pendukung. Wajib hadir memenuhi
panggilan pada saat diperiksa dan lain-lain.

4. Kewajiban memberikan data. Bagi pihak ketiga, termasuk instansi pemerintah, badan
lembaga asosiasi dan yang lain harus memberikan data yang diminta oleh Kantor Pelayanan
Pajak.

E. Hak Wajib Pajak


Berikut ini adalah hak-hak wajib pajak yang telah diatur dalam undang-undang diantaranya:

1. Hak atas kelebihan pajak. Setiap pembayaran yang dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak
memiliki sisa (kelebihan) pembayaran dapat di kembalikan atau (direstitusikan).

2. Hak dalam pemeriksaan . wajib pajak memiliki hak untuk menanyakan Surat Perintah
Pemeriksaan, hak meminta tanda pengenal petugas pemeriksa. Hak penjelasan dilakukannya
pemeriksaan. Hak hadir dalam pembahasan hasil masalah pemeriksaan.

3. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan peninjauan kembali atas hasil pemeriksaan.

4. Hak untuk dijaga kerahasiaan data Wajib Pajak, dan lain-lain.

https://www.akuntansilengkap.com/akuntansi/pengertian-wajib-pajak-beserta-hak-dan-
kewajiban-menurut-para-ahli/

Objek PPnBM: Barang Mewah Kena Pajak

Sesuai dengan nama jenis pajak ini, objek PPnBM merupakan Barang Kena Pajak (BKP) yang
masuk kategori mewah. Apa syaratnya sebuah BKP dapat dikatakan barang mewah? Baca
ulasan selengkapnya mengenai objek PPnBM di bawah ini.

Tentang PPnBM

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan atas Barang Kena
Pajak (BKP) yang mewah. Adanya PPnBM ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan beban
pajak antara konsumen yang memiliki penghasilan tinggi dengan konsumen yang memiliki
penghasilan rendah.

Selain itu, PPnBm juga bertujuan untuk mengendalikan pola konsumsi atas BKP mewah dan
memberikan perlindungan kepada pengusaha lokal dalam memasarkan dagangannya.

Pemungutan PPnBM hanya dilakukan sekali saja, yaitu pada saat penyerahan BKP oleh
produsen atau pabrikan ke konsumen dan pada saat impor BKP tergolong mewah tersebut.
Bila dilihat dari tarifnya sendiri, tarif PPnBM tergolong lebih besar ketimbang PPN.
Jika PPN memiliki tarif sebesar 10%, berbeda dengan PPnBM yang tarifnya diatur
berdasarkan jenis BKP mewah sesuai peraturan dan undang-undang yang berlaku.

Objek PPnBM

Beberapa dari Anda mungkin masih merasa kebingungan, mengapa Anda harus membayar
objek PPnBM seperti mobil, motor, atau BKP mewah lainnya dengan sangat mahal.

Terutama barang otomotif seperti mobil dan motor. Mahalnya objek PPnBM yang tergolong
mewah tersebut disebabkan atas pembelian barang-barang mewah akan dikenakan PPnBM.

Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1984 yang kini sudah mengalami perubahan yakni UU Nomor
42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, yang termasuk dalam objek PPnBM adalah sebagai berikut:

1. Objek PPnBM merupakan barang-barang kebutuhan pokok.

2. Objek PPnBM hanya dikonsumsi oleh orang-orang atau masyarakat tertentu.

3. Objek PPnBM umumnya hanya dikonsumsi oleh orang-orang yang memiliki penghasilan
tinggi.

4. Objek PPnBM dikonsumsi demi status atau untuk menunjukkan status sosialnya.

Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, maka tidak heran harga mobil dan motor yang
tergolong mewah/objek PPnBM ini memang tidak tanggung-tanggung mahalnya.

Tarif PPnBM

Berdasarkan Pasal 8 UU Nomor 42 Tahun 2009, tarif PPnBM dikelompokan menjadi 2, yakni:

o Tarif PPnBM atas kendaraan bermotor.

o Tarif PPnBM atas non kendaraan bermotor.

Setiap pengelompokan tarif PPnBM ini memiliki regulasi yang berbeda tergantung dari jenis
objek PPnBM-nya. Tarif PPnBM kendaraan bermotor diatur dalam PMK Nomor
33/PMK.010/2017. Sedangkan tarif PPnBM non kendaraan bermotor diatur dalam PMK
Nomor 35/PMK.010/2017.

Namun, secara keseluruhan, berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009,


tarif PPnBM ditetapkan paling rendah sebesar 10%, paling tinggi sebesar 200%. Namun, jika
pengusaha melakukan aktivitas ekspor BKP tergolong mewah, maka akan dikenakan pajak
dengan tarif 0%.

Formulir Pelaporan PPnBM

Dalam melaporkan PPnBM atas pembelian objek PPnBM, wajib pajak harus menggunakan
formulir SPT Masa PPN 1111. Apabila transaksi jual beli antara BKP yang menjadi objek
PPnBM, PPN, dan PPN impor, maka dapat dilaporkan secara bersamaan. Nah, pelaporan PPnBM
ini harus dibuat paling lambat akhir bulan berikutnya setelah faktur dibuat.

Kesimpulan

o Objek PPnBM merupakan BKP yang tergolong mewah.

o Regulasi objek PPnBM: UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

o Tarif PPnBM terbagi menjadi 2 kelompok, yakni tarif PPnBM kendaraan bermotor
dan non kendaraan bermotor.

o Setiap kelompok tarif PPnBM atas objek PPnBM ini memiliki regulasi yang berbeda-
beda.

o Formulir yang digunakan dalam melakukan pelaporan PPnBM adalah formulir SPT
Masa PPN 1111.

https://www.online-pajak.com/objek-ppnbm

BPHTB: Pengertian, Dasar Hukum, dan Syarat Mengurusnya

Edited by Cermati.com • 18 Mei 2016

Tempat tinggal berupa tanah dan bangunan adalah kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Oleh
karenanya, hampir semua orang akan atau pernah melakukan transaksi pengalihan hak atas
tanah, bangunan atau mengajukan KPR. Setiap kali mendengar kalimat transaksi jual beli
rumah, Anda mungkin bertanya-tanya dalam benak, bagaimanakah prosedur pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan? Apakah setiap transaksi pengalihan hak atas tanah dan
bangunan dikenakan pajak? Berapakah besarannya?

Filosofi BPHTB

Filosofi BPHTB via wordpress.com


Filosofi utama yang melandasi pajak ialah peran serta masyarakat dalam pembangunan dan
meningkatkan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat melalui peningkatan penerimaan
negara dengan cara pengenaan pajak. Mengapa BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan) dinamai bea, bukan pajak? Tidak banyak orang yang tahu mengapa BPHTB dinamai
dengan bea dan bukan pajak. Namun, ternyata terdapat beberapa ciri khusus yang
membedakan bea dengan pajak.
Ciri pertama, pembayaran pajak terjadi lebih dahulu daripada saat terutang. Contohnya,
pembeli tanah bersertifikat sudah diharuskan membayar BPHTB sebelum terjadi transaksi
atau sebelum akta dibuat dan ditandatangani. Hal ini terjadi juga dalam bea materai. Siapapun
pihak yang membeli meterai tempel, berarti ia sudah membayar bea materai, walaupun belum
terjadi saat terutang pajak.
Ciri kedua adalah frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara insidensial atau
berkali-kali dan tidak terikat oleh waktu. Misalnya, membeli atau membayar materai tempel
dapat dilakukan kapan saja. Demikian pula dengan membayar BPHTB terutang. Hal ini
tentunya berbeda dengan pajak, yang harus dibayar sesuai dengan waktu yang sudah
ditentukan.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dikenakan terhadap orang atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan atas suatu hak atas tanah dan atau
bangunan ini bisa diartikan bahwa orang atau badan tersebut mempunyai nilai lebih atas
tambahan atau perolehan hak tersebut, di mana tidak semua orang mempunyai kemampuan
lebih untuk mendapatkan tanah dan atau bangunan.

Pengertian dan Dasar Hukum BPHTB

Dasar Hukum BPHTB via amazonaws.com

Adapun, mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB diatur dalam UU
No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya
disebut UU BPHTB). Disebutkan bahwa BPHTB adalah bea yang dikenakan atas perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan.
Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, warga negara diwajibkan membayar BPHTB.
Dalam bahasa sehari-hari BPHTB juga dikenal sebagai bea pembeli, jika perolehan
berdasarkan proses jual beli. Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak hanya dalam
perolehan berupa jual beli. Semua jenis perolehan hak tanah dan bangunan dikenakan BPHTB.
Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan. Adapun, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut
meliputi:
1. Jual beli;
2. Tukar-menukar;
3. Hibah;
4. Hibah wasit;
5. Waris;
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. Penggabungan usaha;
11. Peleburan Usaha;
12. Pemekaran Usaha; dan
13. Hadiah.
Namun dari Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang sering terjadi dalam
masyarakat adalah:
1. Jual beli;
2. Tukar-menukar;
3. Hibah (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah, namun pemberi hibah
masih hidup);
4. Hibah wasit (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada penerima hibah namun
belaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia); dan
5. Waris.

Syarat Mengurus BPHTB

Pengurusan BPHTB via studysoup.com

Untuk jual beli, persyaratannya antara lain sebagai berikut:


1. SSPD BPHTB
2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan
3. Fotokopi KTP Wajib Pajak
4. Fotokopi STTS/ Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun Terakhir (Untuk tahun
2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013)
5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/ atau Girik)
Jika untuk hibah, waris atau jual beli waris sebagai berikut:
1. SSPD BPHTB
2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan
Fungsi : untuk mengecek kebenaran Data NJOP pada SSPD BPHTB.
3. Fotokopi KTP Wajib Pajak

4. Fotokopi STTS/Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun Terakhir (Untuk tahun
2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013)
Fungsi : untuk mempermudah melakukan penagihan, jika masih ada piutang PBB, karena
Biasanya pembeli tidak mau ditagih pajaknya sebelum tahun dialihkan.
5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/ atau Girik)
Fungsi : untuk mengecek ukuran luas tanah, luas bangunan, tempat/ lokasi tanah dan atau
bangunan, dan diketahui status tanah yang akan dialihkan.
6. Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah
Fungsi : dibutuhkan untuk memberikan pengurangan pada setiap transaksi.
7. Fotokopi Kartu Keluarga

Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)


1. Rp60.000.000,- untuk semua jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan
2. Kecuali untuk hak karena Waris atau Hibah Wasiat sebesar Rp300.000.000,-
Catatan: Dengan catatan NPOPTKP diberikan sekali pada setiap wajib pajak dalam satu tahun.
Baca Juga: Pajak Jual Beli Rumah: Perhitungan dan Biaya Tambahannya

BPHTB dalam Jual Beli

BPHTB dalam Jual Beli via kasihomes.com

Untuk peralihan hak berupa jual beli, pajak dikenakan kepada kedua belah pihak baik kepada
penjual ataupun pembeli. Kepada penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan pembeli
dikenakan BPHTB yang besarnya dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP). Dalam bahasa sehari-hari, NPOP bisa juga diartikan sebagai
nilai transaksi atau nilai kesepakatan harga antara penjual dan pembeli.
Dalam prakteknya, nilai NPOP ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP). Banyak faktor yang mempengaruhi nilai NPOP, seperti perkembangan yang luar biasa
di suatu daerah dalam waktu singkat sehingga harga tanah meningkat dengan cepat. Daerah
seperti ini nilai NPOP bisa jauh lebih besar dari NJOP.
Sebaliknya, ada daerah yang nilai NPOP-nya lebih rendah dari nilai NJOP seperti daerah yang
direncanakan akan dijadikan tempat pembuangan sampah, daerah yang berdekatan dengan
area pemakaman, lokasi yang berada di dekat saluran udara tegangan ekstra tinggi atau sutet,
daerah dengan potensi konflik, atau sengketa di kemudian hari.
Jika nilai NPOP lebih besar dari NJOP, yang dijadikan sebagai dasar pengenaan PPh dan
BPHTB adalah NPOP. Akan tetapi, jika NPOP lebih kecil dari NJOP, yang dijadikan dasar
untuk perhitungan PPh dan BPHTB adalah NJOP.
PPh atas peralihan tanah dan bangunan dihitung sebesar 5% dari NPOP atau NJOP.
Sedangkan untuk perhitungan BPHTB, NPOP dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) kemudian dikali 5%.
Besarnya NPOPTKP ini berbeda tiap daerah, sebagai contoh untuk DKI Jakarta NPOPTKP
adalah Rp80 juta, sedangkan untuk daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah Rp60
juta. Untuk daerah lain di Indonesia, sebaiknya ditanyakan ke kantor pajak atau Pertanahan
atau ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) setempat.
Anda Bingung Cari Produk KPR Terbaik? Cermati punya solusinya!

Contoh Perhitungan BPHTB


Diperjual-belikan sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan dengan data-data sebagai
berikut:
Luas = 1.000m2
NJOP = 1.000.000,-/meter
NJOPTKP adalah Rp80.000.000,- (DKI Jakarta)
Harga kesepakatan antara penjual dan pembeli adalah Rp2.000.000,-/meter
Maka nilai NPOP (Nilai Transaksi) = 1.000 x 2.000.000,- = Rp2.000.000.000,-
Besarnya PPh dan BPHTB adalah sebagai berikut:

PPh = 5 % x NPOP
Besarnya PPh = 5 % x Rp2.000.000.000,- = Rp100.000.000,-
BPHTB = 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
Besarnya BPHTB = 5 % x (Rp2.000.000.000 – Rp80.000.000) = Rp96.000.000,-

Warga yang Baik Taat Bayar Pajak


Demikianlah serba-serbi pengertian dan cara menghitung BPHTB. Membayar bea merupakan
kewajiban setiap masyarakat yang ingin memenuhi hak dan kewajiban untuk memiliki tempat
tinggal. Untuk itu, sudah menjadi pengabdian untuk kita menaati dan menegakkan aturan demi
kebaikan bersama.

https://www.cermati.com/artikel/bphtb-pengertian-dasar-hukum-dan-syarat-mengurusnya

Hak dan Kewajiban Fiskus

1. Hak Fiskus

Hak-hak fiskus yang diatur dalam UU Perpajakan Indonesia adalah sebagai berikut (Ilyas
dan Burton,

2010:210):

a. Hak menerbitkan NPWP atau NPPKP secara jabatan

b. Hak menerbitkan surat ketetapan pajak


c. Hak menerbitkan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan

d. Hak melakukan pemeriksaan dan penyegelan

e. Hak menghapuskan atau mengurangi sannksi administrasi

f. Hak melakukan penyidikan

g. Hak melakukan pencegahan

h. Hak melakukan penyanderaan

2. Kewajiban Fiskus

Kewajiban fiskus yang diatur dalam UU Perpajakan adalah:

a. Kewajiban untuk membina WP

b. Kewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar

c. Kewajiban merahasiakan data WP

d. Kewajiban melaksanakan putusan

https://media.neliti.com/media/publications/1716-ID-sosialisasi-perpajakan-pelayanan-
fiskus-dan-sanksi-perpajakan-terhadap-kepatuhan.pdf

Bea Materai
PENJELASAN UMUM

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan, pihak yang


melakukan pemotongan dan pemungutan pajak atas pengeluaran yang berasal dari
APBN/APBD adalah bendahara pemerintah. Termasuk dalam pengertian bendahara
pemerintah adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.
Sebagai pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak, bendahara pemerintah
harus mengetahui aspek-aspek perpajakan terutama yang berkaitan dengan kewajiban untuk
melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan serta Pajak Pertambahan
Nilai.

Kewajiban bendahara pemerintah sehubungan dengan Pajak Penghasilan dan Pajak


Pertambahan Nilai antara lain adalah pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 23, Pajak Penghasilan Pasal 4
ayat (2), Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Materai.

Download Buku Bendahara Mahir Pajak versi 2016

Bea Materai
Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen
untuk digunakan di pengadilan.

Secara lengkapnya, Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang menurut
Undang-Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Dokumen yang dikenai bea meterai
antara lain adalah dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang, dokumen yang
bersifat perdata, dan dokumen yang dapat digunakan di muka pengadilan misalnya dokumen
kontrak pengadaan meja kursi kantor, dokumen perjanjian pembangunan gedung kantor
dengan pengusaha jasa konstruksi, dan dokumen kontrak pengadaan jasa tenaga kebersihan.

Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 yang disesuaikan
dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen. Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas
baik untuk wajib pajak maupun objek pajak. Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu
daripada saat terutang. Waktu pembayaran dapat dilakukan secara isidentil dan tidak terikat
waktu.

Jenis Bea Materai


1. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
2. Pemeteraian kemudian adalah pelunasan bea meterai yang dilakukan pejabat pos atas
dokumen yang bea meterai belum dilunasi.

Subjek Bea Materai

Adapun subjek bea materai yaitu :

1. Pihak yang menerima atau mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang
bersangkutan menentukan lain.
2. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misal kwitansi, bea meterai terutang oleh penerima
kwitansi.
3. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misal surat perjanjian dibawah
tangan, maka masing-masing pihak terutang bea materai.

Objek Bea Materai

Dokumen yang dikenakan Bea Materai adalah dokumen yang berbentuk :

1. surat perjanjian dan surat-surat lainnya (surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan)
yang dibuat untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata;
2. akta-akta notaris termasuk salinannya;
3. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-
rangkapnya;
4. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) :
a. yang menyebutkan penerimaan uang;
b. yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
d. yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau
diperhitungkan;
e. lebih dari Rp. 250.000 sampai dengan Rp. 1.000.000, maka dikenakan Bea Materai dengan
tarif Rp. 3.000
f. lebih dari Rp. 1.000.000, maka dikenakan Bea Materai dengan tarif Rp. 6.000
5. surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep, yang harga nominalnya lebih dari
Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
a. lebih dari Rp. 250.000 sampai dengan Rp. 1.000.000, maka dikenakan Bea Materai dengan
tarif Rp. 3.000
b. lebih dari Rp. 1.000.000, maka dikenakan Bea Materai dengan tarif Rp. 6.000
c. Jika harga nominal dinyatakan dalam mata uang asing, maka harga nominal harus dikalikan
dengan Kurs Menteri Keuangan.
6. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, yaitu:
a. Surat-surat biasa dan surat kerumah-tanggaan;
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula
c. Jika dokumen awalnya tidak terutang Bea Materai, namun kemudian dokumen tersebut
digunakan untuk alat pembuktian di pengadilan, maka dokumen tersebut harus dilakukan
pemeteraian kemudian.

Bukan Objek Bea Meterai

Sebagai Bendahara, dokumen yang tidak mengenakan bea meterai adalah:

1. dokumen berupa :
a. surat penyimpanan barang;
b. konosemen;
c. surat angkutan penumpang dan barang;
d. keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam
angka a, angka b, dan angka c;
e. bukti untuk pengiriman dan penerimaan
f. barang;
g. surat pengiriman barang untuk dijual atas
h. tanggungan pengirim;
i. surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud
dalam angka a sampai huruf f.
2. segala bentuk ijazah;
3. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang
berkaitan dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu;
4. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
5. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank
6. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
7. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;
8. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
9. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Saat Terutang Bea Meterai

Saat terutang bea meterai sangat perlu diketahui sebagai Bendahara karena akan
menentukan besarnya tarif bea meterai yang berlaku dan juga berguna untuk menentukan
daluarsa pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang terutang. Saat terutang bea
meterai ditentukan oleh jenis dan di mana suatu dokumen dibuat. Saat terhutang Bea
Meterai, jika:

1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, maka pada saat dokumen itu diserahkan, termasuk
jika pada saat itu dokumen tersebut diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat,
bukan pada saat ditandatangani. Contohnya: kuitansi, cek, dan sebagainya.
2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, maka pada saat selesainya dokumen dibuat,
yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. Contohnya: surat
perjanjian jual beli. Bea Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian
tersebut.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri, maka pada saat digunakan di Indonesia.

Tarif Bea Meterai


Dasar Hukum:
Pasal 1 UU Nomor 13 Tahun 1985

Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 2000

1,574 kali dilihat, 23 kali dilihat hari ini

Link Pelayanan Online


Negara Metro
Jalan Seminung

Apa saja yang menjadi Objek dan Tarif Bea Meterai....?


Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 TAHUN
2000 mengatur tentang objek dan tarif bea meterai. Pada hakekatnya objek untuk bea
meterai adalahdokumen. Dalam hal ini bentuk dokumen yang menjadi objek dari bea meterai
adalah sebagai berikut:
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, surat
pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. Tarif bea
meterai untuk dokumen jenis ini adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).

2. Akta-akta notaris termasuk salinannya. Tarif bea meterai untuk dokumen jenis ini
adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).

3. Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkap-rangkapnya. Tarif bea meterai untuk
dokumen jenis ini adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)

4. a. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,00 atau harga nominal
yang dinyatakan dalam mata uang asing :

- Yang menyebutkan penerimaan uang

- Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di


bank

- Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

- Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi atau diperhitungkan

b. Apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00 maka tarif bea meterainya Rp 3.000,00 ( tiga ribu rupiah )
c. Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 maka tidak terutang bea
meterai.

5. Surat berharga seperti wesel , promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,00. Tarif bea meterai untuk dokumen ini Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ).
Namun apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00 tarif bea meterainya Rp 3.000,00 ( tiga ribu rupiah ). Apabila harga
nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 tidak terutang bea meterai.

6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,00 maka tarif bea meterainya adalah Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ).
Namun apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00 maka tarif bea meterainya Rp 3000,00 ( tiga ribu rupiah ). Apabila
harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 maka tidak terutang bea meterai.

7. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan serta surat-surat yang semula


tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain
atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula , yang akan digunakan sebagai
alat pembuktian di muka pengadilan. Tarif bea meterai yang dikenakan sebesar Rp
6.000,00 ( enam ribu rupiah ).

8. Berdasarkan bunyi pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 TAHUN 2000 , maka


tarif bea meterai untuk cek dan bilyet giro ditetapkan sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu
rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal. Tarif ini berlaku efektif per 1
Mei 2000

http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=610

Dasar Hukum NPWP

A. Dasar Hukum NPWP adalah sebagai berikut :


Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas undang-
1.
Undang Nomor 6 TAHUN 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 27/PJ./1995 tanggal 23 Maret 1995
2. tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha Serta Tata Cara
Pendaftaran Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP – 150/PJ/1999 tentang


3.
perubahan KEP – 27/PJ./1995

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP – 515/PJ./2000 tanggal 4 Desember


4. 2000 tentang Tempat Pendaftaran bagi Wajib Pajak tertentu dan Tempat Pelaporan
Usaha Bagi Pengusaha Kena Pajak Tertentu.

Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP – 516/PJ./2000 tanggal 4 Desember 2000


tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara
5.
Pendaftaran dan Penghapusan NPWP, Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 161/PJ./2001 tanggal 21 Februari


2001 Tentang Jangka Waktu Pendaftaran Dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara
6.
Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan Dan
Pencabutan Pengukuhan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP – 525/PJ./2000 tanggal 6 Desember 2000


7.
tentang Tempat Lain Sebagai Tempat terutangnya Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 167/PJ/2003 tentang Perubahan


ketiga atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 515/PJ./2000 tentang
8.
Tempat pendaftaran bagi wajib pajak tertentu dan tempat pelaporan usaha bagi
pengusaha kena pajak tertentu.

2) Apa yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak?

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)


adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.)

3) Apa Fungsi NPWP ?

Nomor Pokok Wajib Pajak merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu,
kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Dalam hal
berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor
Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri
untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan undang-undang perpajakan.

Berdasarkan SE – 41/PJ./2003 secara garis besar NPWP mempunyai beberapa fungsi


diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan

2. Sebagai identitas wajib pajak

3. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.

4. Untuk dicantumkan dalam semua dokumen perpajakan

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)


Anda mau bikin NPWP??…… kalo jawabannya iya sebaiknya anda tahu dulu syarat –
syaratnya sebelum anda datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan
Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) (sesuai dengan domisili anda tentunya). ini dia syarat
– syaratnya :
Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi :
Dokumen yang diperlukan hanya berupa fotokopi KTP yang masih berlaku atau Kartu
Keluarga. Sedangkan untuk Orang Pribadi yang mempunyai kegiatan usaha ditambah dengan
Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau usaha pekerjaan bebas dari instansi yang
berwenang sekurang – kurangnya Lurah atau Kepala Desa

Wajib Pajak (WP) Badan :


Dokumen yang diperlukan :

a. Fotokopi Akte Pendirian Perusahaan

b. Fotokopi Pengurus

c. Surat Keterangan Kegiatan Usaha dari Lurah

setelah dokumen anda lengkap barulah datang ke KPP atau KP4 untuk memperoleh NPWP.

Di KPP yang mengurusi bagian NPWP adalah seksi Pelayanan (untuk KPP yang menerapkan
sistem Administrasi Modern) atau seksi TUP (untuk KPP yang belum menerapkan sistem
Administrasi Modern), setelah data anda di input anda akan diberikan Surat Keterangan
Terdaftar (SKT) paling lambat pada hari kerja berikutnya dan Kartu NPWP diberikan paling
lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya permohonan secara lengkap.

Pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-register, media elektronik online
(internet)
updet : untuk WP Badan di tambah foto copy NPWP Direktur
Mekanisme PPN Indonesia

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa
Kena Pajak (JKP) wajib memungut PPN dari pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan
sebesar 10% dari Harga Jual atau penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti
pemungutannya.

2. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran (Out Put
Tax) bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (hutang
pajak).
3. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang dikenakan PPN, PPN
tersebut merupakan Pajak Masukan (In Put Tax), yang sifatnya sebagai pajak yang
dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan langsung dengan
kegiatan usahanya.

4. Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari
pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara selambat-lambatnya
tanggal 15 bulan berikutnya. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar
dari pada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau di
kompensasi ke masa pajak berikutnya.

5. Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Laporan Perhitungan PPN setiap bulan
(SPT Masa PPN) ke Kantor Pelayanan Pajak terkait selambat-lambatnya tanggal 20 bulan
berikutnya.

Contoh :

Pada bulan September 2002, PT CELEBAN melakukan penyerahan BKP sebesar Rp 100
Milyar, PPN yang dipungut sebesar 10% atau Rp 10 Milyar. Pembelian BKP/JKP yang
1.
dilakukan PT CELEBAN adalah Rp 80 Milyar, sehingga PPN yang dibayar atas pembelian
BKP/JKP tersebut sebesar 10 % dari 80 Milyar atau Rp 8 Milyar.
Penghitungan dan pengkreditan PPN yang dilakukan PT CELEBAN untuk Masa Pajak
September 2002 adalah:

Pajak Keluaran Rp 10 Milyar

Pajak Masukan Rp 8 Milyar

PPN Kurang bayar Rp 2 Milyar

Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp 2 Milyar tersebut harus disetorkan ke kas negara
melalui Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 Oktober 2002. Dan penghitungan tersebut
dituangkan dalam SPT Masa PPN Masa September 2002 yang harus disampaikan ke Kantor
Pelayanan Pajak dimana PT. CELEBAN terdaftar paling lambat tanggal 20 Oktober 2002.

Pada bulan Oktober 2002, PT CELEBAN melakukan penyerahan BKP sebesar Rp 120
Milyar, PPN yang dipungut sebesar 10% atau Rp 12 Milyar. Pembelian BKP/JKP yang
2.
dilakukan PT CELEBAN adalah Rp 140 Milyar, sehingga PPN yang dibayar atas
pembelian BKP/JKP tersebut sebesar 10 % dari 140 Milyar atau Rp 14 Milyar.

Penghitungan dan pengkreditan PPN yang dilakukan PT CELEBAN untuk Masa Pajak
Oktober 2002 adalah:

Pajak Keluaran Rp 12 Milyar

Pajak Masukan Rp 14 Milyar

PPN Lebih bayar Rp 2 Milyar

Jumlah PPN lebih bayar sebesar Rp 2 Milyar tersebut dapat dimintakan kembali (restitusi)
atau dikompensasikan ke Masa Pajak Nopember 2002. Penghitungan tersebut dituangkan
dalam SPT Masa PPN Masa Oktober 2002 yang harus disampaikan ke Kantor Pelayanan
Pajak dimana PT. CELEBAN terdaftar paling lambat tanggal 20 Nopember 2002.

Anda mungkin juga menyukai