Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK

NAMA: SAFIRA (2105160171) dan NANDA APRILIA (2105160181)


Tentang PPh pasal 21,22,23,24,25,26 dan pajak bumi dan bangunan

Pasal 21
Pajak penghasilan atau PPh pasal 21 dikenakan atas segala penghasilan. Pengenaan
PPh pasal 21 dilakukan dengan cara pemotongan pajak penghasilan melalui
pemotongan pajak PPh pasal 21. Sebagai pihak yang dipotong dari PPh pasal 21,
maka pihak yang memperoleh penghasilan tersebut berhak mendapatkan bukti
potong dari pihak yang memotong. Subjek bagi pajak PPh pasal 21 adalah orang
yang dikenakan pajak atas penghasilannya atau penerima penghasilan yang
dipotong PPh 21. Ada beberapa kategori yang dikenakan PPh 21 seperti: pegawai,
bukan pegawai, penerima pensiun maupun pesangon, anggota dewan komisaris,
mantan pekerja dan peserta kegiatan.
Dasar pengenaan pajak adalah dasar pengenaan pajak yang diperoleh dari
penghasilan kena pajak dari wajib pajak penerima penghasilan. Sedangkan untuk
dasar pengenaan pajak dan pemotong PPh pasal 21 adalah penghasilan kena pajak
bagi pegawai tetap, penerima pensiun berkala, pegawai tidak tetap yang
penghasilannya dibayar bulanan, bukan pegawai. Wajib pajak yang dimaksud
adalah yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tarif PPh pasal 21
dipotong dari jumlah penghasilan kena pajak (PKP) yang dibulatkan ke bawah
dalam ribuan penuh. Tarif PPh bersifat progresif yang artinya semakin tinggi
pengasilan yang diterima maka akan dikenakan lapis tarif lebih tinggi. Berdasarkan
Pasal 17 Undang-undang PPh besarnya tarif pajak yang berlaku yaitu:

• 5% untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000.


• 15% untuk penghasilan diatas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp
250.000.000.
• 25% untuk penghasilan Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000.
• 30% untuk penghasilan di atas Rp 500.000.000.
Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan dengan tarif
yang lebih tinggi.
Penyetoran pajak penghasilan (PPh) harus disetorkan paling lambat pada tanggal
10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sedangkan pembayarannya paling
lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sekarang ini proses
pembayaran pajak dapat dilakukan secara online. Dengan begitu akan semakin
memudahkan bagi setiap wajib pajak dalam menunaikan kewajibannya.
Pasal 22
PPh Pasal 22 atau Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha
tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan
perdagangan ekspor, impor dan re-impor.
Melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 92/PMK.03/2019 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008
tentang Wajib Pajak Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pemberi
atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah, pemerintah melebarkan
badan-badan yang berhak memungut PPh Pasal 22 yaitu menjadi wajib pajak badan
yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
1.Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)
Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan
Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang
dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan
perdagangan barang.
Mengingat sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan
PPh Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21
atau pun PPh 23.
Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang
dianggap “menguntungkan”, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat
menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah, PPh Pasal 22 dapat
dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.
2.Pemungut PPh Pasal 22
Bendahara & badan-badan yang memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari
pembelian adalah:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh
Pasal 22 impor barang;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang;
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP)
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga
yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang
meliputi:
• PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT
Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi
Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel
(Persero);
• Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usahanya.
6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari
pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan.
Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat
penjualan adalah:
1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan
hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM),
dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor
di dalam negeri;
3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas,
atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang
merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan
industri antara dan industri hilir.
5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan
usahanya:
▪ Mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan,
dan perikanan; dan
▪ Menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir
yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan.
Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21. Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya
transaksi antara pihak yang menerima penghasilan (penjual atau pemberi jasa) dan
pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan (pembeli atau penerima jasa) akan
memotong dan melaporkan PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak. Objek PPh
Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis jasa lainnya
seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015.
1.Pembayaran, Pelaporan dan Bukti Potong PPh Pasal 23
Prosedur pembayaran dan pelaporan PPh Pasal 23 diatur secara khusus dalam
peraturan perundang undangan perpajakan. Berikut ini adalah penjelasan
lengkapnya:
Pembayaran PPh Pasal 23
Pembayaran dilakukan oleh pihak pemotong yang kemudian menyetorkannya
melalui Bank Persepsi (ATM, teller bank, fitur bayar pajak online di OnlinePajak,
dll) yang telah disetujui oleh Kementerian Keuangan. Ingat! Jatuh tempo
pembayaran adalah tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23
Namun, agar dapat melakukan pembayaran pajak, Anda harus membuat ID Billing
terlebih dahulu. Tautan di bawah ini akan memandu Anda membuat ID Billing.
Bukti Potong PPh Pasal 23
Sebagai tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong, pihak pemotong harus
memberikan bukti potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang
dikenakan pajak tersebut dan bukti potong (rangkap ke-2) pada saat melakukan e-
Filing pajak PPh 23 di OnlinePajak.
Pelaporan PPh Pasal 23
Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh
Pasal 23, lalu bisa melaporkannya melalui fitur lapor pajak online atau e-Filing
gratis di OnlinePajak.
Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak
penghasilan 23. Jika sebelumnya perhitungan, pembayaran dan pelaporan PPh
Pasal 23 dilakukan secara terpisah-pisah, kini ketiga hal tersebut bisa dilakukan
dengan satu aplikasi OnlinePajak yang terintegrasi, mudah, otomatis dan lebih
cepat.
2.Tarif PPh 23 dan Objeknya
Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto
dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15%
dan 2%, tergantung dari objek PPh pasal 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif
dan objek PPh Pasal 23:
1. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib
Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
2. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan
dengan faktur pembelian);
3. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya
dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak
ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);
4. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian
pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak
kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti
pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas:
Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;
o Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan
pajak yang bersifat final;
o Pembayaran gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain
yang merupakan imbalan atas pekerjaan yang dilakukan wajib pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja. Hal ini harus dibuktikan oleh
kontrak kerja dengan pengguna jasa dan daftar pembayaran gaji,
tunjangan, upah, atau honorarium;
o Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan hasil pengadaan
barang atau material terkait jasa yang diberikan. Hal ini harus dibuktikan
oleh faktur pembelian atas pengadaan barang atau material;
o Pembayaran melalui penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus
dibuktikan oleh faktur tagihan dari pihak ketiga dan disertai dengan
perjanjian tertulis;
o Pembayaran kepada penyedia jasa yang berupa penggantian atau
reimbursement. Ini berlaku untuk biaya yang telah dibayarkan oleh
penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur
tagihan dan bukti pembayaran.
3.Jenis Objek PPh 23
Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis
jasa lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015. Berikut ini
adalah daftar lengkap objek PPh Pasal 23, tarif dan cara buat hitung, setor dan e-
Filing yang mudah, cepat, aman dan gratis.
Berikut ini adalah daftar objek pph 23 jasa lainnya tersebut:
1. Penilai (appraisal);
2. Aktuaris;
3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4. Hukum;
5. Arsitektur;
6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7. Perancang (design);
8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas)
kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas
bumi (migas);
10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12. Penebangan hutan;
13. Pengolahan limbah;
14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15. Perantara dan/atau keagenan;
16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa
Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek
Indonesia (KPEI);
17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19. Mixing film;
20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner,
pamphlet, baliho dan folder;
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer,
termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23. Internet termasuk sambungannya;
24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau
program;
25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau
TV Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,
AC dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi;
27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
28. Maklon;
29. Penyelidikan dan keamanan;
30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32. Pembasmian hama;
33. Kebersihan atau cleaning service;
34. Sedot septic tank;
35. Pemeliharaan kolam;
36. Katering atau tata boga;
37. Freight forwarding;
38. Logistik;
39. Pengurusan dokumen;
40. Pengepakan;
41. Loading dan unloading;
42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau
institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
43. Pengelolaan parkir;
44. Penyondiran tanah;
45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47. Pemeliharaan tanaman;
48. Permanenan;
49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau
perhutanan;
50. Dekorasi;
51. Pencetakan/penerbitan;
52. Penerjemahan;
53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-
Undang Pajak Penghasilan;
54. Pelayanan pelabuhan;
55. Pengangkutan melalui jalur pipa;
56. Pengelolaan penitipan anak;
57. Pelatihan dan/atau kursus;
58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59. Sertifikasi;
60. Survey;
61. Tester;
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah).
4.Pihak Pemotong PPh Pasal 23 dan Pihak yang Dikenakan PPh Pasal 23
Tidak semua pihak dapat dikenakan atau pun memotong PPh Pasal 23. Pihak-pihak
tersebut hanya mereka yang masuk pada kelompok berikut ini:
1. Pihak pemotong PPh Pasal 23:
o Badan pemerintah;
o Subjek pajak badan dalam negeri;
o Penyelenggara kegiatan;
o Bentuk Usaha Tetap (BUT);
o Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
o Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur
Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
o Wajib pajak dalam negeri;
o Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Pasal 24
1.Pengertian PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24)
PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang mengatur hak
wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk
mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah
pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang
telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak
melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia. Pemanfaatan kredit pajak
di luar negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena pajak ganda. Ada
beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar
pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Oleh karena itu, jenis
pajak ini, yaitu PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24), mungkin dapat berlaku
untuk Anda.
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang
pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan
penggunaan harta-benda bergerak.
3. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda
tidak bergerak.
4. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan.
5. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah
perusahaan pertambangan.
7. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk
usaha tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di
Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit
Anda kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus
membayar jumlah terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.
Apabila penghasilan luar negeri mengalami perubahan, maka wajib pajak
diharuskan melakukan pembetulan SPT tahun pajak yang bersangkutan.
2.Mekanisme Penghitungan PPh Pasal 24
Berikut sedikit ilustrasi penghitungan PPh Pasal 24:

• Katakanlah PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di dalam


negeri sebesar Rp 25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp
10.000.000.000. Asumsi pajak di luar negeri sebesar 20%.
• Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp 35.000.000.000
(Penghasilan dalam negeri + penghasilan luar negeri)
• Total PPh Terutang:
25% × Rp 35.000.000.000=Rp 8.750.000.000
• PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:
(Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) ×Total PPh Terutang
(Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000=Rp
2.500.000.000
Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar Rp
2.500.000.000. Nah, nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai pengurang pajak
dalam negeri.
Namun ingat, apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang yang sudah
dibayarkan pada pajak dalam negeri, terlebih dahulu Anda harus melapor kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan melaporkannya pada saat melapor SPT
Tahunan. Pelaporannya dilengkapi dengan tax return yang dilaporkan di luar negeri
dan dokumen-dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak di luar
negeri.
3.Koreksi PPh Pasal 24
Adanya koreksi di luar negeri, yang menyebabkan pajak atas penghasilan terutang
di luar negeri dilaporkan lebih besar dalam SPT Tahunan, dan menyebabkan pajak
di luar negeri tertera kurang bayar, maka akan berakibat kemungkinan PPh yang di
Indonesia menjadi kurang bayar.
Nah, untuk yang satu ini, wajib pajak bisa melakukan koreksi sendiri dengan
melakukan pembetulan atas SPT. Jika pembetulan sudah dilakukan, maka bunga
terutang atas pajak yang kurang dibayar tidak akan ditagih.
Jika koreksi yang terjadi menyebabkan penghasilan terutang luar negeri lebih kecil
daripada yang dilaporkan dalam SPT, maka akan menyebabkan laporan pajak luar
negeri lebih bayar.
Adanya koreksi ini mengakibatkan PPh terutang di Indonesia juga menjadi lebih
kecil. Akibatnya PPh kelebihan bayar. Kelebihan ini bisa dikembalikan setelah
dilakukan perhitungan dengan utang pajak yang lain.

Pasal 25
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar secara
angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat
pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus
dilakukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan.
1.Perhitungan PPh Pasal 25
Sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 99/PMK.03/2018, bahwa bagi Wajib Pajak
yang telah melewati jangka waktu tertentu PP Nomor 23 Tahun 2018 kemudian
memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan Umum Pajak
Penghasilan (tarif pasal 17), maka besarnya Angsuran PPh 25 untuk Tahun Pajak
pertama WP diberlakukan seperti Wajib Pajak baru.
Diatur dalam PMK Nomor 215/PMK.03/2018, bahwa Angsuran Pajak PPh 25 tidak
berlaku bagi Wajib Pajak Baru atau nihil. Sehingga tidak ada angsuran PPh 25 pada
tahun pertama setelah memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
Ketentuan Umum Pajak Penghasilan (tarif pasal 17).
Adapun Wajib Pajak yang ingin mengangsur PPh 25 pada tahun pertama setelah
memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan Umum Pajak
Penghasilan (tarif pasal 17) dengan cara: Penghasilan Neto sebulan yang
disetahunkan x Tarif Ketentuan / 12 Bulan
2.Batas Waktu Pembayaran Angsuran PPh Pasal 25
Batas waktu pembayaran angsuran PPh Pasal 25 paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya, jikat waktu pembayaran jatuh pada hari libur (sabtu,minggu, hari libur
nasional) maka pembayaran angsuran masih dapat dilakukan pada hari berikutnya
sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang
kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.242/PMK.03/2014
tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Keterlambatan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 yang dilakukan Wajib Pajak
akan dikenakan sanksi bunga sesusai dengan perbulan Tarif Sanksi Administrasi
Pajak Mengacu Suku Bunga Acuan BI, Melalui UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan
yang mengubah dan menambah beberapa pasal dalam UU No. 6/1983 yang diubah
dengan UU No. 16/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (KUP),
sanksi atau denda mengacu pada Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI-7 days
reserve repo rate) per bulan.

Pasal 26
Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, PPh Pasal 26 adalah pajak
penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri
dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Hal yang menentukan seorang individu atau perusahaan dikategorikan sebagai
wajib pajak luar negeri adalah:
seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang
tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang
tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen,
royalti dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri, diwajibkan untuk
memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas transaksi tersebut.
Berdasarkan PMK RI Nomor 9/PMK.03/2018 tentang SPT, pelaporan SPT PPh
pasal 26 wajib e-Filing sejak 1 April 2018.
Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Namun jika mengikuti tax
treaty/Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah.
Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)
Tarif 20% (final) atas jumlah bruto yang dikenakan atas:

• Dividen
• Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan
pembayaran pinjaman
• Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset
• Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
• Hadiah dan penghargaan
• Pensiun dan pembayaran berkala
• Premi swap dan transaksi lindung lainnya
• Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:

• Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.


• Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama penjualan atau
pengalihan saham perusahaan antara perusahaan media atau perusahaan tujuan
khusus yang didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan
pajak yang memiliki hubungan khusus untuk suatu entitas atau bentuk usaha tetap
(BUT) didirikan di Indonesia.
Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan
pajak, suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia.
Tingkat berdasarkan tax treaty (perjanjian pajak) yang dikenal sebagai JGI
Penghindaran Pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara-negara lain yang
berada dalam perjanjian, mungkin berbeda satu sama lain. Tarif mereka biasanya
mengurangi tingkat dari tarif biasa 20%, dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.
Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan atas tanah dan bangunan yang muncul
karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau
badan yang memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh manfaat dari padanya.
Jika dilihat dari sifatnya, Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang bersifat
kebendaan. Artinya, besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek yaitu
bumi dan/atau bangunan. Sedangkan keadaan subjeknya tidak ikut menentukan
besarnya barang.
Contoh objek bumi:

• Sawah.
• Ladang.
• Kebun.
• Tanah.
• Pekarangan.
• Tambang.
Contoh objek bangunan:

• Rumah tinggal.
• Bangunan usaha.
• Gedung bertingkat.
• Pusat perbelanjaan.
• Pagar mewah.
• Kolam renang.
• Jalan tol.
1.Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Subjek PBB adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata memiliki hal-hal
berikut ini:

• Mempunyai hak atas bumi.


• Memperoleh manfaat atas bumi.
• Memiliki bangunan.
• Menguasai bangunan.
• Memperoleh manfaat atas bangunan.
2.Tidak Termasuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Ternyata, tidak semua objek bumi bangunan bisa dikenakan PBB. Terdapat juga
objek pajak yang tidak dapat dikenakan PBB. Namun, objek pajak tersebut harus
memiliki kriteria tertentu yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Berikut ini daftar kriteria tersebut:

• Objek pajak tersebut digunakan semata-mata untuk kepentingan umum


dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional,
yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
• Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan
hal tersebut.
• Objek pajak merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggemkbalaan yang dikuasai suatu desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak.
• Objek pajak digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan
asas perlakuan timbal balik.
• Objek pajak digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh menteri keuangan.
3.Undang-Undang yang Mengatur Pajak Bumi dan Bangunan
Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan.
Kemudian, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak
dan Retribusi Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) telah diserahkan ke pemerintah
kabupaten/kota.
Sedangkan, untuk PBB sektor Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan (PBB
P3) masih di bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak
(DJP).
4.Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Tarif pajak bumi dan bangunan yang berlaku sejak dahulu hingga saat ini masih
sama, yakni sebesar 0,5%.
5.Cara Mendaftarkan Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Bagi Anda yang ingin mendaftarkan objek PBB, baik untuk orang pribadi maupun
badan, Anda harus mendaftarkan Objek Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP),
Kantor Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak yang akan Anda daftarkan.
Sesampainya di sana, Anda perlu meminta formulir Surat Pemberitahuan Objek
Pajak (SPOP) yang sudah tersedia secara gratis di KPP dan KP2KP setempat. Agar
prosesnya berjalan dengan lancar, maka Anda juga perlu memahami hak dan
kewajiban Anda sebagai pendaftar objek pajak bumi dan bangunan Anda.
6.Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dalam Mendaftarkan Objek Pajak
Berikut ini hak-hak Anda ketika mengurus atau mendaftarkan Objek Pajak Anda
ke KPP dan KP2KP:

• Anda dapat memperoleh formulir SPOP secara GRATIS pada KPP,


KP2KP, atau tempat lain yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.
• Anda berhak mendapatkan penjelasan, keterangan tentang tata cara
pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP atau KP2KP
setempat.
• Anda berhak mendapatkan tanda terima pengembalian SOPO dari KPP atau
KP2KP setempat.
• Anda boleh memperbaiki atau mengisi ulang SPOP jika terdapat kesalahan
dalam pengisian. Namun, perbaikan ini juga harus disertai dengan fotokopi
bukti sah sertifikat tanah, akta jual beli tanah, dan lain sebagainya.
• Anda juga berhak menunjuk pihak lain selain pegawai DJP dengan syarat
melampirkan surat kuasa khusus yang disertai meterai, sebagai tanda atas
kuasa wajib pajak untuk mengisi serta menandatangani SPOP.
• Anda berhak mengajukan permohonan secara tertulis soal penundaan
penyampaian SPOP asalkan tidak melampaui batas waktu dan menyebutkan
alasan-alasan yang sah.
Sedangkan kewajiban Anda sebagai wajib pajak dalam mendaftarkan objek pajak
Anda melalui KPP atau KP2KP adalah:

• Kewajiban Anda sebagai wajib pajak yang memiliki objek pajak bumi dan
bangunan adalah mendaftarkan objek pajak dengan mengisi SPOP.
• Ketika mengisi SPOP harus jelas, benar, dan lengkap. Artinya, data dapat
dibaca sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya, dan data terisi seluruhnya, kemudian ditandatangani, serta
melampirkan surat kuasa khusus jika proses pengisian/pengurusan SPOP
dikuasakan.
• Memberikan atau menyampaikan kembali SPOP yang telah Anda isi ke
KPP Pratama atau KP2KP setempat paling lambat 30 hari setelah formulir
SPOP diterima.
• Jika ada perubahan data, Anda wajib melaporkan perubahan atas data objek
pajak ke KPP Pratama atau KP2KP setempat dengan mengisi kembali SPOP
sebagai perbaikan SPOP yang salah sebelumnya dengan melampirkan
beberapa dokumen pendukung seperti, Fotokopi sertifikat tanah, akta jual
beli tanah, dan lain sebagainya.
7.Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Setelah mengetahui pengertian PBB, dasar hukumnya, subjek dan objek PBB, tarif,
serta cara mendaftarkan obejk pajak, kini Anda juga perlu tahu dasar PBB. Dasar
pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
NJOP merupakan harga rata-rata atau harga pasar pada transaksi jual beli tanah.
Dalam hal ini, objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Setiap tahun, biasanya
Menteri Keuangan dengan mendengarkan pertimbangan bupati/walikota
menetapkan NJOP. Penetapan tersebut didasarkan atas sejumlah hal seperti:
Dasar penetapan NJOP bumi:

• Letak.
• Pemanfaatan.
• Peruntukan.
• Kondisi Lingkungan.
Dasar penetapan NJOP bangunan:

• Bahan yang digunakan dalam bangunan.


• Rekayasa.
• Letak.
• Kondisi lingkungan.
Selain itu, terdapat juga dasar penetapan NJOP saat tidak ada transaksi jual beli.
Nah, penjelasannya akan dijabarkan di bawah ini.
1. Perbandingan Harga dengan Objek Lainnya: objek lain yang dimaksud
merupakan objek yang masih sejenis, lokasinya berdekatan, memiliki fungsi
yang sama dengan objek lain yang sudah diketahui nilai jualnya.
Penggunaan objek lain yang memiliki kriteria tersebut sebagai gambaran
yang kurang lebih bisa mendekati nilai objek yang dibandingkan. Sehingga
NJOP yang ditetapkan pun memiliki hitungan yang benar.
2. Nilai Perolehan Baru: penetapan NJOP dengan nilai perolehan baru yang
dimaksud adalah dengan menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk
memperoleh objek pajak. Penilaian tersebut nantinya akan dikurangi
dengan penyusutan yang terjadi, seperti penyusutan yang terjadi pada
kondisi fisik objek pajak.
3. Nilai Jual Pengganti: nilai jual pengganti yang dimaksud adalah penetapan
NJOP berdasarkan pada hasil produk onjek pajak. Jadi, nilai jualnya
didasarkan pada keluaran yang dihasilkan oleh objek pajak itu sendiri.
8.Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
NJOPTKP merupakan batas Nilai Jual Objek Pajak atas bumi dan bangunan yang
tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP di masing-masing wilayah memang berbeda-
beda. Namun, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
201/KMK.04/2000 ditetapkan, NJOPTKP untuk setiap daerah di kabupaten/kota
setinggi-tingginya senilai Rp12.000.000 dengan memperhatikan ketentuan sebagai
berikut:
1. Setiap wajib pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak 1 kali
dalam 1 Tahun Pajak.
2. Jika wajib pajak memiliki lebih dari 1 objek pajak, maka yang bisa atau
mendapat pengurangan NJOPTKP hanya 1 objek pajak yang nilainya paling
besar dan tidak bisa digabungkan dengan objek pajak lainnya yang wajib
pajak miliki.
9.Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) merupakan dasar penghitungan PBB. NJKP juga
dikenal sebagai assessment value atau nilai jual objek yang akan dimasukan dalam
perhitungan pajak terutang. Artinya, NJKP merupakan bagian dari NJOP.
Dalam KMK Nomor 201/KMK.04/2000, terdapat ketentuan persentase NJKP
sudah ditetapkan oleh pemerintah. Berikut ini rinciannya:

• Objek pajak perkebunan sebesar 40%.


• Objek pajak pertambangan sebesar 40%.
• Objek pajak kehutanan sebesar 40%.
• Objek pajak lainnya seperti Pedesaan dan Perkotaan dilihat dari nilai NJOP-
nya, yakni:
a. Jika NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00, persentase NJKP sebesar
40%.
b. Sedangkan, jika NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00, persentase NJKP
sebesar 20%.

Anda mungkin juga menyukai