Anda di halaman 1dari 14

PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 (PPH PASAL 22)

PPh Pasal 22 atau Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha
tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan
ekspor, impor dan re-impor. Melalui penerbitan peraturan No. 90/PMK.03/2015,
pemerintah melebarkan badan-badan yang berhak memungut PPh Pasal 22 yaitu menjadi
wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)


PPH Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dipungut oleh badan-badan yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan berkenaan dengan kegiatan usaha (perdagangan barang) dibidang
import atau kegiatan usaha dibidang lainnya yang memperoleh pembayaran barang dan jasa
dari belanja negara.Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang
yang dianggap menguntungkan, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat
menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah, PPh Pasal 22 dapat
dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.

Subjek PPh Pasal 22


Subjek PPh Pasal 22 meliputi 6 pelaku usaha berikut :
1. Importir.
2. Rekanan pemerintah.
3. Rekanan badan-badan tertentu.
4. Konsumen semen, rokok, kertas, baja, dan otomotif.
5. Para penyalur dan agen pertamina dan badan usaha tertentu yang bergerak dalam
bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas.
6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian dan perikanan.
Objek dan Bukan Objek PPh Pasal 22
Objek PPh Pasal 22 meliputi 7 kegiatan transaksi berikut :
1. Impor barang
2. Pebayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Dirjen Anggaran dan
bendaharawan pemerintah, baik ditinkat pusat maupun daerah
3. Pembayaran yang dilakukan oleh Badan Usahaa Milik Negara (BUMN) dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dananya bersumber dari Anggaaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
4. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh BI, BPPN, BULOG, PT
Telkom, PLN, PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan
bank-bank BUMN.
5. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan yang bergerak
dalam bidang industry semen, rokok, kertas, baja dan otomotif.
6. Penjualan hasil produksi oleh pertamina dan badan-badan yang bergerak dibidang
BBM jenis premix, super TT dan gas.
7. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry yang dilakukan oleh eksportir
yang bergerak dibidang perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.

Adapun bukan objek PPh Pasal 22 terdiri atas 9 kegiatan transaksi berikut :
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuaan peraturan
perundang- undangan tidak terutang pajak penghaasilan.
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan atau paajak
pertambahan nilai :
a. Barang perwakilan Negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik.
b. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada
Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak
memegang paspor.
c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah, umum, amal, social atau
kebudayaan.
d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang dan tempat lain semacam itu
yang terbuka untuk umum.
e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
f. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya.
g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah.
h. Barang pindahan
i. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas dan barang
kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan pabean.
j. Barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang
ditujukan untuk kepentingan umum.
k. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termaasuk suku cadangan yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara.
l. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN).
m. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama.
n. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang impor
dan digunakan oleh Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional.
o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan
penyeberangan,kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang,
dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran aatau alat keselamatan manusia
yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan pelayaran niaga nasional atau
perusahaan penangkap ikan nasional.
p. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT KAI.
q. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara Wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia
(TNI).
3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan
untuk diekspor kembali.
4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.00,00 dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum atau
PDAM, dan benda-benda pos.
6. Emas batangan yang akan diproses untuk enghaasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor.
7. Pembayaran atau pencairan dana Jaringan Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor
Pembendaharaan dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor) yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kembali
dengan kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan
perbaikaan, pengerjaan, dan pengujian yang telah memenuhi syarat yang ditentukan
oleh Direktorat Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.

Tarif PPh Pasal 22


1. Atas impor :
a. 2,5% dari nilai impor untuk impor yang menggunakan Angka Pengenal Impor
(API).
b. 7,5% dari nilai impor untuk impor yang tidak menggunakan API.
c. 7,5% dari harga jual lelang untuk impor yang tidak dikuasai.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD yang dibiayai APBN atau APBD dikenakan tarif PPh Pasal 22
sebesar 1,5% dari harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final).
3. Atas penjualan hasil produksi badan usaha yang bergerak dalam bidang usahan
yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
a. Industri rokok dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,15% dari harga bandrol,
dan bersifat final.
b. Industri kertas dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,10% dari DPP PPN dan
bersifat tidak final.
c. Industri semen dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari DPP PPN dan
bersifat tidak final.
d. Industri baja dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,30% dari DPP PPN dan
bersifat tidak final.
e. Industri otomotif dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,45% dari DPP PPN
dan bersifat tidak final.
4. Atas penjualan hasil produksi Pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak
dalam bidang bahan bakar minyak, gas, dan pelumas oleh penyalur dan/atau
agennya, bersifat final. Selain penyalur dan/atau agen bersifat tidak final.
Dikenakan tariff PPh Pasal 22 sebagai berikut :
Bahan Bakar Tarif PPh Pasal 22
SPBU Pertamina SPBU Swasta
Premium 0,25 % dari penjualan 0,30 % dari penjualan
Solar 0,25 % dari penjualan 0,30 % dari penjualan
Premix/Super TT 0,25 % dari penjualan 0,30 % dari penjualan
Minyak Tanah 0,30 % dari penjualan -
Gas LPG 0,30 % dari penjualan -
Pelumas 0,30 % dari penjualan -

5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga pembelian dan
tidak termasuk PPN.
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan
API dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari nilai impor.
7. Atas penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv),
minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5%
dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
f. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh
Pasal 22.

Lembaga Pemotong atau Pemungut PPh Pasal 22


1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang.
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah
yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber
dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan
tersebut pada poin 4.
4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara
(PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-
bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari
APBN maupun dari non APBN.
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri
kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang
pengumpul.
8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.

Dasar Perhitungan PPh Pasal 22


Perhitungan PPh Pasal 22 didasari PPh Pasal 22 Bea Cukai dan PPh Pasal 22
Bendaharawan.
1. PPh Pasal 22 Bea Cukai adalah pajak penghasilan Pasal 22 yang dipungut oleh
Direktorat Jeneral Bea & Cukai terhadap wajib pajak yang memasukkan ke dalam
daerah pabean. Perhitungan PPh Pasal 22 Bea Cukai didasarkan pada nilai impor.
Nilai impor adalah harga perolehan ditambah biaya asuransi dari negara asal
pelabuhan ke pelabuhan tujuan (insurance) ditambah lagi dengan biaya angkut dari
negara asal ke pelabuhan tujuan (freight), bea masuk, dan pungutan-pungutan
pabean lain yng sesuai dengan undang-undang pabean. Bila dirumuskan akan
terurai sebagai berikut :
Nilai Impor = Harga Impor (CIF) + Pungutan Pabean

2. PPh Pasal 22 Bendaharawan adalah pajak penghasilan Pasal 22 yang dipungut oleh
Direktorat Anggaran, bendaharawan rutin dan proyek pusat maupun daerah, serta
badan lain yang melakukan pembayaran untuk barang dan jasa dari belanja negara
maupun daerah terhadap wajib pajak yang menjadi rekanan atau pemasok barang
atau jasa. PPh Pasal 22 Bendaharawan didasarkan pada harga pembelian barang.

Pembayaran PPh Pasal 22


1. PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan. Maksudnya, pada akhir tahun,
cicilan ini akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau PPh orang
pribadi.
2. PPh Pasal 22 yang berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung
ke bank persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi. Transaksi
yang wajib dibayar langsung adalah transaksi yang berkaitan dengan impor dan
bendahara.

Kewajiban Membuat Bukti Pungut


1. Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat bukti pungut juga wajib menyetor
PPh yang dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi, kemudian
melaporkannya dalam SPT Masa PPh Pasal 22.
2. Sedangkan pihak yang dipungut mendapat bukti pungut dan dapat dikreditkan pada
akhir tahun di SPT Tahunan.
3. Penjualan bahan bakar minyak dan gas ke agen atau penyalur dikenakan atas PPh
bersifat final. Artinya, wajib pajak yang hanya memiliki usaha tersebut, maka hanya
wajib lapor SPT Tahunan yang dilampiri bukti potong.

Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22


1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh
Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan
Impor Barang (PIB).
2. Atas pembelian barang, terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
3. Atas penjualan hasil, terutang dan dipungut pada saat penjualan.
4. Atas penjualan hasil produksi, dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah
Pengeluaran Barang (Delivery Order).
5. Atas pembelian bahan-bahan, terutang dan dipungut pada saat pembelian.

Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22


1. PPh Pasal 22 atas impor barang, disetor oleh importir dengan menggunakan
formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor
barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi,
atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari
setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7
(tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor
harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan
ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.

3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang, disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP
Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti
pungutan rangkap tiga, yaitu :

a. lembar pertama untuk pembeli;

b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;

c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan


dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak
berakhir.

4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang, disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP
Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10
sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling
lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.

5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang, disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP
Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan
menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa
pajak berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi dan hasil penjualan barang sangat
mewah, disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor
Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan
menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.

7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi, disetor oleh pemungut ke bank persepsi
atau Kantor Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap
3 yaitu:

a. lembar pertama untuk pembeli;

b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan


Pajak;

c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.

Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat


paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Kapan saat terutang dan pelunasan/ pemungutan PPh Pasal 22


1. PPh Pasal 22 atas impor terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk.
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22
terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Untuk
Dipakai (PIUD).
2. PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Direktorat Jenderal Anggaran,
Bendaharawan Pemerintah Pusat/ Daerah, BUMN/D, yang dibayar dari belanja
negara dan/atau belanja daerah, terutang dan dipungut pada setiap dilakukan
pembayaran.
3. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan
industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dipungut
pada saat penjualan.
4. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina dan badan usaha selain
Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas harus
dilunasi sendiri oleh penyalur, agen, atau pembeli lainnya sebelum Surat Perintah
Pengeluaran Barang (Delivery Order) ditebus;
5. PPh Pasal 22 atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Bulog harus dilunasi
sendiri oleh penyalur, grosir,sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery
Order) ditebus.

Bagaimana tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22


1. Atas Impor
o Impor dilengkapi dengan LKP PPh Pasal 22 disetor oleh importir ke Bank
Devisa dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku
sebagai bukti pungutan pajak;

o Impor tidak dilengkapi dengan LKP PPh Pasal 22 dipungut dan disetor oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh
Pasal 22 dalam rangkap 3 yaitu :

o Lembar pertama untuk pembeli;


o Lembar kedua untuk disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagai
lampiran laporan bulanan;

o Lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.


Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22
atas impor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan ke
Kantor Pos dan Giro atau bank-bank persepsi, dan harus melaporkan hasil
pemungutannya tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak secara mingguan selambat-
lambatnya tujuh hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.

2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN/D,


harus memungut dan menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22 ke Kantor Pos dan
Giro atau bank-bank persepsi, pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pembayaran, dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah
diisi oleh dan atas nama rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan. SSP
berlaku sebagai bukti pungutan pajak. Pelaporan harus disampaikan selambat-
lambatnya empat belas hari setelah Masa Pajak berakhir.

3. Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, rokok, kertas, baja dan
otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memungut PPh
Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri dan wajib menerbitkan
Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap tiga, yaitu :
o Lembar pertama untuk pembeli;

o Lembar kedua untuk disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagai


lampiran laporan bulanan;

o Lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.

Badan usaha tersebut harus menyetorkan secara kolektif pemungutan PPh Pasal 22
selambat-lambatnya tanggal lima belas bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa selambat-
lambatnya dua puluh hari setelah Masa Pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 dari penyerahan oleh Pertamina atas hasil produksinya, dari
penyerahan bahan bakar minyak dan gas oleh badan usaha selain Pertamina, dan
dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Bulog, dipungut dengan cara
dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order) ditebus, dengan
menggunakan SSP yang juga merupakan bukti pungutan pajak.

Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya


dua puluh hari setelah Masa Pajak berakhir.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 22


1. PT ANGGARA, memiliki nomor API, melakukan impor komputer dari Amerika Serikat
dengan perincian sbb:
Harga Komputer (Cost)US$ 20,000.00
Asuransi (Insurance) US$ 1,000.00
Biaya angkut (Freight) .US$ 4,000.00
Harga Pabean ..US$ 25,000.00
Pungutan :
Bea Masuk 20% US$ 5,000.00
Bea Masuk Tambahan 10% US$ 2,500.00
NILAI IMPOR US$ 32,500.00
Apabila pada tanggal impor (sesuai dokumen impor:pemberitahuan impor barang) nilai
kurs US $ 1.00= Rp 10.000,00 maka:
Dasar pengenaan PPh Pasal 22: US$ 32,500.00 x Rp 10.000,00= Rp 325.000.000,-
PPh Pasal 22 yang harus dipungut :Rp 325.000.000,00 x 2,5% = Rp 8.125.000,00
2. PT Jayadi Maju melakukan penjualan lemari arsip kepada Departemen Dalam Negri
senilai Rp 220 juta. Pembayaran dilakukan oleh Bendaharawan Depdagri. Dalam
kontrak penjualan dengan pemerintah yang didanai dari APBN/APBD, biasanya harga
jual sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
Diminta : Hitunglah PPh Pasal 22 PT Jayadi Maju
Jawab :
Dasar Pengenaan PPh Pasal 22: (100/110 x Rp 220 juta)= Rp200.000.000,00.
PPh Pasal 22 yang dipungut Bendaharawan Pemerintah dari transaksi pembayaran:
Rp 200.000.000,00 x 1,5%= Rp 3.000.000,00

Anda mungkin juga menyukai