Anda di halaman 1dari 51

TAX PLANNING PPH PASAL 22,

PASAL 23, 26 DAN PPH FINAL


Aliyani Putri Philips (2113007), Felisya The (2113014)
Poin Pembahasan

01 02 03 04

PPh Pasal 22 PPh Pasal 23 PPh Pasal 26 PPh Pasal 4


Ayat (2) Final
Poin Pembahasan

05 06 07

PPh Pasal 15 Tax Planning Tax Planning


PPh Pasal Pph Pasal 25
22/23/26 dan Orang
PPh Final Pribadi
PPH PASAL 22
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak yang dipungut
oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga
pemerintah dan Lembaga-lembaga negara lainya
berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang, dan badan-badan tertentu baik badan
pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

Dalam dunia shipping (laut dan udara), kita mengenal adanya


"handling fee", yakni jumlah fee yang harus dibayar berdasarkan
perjanjian handling fee antara impotir yang mempunyai API dengan
pemilik barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling
fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini mungkin bisa dipakai
oleh orang atau perusahaan yang tidak punya API dengan
"meminjam" bendera perusahaan yang punya. untuk mengeluarkan
barang impornya dengan kompensasi pemberian "handling fee".
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan


beberapa hal, seperti tidak melanggar ketentuan perpajakan, secara
bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti
pendukung yang memadai (kontrak, invoice, dansebagainya). Oleh
sebab itu untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap
hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat kontrak yang
jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan kewajiban
perpajakan masing-masing pihak. Perusahaan yang dikenai PPh Pasal
22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak bersifat final.
Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dapat
dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.
PENGAJUAN SKB PPH PASAL 22
Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau
pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak
karena:

a) Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak
akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.

b) Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang


kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto
tahun pajak yang bersangkutan.

c) Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan
yang akan terutang.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 ini bervariasi, tergantung apakah
perusahan punya angka pengenal impor (API) atau tidak, dan kalau
tidak dikuasai artinya barang tak bertuan.

1. Dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 2,5% dari nilai impor (API)


2. Dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari harga jual lelang (Non API)
3. Dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari harga jual lelang (barang
tidak dikuasai)

Persentase tersebut dihitung dari harga barang atau nilai CIF + BM


(Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan (jika ada)).

Tentu yang dipikirkan oleh Tax Planner adalah mencari tarif


terendah, sehingga dalam melakukan impor, Tax Planner yang baik
akan merekomendasikan impor dengan API.
DIKECUALIKAN DARI PEMUNGUTAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan


ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak
Penghasilan;
b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan
atau Pajak Pertambahan Nilai;

sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan


No.392/KMK.03/2001 dan 236/KMK.02/2003 dan 154/PMK.02/2007 dan
terakhir diubah dengan PMK No. 08/PMK.03/2008.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final

• Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang
atas imbalannya semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai
PPh Pasal 22 impor.

• WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang


yang bersangkutan.

• Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak diguna


kan untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal
22 yang terutang akan ditagih beserta dengan sanksi bunganya.
PPH PASAL 22
BENDAHARAWAN DAN BUMN/BUMD
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang
yang dibebankan ke APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang
harus dipungut adalah sebesar 1,5% dari harga beli yang
dipungut pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan oleh
Ditjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal dari APBN/D.
PPH PASAL 22
ATAS KEGIATAN USAHA LAIN
a) Pembelian dalam negeri oleh Bendaharawan, BUMN/BUMD dan
Badan Badan Tertentu dengan tarif 1,5% dan pembelian bahan-
bahan berupa hasil perhutanan, perkebunan, pertanian dan
perikanan untuk keperluan industri dan ekspor dengan tarif 0,25%
dari harga pembelian.

b) Penjualan hasil produksi tertentu dalam negeri: industri semen


0,25%, industri kertas 0,10%, industri baja 0,30%, industri otomotif
0,45%, industri obat 0,30% dengan dasar pengenaan pajak PPN.

c) Bahan bakar minyak dan gas dengan tarif 0,3% dari penjualan
excl.PPN
PPH PASAL 22
ATAS KEGIATAN USAHA LAIN
d) Penjualan barang yang tergolong sangat mewah dengan tarif 5%
dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

e) Penjualan barang yang tergolong sangat mewah: Pesawat udara


dengan harga jual lebih dari Rp20M, kapal pesiar dan sejenisnya
dengan harga jual lebih dari Rp10M, rumah beserta tanahnya dan
luar bangunan lebih 500m^2 dan apartemen dan sejenisnya
dengan luas leboh dari 400m dengan harga jual Rp10M.

f) Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan kurang dari 10


orang berupa sedan, jeep, dan sejenisnya dengan harga jual lebih
dari Rp5M.
PPH PASAL 23
Merupakan pemotongan pajak atas
penghasilan yang diperbolehkan wajib
pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong PPh
Pasal 21.
PEMOTONG PPH PASAL 23/26
• Badan pemerintah
• Subjek pajak badan dalam negeri
• BUT atau perwakilan perusahaan dalam negeri
• Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu :
1. Akuntan, arsitek, dokter,notaris,PPAT(kecuali camat),
pengacara, konsultan yang melakukan pekerjaan bebas
2. Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang
menyelenggarakan pembukuan
OBJEK PPH PASAL 23/26

• Wajib pajak dalam negeri


• BUT
• Wajib pajak luar negeri
SUBJEK PPH PASAL 23/26
Penghasilan yang berasal dari:
• Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi
• Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan
• Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak dan orang
pribadi selain yang telah dipotong PPh pasal 21
TARIF PENGENAAN PPH PASAL 23
1. 15% dari penghasilan bruto:
• Dividen, kecuali yang diterima BUMN/BUMD, koperasi dengan syarat kepemilikan
• saham miniman 25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut diambil dari laba
ditahan
• Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
• Royalti
• Hadiah dari penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
2. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga sebagai simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan Menteri
keuangan
3. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain selain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai PPh final
4. Imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong di PPh Pasal 21
5. Tarif sebesar 100% dari besaran PPh 23 yang berlaku untuk badan yang tidak memiliki
NPWP
6. Objek-objek PPh pasal 23 lainnya.
ANALISIS EKUALISASI OBJEK PPH PASAL 23 PADA SPT
TAHUNAN PPH BADAN DENGAN SPT MASA PPH PASAL 23

Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT


(pencocokannya disajikan terperinci per transaksi)
dengan pos-pos yang terdapat di buku-buku
pengeluaran/pembelian /penjualan yang memiliki
hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis
pajak yang lain (baik sebagian maupun keseluruhan).
ANALISIS EKUALISASI OBJEK PPH PASAL 23 PADA SPT
TAHUNAN PPH BADAN DENGAN SPT MASA PPH PASAL 23

Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau


setor PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut
oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja
yang dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah disetujui.

Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar atau setor
PPh Pasal 23 tersebut hanya akan menambah beban tambahan bagi wajib pajak dari
pengenaan bunga pajak @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13 ayat 2 UU
KUP).
ANALISIS EKUALISASI OBJEK PPH PASAL 23 PADA SPT
TAHUNAN PPH BADAN DENGAN SPT MASA PPH PASAL 23

Terbitnya SKP Kurang Bayar yang bisa disebabkan karena:


1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 23
yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi
kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas negara tidak
cocok atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh
wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau
ledger pem bukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh
Pasal 23.
PPH PASAL 26
Objek pengenaan PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23.
Perbedaannya adalah PPh Pasal 26 ini dikenakan kepada
wajib pajak luar negeri (WPLN). Aspek-aspek yang
mempengaruhi misalnya adalah rate-nya. Dalam PPh
Pasal 26 ini tarif pemotongan atas pembayaran kepada
WPLN adalah 20 %, dengan memperhatikan ada tidaknya
tax treaty (P3B, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda).
Kalau tax treaty nilai efektifnya 10%, tapi bisa juga 5% dan
bisa juga 0%. Kita, sebagai tax planner harus melakukan
treaty shopping, cari rate yang terendah. Ini salah satu
loophole yang bisa dimanfaatkan oleh tax planner untuk
PPh Pasal 26 terkait dengan tax treaty.
PASAL 26 AYAT (1) D
Bila ada Tax Treaty
1. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu):
Tidak ada BUT, maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak
atas penghasilan yang diterima oleh WPLN. Syarat: Agar
pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai tax treaty, WPLN harus
dapat menunjukkan atau memberikan Certificate of Residence Tax
Payer (CRT) atau Certificate of Domicile (COD) dari Competent
Authority di negara bersangkutan.
2. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu): Ada
BUT, maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan
yang diterima oleh WPLN bersangkutan, yang berupa Corporate Tax
(tarif PPh Pasal 17) dan Branch Profit Tax (tarif PPh Pasal 26).
PASAL 26 AYAT (1) D
Bila tidak ada Tax Treaty
1. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji
waktu): Tidak ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak
basis bruto dan tarif tunggal 20%
2. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu):
Ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak basis neto dan
tarif Pasal 17 UU PPh
TARIF PENGENAAN PPH PASAL 26
1. Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan WPLN
yang berupa bunga, dividen, royalti, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan
penggunaan harta dan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu
BUT, kecuali ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat: (Lihat PMK
No.257/PMK.03/2008)
• Penanaman kembali dilakukan atas selurun penghasilan kena pajak setelah
dikurangi Pajak Penghasilan daiam bentuk penyertaan modal pada perusahaan
yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau
peserta pendiri.
• Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatun usaha sesuai
dengan akte pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan
tersebut didirikan.
• Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama
tahun pajak berikutnya dari tahun pajak dite- rima atau diperolehnya
penghasilan tersebut.
• Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali paling singkat dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah
berproduksi komersial.
TARIF PENGENAAN PPH PASAL 26
2. Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat
final atas penghasilan WPLN berupa penghasilan dari penjualan harta
di Indonesia (20% 25% x harga jual), Premi asuransi yang dibayarkan ke
luar negeri:
a) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri
oleh tertanggung (20% x 50% jumlah premi).
b) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh
perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia (20% x 10% x
jumlah premi).
c) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN, oleh
perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia (20% × 5%
x jumlah premi).
3. Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 dan
PPh Pasal 26 yang Ditanggung oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja
(Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya PKP
wajib pajak dalam negeri dan BUT termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh
pemberi penghasilan, kecuali:
1. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi
tidak termasuk dividen.
2. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar
untuk pemotongan pajak.

Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 dapat
ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja, dengan perlakuan
perpajakan sebagai berikut:
• Dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan, sesuai dengan
ketentuan perpajakan, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu
sebagai bukan biaya pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawai yang
menerimanya.
• Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana di- maksud dalam
Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (gross-up) pada
penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
tersebut.
ANALISIS EKUALISASI OBJEK PPH PASAL 26 PADA SPT
TAHUNAN PPH BADAN DENGAN SPT MASA PPH PASAL 26

Ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor PPh
Pasal 26 sebesar Rp 300.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut oleh
wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang
dimuat dalam kontrak perjan jian yang sudah disetujui.

Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar atau setor
PPh Pasal 26 tersebut hanya akan menambah beban tambahan bagi wajib pajak dari
pengenaan bunga pajak @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13 ayat 2 UU
KUP).
ANALISIS EKUALISASI OBJEK PPH PASAL 26 PADA SPT
TAHUNAN PPH BADAN DENGAN SPT MASA PPH PASAL 26

Terbitnya SKP Kurang Bayar yang bisa disebabkan karena:


1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 26
yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi
kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 26 yang disetorkan ke Kas Negara tidak
cocok atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh
wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 26 yang dibukukan di buku besar atau
ledger pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh
Pasal 26.
Contoh 1:

PT ABC membayar bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp 100.000.000
yang sesuai dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut.
Tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Contoh 2:

Atas penerbitan global bonds senilai 1.000.000.000 dolar AS dengan


tingkat bunga (kupon) tetap sebesar 6,75% semi annually (dibayar
setiap tanggal 10 Maret dan 10 September) dan akan jatuh tempo
pada tanggal 10 Maret 2014 (10 tahun) yang ditujukan bagi para
investor yang berkedudukan di luar negeri.

Pertanyaannya: Bagaimana perlakuan perpajakan obligasi negara


dalam valuta asing tersebut?
Contoh 2:

Tetap dapat dikenai Pajak Penghasilan dengan metode gross up. Pengenaannya dengan melakukan
gross up terhadap pembayaran bunga tersebut. Dalam bunga yang dibayarkan sudah termasuk
Pajak Penghasilan Pasal 26, tergantung tarif yang berlaku, apakah sesuai dengan Pasal 26 UU PPh
atau dengan P3B, apabila ada P3B antara Indonesia dengan negara pembeli. Contoh penghitungan
Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut:
PPH PASAL 4
AYAT (2) FINAL
Pajak yang terutang dan dibayarkan seketika
penghasilan diperoleh atau diterima. Pemotongan
dilakukan oleh pemberi penghasilan, atau pihak lain
yang ditentukan. Ketika dilakukan penghitungan pajak
terutang di akhir tahun, penghasilan yang dikenai
pajak bersifat final tidak diperlakukan sebagai
penambah penghasilan. Kewajiban perpajakannya
dianggap telah selesai saat pemotongan.
OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2)
a. Diskonto atau bunga obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek (PP No. 6 Th 2002)
• Tarif pemotongan PPh 20% bagi WPDN dan BUT dan 20% atau sesuai tarif
dalam P3B, bagi wajib pajak penduduk atau yang berkedudukan di luar
negeri.
b. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek (PP 41/1994 jo. PP
14/1997)
• Besarnya Pajak Penghasilan:
a) 0,1% (satu per seribu) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan
b) Saham pendiri dikenai tambahan PPh sebesar 0,5% dari nilai saham
perusahaan pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1995.
c) Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1
Januari 1997, nilai saham sebagai dasar pengenaan tarif 0,5% ditetapkan
sebesar harga saham pada saat penawaran umum perdana.
OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2)
c. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI (PP 131/2000)
• Tarif yang dikenakan adalah sebesar 20% dari jumlah bruto
• Dikecualikan dari pemotongan ini:
- Bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak
melebihi Rp 7.500.000 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
- Bunga dan diskonto SBI yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
- Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU No. 11. Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun.
- Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun
untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun
sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2)
d. Penghasilan berupa hadiah atas undian (PP 132/2000)
• Besarnya PPh yang wajib dipotong atau dipungut adalah
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah
undian.
e. e) Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan (PP
29/1996 jo PP 5/2002)
• Sewa tanah dan bangunan yang dimaksud adalah:
Tanah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung
kantor, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, industri.
Tarif pemotongan PPh bagi orang pribadi dan badan
adalah 10% dari jumlah bruto.
OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2)
f. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

Ketentuan mengenai usaha jasa konstruksi di tahun 2009 diatur dengan PP


No. 51 Tahun 2008 yang diterbitkan tanggal 20 Juli 2008 jo PP No. 40 Tahun
2009, namun berlaku surut sejak Januari 2008. Dengan ter bitnya PP No. 51
Tahun 2008 ini, atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi, dikenai PPh Final
OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2)
g. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau
Bangunan (PP 48/1994 jo PP 71/2008)

1. 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak


atas tanah dan atau bangunan.
2. Atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar
1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.
OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2)
h. Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam
negeri

Wajib pajak orang pribadi dalam negeri dimuat dalam PP No. 19 Tahun
2009 tentang PPh atas Dividen yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri serta Peraturan Menkeu No.111/ PMK.03/2010 tentang Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan.

• Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib


Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10%
(sepuluh persen) dari jumlah bruto dan bersifat final.

• Pajak Penghasilan yang bersifat final dilakukan melalui pemotongan


oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku
pembayar dividen.
OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2)
i. Bunga dan atau Diskonto Obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN); (PP
No. 16 tahun 2009 Jo. PMK No. 85/PMK.03/2009)
Besarnya Pajak Penghasilan adalah:
a) Bunga dan Diskonto dari obligasi dengan kupon sebesar 15% bagi
wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
b) Bunga dan Diskonto dari obligasi dengan kupon 20% atau sesuai
dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi
dan dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga
perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan.
c) Diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar 15% (lima belas persen)
bagi WPDN dan BUT, dan 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan
tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda bagi
wajib pajak luar negeri, selain bentuk usaha tetap, dari selisih lebih
harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi.
OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2)
i. Bunga dan atau Diskonto Obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN); (PP
No. 16 tahun 2009 Jo. PMK No. 85/PMK.03/2009)
Besarnya Pajak Penghasilan adalah: (lanjutan)
d. Bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima dan atau
diperoleh wajib pajak reksadana yang terdaftar pada Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebesar:
1. 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
2. 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
3. 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.
j. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota
Koperasi Orang Pribadi (PMK No. 85/PMK.03/2008)
1. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai
dengan Rp 240.000 per bulan.
2. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bungs untuk penghasilan
berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240.000 per bulan.
OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2)
k. Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Badan atau
WPOP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 46/2013)
• Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah wajib pajak
orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk BUT dan menerima
penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1
tahun pajak.
• Tidak termasuk WPOP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan/atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau
prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun
tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk
kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau
berjualan.
• Tidak termasuk wajib pajak badan adalah wajib pajak badan yang belum
beroperasi secara komersial atau wajib pajak badan yang dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00. Besarnya tarif Pajak
Penghasilan yang bersifat final adalah 1% (satu persen).
ANALISIS EKUALISASI OBJEK PPH PASAL 4 AYAT 2 (FINAL) PADA SPT
TAHUNAN PPH BADAN DENGAN SPT MASA PPH PASAL 4 AYAT 2 (FINAL)

Hasil ekualisasi mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final) sebesar Rp 400.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih
lanjut oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa
saja yang dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah disetujui.

Tentu saja kelalaian atau keterlambatan penyelesaian kurang bayar atau setor PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final) tersebut hanya akan menambah beban tambahan bagi wajib
pajak dari pengenaan bunga pajak @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13
ayat 2 UU KUP).
PPH PASAL 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma
Penghitungan Khusus (NPK) atau deem profit, yang meliputi:
1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8%
dari peredaran bruto dan bersifat tidak final
2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya
1,2% dari peredaran bruto bersifat final
3. PPh Final Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar negeri,
tarif pajaknya 2,64% dari peredaran bruto bersifat final.
4. PPh Final atas Wajib Pajak Luar negeri yang Mempunyai
Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia, tarif pajaknya 0,44%
dari nilai ekspor bruto bersifat final.
5. Penghasilan neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha
pengeboran minyak dan gas bumi, tarifnya 15% dari
peredaran bruto, bersifat tidak final.
TAX PLANNING
PPH PASAL 22/23/26 DAN PPH FINAL

1. Masalah Pembuatan Kontrak

Hal yg harus diperhatikan adalah masalah pembuatan


kontrak, kontrak bisa dikatakan sebagai cikal bakal
terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait. Oleh
karena itu kesepakatan yg dibuat dalam kontrak harus
mencakup kesepakatan yg di buat di dalam kontrak yang
memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-
masing pihak.
TAX PLANNING
PPH PASAL 22/23/26 DAN PPH FINAL

2. Konflik Dalam Withholding Tax

Akan terjadi jika penerima penghasilan tidak bersedia


dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran
mengenai jenis pajak dan besarnya tarif pajak yang akan
dipotong. Oleh karena kewajiban pemotongan,
penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi
penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara
negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa.
TAX PLANNING
PPH PASAL 22/23/26 DAN PPH FINAL

3. Rekonsiliasi Objek Withholding Tax Dengan Laporan


Keuangan

Kewajiban dalam wajib pajak dalam kedudukan sebagai


pemotong atau pemungut perlu mendapat perhatian
serius dari perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengendalian perpajakan untuk memastikan bahwa
seluruh objek withholding tax sudah dilakukan
pemotongan atau pemungutannya.
TAX PLANNING
PPH PASAL 22/23/26 DAN PPH FINAL

4. Klausul Kontrak dengan WPLN

Di samping harus mengatur klausul perpajakan secara jelas dan rinci,


khusus kontrak dengan pihak Wajib Pajak Luar negeri harus memper
hatikan beberapa hal, antara lain:
• Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah
perlu melihat pada ketentuan tax treaty atau tidak.
• Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di negara treaty partner, perlu
diperhatikan agar WPLN memberikan CRT (certificate of residence
taxpayer) kepada perusahaan sebelum dilakukan pembayaran atau
penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak dengan WPLN
tersebut.
Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 25 Orang Pribadi

Sesuai Per-Menkeu No. 255/PMK.03/2008, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25


untuk WPOP pengusaha tertentu (wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah
wajib pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat-
Ref. Per-Dirjen Pajak No.35/PJ/2009), ditetapkan sebesar 0,75 % (nol koma tujuh puluh lima
persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha.
Sedangkan untuk WP masuk bursa dan wajib pajak lainnya berdasarkan ketentuan
diharuskan membuat laporan keuangan berkala, sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan
berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh
Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun
pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
QnA!

Anda mungkin juga menyukai