Selain itu, penjualan barang mewah, seperti pesawat udara pribadi dengan harga jual
lebih dari Rp20.000.000.000, penjualan kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih
dari Rp10.000.000.000, dan penjualan rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000, juga dikenakan PPh Pasal 22 ini.
Yang berwenang menjadi pemungut PPh Pasal 22 adalah Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai (DJBC) dan Bank Devisa yang mengurusi pemungutan PPh Pasal 22 untuk objek pajak
terkait impor serta Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Dan Bendahara Pemerintah yang
melakukan pemungutan PPh Pasal 22 pada Pemerintah, baik pusat maupun daerah, instansi,
serta lembaga negara lainnya, terkait dengan pembayaran serta pembelian barang. Dari
penjelasan tersebut, bisa diketahui bahwa PPh Pasal 22 memiliki subjek dan objek pajak yang
beragam yang telah ditentukan Pemerintah sebagaimana dalam penjelasan tadi.
Mengingat bervariasinya objek pajak PPh Pasal 22, perlu dipahami secara mendalam
penentuan tarif dan besaran tarifnya. Berikut adalah besaran tarif serta penghitungan tarif
PPh Pasal 22.
1. Untuk Impor
Jika menggunakan Angka Pengenal Importir (API), tarif yang dikenakan adalah 2,5% x nilai
impor. Sementara untuk non-API, tarifnya sama dengan 7,5% x nilai impor dan untuk impor
yang tidak dikuasai dikenakan tarif 7,5% x harga jual lelang.
Sebagaimana ditetapkan lewat Keputusan Direktur Jenderal Pajak, barang yang kena Pajak
PPh Pasal 22 meliputi: semen (tarif 0,25% x DPP PPN), kertas (tarif 0,1% x DPP PPN), produk
baja (0,3% x DPP PPN), dan produk otomotif (0,45% x DPP PPN). Semua tarif tersebut
bersifat tidak final.
Jenis ini juga dikenakan kepada eksportir dan pedagang pengumpul dengan tarif 0,25 % x
harga pembelian dan ini tidak termasuk PPN.
Jika menggunakan API, tarif yang dikenakan sebesar 0,5% x nilai impor.
Besarnya lingkup objek pajak yang diatur dalam PPh Pasal 22 menyisakan beberapa
pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22, yaitu:
Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk termasuk impor yang dilakukan ke
dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang tersebut dikeluarkan untuk
impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE).
Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan pada belanja negara/daerah yang
meliputi jumlah kurang dari Rp2.000.000 (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah).
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda
pos, dan telepon.
Ilustrasi Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 22 dan PPN oleh Bendahara Pemerintah
Agar lebih paham, berikut ini ilustrasi besarnya pungutan dan kewajiban pemungut dalam
aplikasi PPh Pasal 22 ini.
Pada 20 Februari 2015, Bendahara membeli 4 (empat) printer dari PT Super Komputindo
(NPWP/NPPKP 01.222.355.5-063.000) dengan harga beli Rp22.000.000 (harga termasuk
PPN).
Pemungutan PPh
Pemungutan PPN:
Kewajiban Bendahara
Melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi dengan data Wajib Pajak PT
Super Komputerindo.
PPh Pasal 22 diberlakukan pada banyak subjek pajak, baik milik pemerintah maupun swasta,
yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor. Pemberlakuan bahkan
meluas sampai ke perdagangan barang yang dianggap "menguntungkan’. Sebab PPh Pasal 22
dapat dikenakan saat penjualan ataupun pembelian. Adalah perlu untuk mencermati dan
memahami sepenuhnya segala hal terkait PPh Pasal 22. Dengan begitu, bisa diketahui dengan
pasti apakah badan usaha Anda masuk sebagai subjek pajak. Dan transaksi pembelian yang
Anda atau badan usaha Anda dikategorikan sebagai objek pajak PPh Pasal 22 atau tidak.
https://www.cermati.com/artikel/tarif-dan-perhitungan-pph-pasal-22-yang-pengusaha-
wajib-tahu
Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)
PPh Pasal 22 atau Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu,
baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor
dan re-impor. Melalui penerbitan peraturan No. 90/PMK.03/2015, pemerintah melebarkan
badan-badan yang berhak memungut PPh Pasal 22 yaitu menjadi wajib pajak badan yang
melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh
Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak
terhadap Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat
sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif
lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23. PPh Pasal 22
dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik Pemerintah maupun swasta, yang
melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor.Sementara untuk PPh Pasal 21,
yang menjadi objek pajaknya adalah gaji, honorarium, upah, ataupun tunjangan dan
penerimaan apa pun yang terkait dengan jabatan atau pemberian jasa. Sementara pada PPh
Pasal 23, objek pajaknya adalah modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan selain
yang terkena potongan PPh Pasal 21. Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap
perdagangan barang yang dianggap ‘menguntungkan’, sehingga baik penjual maupun
pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah, PPh Pasal
22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.
Bendahara & badan-badan yang memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari pembelian adalah:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal
22 impor barang;
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan.
Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat penjualan
adalah:
1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan
industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan
industri hilir.
5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
o menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2016, lihat lampiran berikut ini
mengenai objek PPh Pasal 22 berupa impor barang-barang mewah tertentu.
1. Atas impor:
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan
API = 0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan
o Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
o Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal
22.
Berikut ini adalah daftar pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22:
4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos, dan telepon.
PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan. Maksudnya, pada akhir tahun, cicilan ini
akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau PPh orang pribadi.
PPh Pasal 22 yang berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke bank
persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi. Transaksi yang wajib
dibayar langsung adalah transaksi yang berkaitan dengan impor dan bendahara.
Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat bukti pungut juga wajib menyetor PPh yang
dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi, kemudian melaporkannya dalam
SPT Masa PPh Pasal 22.
Sedangkan pihak yang dipungut mendapat bukti pungut dan dapat dikreditkan pada akhir
tahun di SPT Tahunan.
Penjualan bahan bakar minyak dan gas ke agen atau penyalur dikenakan atas PPh bersifat
final. Artinya, wajib pajak yang hanya memiliki usaha tersebut, maka hanya wajib lapor SPT
Tahunan yang dilampiri bukti potong.
PPh Pasal 22 dilaporkan paling lambat tanggal 20 setiap bulannya. Melalui e-Filing di
OnlinePajak, caranya mudah dan cepat, serta tak perlu antre lagi. Cukup impor file CSV SPT
Masa PPh Pasal 22 dari software e-SPT keOnlinePajak.!
https://www.online-pajak.com/pph-pajak-penghasilan-pasal-22
Pengertian PPN (Pajak Pertambahan Nilai) , Subjek, Objek Dan Dasar Hukum “UU”
Mardiasmo (2009)
Pajak Pertambahan Nilai diakui sebagai pengganti dari Pajak Penjualan. Alasannya karena
Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan
belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan
penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.
Suparmono (2009)
Pengertian pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri
(daerah pabean) baik konsumsi BKP atau JKP.
Sukardji (2000)
Definisi pajak Pertambahan Nilai adalah “pengenaan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi
baik yang dilakukan perseorangan maupun badan baik baik badan swasta maupun badan
pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja
negara”.
Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang menyerahkan BKP (Barang Kena Pajak) / JKP
(Jasa Kena Pajak) yang dikenakan pajak menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM (tidak
termasuk pengusaha kecil). Pengusaha kena pajak diakui sebagai WP (Wajib Pajak) dengan
kriteria jumlah peredaran/penerimaan bruto lebih dari Rp. 600.000.000. Contoh PKP adalah
importir, pedagang besar (distributor), pabrikan /agen utama dsb.
Mardiasmo, (2008)
Definisi barang kena pajak adalah barang yang sifat hukumnya berupa barang bergerak,
barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak UU PPN.
Waluyo (2011)
Barang kena pajak adalah barang yang sifat hukumnya berupa barang bergerak, barang
tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak UU PPN dan PPnBM.
Menurut UU No. 18 Tahun 2000 dan No. 42 Tahun 2009 pasal 1 angka (6)
JKP adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan perbuatan hukum yang memberikan
kemudahan/menyediakan fasilitas termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
pesanan.
Undang-Undang yang mengatur tentang pajak pertambahan nilai (PPN) barang dan jasa dan
pajak penjualan atas barang mewah adalah UU No. 42 Tahun 2009. Setelah sebelumnya
mengalami perubahan dari UU No. 8 Tahun 1983, selanjutnya diubah menjadi UU No. 11
Tahun 1994 dan berubah lagi dengan UU No. 18 Tahun 2000.
Itulah tadi pembahasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pengertian, Subjek, Objek Dan
Dasar Hukum “UU”. Semoga bermanfaat untuk menambah wawasan kita. Terimakasih
banyak atas kunjungannya. 🙂
https://www.akuntansilengkap.com/pajak/pajak-pertambahan-nilai-ppn-pengertian-subjek-
objek-dan-dasar-hukum-uu/
Pengertian Wajib Pajak Beserta Hak Dan Kewajiban Menurut Para Ahli
Pengertian Wajib Pajak , Beserta Hak Dan Kewajiban Menurut Para Ahli – Peraturan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemungutan dan penentuan Wajib Pajak (WP),
dalam pelaksanaannya tentu telah diatur dalam undang-undang perpajakan (Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 Tentang KUP, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh
dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM, serta peraturan
pelaksanaannya) yang dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Pajak beserta instansi publik
terkait. Wajib pajak memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan diterima agar
tidak menyalahi aturan yang ada
Dalam Undang-undang nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Pasal 1 ayat 2 disebutkan pengertian Wajib Pajak yaitu:
Wajib Pajak merupakan orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban.,
meliputi pembayar pajak, pemungut pajak, pemotong pajak, yang diatur dalam perundang-
undangan perpajakan. Wajib Pajak bukan hanya bagi orang yang sudah memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) saja, namun juga bagi yang sudah memenuhi persyaratan sebagai wajib
pajak meskipun belum memiliki NPWP.
Berdasarkan subjeknya
Berdasarkan subjeknya, wajib pajak dibedakan menjadi wajib pajak orang pribadi, wajib
pajak badan dan pajak Bendahara sebagai pemungut dan pemotong pajak.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Mempunyai Penghasilan Dari Pekerjaan Bebas.
Baik Orang pribadi maupun pemotong / pemungut pajak dan sudah memenuhi syarat objektif
dan subyektif sebagai Wajib Pajak, maka orang/badan tersebut sudah terdapat hak dan
kewajiban pajak. (Baca juga: pengertian dan subjek pajak pertambahan nilai )
1. Mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apabila orang
pribadi sudah memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) maka sudah
wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
2. Kewajiban untuk membayar, memungut atau memotong dan melaporkan pajak yang
terutang.
3. Kewajiban dalam hal diperiksa contohnya adalah pada saat diminta oleh tim permeriksa
untuk menunjukkan atau meminjamkan dokumen-dokumen pendukung. Wajib hadir memenuhi
panggilan pada saat diperiksa dan lain-lain.
4. Kewajiban memberikan data. Bagi pihak ketiga, termasuk instansi pemerintah, badan
lembaga asosiasi dan yang lain harus memberikan data yang diminta oleh Kantor Pelayanan
Pajak.
1. Hak atas kelebihan pajak. Setiap pembayaran yang dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak
memiliki sisa (kelebihan) pembayaran dapat di kembalikan atau (direstitusikan).
2. Hak dalam pemeriksaan . wajib pajak memiliki hak untuk menanyakan Surat Perintah
Pemeriksaan, hak meminta tanda pengenal petugas pemeriksa. Hak penjelasan dilakukannya
pemeriksaan. Hak hadir dalam pembahasan hasil masalah pemeriksaan.
3. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan peninjauan kembali atas hasil pemeriksaan.
https://www.akuntansilengkap.com/akuntansi/pengertian-wajib-pajak-beserta-hak-dan-
kewajiban-menurut-para-ahli/
Sesuai dengan nama jenis pajak ini, objek PPnBM merupakan Barang Kena Pajak (BKP) yang
masuk kategori mewah. Apa syaratnya sebuah BKP dapat dikatakan barang mewah? Baca
ulasan selengkapnya mengenai objek PPnBM di bawah ini.
Tentang PPnBM
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan atas Barang Kena
Pajak (BKP) yang mewah. Adanya PPnBM ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan beban
pajak antara konsumen yang memiliki penghasilan tinggi dengan konsumen yang memiliki
penghasilan rendah.
Selain itu, PPnBm juga bertujuan untuk mengendalikan pola konsumsi atas BKP mewah dan
memberikan perlindungan kepada pengusaha lokal dalam memasarkan dagangannya.
Pemungutan PPnBM hanya dilakukan sekali saja, yaitu pada saat penyerahan BKP oleh
produsen atau pabrikan ke konsumen dan pada saat impor BKP tergolong mewah tersebut.
Bila dilihat dari tarifnya sendiri, tarif PPnBM tergolong lebih besar ketimbang PPN.
Jika PPN memiliki tarif sebesar 10%, berbeda dengan PPnBM yang tarifnya diatur
berdasarkan jenis BKP mewah sesuai peraturan dan undang-undang yang berlaku.
Objek PPnBM
Beberapa dari Anda mungkin masih merasa kebingungan, mengapa Anda harus membayar
objek PPnBM seperti mobil, motor, atau BKP mewah lainnya dengan sangat mahal.
Terutama barang otomotif seperti mobil dan motor. Mahalnya objek PPnBM yang tergolong
mewah tersebut disebabkan atas pembelian barang-barang mewah akan dikenakan PPnBM.
Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1984 yang kini sudah mengalami perubahan yakni UU Nomor
42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, yang termasuk dalam objek PPnBM adalah sebagai berikut:
3. Objek PPnBM umumnya hanya dikonsumsi oleh orang-orang yang memiliki penghasilan
tinggi.
4. Objek PPnBM dikonsumsi demi status atau untuk menunjukkan status sosialnya.
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, maka tidak heran harga mobil dan motor yang
tergolong mewah/objek PPnBM ini memang tidak tanggung-tanggung mahalnya.
Tarif PPnBM
Berdasarkan Pasal 8 UU Nomor 42 Tahun 2009, tarif PPnBM dikelompokan menjadi 2, yakni:
Setiap pengelompokan tarif PPnBM ini memiliki regulasi yang berbeda tergantung dari jenis
objek PPnBM-nya. Tarif PPnBM kendaraan bermotor diatur dalam PMK Nomor
33/PMK.010/2017. Sedangkan tarif PPnBM non kendaraan bermotor diatur dalam PMK
Nomor 35/PMK.010/2017.
Dalam melaporkan PPnBM atas pembelian objek PPnBM, wajib pajak harus menggunakan
formulir SPT Masa PPN 1111. Apabila transaksi jual beli antara BKP yang menjadi objek
PPnBM, PPN, dan PPN impor, maka dapat dilaporkan secara bersamaan. Nah, pelaporan PPnBM
ini harus dibuat paling lambat akhir bulan berikutnya setelah faktur dibuat.
Kesimpulan
o Regulasi objek PPnBM: UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
o Tarif PPnBM terbagi menjadi 2 kelompok, yakni tarif PPnBM kendaraan bermotor
dan non kendaraan bermotor.
o Setiap kelompok tarif PPnBM atas objek PPnBM ini memiliki regulasi yang berbeda-
beda.
o Formulir yang digunakan dalam melakukan pelaporan PPnBM adalah formulir SPT
Masa PPN 1111.
https://www.online-pajak.com/objek-ppnbm
Tempat tinggal berupa tanah dan bangunan adalah kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Oleh
karenanya, hampir semua orang akan atau pernah melakukan transaksi pengalihan hak atas
tanah, bangunan atau mengajukan KPR. Setiap kali mendengar kalimat transaksi jual beli
rumah, Anda mungkin bertanya-tanya dalam benak, bagaimanakah prosedur pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan? Apakah setiap transaksi pengalihan hak atas tanah dan
bangunan dikenakan pajak? Berapakah besarannya?
Filosofi BPHTB
Adapun, mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB diatur dalam UU
No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya
disebut UU BPHTB). Disebutkan bahwa BPHTB adalah bea yang dikenakan atas perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan.
Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, warga negara diwajibkan membayar BPHTB.
Dalam bahasa sehari-hari BPHTB juga dikenal sebagai bea pembeli, jika perolehan
berdasarkan proses jual beli. Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak hanya dalam
perolehan berupa jual beli. Semua jenis perolehan hak tanah dan bangunan dikenakan BPHTB.
Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan. Adapun, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut
meliputi:
1. Jual beli;
2. Tukar-menukar;
3. Hibah;
4. Hibah wasit;
5. Waris;
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. Penggabungan usaha;
11. Peleburan Usaha;
12. Pemekaran Usaha; dan
13. Hadiah.
Namun dari Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang sering terjadi dalam
masyarakat adalah:
1. Jual beli;
2. Tukar-menukar;
3. Hibah (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah, namun pemberi hibah
masih hidup);
4. Hibah wasit (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada penerima hibah namun
belaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia); dan
5. Waris.
4. Fotokopi STTS/Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun Terakhir (Untuk tahun
2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013)
Fungsi : untuk mempermudah melakukan penagihan, jika masih ada piutang PBB, karena
Biasanya pembeli tidak mau ditagih pajaknya sebelum tahun dialihkan.
5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/ atau Girik)
Fungsi : untuk mengecek ukuran luas tanah, luas bangunan, tempat/ lokasi tanah dan atau
bangunan, dan diketahui status tanah yang akan dialihkan.
6. Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah
Fungsi : dibutuhkan untuk memberikan pengurangan pada setiap transaksi.
7. Fotokopi Kartu Keluarga
Untuk peralihan hak berupa jual beli, pajak dikenakan kepada kedua belah pihak baik kepada
penjual ataupun pembeli. Kepada penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan pembeli
dikenakan BPHTB yang besarnya dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP). Dalam bahasa sehari-hari, NPOP bisa juga diartikan sebagai
nilai transaksi atau nilai kesepakatan harga antara penjual dan pembeli.
Dalam prakteknya, nilai NPOP ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP). Banyak faktor yang mempengaruhi nilai NPOP, seperti perkembangan yang luar biasa
di suatu daerah dalam waktu singkat sehingga harga tanah meningkat dengan cepat. Daerah
seperti ini nilai NPOP bisa jauh lebih besar dari NJOP.
Sebaliknya, ada daerah yang nilai NPOP-nya lebih rendah dari nilai NJOP seperti daerah yang
direncanakan akan dijadikan tempat pembuangan sampah, daerah yang berdekatan dengan
area pemakaman, lokasi yang berada di dekat saluran udara tegangan ekstra tinggi atau sutet,
daerah dengan potensi konflik, atau sengketa di kemudian hari.
Jika nilai NPOP lebih besar dari NJOP, yang dijadikan sebagai dasar pengenaan PPh dan
BPHTB adalah NPOP. Akan tetapi, jika NPOP lebih kecil dari NJOP, yang dijadikan dasar
untuk perhitungan PPh dan BPHTB adalah NJOP.
PPh atas peralihan tanah dan bangunan dihitung sebesar 5% dari NPOP atau NJOP.
Sedangkan untuk perhitungan BPHTB, NPOP dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) kemudian dikali 5%.
Besarnya NPOPTKP ini berbeda tiap daerah, sebagai contoh untuk DKI Jakarta NPOPTKP
adalah Rp80 juta, sedangkan untuk daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah Rp60
juta. Untuk daerah lain di Indonesia, sebaiknya ditanyakan ke kantor pajak atau Pertanahan
atau ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) setempat.
Anda Bingung Cari Produk KPR Terbaik? Cermati punya solusinya!
PPh = 5 % x NPOP
Besarnya PPh = 5 % x Rp2.000.000.000,- = Rp100.000.000,-
BPHTB = 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
Besarnya BPHTB = 5 % x (Rp2.000.000.000 – Rp80.000.000) = Rp96.000.000,-
https://www.cermati.com/artikel/bphtb-pengertian-dasar-hukum-dan-syarat-mengurusnya
1. Hak Fiskus
Hak-hak fiskus yang diatur dalam UU Perpajakan Indonesia adalah sebagai berikut (Ilyas
dan Burton,
2010:210):
2. Kewajiban Fiskus
https://media.neliti.com/media/publications/1716-ID-sosialisasi-perpajakan-pelayanan-
fiskus-dan-sanksi-perpajakan-terhadap-kepatuhan.pdf
Bea Materai
PENJELASAN UMUM
Bea Materai
Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen
untuk digunakan di pengadilan.
Secara lengkapnya, Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang menurut
Undang-Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Dokumen yang dikenai bea meterai
antara lain adalah dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang, dokumen yang
bersifat perdata, dan dokumen yang dapat digunakan di muka pengadilan misalnya dokumen
kontrak pengadaan meja kursi kantor, dokumen perjanjian pembangunan gedung kantor
dengan pengusaha jasa konstruksi, dan dokumen kontrak pengadaan jasa tenaga kebersihan.
Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 yang disesuaikan
dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen. Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas
baik untuk wajib pajak maupun objek pajak. Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu
daripada saat terutang. Waktu pembayaran dapat dilakukan secara isidentil dan tidak terikat
waktu.
1. Pihak yang menerima atau mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang
bersangkutan menentukan lain.
2. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misal kwitansi, bea meterai terutang oleh penerima
kwitansi.
3. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misal surat perjanjian dibawah
tangan, maka masing-masing pihak terutang bea materai.
1. surat perjanjian dan surat-surat lainnya (surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan)
yang dibuat untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata;
2. akta-akta notaris termasuk salinannya;
3. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-
rangkapnya;
4. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) :
a. yang menyebutkan penerimaan uang;
b. yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
d. yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau
diperhitungkan;
e. lebih dari Rp. 250.000 sampai dengan Rp. 1.000.000, maka dikenakan Bea Materai dengan
tarif Rp. 3.000
f. lebih dari Rp. 1.000.000, maka dikenakan Bea Materai dengan tarif Rp. 6.000
5. surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep, yang harga nominalnya lebih dari
Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
a. lebih dari Rp. 250.000 sampai dengan Rp. 1.000.000, maka dikenakan Bea Materai dengan
tarif Rp. 3.000
b. lebih dari Rp. 1.000.000, maka dikenakan Bea Materai dengan tarif Rp. 6.000
c. Jika harga nominal dinyatakan dalam mata uang asing, maka harga nominal harus dikalikan
dengan Kurs Menteri Keuangan.
6. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, yaitu:
a. Surat-surat biasa dan surat kerumah-tanggaan;
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula
c. Jika dokumen awalnya tidak terutang Bea Materai, namun kemudian dokumen tersebut
digunakan untuk alat pembuktian di pengadilan, maka dokumen tersebut harus dilakukan
pemeteraian kemudian.
1. dokumen berupa :
a. surat penyimpanan barang;
b. konosemen;
c. surat angkutan penumpang dan barang;
d. keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam
angka a, angka b, dan angka c;
e. bukti untuk pengiriman dan penerimaan
f. barang;
g. surat pengiriman barang untuk dijual atas
h. tanggungan pengirim;
i. surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud
dalam angka a sampai huruf f.
2. segala bentuk ijazah;
3. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang
berkaitan dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu;
4. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
5. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank
6. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
7. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;
8. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
9. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Saat terutang bea meterai sangat perlu diketahui sebagai Bendahara karena akan
menentukan besarnya tarif bea meterai yang berlaku dan juga berguna untuk menentukan
daluarsa pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang terutang. Saat terutang bea
meterai ditentukan oleh jenis dan di mana suatu dokumen dibuat. Saat terhutang Bea
Meterai, jika:
1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, maka pada saat dokumen itu diserahkan, termasuk
jika pada saat itu dokumen tersebut diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat,
bukan pada saat ditandatangani. Contohnya: kuitansi, cek, dan sebagainya.
2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, maka pada saat selesainya dokumen dibuat,
yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. Contohnya: surat
perjanjian jual beli. Bea Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian
tersebut.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri, maka pada saat digunakan di Indonesia.
2. Akta-akta notaris termasuk salinannya. Tarif bea meterai untuk dokumen jenis ini
adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
3. Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkap-rangkapnya. Tarif bea meterai untuk
dokumen jenis ini adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)
4. a. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,00 atau harga nominal
yang dinyatakan dalam mata uang asing :
- Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi atau diperhitungkan
b. Apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00 maka tarif bea meterainya Rp 3.000,00 ( tiga ribu rupiah )
c. Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 maka tidak terutang bea
meterai.
5. Surat berharga seperti wesel , promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,00. Tarif bea meterai untuk dokumen ini Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ).
Namun apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00 tarif bea meterainya Rp 3.000,00 ( tiga ribu rupiah ). Apabila harga
nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 tidak terutang bea meterai.
6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,00 maka tarif bea meterainya adalah Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ).
Namun apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00 maka tarif bea meterainya Rp 3000,00 ( tiga ribu rupiah ). Apabila
harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 maka tidak terutang bea meterai.
http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=610
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 27/PJ./1995 tanggal 23 Maret 1995
2. tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha Serta Tata Cara
Pendaftaran Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Nomor Pokok Wajib Pajak merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu,
kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Dalam hal
berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor
Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri
untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan undang-undang perpajakan.
b. Fotokopi Pengurus
setelah dokumen anda lengkap barulah datang ke KPP atau KP4 untuk memperoleh NPWP.
Di KPP yang mengurusi bagian NPWP adalah seksi Pelayanan (untuk KPP yang menerapkan
sistem Administrasi Modern) atau seksi TUP (untuk KPP yang belum menerapkan sistem
Administrasi Modern), setelah data anda di input anda akan diberikan Surat Keterangan
Terdaftar (SKT) paling lambat pada hari kerja berikutnya dan Kartu NPWP diberikan paling
lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya permohonan secara lengkap.
Pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-register, media elektronik online
(internet)
updet : untuk WP Badan di tambah foto copy NPWP Direktur
Mekanisme PPN Indonesia
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa
Kena Pajak (JKP) wajib memungut PPN dari pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan
sebesar 10% dari Harga Jual atau penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti
pemungutannya.
2. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran (Out Put
Tax) bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (hutang
pajak).
3. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang dikenakan PPN, PPN
tersebut merupakan Pajak Masukan (In Put Tax), yang sifatnya sebagai pajak yang
dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan langsung dengan
kegiatan usahanya.
4. Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari
pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara selambat-lambatnya
tanggal 15 bulan berikutnya. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar
dari pada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau di
kompensasi ke masa pajak berikutnya.
5. Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Laporan Perhitungan PPN setiap bulan
(SPT Masa PPN) ke Kantor Pelayanan Pajak terkait selambat-lambatnya tanggal 20 bulan
berikutnya.
Contoh :
Pada bulan September 2002, PT CELEBAN melakukan penyerahan BKP sebesar Rp 100
Milyar, PPN yang dipungut sebesar 10% atau Rp 10 Milyar. Pembelian BKP/JKP yang
1.
dilakukan PT CELEBAN adalah Rp 80 Milyar, sehingga PPN yang dibayar atas pembelian
BKP/JKP tersebut sebesar 10 % dari 80 Milyar atau Rp 8 Milyar.
Penghitungan dan pengkreditan PPN yang dilakukan PT CELEBAN untuk Masa Pajak
September 2002 adalah:
Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp 2 Milyar tersebut harus disetorkan ke kas negara
melalui Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 Oktober 2002. Dan penghitungan tersebut
dituangkan dalam SPT Masa PPN Masa September 2002 yang harus disampaikan ke Kantor
Pelayanan Pajak dimana PT. CELEBAN terdaftar paling lambat tanggal 20 Oktober 2002.
Pada bulan Oktober 2002, PT CELEBAN melakukan penyerahan BKP sebesar Rp 120
Milyar, PPN yang dipungut sebesar 10% atau Rp 12 Milyar. Pembelian BKP/JKP yang
2.
dilakukan PT CELEBAN adalah Rp 140 Milyar, sehingga PPN yang dibayar atas
pembelian BKP/JKP tersebut sebesar 10 % dari 140 Milyar atau Rp 14 Milyar.
Penghitungan dan pengkreditan PPN yang dilakukan PT CELEBAN untuk Masa Pajak
Oktober 2002 adalah:
Jumlah PPN lebih bayar sebesar Rp 2 Milyar tersebut dapat dimintakan kembali (restitusi)
atau dikompensasikan ke Masa Pajak Nopember 2002. Penghitungan tersebut dituangkan
dalam SPT Masa PPN Masa Oktober 2002 yang harus disampaikan ke Kantor Pelayanan
Pajak dimana PT. CELEBAN terdaftar paling lambat tanggal 20 Nopember 2002.