Anda di halaman 1dari 25

Liputan6.

com, Jakarta - Bagaimana ketentuan pajak penggunaan dana desa yang bersumber
dari APBN? Contoh kegiatannya membangun jalan desa secara gotong royong/swadaya kelola
masyarakat. Demikian terimakasih.
Email: kuswan_bXXXX@yahoo.co.id
Jawaban:
Yth. Sdr. Kuswan,
Pada dasarnya Kepala Desa mengelola keuangan yang bersumber dari APBN atau APBD
Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga Kepala Desa merupakan Bendaharawan Pemerintah.
Ketentuan pengenaan pajak atas penggunaan dana desa yang bersumber dari APBN atau APBD
adalah tergantung pada jenis pembayaran/pengeluarannya. Berikut adalah gambaran umum
pengenaan pajak atas pengeluaran oleh Kepala Desa.
1. Atas pembayaran kepada orang pribadi berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain kecuali imbalan atas yang merupakan objek pengenaan PPh Final Pasal 4 ayat
(2) (misalnya imbalan atas pekerjaan jasa konstruksi oleh orang pribadi), Kepala Desa wajib
melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
2. Atas pembayaran sewa tanah dan atau bangunan, pekerjaan konstruksi, pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dan penghasilan lainnya yang merupakan objek pengenaan PPh Final
Pasal 4 ayat (2), Kepala Desa wajib melakukan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2).
3. Atas pembayaran sewa selain tanah dan atau bangunan dan jasa selain yang merupakan objek
pengenaan PPh Pasal 21, Kepala Desa wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23.
4. Untuk pengeluaran berupa pembelian barang dengan jumlah melebihi Rp 2.000.000, Kepala
Desa wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22.
Kegiatan membangun jalan desa secara gotong royong/swa kelola masyarakat tidak dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 sepanjang tidak ada upah berupa uang yang dibayarkan oleh Kepala
Desa kepada para warga yang bekerja.
Namun dalam hal terdapat pembelian barang dengan jumlah melebihi Rp2.000.000, maka
Kepala Desa harus mengenakan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 1,5 persen dari nilai
pembelian barang tidak termasuk PPN.
Selanjutnya untuk pengeluaran sehubungan dengan belanja barang/jasa kena pajak dari
Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas

Barang Mewah yang terhutang wajib dipungut, disetorkan ke Kas Negara dan kemudian
dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak oleh Kepala Desa.
Demikian penjelasan kami. Semoga membantu.
Salam,
Aldonius, S.E.
Konsultan Pajak - Citas Konsultan Global
www.citasco.com

Contoh Penghitungan Pemotongan/Pemungutan PPh Pasal


22 dan PPN oleh Bendahara Pemerintah
Hits, PPh Pasal 22, PPN

Contoh Penghitungan Pemotongan/Pemungutan PPh Pasal 22 dan PPN oleh


Bendahara Pemerintah
Pada tanggal 14 Januari 2013 Bendahara membeli 4 (empat) buah printer dari CV
Komputerindo (NPWP/NPPKP 01.222.355.5-063.000) seharga Rp22.000.000,- (harga
termasuk PPN).
Besarnya pemotongan/pemungutan pajak atas pembelian printer tersebut adalah
sebagai berikut:
Pemungutan PPh
Atas pembayaran untuk pembelian printer dipungut PPh Pasal 22 sebagai berikut:
Harga pembelian = 22.000.000
Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000 (100/110 X 22.000.000)
PPh Pasal 22 (1,5% X 20.000.000) = 300.000
Pemungutan PPN

Atas pembayaran untuk pembelian printer dipungut PPN sebagai berikut:


Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000
PPN (10% X 20.000.000) = 2.000.000
Kewajiban Bendahara
Kewajiban bendahara atas PPh Pasal 22 dan PPN yang telah dipungut adalah:
Melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi dengan data Wajib
Pajak CV Komputerindo;
Menyetorkan PPh Pasal 22 dan PPN dengan cara:
Membuat SSP PPh Pasal 22 (disetor ke bank/kantor pos pada hari yang sama
dengan pembayaran) dan SSP PPN (disetor ke bank/kantor pos selambat-lambatnya
tanggal 7 Februari 2013 ) atas nama CV Komputerindo dan ditandatangani oleh
bendahara;
Menyerahkan dokumen SPM dilengkapi dengan SSP dan Faktur Pajak ke KPPN;
Setelah terbit SP2D, bendahara menyerahkan:
SSP PPh Pasal 22 dan SSP PPN lembar ke-1 yang telah disahkan oleh KPPN; dan
Faktur Pajak lembar ke-2 kepada CV Komputerindo
Melaporkan SPT Masa PPh Pasal 22 selambat-lambatnya tanggal 14 Februari 2013
ke KPP Pratama Terdaftar dilengkapi dengan:
a. Daftar Bukti Pemungutan PPh Pasal 22
b. SSP lembar ke tiga
Melaporkan SPT Masa PPN selambat-lambatnya tanggal 28 Februari 2013 ke KPP
Pratama Terdaftar
Name="Light Grid Accent 3"/> Kewajiban bendahara tersebut adalah sebagai
berikut:
Membuat Faktur Pajak:

Membuat SSP PPh Pasal 22 dan PPN:

Membuat Daftar Bukti Pemungutan PPh Pasal 22:

Membuat SPT Masa PPh Pasal 22:

Membuat SPT Masa PPN Pemungut:

Pemungut PPh Pasal 22


PPh Pasal 22

Pemungut PPh Pasal 22

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:


1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
Pemungut dan Objek PPh Pasal 22

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor
barang;
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah
Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang
bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD),
kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;
4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel,
Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang
dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok,
industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas
penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari
pedagang pengumpul.
8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
Tarif PPh Pasal 22
1. Atas impor :
a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua
setengah persen) dari nilai impor;
b. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai
impor;
c. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual
lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4)
sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk
PPN dan tidak final.

3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
a. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
b. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain
penyalur/agen bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari
pedagang pengumpul (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7)
ditetapkan sebesar 2,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang
menggunakan API sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar
0,5% (setengah persen) dari nilai impor.
7. Atas Penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari
Rp20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya
lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas
bangunan lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10
orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose
vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder
lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan
PPnBM.
8. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22

Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22


1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat
Keterangan Bebas (SKB).
2. Impor barang
yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan
oleh DJBC.
Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang
jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah.
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos.
Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog. Saat Terutang
dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau
dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3,
dan 4 ) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang
(Delivery Order);

5. Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang
dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau
bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu)
hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22
atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean
impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak
berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke
bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti
pungutan rangkap tiga, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan
Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan
dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa
pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke
bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat
tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke
bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan
SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak
berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat

Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama
wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP.
Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari
setelah masa pajak berakhir.
7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos
paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap
3 yaitu:
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor
Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Home PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah

PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah


PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 Pemungutan Pajak Sehubungan Pembayaran Atas Pembelian Barang


oleh Bendahara
a. Tarif 1,5 %; Dalam Hal Rekanan Tidak Memiliki NPWP Dikenai Tarif PPh Pasal 22
Lebih Tinggi Sebesar 100%
b. Dasar Pengenaan Harga Pembelian; Dalam Hal Harga Pembelian Sudah
Termasuk PPN, Dasar Pengenaan Dihitung 100/110 Dari Harga Pembelian
Dikecualikan dari Pemungutan PPh Pasal 22
a. Pembayaran atas Penyerahan Barang yang Jumlahnya Paling Banyak
Rp2.000.000,- dan Tidak Merupakan Pembayaran yang terpecah-pecah
b. Pembayaran untuk Pembelian Bahan Bakar Minyak, Listrik, Gas, Air
Minum/PDAM, dan
Benda Benda Pos
c. Pembayaran untuk Pembelian Barang Sehubungan dengan Penggunaan Dana
Bantuan Operasional Sekolah (Bos)
d. Pembayaran atas Penyerahan Pekerjaan/Proyek yang dibiayai dengan
Hibah/Pinjaman Luar Negeri
Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 22
Saat Pemungutan PPh Pasal 22 = Saat Pembayaran
Saat Penyetoran = Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran
Tempat Penyetoran = Bank/Kantor Pos
Bukti Setoran = SSP
Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 22
Saat Pelaporan = Paling lambat tanggal 14 bulan berikutnya
Tempat Pelaporan = Kantor Pelayanan Pajak
Formulir yang dilaporkan=
1. SPT Masa PPh Pasal 22
2. Daftar Pemungutan PPh Pasal 22
3. Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ke-3
Tata Cara Pengisian SSP PPh Pasal 22

Perbedaan PPh 22 dan PPh 23


PPh Pasal 22, PPh Pasal 23

Perbedaan PPh 22 dan PPh 23 adalah sebagai berikut:


PPh Pasal 22 pemungutan pajak oleh pemungut pajak sehubungan dengan transaksi
pembayaran atas penyerahan barang, kegiatan impor dan kegiatan usaha di bidang
lain, serta kegiatan penjualan barang yang tergolong sangat mewa
Sedangkan
Pemotongan PPh Pasal
23 adalah pemotongan pajak penghasilan yang terutang atas penyerahan dividen,
bunga, royalti, sewa dan jasa-jasa tertentu dalam nama dan bentuk apapun yang
dibayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap

Untuk lebih jelasnya bisa dibaca pada postingan saya sebelumnya:

Pajak Penghasilan Pasal 22


Pajak Penghasilan Pasal 23

Surat Keterangan Bebas PP46 (PER - 32/PJ/2013)


PPh

Surat Keterangan Bebas PP46 (PER - 32/PJ/2013)


Seperti dibahas pada artikel sebelumnya tentang Pajak Penghasilan atas UMKM,
pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai Tata Cara Pembebasan dari
Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai
Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Pada tanggal 25 September 2013 Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan dari
Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai
Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Inti dari peraturan ini adalah:
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final kepada Direktur
Jenderal Pajak.
Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan sebagaimana diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat
Keterangan Bebas oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal
Pajak
Syarat Surat Keterangan Bebas:
1. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun
Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah
terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan
Bebas
2. menyerahkan surat pernyataan
yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang menyatakan bahwa
peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk
dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto
setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas,
untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak
saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
3. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah

Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen
pendukung sejenis lainnya.
4. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani
oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Surat Keterangan Bebas diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23
Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan:
1. Surat Keterangan Bebas; atau
2. surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima
secara lengkap.
Apabila dalam jangka waktu tersebut Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari
kerja setelah jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap terlewati
Selengkapnya download PER - 32/PJ/2013
Contoh Menghitung PPh 21 Upah Harian
Contoh Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) Pegawai Tidak Tetap/
Tenaga Kerja Lepas Upah Harian

Dasar Hukum:

Peraturan Menteri Keuangan PMK-162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian


Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Pedoman Teknis Tata Cara


Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan
Kegiatan Orang Pribadi

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 206/PMK.011/ 2012 Tentang


Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai harian
dan mingguan serta pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan
pajak penghasilan.

Berikut diberikan contoh cara menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pegawai
Tidak Tetap/ Tenaga Kerja Lepas upah harian, upah satuan, dan upah borongan
dalam situasi Pegawai Tidak Tetap/ Tenaga Kerja Lepas dengan upah Harian/
Satuan/ Borongan yang dibayar Harian/ Satuan/ Borongan dan situasi dimana

Pegawai Tidak Tetap/ Tenaga Kerja Lepas dengan upah Harian/ Satuan/ Borongan
yang dibayar bulanan

Upah Harian
Contoh 1
Jarwo dengan status belum menikah pada bulan Januari 20xx bekerja sebagai buruh
harian PT Gubel. la bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar
Rp200.000,00. Hitung PPh 21!
Pembahasan
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
Upah sehari

Rp
200.000,00

Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan


pemotongan PPh

Rp
200.000,00()

Penghasilan Kena Pajak sehari

Rp 0,00

PPh Pasal 21 dipotong atas Upah sehari

Rp 0,00

Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum
melebihi Rp2.025.000,00 maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong. Pada hari ke11 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp2.025.000,00, maka PPh
Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang
sebenarnya.
Upah s.d hari ke-11 (Rp200.000,00 x 11)

Rp
2.200.000,00

PTKP sebenarnya 11 x (Rp24.300.000,00/ 360)

Rp
742.500,00(-)

Penghasilan Kena Pajak s.d hari ke-11

Rp
1.457.500,00

PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-11 5% x


Rp1.457.500,00

Rp
72.875,00

PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-10

Rp
0,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-Rp

11

72.875,00

Sehingga pada hari ke-11, upah bersih yang diterima Jarwo sebesar: Rp200.000,00
- Rp72.875,00= Rp127.125,00

Misalkan Jarwo bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong pada hari ke - 12 adalah sebagai berikut :
Pada hari kerja ke-12, jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong adalah:
Upah sehari

Rp
200.000,00

PTKP sehari
- untuk WP sendiri (Rp
24.300.000,00: 360)

Rp
67.500,00(-)

Penghasilan Kena Pajak

Rp
132.500,00

PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp132.500,00 Rp 6.625,00


Sehingga pada hari ke-12, Jarwo menerima upah bersih sebesar: Rp200.000,00 Rp6.625,00 = Rp193.375,00

Contoh 2
Jufon (belum menikah) pada bulan Maret 20xx bekerja pada perusahaan PT Gudel,
menerima upah sebesar Rp300.000,00 per hari. Hitung PPh 21 !
Pembahasan
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah sehari

Rp300.000,
00

Upah sehari di atas


Rp200.000,00 adalah:
Rp100.000,
Rp300.000,00 - Rp200.000,00 00
PPh Pasal 21 = 5% x Rp100.000,00 = Rp5.000,00 (harian)
Pada hari ke-7 dalam bulan kalender yang bersangkutan, Jufon telah menerima
penghasilan sebesar Rp2.100.000,00, sehingga telah melebihi Rp2.025.000,00.
Dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan Jufon pada bulan Maret 2013

dihitung sebagai berikut:


Upah 7 hari kerja
(7xRp300.000,00)

Rp
2.100.000,00

PTKP:7 x
(Rp24.300.000,00/360)

Rp
472.500,00(-)

Penghasilan Kena Pajak

Rp
1.627.500,00

PPh Pasal 21 = 5% x
Rp1.627.500,00

Rp 81.375,00

PPh Pasal 21 yang telah


dipotong s.d hari ke-6: 6 x
Rp5.000,00

Rp
30.000,00(-)

PPh Pasal 21 yang harus


dipotong pada hari ke-7

Rp 51.375,00

Jumlah sebesar Rp51.375,00 ini dipotongkan dari upah harian sebesar


Rp300.000,00 sehingga upah yang diterima Jufon pada hari kerja ke-7 adalah:
Rp300.000,00 - Rp51.375,00 = Rp248.625,00

Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan,
jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah:
Upah sehari

Rp
300.000,00

PTKP
- untuk WP sendiri
(Rp24.300.000,00 : 360)

Rp
67.500,00(-)

Penghasilan Kena Pajak

Rp
232.500,00

PPh Pasal 21 terutang adalah 5% x Rp232.500,00 = Rp11.625,00

Contoh Perhitungan PPh Pasal 22


CONTOH 1---PT Pasaribu Motors mengimpor barang dari Korea. PT Pasaribu Motors
adalah importir mobil yang telah memiliki Angka Pengenal Impor. PT KIA mengimpor
unit 50 mobil, dengan harga faktur $ 10.000 per unit. Biaya asuransi dan biaya
angkut yang berkaitan dengan impor mobil tersebut masing-masing adalah 2% dan
3%. Bea masuk yang dibayar oleh PT KIA Motors sebesar 5% dari CIF dan bea
masuk tambahan sebesar 20% dari CIF. Kurs pada saat itu ditetapkan oleh Menteri
Keuangan sebesar $1 = Rp 9.000. Berapa PPh pasal 22 yang harus dibayar?Harga
faktur : 50 unit x $10.000
$500.000
Biaya asuransi(2%)
$ 10.000
Biaya angkut(3%)
$ 15.000
-------------CIF
$525.000
Bea masuk: 5% x $525.000
$ 26.250
Bea masuk tambahan:20% x $525.000
$105.000
------------Nilai Impor
$ 656.250

Nilai Impor dalam rupiah:


$656.250 x Rp 9.000 = Rp 5.906.250.000,PPh 22 yang harus dipungut (memiliki API)
2,5%

Rp

5.906.250.000

Rp

147.656.250,-

CONTOH 2---PT Wiro mengimpor barang dari Jepang. PT Wiro tidak memilki Angka
pengenal Impor, adalah perusahaan percetakan yang mengimpor mesin Fotokopi
dari Jepang sebanyak 20 unit barang. Harga faktur per unit sebesar US$500. Biaya
asuransi dan biaya angkut antar daerah pabean masing-masing 5% dan 10% dari
harga faktur. Pungutan pabean lain yang sah adalah Rp 22.500.000,-. Kurs yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada waktu itu adalah Rp 9.000. Berapa PPh 22
yang harus dibayar?

Harga faktur 20 x $500


Biaya asuransi 5% x $10.000
Biaya angkut 10% x $10.000
CIF
CIF dalam Rupiah $11.500 x Rp 9.000
Pungutan pabean lainnya

$10.000
$ 500
$ 1.000
-----------$11.500
Rp 103.500.000
Rp 22.500.000
---------------------

Nilai Impor
Rp 126.000.000
PPh 22 yang harus dipungut (tidak memiliki API):
Rp 126.000.000 x 7,5% = Rp 9.450.000

CONTOH 3---PT Traktor Bersatu, perusahaan penyewaan alat berat yang memiliki
API, mengimpor alat berat DOZER TRACTOR dari Jerman dengan harga faktur
US$100.000. Biaya asuransi sebesar US$5.000 dan ongkos angkut sebesar
US$25.000. Kurs Tengah BI (BI rate) waktu itu sebesar Rp 10.000 dan kurs pajak
ditetapkan sebesar Rp 9.000 per US$1. Bea masuk dibayar oleh PT Traktor Bersatu
sebesar 30% dari CIF. Berapa PPh 22 yang harus dibayar dan Buat jurnal atas
pembelian ini.
Harga faktur
Biaya asuransi
Biaya angkut
CIF
CIF dalam rupiah $130.000 x Rp 9.000
Bea masuk 30% x Rp 1.170.000.000

$100.000
$ 5.000
$ 25.000
------------$130.000
= Rp 1.170.000.000
= Rp 351.000.000
-----------------------Rp 1.521.000.000

Nilai Impor
PPh 22 yang harus dipungut (memiliki API)
Rp 1.521.000.000 x 2,5% = Rp 38.025.000
JURNAL:
DOZER TRACTOR
Rp 1.300.000.000
Pajak Penghasilan pasal 22
Rp
38.025.000
Kas
Rp 1.338.025.000

CONTOH 4---PT ABC mengimppor barang dari USA dengan harga US$30.000.
Asuransi yang dibayar diluar negeri sebesar 5% dari harga dan biaya angkut
sebesar 10% dari harga. Bea masuk dan bea masuk tambahan masing-masing 10%
dan 20%. (Berdasarkan kurs pajak US% = Rp 10.000). PT ABC tidak memiliki API
dan mengimpor melalui PT XYZ; importir yang memiliki API. Berdasarkan perjanjian
kedua pihak, handling fee dtetapkan sebesar 1,5% dari harga impor. Hitung PPh 22
yang harus dipungut dan Jurnal transaksi ini.
Harga faktur
Biaya asuransi
Biaya angkut

$ 30.000
$ 1.500
$ 30.000
-------------

CIF
CIF dalam rupiah $61.500 x Rp 10.000
Bea masuk 10% x Rp 615.000.000
Bea masuk tambahan 20% x Rp 615.000.000

$ 61.500
= Rp 615.000.000
= Rp
61.500.000
= Rp 123.000.000
-----------------------Nilai Impor
Rp 922.500.000
Pajak Penghasilan pasal 22= 2,5% X Rp 922.500.000 = Rp 23.062.500
Handling Fee = 1,5% x Rp 922.500.000 = Rp 13.837.500
JURNAL
Barang X (NI+Handling fee)
Rp 936.337.000
Pajak Penghasilan pasal 22
Rp 23.062.500
Kas
Rp 959.400.000
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS PEMBELIAN OLEH INSTANSI
PEMERINTAH, BUMN/BUMD, DAN INSTANSI TERTENTU
CONTOH 1---Dinas Pendidikan Nasional Kota Yogyakarta membeli mebel dan
peralatan kantor lain dari PT Furniture senilai Rp 220.000.000 (termasuk PPN 10%).
PPh 22 yang harus dipungut oleh bendaharawan Dinas Pendidikan Nasional kota
Yogyakarta adalah sebagai berikut:
DPP PPN = (100/110) x Rp 220.000.000 = Rp 220.000.000
PPh pasal 22 = Rp 220.000.000 x 1,5% = Rp 3.000.000,CONTOH 2---PT TELKOM Jakarta Selatan pada bulan Maret 2005 telah melakukan
beberapa transaksi antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan pembelian benda-benda pos seperti perangko dan materai
langsung ke PT (persero) Pos Indonesia. Jumlah keseluruhan nilai pembelian
benda-benda pos tersebut adalah Rp 9.800.000
2. Membayar tagihan pembelian kertas continous form dari PT Indah Kiat Paper
sebesar Rp 55.000.000 (termasuk PPN)
3. Membayar tagihan pembelian paper clip dari CV Clip Baru dengan nilai total
sebesar Rp 1.045.000 termasuk PPN
4. Membayar tagihan atas pembelian semen kepada PT Indo Semen untuk
pembangunan kantor cabang sebesar Rp 65.000.000 (tidak termasuk PPN)

5. Membayar tagihan listrik kepada PT PLN (persero) cabang Jakarta Selatan


sebesar Rp 25.000.000
Pembelian Benda POS---Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak,
listrik, gas, air minum/PDAM, dan benda-benda pos, dikecualikan dari pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22, sesuai dengan 236/KMK.03/2003
Pembelian Kertas---Atas pembelian kertas continous form dipungut PPh pasal 22
sebesar:
PPh 22= DPP PPN x tarif PPh 22
PPh 22= (100/110 x Rp 55.000.000) x 0,1%
PPh 22= Rp 50.000.000 x 0,1%
PPh 22= Rp 50.000 PPh ini tidak bersifat final dan dipungut oleh industri kertas
pada saat penjualan kertas dalam negeri.
Pembelian Paper Clip---Atas pembelian ini tidak dikenakan PPh pasal 22 karena
DPP PPN-nya (100/110 x Rp 1.045.000 = Rp 950.000) dibawah Rp 1.000.000 dan
bukan merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
Pembelian Semen---atas pembelian semen dipungut oleh industri semen sebesar:
PPh 22 = Rp 65.000.000 x 0,25% = Rp 162.500

Anda mungkin juga menyukai