Anda di halaman 1dari 18

TUGAS ADMINISTRASI PERPAJAKAN

_____________________________________________________

Nama : Widya Eka Cahyani


NIM. : 045249423
Mata Kuliah : ADMINISTRASI PERPAJAKAN
UPBJJ. : Mataram

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) merupakan
jenis pajak yang dikenakan terhadap penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain yang diterima oleh pegawai,
bukan pegawai, mantan pegawai, penerima
pesangon dan lain sebagainya.

Berdasarkan Bab V Pasal 9 Peraturan Direktur


Jenderal Pajak (PER) Nomor PER-16/PJ/2016,
Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh 21
adalah sebagai berikut:

1. Penerima penghasilan kena pajak, antara lain:

Pegawai tetap
Penerima pensiun berkala
Pegawai tidak tetap dengan penghasilan per
bulan melewati Rp 4.500.000
Bukan pegawai seperti yang dimaksud dalam
PER-16/PJ/2016 Pasal 3(c) yang menerima
imbalan yang sifatnya berkesinambungan.
2. Seseorang yang menerima penghasilan
melebihi Rp 450.000 per hari, yang berlaku bagi
pegawai tidak tetap atau tenaga lepas yang
menerima upah harian, upah mingguan, upah
satuan atau upah borongan, sepanjang
penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1
bulan kalender belum melebihi Rp 4.500.000.

3. 50% dari penghasilan bruto, yang berlaku bagi


bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam
PER-16/PJ/2016 Pasal 3(c) yang menerima
imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan.

4. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi


penerima penghasilan selain penerima
penghasilan, sebagaimana yang dimaksud dalam
tiga poin di atas.

Selain dasar pengenaan dan pemotongan,


perhitungan PPh 21 juga didasarkan atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Artinya, pengenaan PPh tidak secara mentah


diterapkan sesuai tarif, melainkan dikurangi PTKP
terlebih dahulu. Anda dapat menemukan tarif
PTKP yang berlaku di bawah ini.

Perhitungan PPh 21 dengan PTKP Terbaru

Perhitungan PPh 21 selalu disesuaikan dengan


tarif PTKP yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak (DJP). Saat ini, hukum terbaru
yang mendasari tentang PTKP adalah Undang-
Udang Harmonisasi Perpajakan No. 7 Tahun
2021 pada bab III pasal 7. Berikut ini adalah
besaran PTKP terbaru yang berlaku:

Bagi wajib pajak orang pribadi sebesar


Rp54.000.000
Bagi wajib pajak yang kawin memperoleh
tambahan sebesar Rp4.500.000
PTKP bagi istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami, sebesar
Rp54.000.000
Bila ada tambahan, maksimal 3 orang untuk
tanggungan keluarga sedarah dalam satu garis
keturunan, semenda, atau anak angkat, sebesar
Rp4.500.000.
Adapun yang dimaksud dengan keluarga sedarah
adalah orang tua kandung, saudara kandung, dan
anak. Sedangkan keluarga semenda adalah
mertua, anak tiri, dan ipar.

Selain adanya penyesuaian pada tarif PTKP,


terdapat perubahan pada tarif progresif yang
digunakan untuk menghitung penghasilan kena
pajak (PKP). Berikut ini adalah besaran tarif
progresif yang berlaku.
Tarif 5% dikenakan untuk PKP hingga Rp60 juta
Tarif 15% dikenakan pada PKP dari Rp60 juta
sampai dengan Rp250 juta.
Tarif 25% dikenakan pada PKP dari Rp250 juta
sampai dengan Rp500 juta.
Tarif 30% dikenakan pada PKP dari Rp500 juta
hingga Rp5 miliar.
Tarif 35% dikenakan pada PKP di atas Rp5 miliar.
Dengan berlakunya UU HPP, tarif PTKP yang
ditetapkan oleh DJP telah mengalami perubahan.

Sumber : https://www.online-
pajak.com/tentang-pph21/cara-perhitungan-
pph-21

Melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan


RI No. 92/PMK.03/2019 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Tertentu
Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari
Pemberi atas Penjualan Barang yang Tergolong
Sangat Mewah, pemerintah melebarkan badan-
badan yang berhak memungut PPh Pasal 22
yaitu menjadi wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah
PPh Pasal 22 atau Pajak Penghasilan Pasal 22
dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu,
baik milik pemerintah maupun swasta yang
melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor
dan re-impor.

Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36


tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh
Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau
pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak
terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan
kegiatan perdagangan barang.

Mengingat sangat bervariasinya obyek,


pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh
Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan dengan
PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23.

Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan


terhadap perdagangan barang yang dianggap
“menguntungkan”, sehingga baik penjual
maupun pembelinya dapat menerima
keuntungan dari perdagangan tersebut.

Karena itulah, PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik


saat penjualan maupun pembelian.
Pemungut PPh Pasal 22
Bendahara & badan-badan yang memungut PPh
Pasal 22 sebesar 1,5% dari pembelian adalah:

Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan


Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal 22 impor
barang;
Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi
atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang;
Bendahara pengeluaran berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan
(UP);
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat
penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS);
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik
Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara
(Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero)
Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi
Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero),
PT Krakatau Steel (Persero);
Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang
dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usahanya.
Industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian
bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk
keperluan industrinya atau ekspornya.
Industri atau badan usaha yang melakukan
pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari
badan atau orang pribadi pemegang izin usaha
pertambangan.
Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang
wajib memungut PPh Pasal 22 saat penjualan
adalah:
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri semen, industri kertas, industri baja,
industri otomotif, dan industri farmasi, atas
penjualan hasil produksinya kepada distributor di
dalam negeri;
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen
Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan
bermotor di dalam negeri;
Produsen atau importir bahan bakar minyak,
bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan
bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas;
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri baja yang merupakan industri hulu,
termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan
industri antara dan industri hilir.
Pedagang pengumpul berupa badan atau orang
pribadi yang kegiatan usahanya:
mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
menjual hasil tersebut kepada badan usaha
industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
90/PMK.03/2015, pemerintah menambahkan
pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak
badan yang melakukan penjualan barang yang
tergolong sangat mewah.

sumber https://www.online-pajak.com/tentang-
pajak-pribadi/pph-pajak-penghasilan-pasal-22

Tarif PPh 23 adalah tarif yang dikenakan atas


penghasilan yang berasal dari modal, hadiah &
penghargaan serta penyerahan jasa selain yang
telah dipotong PPh 21.

Seperti yang termuat dalam UU No. 36 Tahun


2008 tentang Pajak Penghasilan, PPh 21
diberlakukan untuk Penghasilan Kena Pajak yang
berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan wajib pajak. Sumber penghasilan yang
dimaksud dalam hal ini di antaranya adalah
upah, honorarium, gaji, tunjangan, dana pensiun
dan imbalan lain.

2 Jenis Tarif PPh 23


Subjek pajak yang dikenai tarif PPh 23 adalah
wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan
bentuk usaha tetap. Sementara itu, pemotong
PPh Pasal 23 adalah badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap,
penyelenggara kegiatan, perwakilan perusahaan
luar negeri, dan orang pribadi yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak.

Berdasarkan aturan yang berlaku dan tercantum


dalam UU PPh, tarif PPh 23 dibedakan atas dua
jenis. Berikut ini ulasannya:

Tarif PPh 23 sebesar 15%


Wajib pajak diharuskan membayar PPh sebesar
15% dari jumlah bruto atas dividen, bunga,
royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus, atau
sejenisnya, selain yang belum dipotong oleh PPh
Pasal 21.

Seperti yang tercantum di dalam Pasal 4 ayat (1)


UU 36 Tahun 2008 tentang PPh, dividen yang
dimaksud termasuk dividen yang diterima oleh
pemegang polis dari perusahaan asuransi serta
pembagian sisa hasil usaha koperasi. Bunga
adalah diskonto, premium, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang. Sementara yang
dimaksud dengan royalti adalah imbalan atas
penggunaan hak.
Tarif PPh 23 sebesar 2%
Wajib pajak diharuskan membayar PPh sebesar
2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan
lain yang berkaitan dengan penggunaan harta.
Sewa dan penghasilan lain yang berasal dari
penggunaan tanah dan bangunan dikecualikan
dari pajak ini Dasar hukumnya dapat kita
temukan pada pasal 4 ayat (2) bagian d.

Tarif ini juga berlaku untuk jumlah bruto dari


imbalan jasa teknik, jasa konstruksi, jasa
manajemen, dan jasa konsultan. Selain itu, ada
beberapa jenis jasa lain yang dikenakan tarif PPh
23 2%, yaitu jasa penilai, jasa akuntansi, jasa
hukum, jasa perancang, jasa pengolahan limbah,
jasa penerbitan/percetakan, jasa penerjemahan,
jasa sertifikasi, dan lain sebagainya seperti yang
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Contoh Penghitungan PPh Pasal 23


Penghitungan PPh Pasal 23 dengan Tarif
Pemotongan 2%
PT Sejahtera memberikan jasa konsultasi kepada
CV Indah pada bulan Agustus 2019 dengan
imbalan sebesar Rp20.000.000 tunai.
Maka, penghitungan PPh 23 untuk pendapatan
ini adalah:

2% x penghasilan bruto

2% x Rp20.000.000 = Rp400.000

Besaran PPh Pasal 23 untuk imbalan jasa


konsultasi PT Sejahtera adalah sebesar
Rp400.000 dan harus dilaporkan oleh CV Indah
ke kantor pajak.

Penghitungan PPh Pasal 23 dengan Tarif


Potongan 15%
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT
Sejahtera mengumumkan pembagian dividen
sebesar Rp3.000.000.000. PT Perkasa memiliki
10% saham PT Sejahtera.

PT Perkasa adalah wajib pajak badan yang atas


dividen yang diterimanya tidak berlaku
ketentuan PPh pasal 4 ayat (2). Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang (UU) PPh Nomor 36
Tahun 2008, penghasilan berupa dividen yang
diterima PT Perkasa dikenai PPh pasal 23 dengan
tarif 15% dari penghasilan bruto.
Kepemilikan PT Perkasa adalah 10%, sehingga
dividen yang menjadi hak PT Perkasa adalah
Rp300.000.000 (Rp3.000.000.000×10%).

Jumlah PPh pasal 23 yang dipotong adalah


Rp45.000.000 (Rp300.000.000×15%).

Ketentuan Penting dalam PPh 23


Jumlah bruto adalah jumlah penghasilan yang
dibayarkan, akan dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayaran, oleh badan pemerintah,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
subjek pajak dalam negeri, atau perwakilan
perusahaan luar negeri.

Namun, jumlah bruto tersebut tidak termasuk


dalam beberapa bagian ini:

Pembayaran gaji, upah, tunjangan, honorarium,


dan pembayaran lain yang merupakan imbalan
atas pekerjaan yang dilakukan wajib pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja. Hal
ini harus dibuktikan oleh kontrak kerja dengan
pengguna jasa dan daftar pembayaran gaji,
tunjangan, upah, atau honorarium.
Pembayaran kepada penyedia jasa yang
merupakan hasil pengadaan barang atau
material terkait jasa yang diberikan. Hal ini harus
dibuktikan oleh faktur pembelian atas
pengadaan barang atau material.
Pembayaran melalui penyedia jasa kepada pihak
ketiga. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur
tagihan dari pihak ketiga dan disertai dengan
perjanjian tertulis.
Pembayaran kepada penyedia jasa yang berupa
penggantian atau reimbursement. Ini berlaku
untuk biaya yang telah dibayarkan oleh penyedia
jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus dibuktikan
oleh faktur tagihan dan bukti pembayaran.
Selain itu, jumlah bruto juga tidak berlaku atas
penghasilan untuk jasa katering dan penghasilan
yang telah dikenakan dengan pajak bersifat final.

Selain dari yang tercatat tersebut, ada beberapa


pengecualian lain yang tidak dikenakan
pemotongan PPh 23, yaitu sebagai berikut:

Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada


bank.
Sewa yang dibayar atau terutang berkaitan
dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
Dividen yang diterima dari cadangan laba yang
ditahan.
Kepemilikan saham pada badan berupa
Perseroan Terbatas atau BUMN/BUMD yang
memberikan dividen paling rendah 25% berasal
dari jumlah modal yang disetor.
Laba yang diterima oleh anggota perseroan
komanditer.
SHU (Sisa Hasil Usaha) koperasi yang dibayarkan
kepada anggota.
Penghasilan yang dibayar atau terutang atas jasa
keuangan dari badan usaha yang berfungsi
menyalurkan pinjaman atau pembiayaan.
Perlu diketahui, apabila wajib pajak tidak
memiliki NPWP, tarif yang diberlakukan adalah
100% lebih tinggi daripada tarif PPh 23 yang
ditetapkan. Jadi, apabila jumlah PPh yang harus
dibayar oleh wajib pajak pemilik NPWP adalah
Rp500.000, maka PPh yang harus dibayar oleh
wajib pajak yang tidak memiliki NPWP adalah
Rp500.000 +(100% x Rp500.000) = Rp1.000.000.

Setelah mengetahui besaran tarif PPh 23, jangan


lupa untuk membayar dan melaporkannya tepat
waktu. Anda dapat membuat bukti potong,
membayar dan melaporkan PPh 23 melalui
aplikasi OnlinePajak. Sebagai mitra resmi DJP,
OnlinePajak memiliki layanan yang memudahkan
Anda untuk pengelolaan PPh 23.
sumber https://www.online-pajak.com/tentang-
bukti-potong/tarif-pph-23

2. Pajak berganda akan terjadi ketika dalam suatu transaksi


lintas batas negara, terdapat lebih dari satu negara yang
mengklaim hak pemajakan atas transaksi lintas batas negara
tersebut berdasarkan suatu faktor penghubung yang berlaku
menurut ketentuan pajak domestik dari masing-masing
negara.

kelemahan pajak berganda


- pembebanan pajak berganda
- ketidak adilan terhadap wajib pajak
- kompleksitas administrasi

kelebihan

- pendapatan pemerintah menaik


- pengendalian dividen
- perlindungan ekonomi

dasar hukumnya

Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945


Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
membuat perjanjian dengan negara lain.
Selanjutnya,…

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang


Perjanjian Internasional
Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian
internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek
hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para
pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut
dengan itikad baik.
kemudian,…

Pasal 32 A UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


stdd UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakkan pajak
Kedudukan P3B bedasarkan ketentuan ini adalah lex
specialist terhadap Undang-undang domestik. Sehingga, jika
ada ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan
dengan ketentuan dalam P3B maka yang didahulukan adalah
ketentuan P3B. Sementara itu, proses pembentukan P3B
seperti proses pendekatan, perundingan, ratifikasi serta
pemberlakuannya tunduk kepada Undang-undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Pasal 35 UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd


UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan
Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Mengingat Pasal 32A dan 35 UU tentang Pajak Penghasilan
maka terbitlah Peraturan Pemerintah No 94 Tahun 2010

Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 94 Tahun 2010


…mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda … diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak
Yang kemudian terbitlah Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
25/PJ/2018 Tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda

Anda mungkin juga menyukai