Anda di halaman 1dari 18

Tugas UAS

PERPAJAKAN

Dosen Pengampu : Miswar Rohansyah, SE, M.SA, Ak.

Disusun oleh:

Nur Asma

18050102039

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH (PBS)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

KENDARI

2021

Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh pasal 22)


A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)

Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan


Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang
dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan
barang. Mengingat sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya,
ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh
21 atau pun PPh 23.

Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang


dianggap “menguntungkan”, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima
keuntungan dari perdagangan tersebut.

B. Pemungut PPh Pasal 22

Bendahara & badan-badan yang memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari
pembelian adalah:

a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal 22
impor barang;
b. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
c. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
e. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
f. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang
izin usaha pertambangan.

Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22
saat penjualan adalah:
a. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya
kepada distributor di dalam negeri;
b. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
c. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
d. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan
industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan
industri hilir.
e. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan;
dan menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
C. Objek PPh Pasal 22

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2016, lihat lampiran


berikut ini mengenai objek PPh Pasal 22 berupa impor barang-barang mewah tertentu.

D. Tarif PPh Pasal 22


a. Atas impor
b. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
c. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak
d. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak,gas, dan pelumas
e. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
f. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API
= 0,5% x nilai impor.
g. Atas penjualan
E. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
Berikut ini adalah daftar pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22:

a. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh.
b. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk
c. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja negara/daerah
yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah).
d. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos, dan telepon.
F. Pembayaran PPh Pasal 22
a. PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan.
b. Pada akhir tahun, cicilan ini akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau
PPh orang pribadi.
c. PPh Pasal 22 yang berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke
bank persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi.

Transaksi yang wajib dibayar langsung adalah transaksi yang berkaitan dengan impor dan
bendahara.

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23)

A. Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.

Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis
jasa lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015.

B. Pembayaran, Pelaporan dan Bukti Potong PPh Pasal 23

Prosedur pembayaran dan pelaporan PPh Pasal 23 diatur secara khusus dalam
peraturan perundang undangan perpajakan. Berikut ini adalah penjelasan lengkapnya:

C. Pembayaran PPh Pasal 23


Pembayaran dilakukan oleh pihak pemotong yang kemudian menyetorkannya
melalui Bank Persepsi (ATM, teller bank, fitur bayar pajak online di OnlinePajak, dll)
yang telah disetujui oleh Kementerian Keuangan. Ingat! Jatuh tempo pembayaran adalah
tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23.

D. Bukti Potong PPh Pasal 23

Sebagai tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong, pihak pemotong harus
memberikan bukti potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang
dikenakan pajak tersebut dan bukti potong (rangkap ke-2) pada saat melakukan e-Filing
pajak PPh 23 di OnlinePajak.

E. Pelaporan PPh Pasal 23

Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh
Pasal 23, lalu bisa melaporkannya melalui fitur lapor pajak online atau e-Filing gratis di
OnlinePajak. Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang
pajak penghasilan 23.

F. Tarif PPh 23 dan Objeknya

Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah
bruto dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15%
dan 2%, tergantung dari objek PPh pasal 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif dan
objek PPh Pasal 23 :

1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas


2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi
dan jasa konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015.
5. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif
PPh Pasal 23.
6. Jumlah bruto
G. Objek PPh Pasal 23

Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis
jasa lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015. Berikut ini
adalah daftar lengkap objek PPh Pasal 23, tarif dan cara buat hitung, setor dan e-Filing
yang mudah, cepat, aman dan gratis!. Berikut ini adalah daftar objek pph 23 jasa lainnya
tersebut:

1. Penilai (appraisal)
2. Aktuaris
3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan
4. Hukum
5. Arsitektur
6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape
7. Perancang (design)
8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali
yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT)
9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas)
10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan
minyak dan gas bumi (migas)
11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara
12. Penebangan hutan
13. Pengolahan limbah
14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services)
15. Perantara dan/atau keagenan
16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI)
17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI
18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
19. Mixing film
20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website
23. Internet termasuk sambungannya
24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program
25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV
Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi
27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat
28. Maklon
29. Penyelidikan dan keamanan
30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer
31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan
32. Pembasmian hama
33. Kebersihan atau cleaning service
34. Sedot septic tank
35. Pemeliharaan kolam
36. Katering atau tata boga
37. Freight forwarding
38. Logistik
39. Pengurusan dokumen
40. Pengepakan
41. Loading dan unloading
42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau institusi
pendidikan dalam rangka penelitian akademis
43. Pengelolaan parker
44. Penyondiran tanah
45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan
46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit
47. Pemeliharaan tanaman
48. Permanenan
49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau perhutanan
50. Dekorasi
51. Pencetakan/penerbitan
52. Penerjemahan
53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan
54. Pelayanan pelabuhan
55. Pengangkutan melalui jalur pipa
56. Pengelolaan penitipan anak
57. Pelatihan dan/atau kursus
58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM
59. Sertifikasi
60. Survey
61. Tester
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah).
H. Pihak Pemotong PPh Pasal 23 dan Pihak yang Dikenakan PPh Pasal 23

Tidak semua pihak dapat dikenakan atau pun memotong PPh Pasal 23. Pihak-
pihak tersebut hanya mereka yang masuk pada kelompok berikut ini:

1. Pihak pemotojng PPh Pasal 23:


a. Badan pemerintah
b. Subjek pajak badan dalam negeri
c. Penyelenggara kegiatan
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
f. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur Jenderal
Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. Wajib pajak dalam negeri
b. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
I. Pengecualian PPh 23

Pemotongan PPh 23 dikecualikan atas:

1. Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank


2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dgengan syarat
4. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
5. Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMB, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal
yang disetor
6. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
7. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya
8. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.

Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24)

A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24

PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang mengatur hak
wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi
nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia.

Ada beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki kewajiban untuk
membayar pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri.g Oleh karena itu,
jenis pajak ini, yaitu PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24), mungkin dapat berlaku
untuk Anda.

Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang
pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan
saham dan surat berharga lainnya.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan
harta-benda bergerak.
3. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak
bergerak.
4. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
5. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan
pertambangan
7. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha
tetap (BUT).
B. Mekanisme Penghitungan PPh Pasal 24

Berikut sedikit ilustrasi penghitungan PPh Pasal 24:

Katakanlah PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di dalam negeri


sebesar Rp 25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp 10.000.000.000. Asumsi
pajak di luar negeri sebesar 20%.

Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp 35.000.000.000 (Penghasilan


dalam negeri + penghasilan luar negeri)

Total PPh Terutang:

25% × Rp 35.000.000.000=Rp 8.750.000.000

PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:

(Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) ×Total PPh Terutang

(Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000=Rp 2.500.000.000

Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar Rp
2.500.000.000. Nah, nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai pengurang pajak
dalam negeri. Namun ingat, apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang
yang sudah dibayarkan pada pajak dalam negeri, terlebih dahulu Anda harus melapor
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan melaporkannya pada saat melapor
SPT Tahunan.

Pelaporannya dilengkapi dengan tax return yang dilaporkan di luar negeri dan
dokumen-dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak di luar negeri.

C. Koreksi PPh Pasal 24

Adanya koreksi di luar negeri, yang menyebabkan pajak atas penghasilan


terutang di luar negeri dilaporkan lebih besar dalam SPT Tahunan, dan menyebabkan
pajak di luar negeri tertera kurang bayar, maka akan berakibat kemungkinan PPh yang di
Indonesia menjadi kurang bayar.

Persyaratan Administratif Pengkreditan Pajak Luar Negeri

1. Seperti yang dikatakan pada poin sebelumnya, wajib pajak yang telah membayarkan
pajaknya di luar negeri, kemudian ingin mengkreditkannya di Indonesia, terlebih
dahulu harus menyampaikan permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
2. Permohonan kemudian dilaporkan bersamaan pada saat pelaporan SPT Tahunan
dengan melampirkan sejumlah dokumen yakni:
3. Laporan keuangan dari luar negeri.
4. Fotokopi SPT (Tax Return) yang dilaporkan di luar negeri.
5. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Demi meringankan beban pajak penghasilan yang diperoleh di bluar negeri, maka
penghasilan yang diterima di luar negeri bisa dikreditkan terhadap pajak terutang atas
seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.

D. Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayarkan di Luar Negeri

Berikut ini poin-poin yang perlu Anda ketahui tentang mekanisme pengkreditan
PPh yang dibayarkan di luar negeri:

1. Pajak Penghasilan yang terutang di luar negeri dapat dikreditkan dengan PPh yang
terutang di Indonesia.
2. Pengkreditan PPh yang dibayar di luar negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun
pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di
Indonesia
3. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih
rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang
dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh
Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh
Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan
dari luar negeri lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak)
4. Apabila m = penghasilan dari luar negeri dari beberapa negara, maka penghitungan
PPh pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negaraPenghasilan Kena Pajak yang
dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat 2) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak
tersendiri tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh
dari dalam negeri maupun luar negeriDalam hal jumlah PPh yang dibayarkan atau
terutang di luar negeri melebihi PPh
5. Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di
tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi
6. Dalam melaksanakan pengkreditan PPh luar negeri, wajib pajak wajib menyampaikan
permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri
dengan:
a. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
b. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
c. Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
7. Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran seperti yang disebutkan di atas karena alasan-alasan
yang ada di luar kekuasaan wajib pajak
8. Dalam hal terjadinya perubahan besaran penghasilan yang berasal dari luar negeri,
wajib pajak perlu bahkan wajib melakukan pembetulan SPT Tahunan yang
bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan
perubahan tersebut
9. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang bayar, maka atas kekurangan
bayar tersebut tidak akan dikenakan sanksi bunga
10. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut
dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak
lainnya.
E. Pengkreditan Pajak Penghasilan yang Telah Dipotong Atas Dividen

Proses pengkreditan pajak penghasilan yang telah dipotong atas dividen yang
diterima dari BULN Non-bursa terkendali langsung pada Tahun pajak
dibayarkan/dipotong pajak penghasilan tersebut.

Kemudian, wajib pajak dalam negeri yang mengkreditkan pajak penghasilannya


harus menyampaikan penghitungan pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar
atau dipotong atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung
kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan beberapa dokumen sebagai berikut:

Wajib Pajak (WP), baik berupa Orang Pribadi atau pun Badan yang melakukan
suatu kegiatan usaha dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 berupa angsuran PPh tiap
bulannya. Keterlambatan, baik dalam menyetor maupun melapor, dapat dikenai sanksi
sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25)

A. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25)

Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar secara
angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak
yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan
sendiri dan tidak bisa diwakilkan.

B. Perhitungan PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya
setelah tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang
pajak tahun lalu, yang dikurangi dengan:

1. Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat (1)
bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan Pasal
23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2% berdasarkan sewa
dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak penghasilan yang dipungut
sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP);
2. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.
C. Tarif PPh Pasal 25

Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh
Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:

1. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang melakukan
usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa – dengan satu atau
lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan tiap masing-masing
tempat usaha.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu pekerja
bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi OPSPT =
Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh (12 bulan).

Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:

1. Sampai Rp 50.000.000 = 5%
2. Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
3. Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
4. Di atas Rp 500.000.000 = 30%

Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan Kena
Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).

D. Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25

Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling
lambat 15 Maret 2014.

Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari
libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari
berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang
kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 242/PMK.03/2014 tentang
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Apa itu PPN? Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan
atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib
pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para
Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah Konsumen
Akhir.

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau
perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP
se-Indonesia wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-Faktur untuk menghindari
penerbitan faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya.

B. Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan Objek PPN
adalah:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah
Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
5. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
C. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 7 :

1. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).


2. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
3. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
4. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
5. Ekspor Jasa Kena Pajak
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen)
sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah. Pengusaha Kena Pajak Sebagai Pihak
yang Menyetor dan Melaporkan PPN. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pihak
yang wajib menyetor dan melaporkan PPN. Setiap tanggal di akhir bulan adalah batas
akhir waktu penyetoran dan pelaporan PPN oleh PKP.

Sesuai dengan ketentuan PMK No.197/PMK.03/2013, suatu perusahaan atau


seorang pengusaha ditetapkan sebagai PKP bila transaksi penjualannya melampaui
jumlah Rp 4,8 miliar dalam setahun.

Jika pengusaha tidak dapat mencapai transaksi dengan jumlah Rp 4,8 miliar
tersebut, maka pengusaha dapat langsung mencabut permohonan pengukuhan sebagai
PKP.

Dengan menjadi PKP, pengusaha wajib memungut, menyetor dan melaporkan


PPN yang terutang. Dalam perhitungan PPN yang wajib disetor oleh PKP, ada yang
disebut dengan pajak keluaran dan pajak masukan.

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ( PPnBM )

A. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ( PPnBM)

Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas


Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong
mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor
barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. PPnBm atau Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah dikenakan pada barang-barang yang tergolong mewah. Pajak ini
dilaporkan dengan menggunakan SPT Masa PPN 1111. Berikut ini pengertian, barang-
barang yang tergolong mewah dan besaran ltarifnya.

B. Prinsip dan Pertimbangan Pemungutan PPnBM / Pajak Penjualan Atas Barang


Mewah

Berikut beberapa pertimbangan mengapa pemerintah Indonesia menganggap


bahwa PPnBM sangatlah penting untuk diterapkan:
a. Agar tercipta keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
b. Untuk mengendalikan pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
c. Perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d. Mengamankan penerimanaan negara

Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ialah hanya 1 (satu) kali
saja, yaitu pada saat:

a. Penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
c. Pemungutan pajak barang mewah ini sama sekali tidak memperhatikan siapa yang
mengimpor maupun seberapa sering produsen atau pengusaha melakukan impor
tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali saja)
d. Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
e. Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah:
f. Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok
g. Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
h. Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
i. Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas sosial

C. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, tarif pajak penjualan atas barang
mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi sebesar 200%
(dua ratus persen). Jika pengusaha melakukan ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah maka akan dikenai pajak dengan tarif sebesar 0% (nol persen).

D. Perhitungan dan Pelaporan PPnBM

Pajak Penjualan atas Barang Mewah dihitung dengan cara mengalikan persentase tarif
PpnBM dengan nilai Dasar Pengenaan Pajak (harga barang sebelum dikenakan pajak,
termasuk PPN). Sedangkan, untuk membuat laporannya harus menggunakan formulir
SPT Masa PPN 1111. Selama masih berada dalam satu periode pajak yang sama, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah tersebut dapat dilaporkan bersama dengan PPN dan PPN
Impor. Pelaporan pajak barang mewah ini harus segera dilakukan paling lama pada akhir
bulan berikutnya setelah tanggal faktur dibuat.

Anda mungkin juga menyukai