Anda di halaman 1dari 29

PERPAJAKAN II

RINGKASAN MATERI KULIAH


“PPh Pasal 21, 22, 23, 24, 26 dan PPh Final Pasal 4”

Oleh:
1. I Kadek Arka Marthayana (2007531011)
2. Komang Puja Astiti (2007531020)
3. Agus Erik Wistika Putra (2007531029)

Dosen Pengempu
Ni Luh Supadmi, S.E., M.Si., Ak. CA

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
1. Pajak PenghasilanPasal 21
1.1 Pengertian PPh Pasal 21
PPh pasal 21 menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015
adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri.
Dasar hukum perhitungan dan pemotongan PPh ini merujuk pada:
 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016
 Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016 dan 102/PMK.010/2016
 Peraturan/UU lainnya yang memuat tentang Pajak Penghasilan
1.2 Objek PPh Pasal 21
1. Penghasilan Kena Pajak (PKP)
PKP (Penghasilan Kena Pajak) PPh Pasal 21 menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak
No. PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
 Pegawai tetap
 Penerima pensiun berkala
 Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar setiap bulan (atau jumlah kumulatif
penghasilan dalam satu bulan telah melebihi Rp4.500.000)
 Bukan pegawai, yang penghasilannya bersifat berkesinambungan
Jika jumlah penghasilan lebih dari Rp450.000/hari. Ketentuan ini berlaku bagi pegawai
tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang memperoleh upah harian, mingguan, satuan, atau
borongan.
Sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam satu bulan kalender telah melebihi
Rp4.500.000.
Selain itu, pemotongan tarif PPh 21 sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto.
Ketentuan ini berlaku bagi bukan pegawai yang memperoleh penghasilan tidak bersifat
berkesinambungan.
2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
 Rp54.000.000 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
 Rp4.500.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
 Rp54.000.000 untuk istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.
 Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
1.3 Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
Sesuai dengan Pasal 17 ayat 1, tarif pajak penghasilan pribadi perhitungannya dengan
menggunakan tarif progresif sebagai berikut:

 Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp50.000.000,- adalah 5%.
 Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp50.000.000,- sampai dengan
Rp250.000.000,- adalah 15%.
 Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp250.000.000,- sampai dengan
Rp500.000.000,- adalah 25%.
 Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp500.000.000,- adalah 30%.
 Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari
mereka yang memiliki NPWP.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 21

Pak Kelik mulai bekerja di PT AAA pada bulan Februari 2021 dengan status masih lajang
dan tidak punya tanggungan dengan gaji Rp8.000.000 sebulan dan memiliki NPWP. PT
AAA memberikan tunjangan NPJS Ketenagakerjaan dengan iuran yang dibayarkan
perusahaan sebesar 3% dari gaji dan iuran pensiun yang dipotong dari Pak Kelik sebesar 2%
dari gaji setiap bulan. Berapa PPh 21 Pak Kelik pada Februari? Maka, berikut perhitungan
PPh 21 Februari yang di dalamnya ada komponen penghitungan PPh 21 setahun atau
penghasilan neto setahun.

Perhitungan:

Penghasilan sebulan = Rp. 8.000.000

Premi Jaminan Pensiun 3% x Rp. 8.000.000 = Rp. 240.000 (+)

Penghasilan Bruto = Rp. 8.240.000

Iuran Pensiun 2% x Rp. 8.000.000 = Rp. 160.000 (-)

Penghasilan Neto Sebulan = Rp. 8.080.000

Penghasilan Neto Setahun:

(Februari – Desember) x Pengh. Neto Sebulan = 11 x Rp. 8.080.000 = Rp. 88.880.000

PTKP (TK/0) = Rp. 54.000.000 (-)


Penghasilan Kena Pajak = Rp. 34.880.000

PPh Terutang = 5% x Rp. 34.880.000 = Rp. 1.744.000

PPh Tertang Februari = Rp. 1.744.000 : 12 = Rp. 145.333

2. Pajak Penghasilan Pasal 22

2.1 Pengertian PPh Pasal 22

Merupakan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan yang di pungut oleh:

1. Bendahara pemerintah untuk memungut PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran


atas penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22 dari Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22  dari pembeli atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.

Berdasarkan penjelasan Pasal 22 UU PPh, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak
adalah:

1. Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,


instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara
adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi
barang tertentu antara lain otomotif dan semen; dan
3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini
akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai
barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya,
seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah,
serta kendaraan sangat mewah.

Besarnya pungutan PPh Pasal 22 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang.

2.2 Pemungut PPh Pasal 22

Pemungut PPh Pasal 22 adalah:


1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal
22 impor barang;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)  atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
1. PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan
Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT
Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya
(Persero), PT Krakatau Steel (Persero);
2. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk
keperluan industrinya atau ekspornya.
7. Industri ata u badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan.

2.3 Tarif PPh Pasal 22

Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:

1. Atas impor:
1. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
2. non-API = 7,5% x nilai impor;
3. yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
yaitu:
1. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
2. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
3. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan
bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
1. Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen
bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API =
0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan
1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
3. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
4. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan
lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
kepabeanan di bidang impor.

Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud di atas yang diterapkan terhadap


Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan
Nomor Pokok Wajib Pajak. Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 yang bersifat tidak final.

2.4 Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan
Nilai;
3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali;
4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:
1. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara Pemerintah dan
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, KPA atau pejabat
penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA)), yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)
dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu dan Bank
BUMN) yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
3. pembayaran untuk:
 pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda
pos;
 pemakaian air dan listrik.
6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor;
7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).

Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor


sebagaimana dimaksud pada point 2 di atas, tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut
dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen). Pengecualian sebagaimana dimaksud
pada point 1 dan 6 dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22
yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 4, 5, dan 7 di atas dilakukan tanpa Surat
Keterangan Bebas (SKB). Ketentuan Pengecualian pengenaan PPh Pasal 22 atas kegiatan
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau PPN, atas impor
sementara dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak.

2.5 Cara Penyetoran dan Kewajiban Pelapor

1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh
importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Penyetoran
dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA,
bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.

Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak selain , wajib disetor oleh pemungut ke
kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. Pemungut wajib menerbitkan Bukti Pemungutan
PPh Pasal 22.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak wajib melaporkan hasil
pemungutannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan
Pajak. Semua Pemungutan PPh Pasal 22 bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut, kecuali atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh Produsen atau importir
bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas kepada penyalur/agen.

2.6 Contoh Perhitungan PPh Pasal 22

PT DTC berkedudukan di Jakarta, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor bagi Dinas Pendidikan
Kota Tangerang Selatan. Pada tanggal 1 Oktober 2015, PT DTC melakukan penyerahan barang
kena pajak dengan nilai kontrak sebesar Rp11.000.000 (nilai sudah termasuk PPN). Maka,
berapakah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan?

Jawaban:

No Diketahui Nilai (Rp)

1 Nilai kontrak termasuk PPN Rp11.000.000

2 DPP (100/110) x Rp11.000.000 Rp10.000.000

3 PPN dipungut (10% dari DPP) Rp1.000.000

4 PPh Pasal 22 yang dipungut (1,5% x Rp10.000.000) Rp150.000

Jadi, besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan
sebesar Rp150.000. PPh Pasal 22 = 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN.

3. PPh Pasal 23
Pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri dan Badan Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pemabayaran oleh badan
pemerintah, subjek badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

3.1 Pemotongan PPh Pasal 23


Pemotongan PPh Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan
yang terdiri atas badan pemerintah, Subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
Bentuk Usaha Tetap, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi
sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukan dari Direktur Jendral
Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23.

3.2 Objek Pemotongan PPh Pasal 23


1. Dividen, dengan nama atau dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian hasil sisa koperasi.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
3. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
4. Royalti
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
tanah dan/bangunan.
6. Imbalan sehubung dengan jasa Teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21.
3.3 Pengecualian Objek Pemotongan PPh Pasal 23
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi
3. Dividen atau bagian laba yang diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik
Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
tinggal di Indonesia dengan syarat:
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
b. Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25%
dari jumlah modal yang disetor
4. Dividen yang diterima oleh orang pribadi
5. Bagian laba yang diterima anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya
7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan
3.4 Tarif Pemotongan
1. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang
c. Royalti
d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh
Pasal 21
2. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
atas:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa tanah dan/atau bangunan
b. Imbalan dengan sehubungan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotoh PPh Pasal 21. Jasa lain
terdiri atas:
1) Jasa penilai (appraisal)
2) Jasa aktuaris
3) Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan
4) Jasa hukum
5) Jasa arsitektur
6) Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape
7) Jasa perancang (design)
8) Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi
(migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap (BUT)
9) Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan
gas bumi (migas)
10) Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi
dan penambangan minyak dan gas bumi (migas)
11) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara
12) Jasa penebangan hutan
13) Jasa pengolahan limbah
14) Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services)
15) Jasa perantara dan/atau keagenan
16) Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan
oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI
17) Jasa kustodian/pemyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oleh
KSEI
18) Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
19) Jasa mixing film
20) Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise,
banner, pamphlet, baliho dan folder
21) Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer,
termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan
22) Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website
23) Jasa internet termasuk sambungannya
24) Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi,
dan/atau program
25) Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi
26) Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon,
air, gas, AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai
izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
27) Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut dan udara
28) Jasa maklon
29) Jasa penyelidikan dan keamanan
30) Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer
31) Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar
ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa
periklanan
32) Jasa pembasmian hama
33) Jasa kebersihan atau cleaning service
34) Jasa sedot septic tank
35) Jasa pemeliharaan kolam
36) Jasa katering atau tata boga
37) Jasa freight forwarding
38) Jasa logistik
39) Jasa pengurusan dokumen
40) Jasa pengepakan
41) Jasa loading dan unloading
42) Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh
lembaga atau insitusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis
43) Jasa pengelolaan parkir
44) Jasa penyondiran tanah
45) Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan
46) Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit
47) Jasa pemeliharaan tanaman
48) Jasa pemanenan
49) Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan,
dan/atau perhutanan
50) Jasa dekorasi
51) Jasa pencetakan/penerbitan
52) Jasa penerjemahan
53) Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15
Undang-Undang Pajak Penghasilan
54) Jasa pelayanan kepelabuhanan
55) Jasa pengangkutan melalui jalur pipa
56) Jasa pengelolaan penitipan anak
57) Jasa pelatihan dan/atau kursus
58) Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM
59) Jasa sertifikasi
60) Jasa survey
61) Jasa tester
62) Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.

Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan memiliki Nomor


Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%. Kepemilikan
Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak dengan cara menunjukkan
kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.

3.5 Cara Menghitung PPh Pasal 23


1. Cara menghitung PPh Pasal 23 atas Dividen

PPh Pasal 23= 15% x Bruto

Contoh 1:

PT Arka Jaya membayarkan dividen kepada CV Rahayu sebesar Rp350.000.000.

PPh Pasal 23 dipotong PT Arka Jaya adalah:

15% x Rp350.000.000= Rp52.500.000

2. Cara menghitung PPh Pasal 23 atas Bunga, Termasuk Premium, Diskonto, dan
Imbalan karena Jaminan Pengembalian Utang

PPh Pasal 23= 15% x Bruto


Contoh 2:

PT Arka Jaya membayar bunga atas pinjaman kepada PT Wistika sebesar


Rp90.000.000.

PPh Pasal 23 dipotong PT Arka Jaya adalah:

15% x Rp90.000.000= Rp13.500.000

3. Cara menghitung PPh Pasal 23 atas Royalti

PPh Pasal 23= 15% x Bruto


Contoh 3:
PT Senja membayar royalti kepada Nona Grace atas penulisan novel “Matahari
yang Ku Rindukan” sebesar Rp60.000.000.
PPh Pasal 23 yang dipotong PT Senja adalah:
15% x Rp60.000.000= Rp9.000.000

Jika Nona Grace tidak memiliki kartu NPWP, maka tarif pajak dinaikkan
menjadi:
30% x Rp60.000.000= Rp18.000.000

4. Cara menghitung PPh Pasal 23 atas Hadiah, Penghargaan, Bonus, dan


Sejenisnya

PPh Pasal 23= 15% x Bruto


Contoh 4:
PT Angkasa mendapat penghargaan berupa uang tunai sebesar Rp 150.000.000
sebagai mitra kerja terlama dari PT Suka maju.

PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT Suka maju adalah:

15% x Rp150.000.000= Rp22.500.000

5. Cara menghitung PPh Pasal 23 atas Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan
dengan Penggunaan Harta
PPh Pasal 23= 2% x Bruto

Contoh 5:

PT Makmur menyewa sebuah mesin jahit kepada Ny. Tari dengan nilai sewa
sebesar Rp15.000.000

PPh Pasal 23 yang dipotong PT Makmur adalah:

2% x Rp15.000.000= Rp300.000

Seandainya Ny. Tari belum mempunyai NPWP maka PPh Pasal 23 yang dipotong
PT Makmur adalah:

4% x Rp15.000.000= Rp600.000

6. Cara menghitung PPh Pasal 23 atas Imbalan Sehubungan dengan Jasa Teknik,
Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa Konsultan, dan Jasa Lain

PPh Pasal 23= 2% x Bruto

Contoh 6:

PT Sukadana membayar jasa konsultan dari PT Dwipa Solution sebesar


Rp17.000.000 (termasuk PPN Rp1.000.000)

PPh Pasal 23 yang dipotong PT Sukadana adalah:

2% x Rp16.000.000= Rp320.000

Apabila PT Dwipa Solution belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 23 yang
dipotong PT Sukadana adalah:

4% x 16.000.000= Rp640.000
4. Pajak Penghasilan Pasal 24
Ketentuan pasal 24 UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap
Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun yang digabungkan penghasilan
dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia. Indonesia menganut tax credit yang
ordinary credit method dengan menerapkan per country limitation.
4.1 Penggabungan Penghasilan
1. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam Tahun Pajak diperolehnya
penghasilan tersebut (accrual basis)
2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam Tahun Pajak diterimanya
penghasilan tersebut (cash basis)
3. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (Pasal 18 Ayat 2 UU PPh)
dilakukan dalam Tahun Pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan
sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan
4.2 Batas Maksimum Kredit Pajak
Berikut ini merupakan rincian sumber penghasilan dari luar negeri yang dapat
dikreditkan sesuai dengan yang tercantum dalam UU Pajak Penghasilan nomor 36
tahun 2008, yaitu:
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari
pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang
menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah di antara 3 unsur/perhitungan:

1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri


2. (Penghasilan luar negeri: Seluruh Penghasilan Kena Pajak) x PPh atas seluruh yang
dikenakan tarif pasal 17
3. Jumlah pajak terutang untuk seluruh Penghasilan Kena Pajak

Contoh:

PT Kencana memperoleh penghasilan netto dalam tahun pajak 2016 sebagai berikut:

1. Penghasilan dari luar negeri Rp6.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 35%.
2. Penghasilan usaha di Indonesia Rp3.500.000.000.

Maka jumlah penghasilan nettonya adalah: Rp6.000.000.000 + Rp3.500.000.000 =


Rp9.500.000.000. Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3
unsur/perhitungan berikut:

1. PPh terutang atau dibayar di luar negeri adalah: 35% x Rp6.000.000.000 =


Rp2.100.000.000
2. (Rp6.000.000.000/Rp9.500.000.000) x Rp2.375.000.000 = Rp1.500.000.000
3. PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp9.500.000.000 x 25% = 2.375.000.000

Dengan demikian kredit pajak yang diperkenankan adalah pada poin 2 sebesar
Rp1.500.000.000.

4.3 Batas Maksimum Kredit Pajak Untuk Setiap Negara (Per Country Limitation)
Apabila penghasilan berasal dari beberapa negara, maka perhitungan batas
maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara.

Contoh:

PT Trinadi memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2017 sebagai berikut:

1. Di negara A, memperoleh penghasilan (laba) 4.000.000.000 dengan tarif pajak


sebesar 35% (Rp1.400.000.000)
2. Di negara B, memperoleh penghasilan (laba) Rp2.000.000.000 dengan tarif pajak
sebesar 20% (Rp400.000.000)
3. Penghasilan usaha di Indonesia Rp6.000.000.000

Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:

1. Penghasilan luar negeri


a. Laba di negara A Rp4.000.000.000
b. Laba di negara B Rp2.000.000.000

Jumlah penghasilan luar negeri Rp6.000.000.000


2. Penghasilan usaha di Indonesia Rp6.000.000.000
3. Jumlah penghasilan neto atau Penghasilan Kena Pajak adalah:
Rp6.000.000.000+ Rp6.000.000.000 = Rp12.000.000.000
4. PPh terutang (menurut pasal 17) = Rp12.000.000.000 x 25% = Rp3.000.000.000
5. Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing negara adalah:
- Negara A:
(Rp4.000.000.000/Rp12.000.000.000) x Rp3.000.000.000 = Rp900.000.000
Pajak terutang di negara A sebesar Rp1.400.000.000, maka maksimum kredit
pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp900.000.000.
- Negara B:
(Rp2.000.000.000)/Rp12.000.000.000)xRp3.000.000.000 = Rp500.000.000
Pajak terutang di negara B sebesar Rp400.000.000, maka maksimum kredit
pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp500.000.000.
6. Jadi, jumlah kredit pajak luar negeri yang dikenakan adalah sebesar
Rp900.000.000 + Rp500.000.000 = Rp1.400.000.000.

4.4 Rugi Usaha di Luar Negeri


Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, tidak dihitung kerugian di luar negeri

Contoh:

PT Matahari memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2015 sebagai berikut:

1. Di negara A, memperoleh penghasilan (laba) 2.500.000.000 dengan tarif pajak


sebesar 35% (Rp875.000.000)

2. Di negara B, memperoleh penghasilan (laba) Rp1.000.000.000 dengan tarif pajak


sebesar 20% (Rp200.000.000)

3. Di negara C, mengalami kerugian sebesar Rp1.500.000.000

4. Penghasilan usaha di Indonesia Rp3.500.000.000

Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:

1. Penghasilan luar negeri

a. Laba di negara A Rp2.500.000.000

b. Laba di negara B Rp1.000.000.000)

c. Laba di negara C Rp -

Jumlah penghasilan luar negeri Rp3.500.000.000

2. Penghasilan usaha di Indonesia Rp3.500.000.000


3. Jumlah penghasilan neto atau Penghasilan Kena Pajaknya adalah:
Rp3.500.000.000 + Rp3.500.000.000= Rp7.000.000.000
4. PPh terutang (menurut pasal 17) = Rp7.000.000.000 x 25% = Rp1.750.000.000
5. Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing negara adalah:
- Negara A:
(Rp2.500.000.000/Rp7.000.000.000) x Rp1.750.000.000 = Rp625.000.000

Pajak terutang di negara A sebesar Rp875.000.000, maka maksimum kredit pajak


yang dapat dikreditkan adalah Rp625.000.000.

- Negara B:
(Rp1.000.000.000)/Rp7.000.000.000)xRp1.750.000.000 = Rp250.000.000

Pajak terutang di negara B sebesar Rp200.000.000, maka maksimum kredit pajak


yang dapat dikreditkan adalah Rp250.000.000.

- Negara C
Di negara C, PT Mahari mengalami kerugian Rp1.500.000.000. Kerugian ini
tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak. Kerugian
ini juga tidak dapat dikompensasikan sebagai kredit pajak luar negeri.
6. Jadi, jumlah kredit pajak luar negeri yang dikenakan adalah sebesar
Rp625.000.000 + Rp250.000.000 = Rp775.000.000

4.5 Perubahan Besarnya Penghasilan di Luar Negeri


Jika terjadi perubahan besarnya penghasilan Wajib Pajak di lur negeri maka
Wajib Pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan dengan melampirkan dokumen terkait perubahan tersebut. Karena
pembetulan tersebut menyebabkan Pajak Penghasilan kurang dibayar , maka atas
kekurangan tersebut tidak dikenakan sanksi bunga. Sementara, apabila pembetulan
tersebut menyebabkan Pajak Penghasilan lebih dibayar, maka kelebihan tersebut
dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak
lainnya.

Contoh:

PT Rahayu di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2019 sebagai


berikut:

1. Penghasilan Luar Negeri (tarif pajak 20%) Rp2.000.000.000


2. Penghasilan Dalam Negeri Rp1.500.000.000
3. Penghasilan Luar Negeri
(setelah dikoreksi) Rp4.000.000.000
4. PPh Pasal 25 Rp 200.000.000

SPT Tahun 2019:


Penghasilan luar negeri Rp2.000.000.000

Penghasilan dalam negeri Rp1.500.000.000

Penghasilan Kena Pajak Rp3.500.000.000

PPh Terutang (menurut pasal 17) Rp 875.000.000

Kredit Pajak Luar Negeri yang diperkenankan Rp(400.000.000)

Harus bayar di Indonesia Rp 475.000.000

PPh Pasal 25 Rp 200.000.000

PPh Pasal 29 Rp 275.000.000

Pembetulan SPT

Penghasilan luar negeri Rp4.000.000.000

Penghasilan dalam negeri Rp1.500.000.000

Penghasilan Kena Pajak Rp5.500.000.000

PPh Terutang (menurut Pasal 17) Rp1.375.000.000

Kredit Pajak Luar Negeri yang diperkenankan Rp(800.000.000)

Harus dibayar di Indonesia Rp 575.000.000

PPh Pasal 25 Rp( 200.000.000)

PPh Pasal 29 yang harus disetor Rp( 275.000.000)

Masih harus bayar Rp 100.000.000

Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp100.000.000, tidak ditagih bunga
karena pembetulan tersebut merupakan Pajak Penghasilan kurang dibayar.
4.6 Cara Melaksanakan Kredit Pajak Luar Negeri
Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib
menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri :
1. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
2. Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Penyampaian permohonan kredit pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri
tersebut dilakukan bersamaan dengan SPT Tahunan PPh.

5. Pajak Penghasilan Pasal 26


PPh pasal ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (baik orang pribadi
maupun badan) selain BUT (Bentuk Usaha Tetap).
5.1 Wajib Pajak
Yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak Luar Negeri (orang
pribadi maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh
penghasilan.
5.2 Objek Pajak
Penghasilan yang dipotong adalah:
1. Jenis (a) Dividen
penghasilan (b) Bunga termasuk premi, diskonto, dan imbalan
dengan nama dan sehubungan dengan pengembalian utang
dalam bentuk (c) Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan
apapun yang dengan penggunaan harta
dibayarkan, (d) Imbalan sehubungan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
disediakan untuk (e) Hadiah dan penghargaan
dibayarkan, atau (f) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
telah jatuh tempo (g) Premi swap dan transaksi lindung nilai lain
pembayarannya (h) Keuntungan karena pembebasan utang
2. Penghasilan (a) Perhiasan mewah
dari penjualan (b) Berlian
atau pengalihan (c) Emas
harta di Indonesia, (d) Intan
yang berupa (e) Jam tangan mewah
(f) Barang antik
(g) Lukisan
(h) Mobil
(i) Motor
(j) Kapal pesiar
(k) Pesawat terbang ringan
Dengan nilai Rp10.000.000,00 ke atas untuk setiap
transaksi.
3. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan luar negeri
4. Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara yang didirikan atau
bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax
heaven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di
Indonesia
5. PKP setelah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
5.3 Tarif Pajak dan Penerapannya
Besarnya tarif dibedakan atas kelompok objek sebagai berikut:
1. Atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya dipotong
pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.
PPh Pasal 26=Penghasilan Bruto × 20 %
2. Atas penghasilan yang berupa:
(a) Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
(b) Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.
Dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
PPh Pasal 26=¿
*Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk penjualan harta adalah 25% dari harga jual.
* Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan premi asuransi yang
dibayarkan pada perusahaan asuransi luar negeri adalah:
(a) Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik
secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang
dibayar.
(b) Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia
kepada perusahaan asuransi diluar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar.
(c) Atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar.
3. Atas penghasilan yang berupa penjualan atau pengalihan saham dipotong PPh
Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
PPh Pasal 26=¿
*Besarnya penghasilan neto adalah 25% dari harga jual.
4. Atas PKP sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia dikenai pajak
sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
Persyaratannya adalah sebagai berikut:
(a) Penanaman kembali dilakukan atas seluruh PKP setelah dikurangi Pajak
Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
(b) Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan akta pendiriannya palaing lama 1 (satu) tahun sejak didirikan.
(c) Penanaman kembali dilakukan dalam Tahun Pajak berjalan atau paling lama
Tahun Pajak berikutnya dari Tahun Pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan tersebut.
(d) Tidak dilakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sngkat
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah
berproduksi kembali.
PPh Pasal 26=( PKP−PPh Terutang)×20 %*
*Catatan: Untuk keperluan perhitungan PPh Pasal 26, penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam mata uang asing dihitung berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh
menteri keuangan yang berlaku pada saat pembayaran atau dibebankan.
Contoh Perhitungan
Nam-Do-San adalah karyawan asing yang bekerja pada perusahaan PT Samsan Tech.
Nam-Do-San bertempat tinggal kurang dari 183 hari. Nam-Do-San sudah beristri dan
mempunyai seorang anak. Dalam bulan April 2020, ia memperoleh gaji ₩1.000.000
sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp12.08,-
Perhitungan:
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan:
1.000 .000× 12,08=Rp 12.080 .000
Penerapan tarif:
20 % × Rp 12.080 .000=Rp 2.416 .000
Maka, PPh Pasal 26 atas gaji Nam-Do-San bulan April 2020 adalah Rp2.416.000.
5.3 Sifat Pemotongan
Pemotongan PPh Pasal 26 bersifat final, kecuali:
(a) Pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan dijalankan atau dilakukan BUT
di Indonesia.
(b) Pemotongan ayas penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang
diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud
(c) Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT
5.5 Pemotong Pajak
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 26 wajib dilakukan oleh:
(a) Badan pemerintah
(b) Subjek pajak dalam negeri
(c) Penyelenggara kegiatan
(d) Bentuk Usaha Tetap
(e) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
(f) Pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 26.

6. Pajak Penghasilan Pasal 4 (PPh yang Bersifat Final)


Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa:
“atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan
harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan
pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 131
Tahun 2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No.
123 tahun 2015 adalah sebagai berikut:
1. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya
bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
Persentase Tarif dari Jumlah Bruto Jangka waktu deposito
10% 1 bulan
7,5% 3 bulan
2,5% 6 bulan
0% > 6 bulan
2. Atas bunga dari deposito dalam mata uang Rupiah yang dananya bersumber dari
Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
Persentase Tarif dari Jumlah Bruto Jangka waktu deposito
7,5% 1 bulan
5% 3 bulan
0% 6 bulan atau lebih
3. Atas bunga dari tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia serta bunga dari
deposito sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 dikenai Pajak penghasilan yang
bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
(a) Tarif 20% dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan BUT.
(b) Tarif 20% dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap WP luar negeri.
Pemotongan PPh ini tidak dilakukan terhadap:
1. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
2. Bunga deposito dan tabungan serta SBI, sepanjang jumlah deposito dan tabungan
serta SBI tersebut tidak melebihi Rp7.500.000,00 dab bukan merupakan jumlah yang
terpecah-pecah.
3. Bunga deposito dan tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
4. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan
sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri.
Catatan: Bagi WP dalam negeri orang pribadi yang seluruh penghasilannya
(termasuk bunga dan diskonto) dalam satu Tahun Pajak tidak melebihi PKTP, atas
pajak yang telah dipotong dapat diajukan permohonan restitusi.
6.1 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga atau Diskonto Obligasi
Pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto obligasi
yang dijual di bursa efek diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2019
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun
2019. Menurut PP tersebut, atas penghasilan yang diterima WP berupa bunga dan
diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan di bursa efek dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya Pajak Penghasilan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:
(a) 15% bagi WP dalam negeri dan BUT
(b) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi WP luar negeri selain BUT.
Dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.
2. Diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:
(a) 15% bagi WP dalam negeri dan BUT
(b) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi WP luar negeri selain BUT.
Dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak
termasuk bunga berjalan.
3. Diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
(a) 15% bagi WP dalam negeri dan BUT
(b) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi WP luar negeri selain BUT.
Dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.
4. Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh WP
reksadana dan WP dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak investasi kolektif,
dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif, dan efek beragun aset
berbentuk kontrak investasi kolektif yang terdaftar atau tercatat pada OJK sebesar:
(a) 5% sampai dengan 2020
(b) 10% untuk tahun 2021 dan seterusnya

6.2 PPh Berupa Sewa Tanah dan/atau Bangunan


Pengenaan PPh atas penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan diatur dengan
PP No. 29 Tahun 1996 s.t.d.d. PP No. 5 Tahun 2002. Menurut ketentuan tersebut,
penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh yang bersifat final.
Besarnya PPh yang dipotong adalah sebesar 10% baik atas penghasilan yang diterima
oleh WP badan maupun orang pribadi dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau
bangunan.
PPh Final=10 % × Bruto
Contoh:
PT Morning Group menyewa sebuah ruko dari Tuan Arka untuk dijadikan kantor dengan
nilai sewa sebesar Rp40.000.000,00.
PPh Pasal 4 Ayat 2 yang dipotong oleh PT Morning Group adalah:
10 % × 40.000 .000=Rp 4.000 .000
6.3 PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
(a) Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
(b) Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya
Terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah penghasilan
yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau
bangunan melalui:
(a) Penjualan
(b) Tukar-menukar
(c) Pelepasan hak
(d) Lelang
(e) Hibah
(f) Waris
(g) Atau cara lain yang disepakati antar para pihak
3. Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya adalah penghasilan dari:
(a) Pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada
saat pertama kali ditandatangani
(b) Pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli
sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas
terjadinya perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli
tersebut.
4. Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar:
(a) 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah
susun sederhana yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(b) 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa
rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dilakukan oleh WP yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(c) 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, BUMN
yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau BUMD yang mendapat
penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam UU yang
mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum.
5. Dikecualikan dari kewajiban membayarkan PPh pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan adalah:
(a) Orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah PTKP yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya
kurang dari Rp60.000.000 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
(b) Orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah PTKP yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan UKM, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penggunaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
(c) Badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada pihak yang telah disebutkan pada poin (b).
(d) Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena waris.
(e) Badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan
Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku.
(f) Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang melakukan
pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun
guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa
tanah dan/atau bangunan.
(g) Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
6.4 Usaha Jasa Konstruksi
Pengenaan PPh atas penghasilan jasa konstruksi diatur dalam PP No. 51 Tahun
2008 s.t.d.t.d PP No. 40 tahun 2009. Mengacu pada peraturan tersebut, Jasa Konstruksi
adalah layanan jasa konsultasi pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan
konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Atas penghasilan ini, dikenakan PPh yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong
adalah sebagai berikut:
1. 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil
PPh Final=2 % × Jumlah Jasa
2. 4% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha.
PPh Final=4 % × Jumlah Jasa
3. 3% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
penyedia jasa yang dimaksud dalam angka 1 dan 2.
PPh Final=3 % × Jumlah Jasa
4. 4% untuk Perencanaan Konstruksi dan Pengawasan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha.
PPh Final=4 % × Jumlah Jasa
5. 6% untuk Perencanaan Konstruksi dan Pengawasan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
PPh Final=6 % × Jumlah Jasa
Pajak penghasilan atas konstruksi:
(a) Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa
pemotong pajak.
(b) Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak.

6.5 Pajak Penghasilan atas Undian


Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa hadiah undian diatur dalam
PP No. 132 Tahun 2000. Menurut ketentuan peraturan tersebut, penghasilan berupa
undian dengan nama dan bentuk apapun dipotong atau dipungut PPh yang bersifat final.
Besarnya pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut adalah sebesar 25% dari
jumlah bruto hadiah undian.
PPh Final=25 % × Bruto hadiah undian
Contoh:
PT Puja dalam rangka mempromosikan produk barunya menyelenggarakan undian
dengan hadiah berupa uang tunai senilai Rp100.000.000
Makan, PPh Pasal 4 Ayat 2 yang dipotong oleh PT Puja adalah:
25 % × Rp 100.000 .000=Rp 25.000 .000

6.6 PPh Final atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif berupa Kontrak Berjangka
yang
Diperdagangkan di Bursa
Pengenaan PPh atas penghasilan ini diatur dalam PP No. 17 Tahun 2009. Atas
penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh oleh orang pribadi/badan dari transaksi ini,
dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 2,5% dari margin awal.
PPh Final=2,5 % × Margin Awal
Namun sejak diterbitkannya PP No. 31 Tahun 2011, ketentuan diatas menjadi tidak
berlaku lagi.

6.7 PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh WP yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu
Hal ini diatur dalam PP No.23 Tahun 2018. Atas penghasilan ini, dikenakan pajak
penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5%.
WP disini merupakan:
1. WP orang pribadi
2. WP berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan
terbatas
Yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan pengedaran bruto tidak
melebihi Rp4.800.000.000 dalam satu tahun pajak.
Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang bersifat final adalah sebagai berikut:
1. Sehubungan dengan Pekerjaan Bebas, yakni:
(a) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris.
(b) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, dan penari.
(c) Olahragawan
(d) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator
(e) Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
(f) Agen iklan
(g) Pengawas atau pengelola proyek
(h) Perantara
(i) Petugas penjaja barang dagangan
(j) Agen asuransi
(k) Distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenisnya
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang
atau telah dibayar di luar negeri.
3. Penghasilan yang telah dikenai pajak penghasilan bersifat final dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.
4. Penghasilan dikecualikan sebagai objek pajak.
Contoh A:
Tuan Anton seorang dokter dan memiliki usaha apotek. Pada tahun pajak 2020, ia
memperoleh peredaran bruto dari memberikan jasa dokter atas nama diri sendiri sebesar
Rp2.000.000.000 dan dari usaha apotek sebesar Rp3.000.000.000 dalam satu tahun pajak.
Meskipun jumlah peredaran bruto Tuan Anton sebesar Rp5.000.000.000, penentuan
batasan peredaran bruto hanya berdasarkan peredaran bruto dari usaha apotek.
Karena batasan peredaran bruto Tuan Anton kurang dari Rp4.800.000.000, maka
penghasilan tersebut dikenai pajak penghasilan final berdasarkan ketentuan PP No. 23
Tahun 2018.
Besarnya PPh final yang disetor selama tahun 2020 adalah sebesar:
Rp 3.000.000 .000 ×0.5 %=Rp 15.000.000,00
Sedangkan penghasilan dari jasa dokter dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif pasal
17 Ayat 1 huruf a UU PPh.
Contoh B:
Tuan Manik memperoleh penghasilan dari usaha penjualan alat elektronik dengan
peredaran bruto sebesar Rp80.000.000. Dari jumlah tersebut, penjualan dengan peredaran
bruto sebesar Rp60.000.000 dilakukan pada September 2019 kepada Dinas Perhubungan
Provinsi Bali yang merupakan pemotong dan pemungut pajak. Sisanya sebesae
Rp20.000.000 diperoleh dari penjualan kepada pembeli orang pribadi yang langsung
datang ke toko miliknya. Tuan Manik memiliki surat keterangan WP yang dikenai PPh
bersifat final berdasarkan ketentuan PP No. 23 Tahun 2018.
PPh final untuk Bulan September 2019 dihitung sebagai berikut:
Pajak penghasilan final yang dipotong oleh DisHub Provinsi Bali:
¿ 0.5 % × Rp 60.000 .000
¿ Rp300.000
Pajak penghasilan final yang disetor sendiri:
¿ 0.5 % × Rp 20.000 .000
¿ Rp100.000
Penyetoran sendiri PPh terutang wajib dilakukan setiap bulan. Pemotongan atau
pemungutan pajak penghasilan terutang wajib dilakukan oleh pemotong atau pemungut
pajak untuk setiap transaksi dengan WP yang dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan
PP 23 Tahun 2018.

REFERENSI

Mardiasmo. (2018). Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2018. Yogyakarta: Penerbit Andi. Resmi,
Siti. (2013). Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
Waluyo. (2013). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Mekari. (2021). Peserta Wajib Pajak dan Tarif Pajak PPh 21. Diakses dari:

Online Pajak. (2016). Pajak Penghasilan Pasal 22. Diakses dari: https://www.online-
pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pph-pajak-penghasilan-pasal-22.

Anda mungkin juga menyukai