Tujuan Pembelajaran
Rujukan
Pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan
pemerintah baik pusat maupun daerah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan
barang dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
PPh Pasal 22 merupakan cara pelunasan pembayaran pajak dalam tahun berjalan oleh
wajib pajak atas penghasilan antara lain sehubungan dengan impor barang/jasa, pembelian
barang dengan menggunakan dana APBN/APBD dan non-APBN/APBD, dan penjualan
barang sangat mewah.
b. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam
yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak
Karya;
2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme
pembayaran langsung (LS);
a. Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan,
c. Badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik
Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT
Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT
Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT
Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT
Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT
Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT
Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus,
PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRISyariah, dan PT Bank BNI Syariah,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan
untuk keperluan kegiatan usahanya;
6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
7. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
8. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
9. Industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan periknan yang berlum melalui proses industri
manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya;
10. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan; atau
Selanjutnya, dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e angka 3 tidak lagi dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, badan usaha
tertentu dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut pajak.
Objek Pajak menjadi bagian yang penting dibicarakan atau dipersoalkan dalam hukum
pajak. Objek pajak dikatakan sebagai bagian terpenting karena wajib pajak tidak dikenakan
pajak kalau tidak memiliki, menguasai, atau menikmati objek pajak yang tergolong sebagai
objek kena pajak sebagai syarat-syarat objektif dalam pengenaan pajak. Berikut merupakan
objek PPh Pasal 22 berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
34/PMK.010/2017 (PMK 34/2017):
1. Impor barang dan ekspor barang komoditas tambang batubara, mineral logam, dan
mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir
2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah, dan lembaga-lembaga negara
lainnya.
3. Pembayaran atas pembelian barang dengan mekanisme uang persediaan (UP) yang
dilakukan oleh bendahara pengeluaran.
4. Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS) oleh KPA atau pejabat penerbit surat perintah membayar yang diberi
delegasi oleh KPA.
6. Penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, yang
merupakan industri hulu, industri otomotif, dan industri farmasi.
7. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor.
8. Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir
10. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang dilakukan oleh wajib pajak badan.
Sebelum masuk dalam pembahasan mengenai objek pajak yang dikecualikan dari PPh
Pasal 22, terlebih dulu akan dijelaskan apa saja jenis barang yang tergolong sangat mewah
yang menjadi objek PPh Pasal 22.
Ketentuan mengenai pengecualian dari objek PPh Pasal 22 tertuang dalam Pasal 3 PMK
34/2017, yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah:
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan
Nilai:
d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat
lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
f. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
h. Barang pindahan;
j. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
ditujukan untuk kepentingan umum;
l. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang,
dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan penangkapan ikan nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa
Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai,
Danau dan Penyeberangan Nasional sesuai dengan kegiatan usahanya;
p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor
dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku
cadangnya, serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang
diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi
pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh oleh badan usaha penyelenggara
s. Barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya dilakukan
oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama; dan/atau
3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali;
4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf i, dan huruf j berkenaan dengan:
c. pembayaran untuk:
e. pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas
bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi
berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi;
g. pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau
orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf j yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas
pembelian barang dan/ atau bahan-bal;lan untuk keperluan kegiatan usaha oleh
badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e.
6. Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor.
8. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif,
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan
berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c UU PPh.
9. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf k kepada Bank Indonesia.
10. Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa Pengguna Anggaran,
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran, atau bendahara pengeluaran).
11. Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum
BULOG).
12. Pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersediaan pangan dan
stabilisasi harga pangan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum
BULOG) atau Badan Usaha Milik Negara lain yang mendapatkan penugasan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam PMK tersebut dikatakan bahwa yang menjadi dasar pemungutan pajak PPh Pasal
22 adalah nilai impor, nilai ekspor, harga jual lelang, dan harga pembelian.
Nilai impor yang dimaksud adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea
Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan
lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di
bidang impor. Sementara, untuk nilai ekspor yang dimaksud adalah nilai Free on
Board (FOB).
a. Impor:
barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang;
b. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam,
sesuai uraian barang dan pos tarif/Harmonized System (HS) sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini, oleh eksportir kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak
yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak
Karya, sebesar 1,5% dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam
Pemberitahuan Ekspor Barang.
2. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat ( 1) huruf b, huruf c,
huruf d, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, sebesar 1,5% dari harga
pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
3. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
b. bahan bakar gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai;
c. pelumas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
4. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri
otomotif, dan industri farmasi:
d. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak termasuk
alat berat, sebesar 0,45%;
e. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% dari dasar pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
5. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor
sebesar 0,45% dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
8. Atas penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan, sebesar
0,45% dari harga jual emas batangan.
Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah 100% lebih tinggi dari tarif yang diterapkan terhadap Wajib
Pajak yang dapat menunjukkan NPWPnya.
Saat terutang dan peluasan PPh Pasal 22 tertuang dalam Pasal 4 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017. Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa saat terutang
dan dilunasi/dipungut PPh Pasal 22 atas:
1. Impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
2. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam
pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang yang dibebaskan dari
pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 22 terutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.
3. Ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam terutang
dan disetorkan bersamaan dengan saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas
ekspor.
5. Penjualan hasil produksi oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri
semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi terutang dan
dipungut pada saat penjualan.
7. pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf i dan
pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf j, terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Tata cara pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22 diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2015 tentang Tata Cara dan Prosedur
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan
Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
1. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara
penyetoran oleh importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ke
kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
3. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak
(bendahara pemerintah, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran,
pejabat penerbit SPM) wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos,
bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh
pemungut pajak.
Terkait dengan penyetoran PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh eksportir komoditas
tambang batubara, mineral logam dan mineral bukan logam dilakukan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak dengan ketentuan dalam kolom Uraian Pembayaran diisi dengan Nomor
Pengajuan Pemberitahuan Ekspor Barang
Terhadap bukti penyetoran pajak yang dilakukan oleh eksportir tersebut, Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan formil bukti penyetoran pajak tersebut
sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean ekspor dan dijadikan dasar pelayanan
ekspor.
1. Dalam kolom Jenis Dokumen diisi dengan Surat Setoran Pajak atau SSP;
2. Dalam kolom Nomor Dokumen diisi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang
tertera dalam Surat Setoran Pajak; dan
3. Dalam kolom Tanggal Dokumen diisi dengan tanggal Nomor Transaksi Penerimaan
Negara.
Penyetoran PPh Pasal 22 oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan
pemungut pajak (bendahara pemerintah, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara
pengeluaran, pejabat penerbit SPM) menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang
berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak.
Kasus 1 :
PT JUJUR berkedudukan di Pekalongan, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor bagi Dinas
Pendidikan Kota Pekalongan. Pada tanggal 1 Oktober 2015, PT JUJUR melakukan penyerahan
barang kena pajak dengan nilai kontrak sebesar Rp11.000.000 (nilai sudah termasuk PPN).
Maka, berapakah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Pekalongan?
Kasus 2 :
Pada tanggal 1 Januari 2016, PT ADIL mengimpor barang dari Jerman dengan harga faktur
US$100.000. Barang yang diimpor adalah jenis barang yang tidak termasuk dalam barang-
barang tertentu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.010/2016.
Biaya asuransi yang dibayar di luar negeri sebesar 5% dari harga faktur dan biaya angkut sebesar
10% dari harga faktur.
Bea masuk dan bea masuk tambahan masing-masing sebesar 20% dan 10%. Kurs yang
ditetapkan Menteri Keuangan pada saat itu sebesar US$1= Rp10.000. Hitunglah PPh Pasal 22
yang dipungut oleh Ditjen Bea Cukai jika PT ABC memili API (Angka Pengenal Impor) dan jika
tidak memiliki API?
Kasus 3 :
1. Pada bulan Agustus, PT Semen Sentosa menjual hasil produknya kepada PT SABAR
senilai Rp825.000.000. harga tersebut sudah termasuk PPN sebesar 10%.
3. Pada bulan Juli, PT SENTOSA menjual hasil produknya kepada PT Adi Karya senilai
Rp1.100.000.000. Harga tersebut sudah termasuk PPN sebesar 10%.
4. PT Pertamina selaku produsen bahan bakar minyak, gas, dan pelumas menyerahkan
bahan bakar minyak senilai Rp300.000.000 (tidak termasuk PPN) kepada non-SPBU.
Maka, berapakah PPh Pasal 22 yang dipungut?
BAB 2
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26
Tujuan Pembelajaran
Rujukan
Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak penghasilan dalam tahun
berjalan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam
negeri dan betuk usaha tetap (BUT) yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang
oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT,
atau perwakilan perusahaan luar negeri yang lain.
Pada umumnya penghasilan tersebut terjadi saat adanya transaksi antara dua pihak.
Pihak yang menerima penghasilan atau penjual atau pemberi jasa akan dikenakan PPh pasal
23. Pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau penerima jasa akan memotong dan
melaporkan PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak.
Wajib pajak pemotong PPh Pasal 23 yang ditetapkan dalam Pasal 23 UU PPh adalah:
Badan pemerintah;
Penyelenggara kegiatan;
BUT
Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri tertentu, yang telah mendapat
penunjukan dari Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 sebagaimana
diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-50/PJ/1994, meliputi:
1. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, pejabat pembuat akte tanah (kecuali PPAT tersebut
adalah camat), pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas
Pembayaran PPh Pasal 23 dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara membuat ID
billing terlebih dahulu, lalu membayarnya melalui Bank Persepsi (ATM, teller bank,dll)
yang telah disetujui oleh Kementerian Keuangan. Jatuh tempo pembayaran adalah
tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang PPh Pasal 23.
Objek pajak yaitu segala sesuatu yang karena undang-undang dapat dikenakan pajak.
Kata ‘dapat’ dikenakan pajak ini mengandung makna bahwa objek pajak ada yang boleh
dikenakan pajak dan ada juga yang tidak boleh dikenakan pajak.
Dividen
Di Indonesia, dasar hukum mengenai dividen tertuang dalam Pasal 4 huruf g UU PPh.
Dari aturan tersebut, pengertian dividen secara lengkap adalah:
Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor.
Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang
berasal dari kapitalisasi agio saham.
Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang
saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan.
Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam
tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu
adalah akibat dari pengecilan modal dasar yang dilakukan secara sah.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
merupakan objek pajak yang diatur dalam Pasal 4 huruf f UU PPh. Dalam hal ini, premium
terjadi apabila surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya, sedangkan diskonto terjadi
apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalya. Premium tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang
membeli obligasi.
Royalti
Dasar hukum mengenai royalti tercantum dalam Pasal 4 huruf h UU PPh. Royalti adalah
suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apapun, baik
dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak yang tercantum dalam nomor 1, 2, dan 3, berupa:
o Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik,
aatau teknologi yang serupa.
o Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya untuk siaran televisi atau radio yang disiaran/dipancarkan melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film, atau
pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siara radio.
6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut
di atas.
Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
ayat 1 huruf e, yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri
orang pribadi yang berasal dari penyelenggaraan kegiatan sehubungan dengan pelaksanaan
Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan
melalui undian.
Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan
melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya adalah hadiah dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh penerim hadiah.
Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan
tertentu.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta diatur dalam Pasal 4
huruf i UU PPh, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-
Undang PPh.
Penjelasan mengenai imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain serta pembahasan mengenai penghasilan yang
dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23.
Imbalan Sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa manajemen, Jasa konsultan, dan Jasa lain
Pengertian mengenai jasa teknik, jasa manajemen dan jasa konsultan diatur dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa dan
Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan
dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat
meliputi:
1. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau
pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
2. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian
informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan
sebagainya; atau
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam
pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
Jasa Lain diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No.141/PMK.03/2015 tentang
Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalaM Pasal 23 Ayat (1) Huruf C angka 2 UU PPh
(PMK 141/2015). Terdapat 62 jenis jasa lain yang diatur dalam PMK 141/2015, yaitu:
2. Jasa aktuaris;
4. Jasa hukum;
5. Jasa arsitektur;
24 |Modul Perpajakan S1 Akuntansi – FEB Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
6. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
8. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali
yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
10. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
14. Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
16. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
20. Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
24. Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
25. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV
kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
26. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
27. Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut dan udara;
31. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
42. Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau insitusi
pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
49. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/atau perhutanan;
53. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
Atas jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas
bumi (migas) yang dimaksud dalam jasa lain Nomor 9 adalah jasa penunjang berupa:
1. Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat
di antara pipa selubung dan lubang sumur;
2. Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk
maksud-maksud:
o Penutupan sumur.
3. Jasa pengontrolan pasir (sand contron), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian
formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa
produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa.
4. Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus
formasi dan menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat
yang tidak diinginkan;
5. Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara
pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya
tembus sangat kecil;
6. Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan
untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai,
sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi
besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan
dalam sumur;
16. Jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
24. Jasa penyiapan lahan pengeboran seperti pembukaan lahan, pembuatan sumur air,
penggalian lubang cadangan, dan lain-lain;
33. Jasa pengadaan sumber daya manusia dan sumber daya lain seperti peralatan (tools),
perlengkapan (equipment) dan kelengkapan lain;
43. Jasa lainnya yang sejenis yang terkait di bidang pengeboran, produksi dan/atau penutupan
pertambangan minyak dan gas bumi (migas).
Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas) yang dimaksud dalam jasa lain Nomor 10
adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa:
1. Jasa pengeboran;
2. Jasa penebasan;
Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara yang dimaksud dalam jasa lain
Nomor 11 adalah berupa:
2. Jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara, dan jasa lain sehubungan
dengan pendaratan pesawat udara;
5. Jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan
penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang
berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat; dan
Sedangkan, pengertian dari jasa maklon yang dimaksud dalam jasa lain Nomor 28
adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses
pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan
baku, barang setengah jadi, dan/ atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses
sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi
berada pada pengguna jasa.
Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer yang dimaksud dalam jasa lain Nomor
30 adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan
meliputi antara lain penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar,
peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa
penyelenggara kegiatan.
Jasa freight forwarding yang dimaksud dalam jasa lain Nomor 37 adalah kegiatan usaha
yang ditujukan untuk mewakili kepentingan pemilik untuk mengurus semua/ sebagian
kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui
transportasi darat, laut, dan/ atau udara, yang dapat mencakup kegiatan penerimaan,
penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, penimbangan, pengurusan
penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, perhitungan biaya angkutan,
klaim,asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya
berkenaan dengan pengiriman barang-barang tersebut sampai dengan diterimanya barang
oleh yang berhak menerimanya.
Yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak boleh dilupakan bahwa
terdapat pengecualian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan-penghasilan
yang tidak dipotong PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (4) UU PPh, yakni
sebagai berikut:
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi. Pelunasan Pajak Penghasilan perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi akan
dilakukan dengan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, badan usahan milik negara (BUMN), atau badan usaha
milik daerah (BUMD), dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
o Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham, pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
4. Dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 2c
UU PPh;
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
6. Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan, termasuk yang menggunakan
pembiayaan berbasis syariah. Badan usaha sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas:
o Perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh izin
usaha dari Menteri Keuangan;
Tarif PPh Pasal 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah
bruto dari penghasilan. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah
penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Terdapat 2 jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan 2%, tergantung
dari objek PPh Pasal 23. Berikut adalah daftar tarif PPh Pasal 23:
o Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
o Royalti;
Jumlah bruto yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa lain sesuai dengan
PMK No.141/PMK.03/2015 adalah sebagai berikut:
1. Untuk jasa katering adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada
Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dan
2. Untuk jasa selain jasa katering adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia
tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak
dengan pengguna jasa;
Pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan/pembelian barang atau material
yang terkait dengan jasa yang diberikan;
Pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa, terkait jasa
yang diberikan oleh penyedia jasa; dan/atau
Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan penggantian (reimbursement)
atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga dalam rangka
pemberian jasa bersangkutan.
2.8. Saat Terutang, Setor, dan Lapor Pajak
Saat terutang pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 kita dapat merujuk pada Pasal 15 ayat
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena
“Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan: 1)
dibayarkannya penghasilan, 2) disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau 3) jatuh
temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa mana yang
terjadi terlebih dahulu.”
Penjelasan lebih lanjut dari pasal tersebut yakni saat terutangnya PPh Pasal 23 UU PPh
adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh
tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau
faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).
Untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen
yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan
dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang
saham yang berhak atas dividen (recording date).
Adapun yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban
untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.
Dalam hal pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada tahun pajak yang berbeda dengan
tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas PPh yang telah dipotong tersebut dapat
dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.
PPh Pasal 23 disetorkan selama satu bulan takwim ke bank persepsi atau kantor pos
dengan menggunakan SSP paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan
saat terutangnya pajak, bila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan
pada hari kerja berikutnya.
Sebagai contoh, untuk PPh Pasal 23 yang terutang untuk masa Agustus 2019, maka
wajib disetorkan ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lambat tanggal
10 September 2019.
Untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 dengan menggunakan SPT Masa PPh
Pasal 23 harus dilampiri dengan:
Keterlambatan penyetoran PPh Pasal 23 dalam suatu masa pajak akan dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga, sebesar 2% per bulan, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal dilakukannya pembayaran, dan bagian dari bulan (misal
terlambat 1 hari) tetap dihitung sebagai keterlambatan penuh 1 bulan.
Kasus 1 :
Pada 10 Mei 2019, PT MAKMUR mengumumkan akan membagikan dividen melalui Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS), dan melakukan pembayaran dividen tunai kepada PT
SUKSES sebesar Rp30.000.000 yang melakukan penyertaan modal sebesal 15%. Hitunglah
besarnya PPh 23 atas deviden?
Kasus 2 :
Pada 2 Agustus 2019, PT ADIL membayar royalti kepada Tuan Sabar sebagai penulis buku
sebesar Rp50.000.000. Tuan Sabar telah mempunyai NPWP 01.444.888.2.987.000. Hitunglah
PPh 23 atas royalti?
Kasus 3 :
Pada tanggal 3 Januari 2019, PT AMAN melakukan pembayaran bunga obligasi kepada PT
TENTERAM sebesar Rp75.000.000. Obligasi tersebut tidak diperdagangkan di Bursa Efek
Indonesia. Hitunglah PPh 23 atas pembayaran bunga obligasi?
BAB III
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Tujuan Pembelajaran
Rujukan
Wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan yang diterimanya,
termasuk juga penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Hal ini disebabkan
sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem worldwide income.
Untuk menghindari terjadinya pajak berganda yang disebabkan oleh pengenaan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, maka besarnya pajak atas
penghasilan wajib pajak dalam negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut
dapat dikreditkan terhadap total pajak terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam
negeri.
PPh Pasal 24 yang mengatur tentang hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak
mereka di luar negeri. Dalam PPh Pasal 24 diatur mengenai nominal pajak yang dibayarkan
di luar negeri yang berfungsi sebagai pengurang nilai pajak terutang yang dimiliki di
Indonesia. Jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah
pajak yang telah mereka bayar di luar negeri. Pasal 24 ayat 1 UU PPh bahwa pajak yang
dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan Undang-Undang ini (UU PPh) dalam tahun pajak yang sama. Besarnya kredit
pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini (UU
PPh).
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham
dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas
tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau
sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara
tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah
negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan atau berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut
serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara
tempat lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap itu berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.
Wajib pajak dalam negeri yang terutang pajak atas penghasilan kena pajak yang berasal
dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri,
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut :
3. Penggabungan penghasilan berupa dividen yang diperoleh wajib pajak dalam negeri dari
penyertaan modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham disetor atau secara
bersama-sama denga wajib pajak dalam negeri lainnya sekurang-kurangnya 50% dari
jumlah saham disetor pada badan usaha di luar negeri yang sahamya tidak
diperdagangkan di bursa efek, dilakukan dalam tahun pajak di mana dividen tersebut
diperoleh. Penjelasan lebih lanjut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan
No.256/PMK.03/2008.
4. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.
Contoh PT JUJUR di Jakarta dalam tahun pajak 2015 menerima dan memperoleh
penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut:
1. Hasil usaha di negara Thailand dalam tahun pajak 2015 sebesar Rp900.000.000.
3. Di negara Hong Kong, memperoleh dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% di Y
Corp. sebesar Rp2.000.000.000. Saham tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek.
Dividen tersebut berasal dari keuntungan saham 2014 dan diperoleh tahun 2014.
Penghasilan dari luar negeri yang dapat digabungkan dengan penghasilan dalam negeri
PT JUJUR dalam tahun pajak 2015 adalah penghasilan pada angka 1,2, dan 3. Sedangkan,
penghasilan pada angka 4 dapat digabungkan dengan penghasilan PT JUJUR untuk tahun
pajak 2016.
Batas maksimum kredit pajak dapat diambil dari yang terendah di antara 3
unsur/perhitungan berikut ini:
2. (Penghasilan luar negeri/Seluruh penghasilan kena pajak) x PPh atas seluruh yang
dikenakan tarif pasal 17.
3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan
kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri (PPh Pasal 24) atas penghasilan dari luar
negeri yang dapat dikreditkan hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh wajib pajak.
Dalam UU PPh, metode kredit yang digunakan adalah metode kredit terbatas
(ordinary/normal tax credit method), yaitu metode kredit pajak yang memberikan
keringanan pajak berganda internasional, di mana jumlah pajak yang dibayar di luar negeri
dapat dikurangkan namun tidak boleh melebihi jumlah pengurangan pajak yang dihitung
berdasarkan undang-undang domestik.
Mekanisme pengkreditan PPh yang dibayar di luar negeri dijelaskan lebih lanjut dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 (KMK 164/2002) tentang Kredit
Pajak Luar Negeri. Teknis proses pengkreditan pajak luar negeri diatur dalam Pasal 2, yakni
sebagai berikut:
Jumlah kredit pajak yang boleh dikreditkan paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang
dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu.
Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan
PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
PKP yang dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan/atau penghasilan yang dikenakan
pajak tersendiri (Pasal 8 ayat 1 dan 4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan
lainnya, baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24
yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun
berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar
di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih
kecil daripada kredit pajak luar negeri semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri pada tahun
terjadinya pengurangan atau pengembalian tersebut.
Sementara itu, dalam Pasal 4 KMK 164/2002, dikatakan bahwa untuk melaksanakan
pengkreditan PPh Pasal 24, wajib pajak diharuskan menyampaikan permohonan ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri
dengan:
Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib pajak.
Kemudian, Pasal 6 KMK 164/2002 menjelaskan dalam hal terjadi perubahan besarnya
penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka wajib pajak harus melakukan pembetulan
SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan
dengan perubahan tersebut.
Kasus 1
PT MAKMUR di Pekalongan memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2019 sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000 Penghasilan dari Vietnam (tarif pajak 20%)
Rp200.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT MAKMUR tahun 2019?
Kasus 2
PT SABAR berkedudukan di Indonesia memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2019 sebagai
berikut: Di Belanda memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp600.000.000 (tarif
pajak yang berlaku 30%). Di dalam negeri menderita kerugian sebesar Rp200.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT SABAR 2019?
Kasus 3
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT MERDEKA tahun 2019?
44 |Modul Perpajakan S1 Akuntansi – FEB Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
1. Menghitung total penghasilan kena pajak:
BAB IV
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
Tujuan Pembelajaran
Rujukan
Pajak penghasilan pasal 25 yaitu : pembayaran PPh secara angsuran dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan setiap
bulan setelah dikurangi dengan kredit pajak. Dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2008 (UU PPh) dijelaskan bahwa pembayaran pajak bisa diangsur
atau dicicil di muka dengan pembayaran cicilan setiap bulan.
Angsuran Pajak PPh Pasal 25 dibayarkan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya, dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya. Sebagai contoh, untuk masa pajak Januari 2018, maka angsuran PPh Pasal 25
disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2018 dan dilaporkan paling lambat tanggal 20
Februari 2018.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan data Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan pada tahun sebelumnya, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong atau
dipungut oleh pihak lain dan kredit pajak lainnya, kemudian dibagi 12 atau total bulan dalam
pajak masa setahun.
Kondisi tersebut mengakibatkan adanya selisih atau perbedaan yang terjadi dengan
kondisi sebenarnya yang harus dibayar pada tahun pajak terakhir. Jika selisih tersebut
menyebabkan pajak yang seharusnya dibayar menjadi kurang bayar maka kekurangan
Sebaliknya, jika terdapat kelebihan pajak yang dibayar, maka wajib pajak dapat
meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dibayarkan atau disebut sebagai restitusi.
Pasal 25 ayat 4 dan 6 UU PPH menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat
mempengaruhi besarnya jumlah angsuran PPh pasal 25 yaitu:
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP) untuk tahun
pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP
tersebut, dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.
3. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan;
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu wajib pajak
yang melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa dengan
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT) yaitu wajib
pajak yang memiliki pekerjaan bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri.
Tarif PPh Pasal 25 yang diterapkan bagi WP OPSPT adalah Penghasilan Kena Pajak
(PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (UU PPh). Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah sebagai berikut:
Tarif PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan diatur bedasarkan Pasal 17 ayat (2a)
dan (2b) dan Pasal 31E ayat (1) UU PPh, yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 17 ayat (2a) UU PPh menetapkan tarif PPh Pasal 25 untuk wajib pajak badan
adalah 25% dari PKP.
2. Pasal 17 ayat (2b) menetapkan bahwa wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk
perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya
dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah daripada tarif tersebut yang diatur
dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Sedangkan batas waktu untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari
setelah berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya).Apabila tanggal 20 jatuh pada
hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Hari libur meliputi
hari libur nasional dan hari-hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.
Apabila wajib pajak terlambat membayar PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan
dikenakan bunga sebesar 2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal
pembayaran. Pada bahasan berikutnya mengenai PPh Pasal 25 akan dijelaskan mengenai
perhitungan PPh Pasal 25 untuk kondisi-kondisi tertentu.
Ketentuan penghitungan PPh Pasal 25 juga dapat berbeda dari penghitungan secara
umum. Perbedaan penghitungan itu tergantung dari kondisi-kondisi yang dihadapi wajib
pajak. Berikut penjelasannya:
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bagi wajib
pajak orang pribadi adalah akhir tahun bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi wajib
pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya anggsuran yang
harus dibayar untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Apabila dalam tahun pajak berjalan wajib pajak menerima Surat Ketetapan Pajak
(SKP)
Apabila dalam tahun pajak berjalan wajib pajak menerima SKP untuk tahun pajak yang
lalu, maka besarnya angsuran pajak akan dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut. Nilai
PPh Pasal 25 yang baru akan mulai berlaku pada bulan berikutnya setelah bulan penerbitan
SKP.
Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan SPT, SKP, Surat
Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau
Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 (UU
PPh).
Apabila wajib pajak badan memiliki kompensasi kerugian fiskal, yang timbul pada
tahun pajak sebelumnya, maka kerugian fiskal tersebut dapat dikompensasikan dengan
penghasilan neto pada tahun pajak berikutnya sampai dengan 5 tahun. Dengan demikian
penghitungan PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang berhak atas kompensasi kerugian tersebut
adalah sebagai berikut:
{(Penghasilan Neto menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu - Kompensasi
Kerugian) x Tarif Pasal 17 UU PPh} - PPh Pasal 22,23,24/(12 bulan)
Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih kurs dari
utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain)
sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan
lainnya yang bersifat insidentil.
Penghasilan tidak teratur ini dapat dipotong/dipungut pajak oleh pihak yang
memberikan penghasilan. Terkait dengan penghasilan teratur dan tidak teratur, maka
besarnya PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang memperoleh penghasilan tidak teratur adalah
sebagai berikut:
{(Penghasilan Neto menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu - Penghasilan
Tidak Teratur) x Tarif Pasal 17 UU PPh} - PPh Pasal 22,23,24)/(12 bulan)
Dalam kondisi tertentu, misalnya audit laporan keuangan perusahaan belum selesai
dilakukan, atau belum tersedianya dana untuk membayar pajak yang terutang, sehingga
perusahaan menyampaikan SPT Tahunan PPh setelah jatuh tempo yang telah ditetapkan.
Bila kondisi tersebut dialami oleh wajib pajak badan, maka nilai angsuran PPh Pasal 25
yang harus dibayarkan setiap bulannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan
sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya PPh Pasal
25 bulan terakhir tahun pajak lalu dan hanya bersifat sementara.
2. Setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya PPh Pasal
25 dihitung kembali sebagai berikut:
((PPh terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu - PPh Pasal 22,23,24))/(12 bulan)
Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi yang terjadi atas PPh Pasal 25, yaitu:
2. Apabila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih kecil dari yang telah dibayarkan,
maka atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke PPh
Pasal 25 bulan-bulan berikutnya.
Dalam kondisi tertentu wajib pajak badan dapat saja mengajukan permohonan
perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan PPh. Apabila hal tersebut dilakukan oleh
wajib pajak, maka berikut ini merupakan ketentuan dalam menghitung besarnya nilai PPh
Pasal 25.
1. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan
sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya PPh Pasal
25 yang dihitung berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan wajib pajak
pada saat mengajukan permohonan izin perpanjangan.
2. Setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya PPh Pasal
25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan tersebut dengan memerhatikan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
((PPh terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu - PPh Pasal
22,23,24))/(12 bulan)
Dalam hal wajib pajak dalam tahun berjalan membetulkan sendiri SPT PPh Tahun pajak
lalu, maka besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan Pembetulan
dan akan berlaku surut mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan tersebut. Atas
pembetulan SPT Tahunan yang dilakukan terdapat dua konsekuensi yang terjadi atas PPh
Pasal 25, yaitu:
2. Bila nilai PPh Pasal 25 ternyata menjadi lebih kecil dari PPh Pasal 25 sebelum dilakukan
pembetulan. Atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal
25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT PPh Pembetulan.
Perubahan keadaan kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh wajib pajak, merupakan
hal yang wajar. Di mana tidak jarang wajib pajak dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu
yang dapat secara drastis meningkatkan laba ataupun sebaliknya. Perubahan penghasilan
yang diterima/diperoleh wajib pajak akan mempengaruhi kewajiban PPh Pasal 25.
Jika dalam tahun pajak berjalan terjadi penurunan omzet, maka wajib pajak badan dapat
mengajukan permohonan pengurangan PPh Pasal 25. Namun jika kondisi yang terjadi
adalah laba wajib pajak dalam tahun pajak berjalan bertambah besar, maka besarnya nilai
PPh Pasal 25 dapat dihitung kembali.
1. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan tersebut, saat telah 3 bulan atau lebih
berjalannya satu tahun pajak;
2. Wajib pajak dapat memperlihatkan bahwa PPh yang terutang pada tahun pajak tersebut
kurang dari 75% dari dasar penghitungan PPh Pasal 25;
3. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib pajak Terdaftar;
4. Wajib pajak harus menyertakan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang
berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh, serta besarnya PPh
Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan;
6. Bila permohonan tersebut dikabulkan maka wajib pajak dapat melakukan pembayaran
PPh Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika dalam tahun pajak berjalan wajib pajak
mengalami peningkatan usaha, dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut lebih dari 150% dari dasar penghitungan PPh Pasal 25, maka besarnya PPh Pasal 25
untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak tersebut harus dihitung kembali oleh wajib
pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak di mana wajib pajak terdaftar.
Berikut merupakan ketentuan penghitungan angsuran PPh Pasal 25 yang berbeda dan
disesuaikan dengan kegiatan usaha tertentu:
Ketentuan wajib pajak baru diatur dalam Pasal 1 angka 1 PMK 208/PMK.03/2009
(PMK 208/2009). Wajib pajak baru menurut Peraturan Menteri Keuangan ini adalah wajib
pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha
atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal
25 untuk wajib pajak baru ini diaturdalam pasal 2 PMK 208/2009 yaitu:
1. Wajib pajak badan yang menyelenggarakan pembukuan, PPh Pasal 25 = 1/12 x (Tarif
PPh x Penghasilan Neto sebulan);
2. Wajib pajak badan yang melakukan pencatatan, PPh Pasal 25 = 1/12 x (Tarif PPh x
norma penghitungan penghasilan neto x peredaran bruto yang disetahunkan);
3. Wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, PPh Pasal 25 = 1/12 x
[(Tarif PPh x Penghasilan neto sebulan disetahunkan) – PTKP]; dan
Wajib Pajak Bank dan Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi
Dalam Pasal 3 PMK 208/2009 mengatur bahwa besarnya PPh dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang
disetahunkan dikurangi dengan PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk
tahun pajak yang lalu, dibagi 12 bulan.
Apabila wajib pajak bank atau sewa guna usaha dengan hak opsi adalah wajib pajak
baru, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah PPh yang terutang
berdasarkan perkiraan perhitungan laba rugi triwulan pertama yang disetahunkan kemudian
dibagi 12 bulan.
Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) & Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD)
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar pajak penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan
Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan oleh
Rapat Umum Pemegang saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh
Pasal 25 dan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri pada tahun pajak yang lalu,
dibagi 12 bulan.
1. Apabila RKAP belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan
adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya; atau
2. Apabila ada sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan, maka dasar penghitungan
PPh Pasal 25 adalah Pajak Penghasilan yang terutang atas PKP yang dihitung dari
penghasilan neto menurut RKAP setelah dikurangi dengan jumlah sisa kerugian yang
belum dikompensasikan tersebut.
Jumlah Pajak Penghasilan Tuan Purnama yang terutang sesuai dengan SPT Tahunan PPh
2014 sebesar Rp50.000.000. Jumlah kredit pajak Tuan Purnama pada tahun 2014 adalah
Rp21.500.000, dengan rincian sebagai berikut:
Berapa besarnya angsuran PPh Pasal 25 Tuan Purnama untuk tahun 2015:
Kredit pajak:
Besarnya PPh Pasal 25 per bulan = Rp28.500.000/12 = Rp2.375.000. Jadi, Tuan Purnama harus
membayar sendiri angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan pada tahun 2015 mulai masa Maret
sebesar Rp2.375.000.
Kasus 1
PT ADIL MAKMUR terdaftar sebagai wajib pajak sejak 1 Februari 2015. Peredaran bruto
menurut pembukuan dalam Februari 2015 adalah sebesar Rp200.00.000 dan dikurangi dengan
biaya yang diperkenankan, sehingga menghasilkan penghasilan neto sebesar Rp60.000.000.
Kasus 2
Pak SABAR berstatus menikah dan memiliki 2 orang anak. Doni baru saja terdaftar sebagai
wajib pajak orang pribadi sejak 1 Agustus 2016. Dalam penyelenggaraan usahanya Pak SABAR
menggunakan metode pembukuan dengan penghasilan bruto pada bulan Agustus 2016 sebesar
Rp250.000.000 dan biaya yang diperkenankan untuk mengurangi penghasilan bruto sebesar
Rp50.000.000. Hitung besarnya PPh Pasal 25 Agustus 2016?
BAB V
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
57 |Modul Perpajakan S1 Akuntansi – FEB Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
Tujuan Pembelajaran
Rujukan
Pasal 2 ayat (4) UU PPh menjelaskan orang pribadi atau badan dikategorikan sebagai
subjek pajak luar negeri apabila memenuhi syarat berikut:
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pemotong PPh Pasal 26 terdiri dari badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
yang melakukan pembayaran kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Adapun penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan
yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang
pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan,
seminar dan lain-lain.
Wajib pajak orang pribadi atau badan yang dapat menjadi pemotong PPh Pasal 26 harus
mendaftarkan diri terlebih dahullu untuk menjadi Pemotong PPh Pasal 26. Pendaftaran
sebagai pemotong PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada saat pendaftaran NPWP atau setelah
pendaftaran NPWP.
Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan dapat mengetahui apakah menjadi Pemotong
PPh Pasal 26 dengan melihat SKT (Surat Keterangan Terdaftar) yang diterima dari Kantor
Pelayanan Pajak pada waktu pendaftarran NPWP.
Pemotongan pajak atas wajib pajak luar negeri bersifat final, namun atas penghasilan
sebagaimana di maksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh, dan atas
penghasilan wajib pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi
wajib pajak dalam negeri atau BUT, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga
Berikut penghasilan tertentu yang dipotong PPh Pasal 26 namun tidak bersifat final,
yaitu:
1. Pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan
BUT di Indonesia.
2. Pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 26 yang diterima
atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
3. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri atau BUT.
Berdasarkan UU PPh No.36 tahun 2008, objek pajak, tarif dan dasar pengenaan pajak
PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut:
1. Dividen;
1. Penghasilan dari pengalihan atau penjualan harta di Indonesia dengan nilai lebih
dari Rp10 juta untuk setiap jenis transaksi yang berupa: perhiasan mewah, berlian,
emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil dan motor, kapal
pesiar dan persawat terbang ringan. Besarnya perkiraaan penghasilan neto untuk
penjualan harta adalah 25% dari harga jual.
2. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Besarnya
pengkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan premi reasuransi yang
dibayarkan pada perusahaan asuransi luar negeri adalah sebagai berikut:
20% dan bersifat final dari Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari
BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia
dengan syarat :
Contohnya, pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2015, maka penyetoran
selambat-lambatnya dilakukan pada tanggal 10 Juni 2015. Bila tanggal 10 Juni 2015 jatuh
pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa Penghasilan Kena Pajak sesudah di
kurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, terutang dan harus di bayar lunas
selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ke tiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Akhir Tahun
Pajak Berakhir, atau sebelum SPT disampaikan.
Pemotongan pajak atas wajib pajak luar negeri normalnya bersifat final, namun atas
penghasilan sebagaimana di maksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh, dan
atas penghasilan wajib pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status
menjadi wajib pajak dalam negeri pemotongan pajaknya tidak bersifat final.
PPh Pasal 26 yang tidak bersifat final tersebut dapat di kreditkan dalam SPT Tahunan
pajak penghasilan. Penghasilan-penghasilan tertentu yang dipotong PPh Pasal 26 yang tidak
bersifat final, yaitu pemotongan atas penghasilan sebagai berikut:
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa
di indonesia yang sejenis dengan yang di jalankan atau di lakukan oleh bentuk usaha
tetap di Indonesia;
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau di peroleh kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud;
pemotongan atas penghasilan yang di terima atau di peroleh orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat di kreditkan dalam SPT
Tahunan.
Kasus 1
Sementara, apabila PT JUJUR mengikuti asuransi melalui perusahaan yang ada di Indonesia,
misal PT Asuransi Raya, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp2 miliar. PT
Asuransi Raya mengikutkan (reasuransi) perusahaan tersebut ke perusahaan asuransi yang
berada di luar negeri, misalnya PT ADIL, dengan membayar premi sebesar Rp1miliar. Maka
ketentuan PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut:
Kasus 2
James Bond yang adalah seorang warga negara Inggris yang memiliki 25% saham atas PT
Jayaraya Indonesia. Tahun ini James Bond menjual seluruh sahamnya senilai Rp8 miliar kepada
Charles Johnson seorang warga negara Argentina. Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia
dan Argentina serta Inggris sehubungan dengan transaksi tersebut. Hitunglah PPh Pasal 26 dari
transaksi tersebut?
Seorang atlet dari Ethopia yang ikut mengambil bagian dari perlombaan lari maraton di
Indonesia berhasil meraih juara dan memperoleh hadiah uang tunai sebesar Rp100.000.000. Atas
penghasilan dari hadiah tersebut dikenakan PPh Pasal 26. Hitunglah PPh Pasal 26?
Kasus 4
Mike Lewis adalah karyawan asing pada perusahaan PT TIRA Consulting. Mike tinggal di
Indonesia kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri dan mempunyai seorang anak. Pada bulan
april 2016 Mike memperoleh gaji sebesar US$10.000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah
Rp10.500,- per US$ 1. Hitunglah PPh Pasal 26?
Kasus 5
Penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia pada tahun 2015 sebesar
Rp17.500.000.000. Pajak penghasilan yang harus dibayarkan yaitu sebesar 25% x
Rp17.500.000.000 = Rp4.375.000.000. Penghasilan BUT setelah kena pajak yaitu sebesar
Rp13.125.000.000. Hitunglah PPh Pasal 26?
Tujuan Pembelajaran
Rujukan
Pajak penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 merupakan salah satu pajak penghasilan yang
bersifat final, artinya atas pajak ini tidak dapat dikreditkan atau dikurangkan dari total pajak
penghasilan terutang pada akhir tahun pajak.
Penghasilan yang diperoleh dari transaksi saham serta sekuritas lainnya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan pada bursa, dan juga transaksi penjualan saham ataupun
pengalihan penyertaan modal di perusahaan pasangannya yang telah diterima oleh
perusahaan modal ventura,
Penghasilan yang diperoleh dari transaksi pengalihan harta, yakni dalam bentuk tanah
dan/atau bangunan, usaha real estate, usaha jasa konstruksi, dan juga penyewaan tanah
dan/atau bangunan, atau
Penghasilan tertentu lainnya, yang telah diatur dengan ataupun berdasarkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Koperasi;
Penyelenggara Kegiatan;
Bendaharawan.
Sementara terdapat beberapa objek pajak yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal
4 ayat 2 yaitu sebagai berikut:
Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final. Besarnya Pajak yang dikenakan adalah 0,1% dari
jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal.
4. Pajak atas Hadiah Undian dan Penghargaan
Pengertian hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melalui undian. Adapun, pengertian dari hadiah atau penghargaan perlombaan
adalah imbalan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau yang diberikan
sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan tertentu.
Penghasilan berupa hadiah dari undian dipotong PPh Pasal 4 ayat 2 dengan tarif pajak
sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah dan bersifat final. Namun, atas hadiah atau
penghargaan perlombaan, hadiah sehubungan kegiatan, dan penghargaan dikenakan pajak
penghasilan bersifat tidak final dengan ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi wajib pajak dalam negeri,
dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17 dari jumlah penghasilan bruto;
Dalam hal penerima penghasilan adalah wajib pajak luar negeri selain Bentuk Usaha
Tetap (BUT), dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto
Khusus untuk jasa pelaksanaan konstruksi, kualifikasi usaha itu bahkan dibagi ke dalam
tiga kelompok yakni: kecil, menengah dan besar. Menurut Peraturan LPJK Nomor 11
Tahun 2006 pengelompokkan tersebut didasarkan pada apa yang disebut grade yaitu
tingkat kemampuan atau kompetensi dari si kontraktor, seperti tampak pada tabel berikut:
Kasus 1
PAK JUJUR menyimpan uang di Bank CBA dalam bentuk deposito sebesar Rp100.000.000
dengan tingkat bunga 12% per tahun. Atas deposito tersebut, PAK JUJUR menerima bunga
setiap bulan sebesar Rp1.000.000. Berapa besaran pajak yang harus dibayarkan atas bunga
deposito PAK JUJUR?
Kasus 2
PAK MAKMUR menjual 1000 lembar saham dengan harga Rp3.000 per lembar. Berapa pajak
yang harus dikenakan atas transaksi penjualan saham tersebut?
Kasus 3
Pada tanggal 12 Agustus 2015, PAK RIZKI membeli 1 unit rumah dari developer PT Griya
Persada seharga Rp800.000.000 secara tunai. Antara PT Griya Persada dengan PAK RIZKI
belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) karena sertifikat rumah tersebut masih
dalam proses pemecahan sehingga dilakukan terlebih dahulu dengan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) antara PT Griya Persada sebagai penjual dan PAK RIZKI sebagai pembeli. Sertifikat
rumah tersebut masih atas nama PT Griya Persada. Sebelum dilakukan AJB antara PT Griya
Persada dengan PAK RIZKI, rumah tersebut oleh RIZKI dijual kepada PAK SABAR, sehingga
akibat transaksi tersebut nama penjual dan pembeli yang tercantum dalam PPJB rumah tersebut
menjadi PT Griya Persada sebagai penjual dan PAK SABAR sebagai pembeli.