Pasal 21
Pajak penghasilan atau PPh pasal 21 dikenakan atas segala penghasilan. Pengenaan
PPh pasal 21 dilakukan dengan cara pemotongan pajak penghasilan melalui
pemotongan pajak PPh pasal 21. Sebagai pihak yang dipotong dari PPh pasal 21,
maka pihak yang memperoleh penghasilan tersebut berhak mendapatkan bukti
potong dari pihak yang memotong. Subjek bagi pajak PPh pasal 21 adalah orang
yang dikenakan pajak atas penghasilannya atau penerima penghasilan yang
dipotong PPh 21. Ada beberapa kategori yang dikenakan PPh 21 seperti: pegawai,
bukan pegawai, penerima pensiun maupun pesangon, anggota dewan komisaris,
mantan pekerja dan peserta kegiatan.
Dasar pengenaan pajak adalah dasar pengenaan pajak yang diperoleh dari
penghasilan kena pajak dari wajib pajak penerima penghasilan. Sedangkan untuk
dasar pengenaan pajak dan pemotong PPh pasal 21 adalah penghasilan kena pajak
bagi pegawai tetap, penerima pensiun berkala, pegawai tidak tetap yang
penghasilannya dibayar bulanan, bukan pegawai. Wajib pajak yang dimaksud
adalah yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tarif PPh pasal 21
dipotong dari jumlah penghasilan kena pajak (PKP) yang dibulatkan ke bawah
dalam ribuan penuh. Tarif PPh bersifat progresif yang artinya semakin tinggi
pengasilan yang diterima maka akan dikenakan lapis tarif lebih tinggi. Berdasarkan
Pasal 17 Undang-undang PPh besarnya tarif pajak yang berlaku yaitu:
Pasal 24
1.Pengertian PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24)
PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang mengatur hak
wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk
mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah
pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang
telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak
melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia. Pemanfaatan kredit pajak
di luar negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena pajak ganda. Ada
beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar
pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Oleh karena itu, jenis
pajak ini, yaitu PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24), mungkin dapat berlaku
untuk Anda.
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang
pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan
penggunaan harta-benda bergerak.
3. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda
tidak bergerak.
4. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan.
5. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah
perusahaan pertambangan.
7. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk
usaha tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di
Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit
Anda kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus
membayar jumlah terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.
Apabila penghasilan luar negeri mengalami perubahan, maka wajib pajak
diharuskan melakukan pembetulan SPT tahun pajak yang bersangkutan.
2.Mekanisme Penghitungan PPh Pasal 24
Berikut sedikit ilustrasi penghitungan PPh Pasal 24:
Pasal 25
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar secara
angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat
pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus
dilakukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan.
1.Perhitungan PPh Pasal 25
Sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 99/PMK.03/2018, bahwa bagi Wajib Pajak
yang telah melewati jangka waktu tertentu PP Nomor 23 Tahun 2018 kemudian
memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan Umum Pajak
Penghasilan (tarif pasal 17), maka besarnya Angsuran PPh 25 untuk Tahun Pajak
pertama WP diberlakukan seperti Wajib Pajak baru.
Diatur dalam PMK Nomor 215/PMK.03/2018, bahwa Angsuran Pajak PPh 25 tidak
berlaku bagi Wajib Pajak Baru atau nihil. Sehingga tidak ada angsuran PPh 25 pada
tahun pertama setelah memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
Ketentuan Umum Pajak Penghasilan (tarif pasal 17).
Adapun Wajib Pajak yang ingin mengangsur PPh 25 pada tahun pertama setelah
memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan Umum Pajak
Penghasilan (tarif pasal 17) dengan cara: Penghasilan Neto sebulan yang
disetahunkan x Tarif Ketentuan / 12 Bulan
2.Batas Waktu Pembayaran Angsuran PPh Pasal 25
Batas waktu pembayaran angsuran PPh Pasal 25 paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya, jikat waktu pembayaran jatuh pada hari libur (sabtu,minggu, hari libur
nasional) maka pembayaran angsuran masih dapat dilakukan pada hari berikutnya
sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang
kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.242/PMK.03/2014
tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Keterlambatan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 yang dilakukan Wajib Pajak
akan dikenakan sanksi bunga sesusai dengan perbulan Tarif Sanksi Administrasi
Pajak Mengacu Suku Bunga Acuan BI, Melalui UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan
yang mengubah dan menambah beberapa pasal dalam UU No. 6/1983 yang diubah
dengan UU No. 16/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (KUP),
sanksi atau denda mengacu pada Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI-7 days
reserve repo rate) per bulan.
Pasal 26
Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, PPh Pasal 26 adalah pajak
penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri
dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Hal yang menentukan seorang individu atau perusahaan dikategorikan sebagai
wajib pajak luar negeri adalah:
seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang
tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang
tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen,
royalti dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri, diwajibkan untuk
memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas transaksi tersebut.
Berdasarkan PMK RI Nomor 9/PMK.03/2018 tentang SPT, pelaporan SPT PPh
pasal 26 wajib e-Filing sejak 1 April 2018.
Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Namun jika mengikuti tax
treaty/Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah.
Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)
Tarif 20% (final) atas jumlah bruto yang dikenakan atas:
• Dividen
• Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan
pembayaran pinjaman
• Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset
• Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
• Hadiah dan penghargaan
• Pensiun dan pembayaran berkala
• Premi swap dan transaksi lindung lainnya
• Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:
• Sawah.
• Ladang.
• Kebun.
• Tanah.
• Pekarangan.
• Tambang.
Contoh objek bangunan:
• Rumah tinggal.
• Bangunan usaha.
• Gedung bertingkat.
• Pusat perbelanjaan.
• Pagar mewah.
• Kolam renang.
• Jalan tol.
1.Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Subjek PBB adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata memiliki hal-hal
berikut ini:
• Kewajiban Anda sebagai wajib pajak yang memiliki objek pajak bumi dan
bangunan adalah mendaftarkan objek pajak dengan mengisi SPOP.
• Ketika mengisi SPOP harus jelas, benar, dan lengkap. Artinya, data dapat
dibaca sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya, dan data terisi seluruhnya, kemudian ditandatangani, serta
melampirkan surat kuasa khusus jika proses pengisian/pengurusan SPOP
dikuasakan.
• Memberikan atau menyampaikan kembali SPOP yang telah Anda isi ke
KPP Pratama atau KP2KP setempat paling lambat 30 hari setelah formulir
SPOP diterima.
• Jika ada perubahan data, Anda wajib melaporkan perubahan atas data objek
pajak ke KPP Pratama atau KP2KP setempat dengan mengisi kembali SPOP
sebagai perbaikan SPOP yang salah sebelumnya dengan melampirkan
beberapa dokumen pendukung seperti, Fotokopi sertifikat tanah, akta jual
beli tanah, dan lain sebagainya.
7.Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Setelah mengetahui pengertian PBB, dasar hukumnya, subjek dan objek PBB, tarif,
serta cara mendaftarkan obejk pajak, kini Anda juga perlu tahu dasar PBB. Dasar
pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
NJOP merupakan harga rata-rata atau harga pasar pada transaksi jual beli tanah.
Dalam hal ini, objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Setiap tahun, biasanya
Menteri Keuangan dengan mendengarkan pertimbangan bupati/walikota
menetapkan NJOP. Penetapan tersebut didasarkan atas sejumlah hal seperti:
Dasar penetapan NJOP bumi:
• Letak.
• Pemanfaatan.
• Peruntukan.
• Kondisi Lingkungan.
Dasar penetapan NJOP bangunan: