com, Jakarta - Bagaimana ketentuan pajak penggunaan dana desa yang bersumber
dari APBN? Contoh kegiatannya membangun jalan desa secara gotong royong/swadaya kelola
masyarakat. Demikian terimakasih.
Email: kuswan_bXXXX@yahoo.co.id
Jawaban:
Yth. Sdr. Kuswan,
Pada dasarnya Kepala Desa mengelola keuangan yang bersumber dari APBN atau APBD
Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga Kepala Desa merupakan Bendaharawan Pemerintah.
Ketentuan pengenaan pajak atas penggunaan dana desa yang bersumber dari APBN atau APBD
adalah tergantung pada jenis pembayaran/pengeluarannya. Berikut adalah gambaran umum
pengenaan pajak atas pengeluaran oleh Kepala Desa.
1. Atas pembayaran kepada orang pribadi berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain kecuali imbalan atas yang merupakan objek pengenaan PPh Final Pasal 4 ayat
(2) (misalnya imbalan atas pekerjaan jasa konstruksi oleh orang pribadi), Kepala Desa wajib
melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
2. Atas pembayaran sewa tanah dan atau bangunan, pekerjaan konstruksi, pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dan penghasilan lainnya yang merupakan objek pengenaan PPh Final
Pasal 4 ayat (2), Kepala Desa wajib melakukan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2).
3. Atas pembayaran sewa selain tanah dan atau bangunan dan jasa selain yang merupakan objek
pengenaan PPh Pasal 21, Kepala Desa wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23.
4. Untuk pengeluaran berupa pembelian barang dengan jumlah melebihi Rp 2.000.000, Kepala
Desa wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22.
Kegiatan membangun jalan desa secara gotong royong/swa kelola masyarakat tidak dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 sepanjang tidak ada upah berupa uang yang dibayarkan oleh Kepala
Desa kepada para warga yang bekerja.
Namun dalam hal terdapat pembelian barang dengan jumlah melebihi Rp2.000.000, maka
Kepala Desa harus mengenakan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 1,5 persen dari nilai
pembelian barang tidak termasuk PPN.
Selanjutnya untuk pengeluaran sehubungan dengan belanja barang/jasa kena pajak dari
Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terhutang wajib dipungut, disetorkan ke Kas Negara dan kemudian
dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak oleh Kepala Desa.
Demikian penjelasan kami. Semoga membantu.
Salam,
Aldonius, S.E.
Konsultan Pajak - Citas Konsultan Global
www.citasco.com
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor
barang;
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah
Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang
bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD),
kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;
4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel,
Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang
dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok,
industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas
penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari
pedagang pengumpul.
8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
Tarif PPh Pasal 22
1. Atas impor :
a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua
setengah persen) dari nilai impor;
b. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai
impor;
c. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual
lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4)
sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk
PPN dan tidak final.
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
a. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
b. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain
penyalur/agen bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari
pedagang pengumpul (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7)
ditetapkan sebesar 2,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang
menggunakan API sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar
0,5% (setengah persen) dari nilai impor.
7. Atas Penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari
Rp20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya
lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas
bangunan lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10
orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose
vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder
lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan
PPnBM.
8. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22
5. Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang
dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau
bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu)
hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22
atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean
impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak
berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke
bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti
pungutan rangkap tiga, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan
Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan
dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa
pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke
bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat
tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke
bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan
SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak
berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat
Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama
wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP.
Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari
setelah masa pajak berakhir.
7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos
paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap
3 yaitu:
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor
Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Home PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah
Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen
pendukung sejenis lainnya.
4. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani
oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Surat Keterangan Bebas diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23
Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan:
1. Surat Keterangan Bebas; atau
2. surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima
secara lengkap.
Apabila dalam jangka waktu tersebut Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari
kerja setelah jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap terlewati
Selengkapnya download PER - 32/PJ/2013
Contoh Menghitung PPh 21 Upah Harian
Contoh Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) Pegawai Tidak Tetap/
Tenaga Kerja Lepas Upah Harian
Dasar Hukum:
Berikut diberikan contoh cara menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pegawai
Tidak Tetap/ Tenaga Kerja Lepas upah harian, upah satuan, dan upah borongan
dalam situasi Pegawai Tidak Tetap/ Tenaga Kerja Lepas dengan upah Harian/
Satuan/ Borongan yang dibayar Harian/ Satuan/ Borongan dan situasi dimana
Pegawai Tidak Tetap/ Tenaga Kerja Lepas dengan upah Harian/ Satuan/ Borongan
yang dibayar bulanan
Upah Harian
Contoh 1
Jarwo dengan status belum menikah pada bulan Januari 20xx bekerja sebagai buruh
harian PT Gubel. la bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar
Rp200.000,00. Hitung PPh 21!
Pembahasan
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
Upah sehari
Rp
200.000,00
Rp
200.000,00()
Rp 0,00
Rp 0,00
Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum
melebihi Rp2.025.000,00 maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong. Pada hari ke11 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp2.025.000,00, maka PPh
Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang
sebenarnya.
Upah s.d hari ke-11 (Rp200.000,00 x 11)
Rp
2.200.000,00
Rp
742.500,00(-)
Rp
1.457.500,00
Rp
72.875,00
Rp
0,00
11
72.875,00
Sehingga pada hari ke-11, upah bersih yang diterima Jarwo sebesar: Rp200.000,00
- Rp72.875,00= Rp127.125,00
Misalkan Jarwo bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong pada hari ke - 12 adalah sebagai berikut :
Pada hari kerja ke-12, jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong adalah:
Upah sehari
Rp
200.000,00
PTKP sehari
- untuk WP sendiri (Rp
24.300.000,00: 360)
Rp
67.500,00(-)
Rp
132.500,00
Contoh 2
Jufon (belum menikah) pada bulan Maret 20xx bekerja pada perusahaan PT Gudel,
menerima upah sebesar Rp300.000,00 per hari. Hitung PPh 21 !
Pembahasan
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah sehari
Rp300.000,
00
Rp
2.100.000,00
PTKP:7 x
(Rp24.300.000,00/360)
Rp
472.500,00(-)
Rp
1.627.500,00
PPh Pasal 21 = 5% x
Rp1.627.500,00
Rp 81.375,00
Rp
30.000,00(-)
Rp 51.375,00
Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan,
jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah:
Upah sehari
Rp
300.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
(Rp24.300.000,00 : 360)
Rp
67.500,00(-)
Rp
232.500,00
Rp
5.906.250.000
Rp
147.656.250,-
CONTOH 2---PT Wiro mengimpor barang dari Jepang. PT Wiro tidak memilki Angka
pengenal Impor, adalah perusahaan percetakan yang mengimpor mesin Fotokopi
dari Jepang sebanyak 20 unit barang. Harga faktur per unit sebesar US$500. Biaya
asuransi dan biaya angkut antar daerah pabean masing-masing 5% dan 10% dari
harga faktur. Pungutan pabean lain yang sah adalah Rp 22.500.000,-. Kurs yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada waktu itu adalah Rp 9.000. Berapa PPh 22
yang harus dibayar?
$10.000
$ 500
$ 1.000
-----------$11.500
Rp 103.500.000
Rp 22.500.000
---------------------
Nilai Impor
Rp 126.000.000
PPh 22 yang harus dipungut (tidak memiliki API):
Rp 126.000.000 x 7,5% = Rp 9.450.000
CONTOH 3---PT Traktor Bersatu, perusahaan penyewaan alat berat yang memiliki
API, mengimpor alat berat DOZER TRACTOR dari Jerman dengan harga faktur
US$100.000. Biaya asuransi sebesar US$5.000 dan ongkos angkut sebesar
US$25.000. Kurs Tengah BI (BI rate) waktu itu sebesar Rp 10.000 dan kurs pajak
ditetapkan sebesar Rp 9.000 per US$1. Bea masuk dibayar oleh PT Traktor Bersatu
sebesar 30% dari CIF. Berapa PPh 22 yang harus dibayar dan Buat jurnal atas
pembelian ini.
Harga faktur
Biaya asuransi
Biaya angkut
CIF
CIF dalam rupiah $130.000 x Rp 9.000
Bea masuk 30% x Rp 1.170.000.000
$100.000
$ 5.000
$ 25.000
------------$130.000
= Rp 1.170.000.000
= Rp 351.000.000
-----------------------Rp 1.521.000.000
Nilai Impor
PPh 22 yang harus dipungut (memiliki API)
Rp 1.521.000.000 x 2,5% = Rp 38.025.000
JURNAL:
DOZER TRACTOR
Rp 1.300.000.000
Pajak Penghasilan pasal 22
Rp
38.025.000
Kas
Rp 1.338.025.000
CONTOH 4---PT ABC mengimppor barang dari USA dengan harga US$30.000.
Asuransi yang dibayar diluar negeri sebesar 5% dari harga dan biaya angkut
sebesar 10% dari harga. Bea masuk dan bea masuk tambahan masing-masing 10%
dan 20%. (Berdasarkan kurs pajak US% = Rp 10.000). PT ABC tidak memiliki API
dan mengimpor melalui PT XYZ; importir yang memiliki API. Berdasarkan perjanjian
kedua pihak, handling fee dtetapkan sebesar 1,5% dari harga impor. Hitung PPh 22
yang harus dipungut dan Jurnal transaksi ini.
Harga faktur
Biaya asuransi
Biaya angkut
$ 30.000
$ 1.500
$ 30.000
-------------
CIF
CIF dalam rupiah $61.500 x Rp 10.000
Bea masuk 10% x Rp 615.000.000
Bea masuk tambahan 20% x Rp 615.000.000
$ 61.500
= Rp 615.000.000
= Rp
61.500.000
= Rp 123.000.000
-----------------------Nilai Impor
Rp 922.500.000
Pajak Penghasilan pasal 22= 2,5% X Rp 922.500.000 = Rp 23.062.500
Handling Fee = 1,5% x Rp 922.500.000 = Rp 13.837.500
JURNAL
Barang X (NI+Handling fee)
Rp 936.337.000
Pajak Penghasilan pasal 22
Rp 23.062.500
Kas
Rp 959.400.000
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS PEMBELIAN OLEH INSTANSI
PEMERINTAH, BUMN/BUMD, DAN INSTANSI TERTENTU
CONTOH 1---Dinas Pendidikan Nasional Kota Yogyakarta membeli mebel dan
peralatan kantor lain dari PT Furniture senilai Rp 220.000.000 (termasuk PPN 10%).
PPh 22 yang harus dipungut oleh bendaharawan Dinas Pendidikan Nasional kota
Yogyakarta adalah sebagai berikut:
DPP PPN = (100/110) x Rp 220.000.000 = Rp 220.000.000
PPh pasal 22 = Rp 220.000.000 x 1,5% = Rp 3.000.000,CONTOH 2---PT TELKOM Jakarta Selatan pada bulan Maret 2005 telah melakukan
beberapa transaksi antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan pembelian benda-benda pos seperti perangko dan materai
langsung ke PT (persero) Pos Indonesia. Jumlah keseluruhan nilai pembelian
benda-benda pos tersebut adalah Rp 9.800.000
2. Membayar tagihan pembelian kertas continous form dari PT Indah Kiat Paper
sebesar Rp 55.000.000 (termasuk PPN)
3. Membayar tagihan pembelian paper clip dari CV Clip Baru dengan nilai total
sebesar Rp 1.045.000 termasuk PPN
4. Membayar tagihan atas pembelian semen kepada PT Indo Semen untuk
pembangunan kantor cabang sebesar Rp 65.000.000 (tidak termasuk PPN)